Share

Bab 2

 

Mas Haikal masih merenung dengan tatapan kosong, hati ini begitu penasaran apa yang sudah terjadi padanya?

 

"Ya sudah kalau ga mau cerita, aku mau berangkat sekarang!"

 

Ia mencekal pergelangan tanganku, sepertinya cara ini berhasil untuk membuatnya bersuara.

 

"Aku kesel! Ternyata Neneng sudah ga orisinil lagi, masih mending kamu," ujarnya sambil merengut.

 

Ingin sekali aku tertawa terbahak-bahak. Namun, kutahan demi menjaga wibawa, padahal sejatinya dalam hati aku bersorak ria.

 

Rasain! Emang enak!

 

"Kasian banget sih kamu, Mas," tuturku sambil menyunggingkan sebelah bibir, Mas Haikal mendelik menanggapi experesiku yang seolah mengejek.

 

"Kamu berdosa, Mas, menceritakan aib istri sendiri, nikmati saja bukannya Neneng itu wanita pilihanmu, dia itu masih muda, cantik dan katanya subur, ga kaya aku yang berusia hampir kepala tiga," cerocosku sambil memainkan ponsel.

 

Kini, ada tembok yang menjulang tinggi diantara kami tembok itu menciptakan jarak yang terbentang jauh, tak ada lagi kehangatan seperti biasanya, tak ada canda dan tawa yang berbalut cinta dan mesra.

 

Semua itu terkikis tak bersisa, bukan karena Neneng melainkan karena ibu mertua yang tak memiliki lautan kesabaran seluas samudra.

 

Tak bisakah ia bersabar menunggu hasil usaha kami berdua, bukankah artis pasangan Irwansyah dan Zaskia mendapat momongan di usia pernikahan yang tak jauh dengan usia pernikahan kami?

 

"Mas, aku pergi dulu ya, hari ini akan ada meeting dengan para manager terutama bagian marketing, aku harus belajar mengatur tugas yang selama ini kamu kerjakan."

 

Kuukir senyum termanis sebelum meraih tas dan melenggang meninggalkannya.

 

"Tapi aku belum sarapan, Mutia, kenapa kamu ga masak," ujarnya menahan langkah kaki ini.

 

"Ada istri barumu, kenapa ga minta dibuatkan sarapan sama dia," jawabku ketus.

 

Ketahuilah, tak mudah bersikap biasa saja di saat hati ini tercabik-cabik, di dalam sana ada pertarungan antara kata hati dan logika, antara meminta perpisahan dan bersabar dalam penderitaan.

 

Entah harus bagaimana akhirnya aku tak bisa menyimpulkan, untuk saat ini hanya mengikuti roda kehidupan yang berputar setiap detiknya.

 

"Apa kita ga bisa seperti dulu?" 

 

Lagi-lagi tubuhku tertahan karena pertanyaannya.

 

"Bayangkan saja jika gelas itu pecah, apakah bisa kembali utuh seperti semula?"

 

Mendengar itu ia menundukkan kepala, kini ia diam bagaikan sebuah patung pajangan, membiarkan aku pergi ke tempat kerja.

 

Sebelum menginjak pedal gas, aku merenung sejenak mengenang sedikit kenangan di mobil ini.

 

Ia yang fokus menyetir sedangkan aku banyak mengoceh mengganggu konsentrasinya, semua begitu indah, siapa sangka kebahagiaan itu akan sirna dalam sekejap mata.

 

Kukemudikan mobil ini dengan pelan, melewati jalan yang sering kami lewati sama saja mengiris hati ini dengan belati, ada kenangan di setiap penjuru jalan, kami biasa bersenda gurau saat melihat apapun di jalanan sana.

 

Tiba di pabrik, aku langsung melangkah melewati ruang produksi dan ruang para staff karyawan, mereka semua memandangku dengan iba.

 

Acara pernikahan kedua Mas Haikal yang megah juga ditayangkan langsung di sosial media, membuat berita duka itu menyebar pesat ke setiap mata dan telinga.

 

Untung saja posisiku tertinggi di sini, jadi tak ada orang sembarangan yang mengucapkan bela sungkawa atas perginya separuh kebahagiaan.

 

"Mut, berkas yang ini belum sempat dikerjain sama Haikal, gimana nih?" tanya Alex, ia sudah mengetahui jika Mas Haikal takkan lagi menginjakkan kaki di pabrik ini sesuai perjanjian.

 

"Ya sudah sini biar aku kerjain ya." Aku mengulurkan tangan. Namun, pria tinggi itu malah menelisik wajahku.

 

"Kamu baik-baik aja 'kan? sabar ya," ujarnya mengasihani, padahal aku tak butuh belas kasihan siapapun.

 

"Kalau aku ga baik-baik aja pasti ga akan datang hari ini." Kuukir senyum untuk meyakinkannya jika diri ini baik-baik saja.

 

Ia mengangguk dan menyerahkan map itu padaku.

 

"Aku ke ruang kerja dulu ya, meetingnya setengah jam lagi."

