Bab 26: Romansa Potong Gaji
Aku sudah berdiri dengan kedua kakiku yang tak teguh. Tetapi, hati dan seluruh jiwaku tetap saja duduk di kursi yang baru empat langkah aku tinggalkan. Aku balikkan badan lagi, dan pelan-pelan kembali mendekat ke meja bagian keuangan.
“Ada apa lagi?” Staf keuangan mengangkat wajah.
Satu orang lain di meja sebelah, yaitu Ibu Dewi, yang sedang taktik-taktik mengetiki sesuatu di komputernya sampai melirik dan lantas menolehku.
“Ibu Joyce-nya ada, Bu?” tanyaku ragu.
“Ya, iyalah, ada. Kalau tidak ada, masak saya suruh kamu ke ruangannya.” &n
Bab 27:Panggil Aku Beibeh“Kesalahan kamu adalah..,”Aku diam, dan menunggu. Satu detik, dua detik, beberapa detik..., Ibu Joyce kemudian membuang pandangannya ke arah samping. Aku melirik mengikuti arah pandangannya. Di samping situ, ada sebuah lemari kaca dengan beberapa buku yang tersusun, file-file dokumen dan beberapa karya handycraft. Satu yang menarik perhatianku cuma satu. Yaitu, sebuah miniatur kapal phinisi yang terletak di dalam sebuah botol. “Tatap lawan bicara kamu, Joyce,” kataku dalam hati. “Tatap wajahku, dan lihatlah betapa mempesonanya aku dengan susuk pemikat yang ada di diriku. Tatap mataku, kamu akan terpikat. Tatap mataku, kamu akan..,”“Karena kamu telah membuat saya marah,” kata Ibu Joyce kemudian, masih tetap
Bab 28:Novel JadulSetelah Yana pergi, aku kembali melamun di teras belakang gedung ini. Entah mengapa, pikiranku masih belum bisa lepas dari bayangan Ibu Joyce. Sumpah mati, tindak-tanduknya itu membuat aku penasaran sekali.Aku sehat, aku normal, dan aku waras. Telingaku juga tidak tersumbat oleh kotoran apa pun. Di ruangannya tadi aku memang mendengar dia bilang “kangen”. Jelas, jelas sekali, sama jelas dengan ketika dia bilang “benci”.Ibu Joyce membenci aku karena kangen padaku? Benci karena kangen? Ganjil sekali. Apakah iya memang ada perasaan semacam itu di dunia ini? Ibu Joyce dengan segala sikapnya sejak awal bertemu dulu, benar-benar very unpredictable! Tentang olah raga bola voli,
Bab 29:Malamnya Para Kawula Muda “Kenapa dengan Lo Rena?”“Dia, dia.., ternyata dia..,” Tiiin..! Tiiin..! Tiiiin..!Aku terkejut setengah mati