 

Lepas pria itu pergi, baru aku tersadar jika laptopku tertinggal di rumah, tak ada pilihan lain selain kembali, rasanya lelah harus kembali melihat wajah Mas Haikal, tapi bagaimana lagi.

 

Dua puluh menit aku tiba di rumah, mobil sengaja parkir di luar gerbang, di luar dugaan ternyata Neneng dan ibu mertua sedang berdiri di hadapan pintu, memencet bel beberapa kali.

 

"Ehmmm."

 

Mereka terperanjat mendengar suara dehemanku.

 

"Ngapain ke sini?" tanyaku sedikit angkuh, wanita yang mengenakan dress di atas lutut berwarna merah terang dipadukan dengan warna lipstik yang senada menatapku dengan remeh.

 

"Mau ketemu Aa Haikal, hari ini dia libur 'kan? rencananya sih mau mamy moon ke Bali, ya 'kan, Bu?" cetus perempuan itu, nora sekali!

 

"Honey moon kali, Neng, gimana sih kamu," ujar Ibu sambil merengut.

 

"Ohh gitu ya, aku rasa kamu harus belajar bahasa Inggris lagi, Neng, biar ga belepotan gitu," ujarku sambil terbahak, lalu membuka pintu menggunakan kunci cadangan.

 

Tanpa disuruh kedua perempuan beda generasi itu mengikuti masuk ke dalam istanaku ini, tanpa malu Neneng memanggil Mas Haikal dengan sedikit berteriak, lalu duduk di sofa mahalku seolah ia adalah nyonya di rumah ini.

 

"Bu, aku kapan dibeliin rumah besar kaya gini?" tanya Neneng disertai senyuman terpahitnya.

 

"Tunggu sebentar lagi, Haikal pasti ngasih," jawab ibu santai dan tenang, entah mengapa aku tertarik mendengar obrolan mereka.

 

"Pastinya, Neneng 'kan sebentar lagi akan melahirkan anak untuk Aa Haikal, Eneng juga pengen dibeliin mobil yang ada AC-nya atau yang atapnya bisa dibuka kaya yang di film-film itu lho, Bu," cerocosnya, membuatku ingin tergelak saat itu juga.

 

Tak berselang lama Mas Haikal turun dari lantai dua, mengenakan celana pendek dan kaos rumahan.

 

"Aa ...."

 

Neneng berteriak sambil berlari menghampiri Mas Haikal. Namun, tanpa diduga ia terpeleset dan terjatuh di atas lantai.

 

"Aduuhh sakiiit!" teriak Neneng sambil mengelus-elus b0k0ngnya, seketika ibu panik dan membantu Neneng untuk berdiri.

 

"Ibu bilang jangan pake sepatu yang tinggi begini nanti jatuh, bener 'kan jadinya!" ibu terlihat kesal.

 

"Aduuh sakiit ... ya itung-itung belajar, Bu, Neneng 'kan istri bos masa iya harus pake sendal teplek terus dan kalah sama Teh Mutia, lihat tuh sepatunya bahkan lebih tinggi dari Eneng."

 

Dasar Nora! umpatku dalam hati.

 

"Sayang, kamu balik lagi, ada yang ketinggalan?" tanya Mas Haikal mesra, seketika Neneng membulatkan mata sambil memegang dada.

 

"Cukup, Aa! Jangan mesra-mesraan di hadapan Eneng!" teriak wanita itu mengalihkan perhatian Mas Haikal.

 

"Apaan sih kamu, dia ini istriku!" timpal Mas Haikal ketus.

 

"Eneng ke sini mau nagih janji sama Aa, katanya setelah nikah akan bawa Eneng mamy moon ke Bali, bukannya siap-siap Aa malah pergi pagi-pagi," ujarnya sambil memonyongkan bibir lima senti.

 

"Honey moon, Neneng!" sela ibu sambil geleng-geleng kepala.

 

"Ga jadi! Aa ga punya duit!" jawab Mas Haikal ketus, seketika Neneng menganga, lalu mendelik saat melihat bibirku tersenyum mengejek.

 

"Aa ini 'kan bos, punya pabrik yang besar masa ga punya duit," sela Neneng sambil menatap ibu heran.

 

Mas Haikal menghela napas sebelum memulai kata.

 

"Maaf, Neng, pabrik itu bukan milikku tapi milik Mutia, aku hanya karyawan di situ, pemiliknya tetap Mutia karena dana untuk membangun pabrik itu berasal darinya."

 

Mata Neneng semakin membulat hampir keluar dari tempatnya, ia menggelengkan kepala tak menerima apa yang diucapkan suaminya.

 

"Sekarang Aa nganggur, karena sesuai kesepakatan kalau aku nikahi kamu maka, aku bukan lagi bagian dari pabrik itu," ucap Mas Haikal datar, ia tak peduli pada istri keduanya yang sedang sesak napas.

 

"Apa?! Jadi Eneng nikah sama lelaki pengangguran?" Napas Neneng tersengal-senggal, tak lama kemudian tubuhnya ambruk tak sadarkan diri.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status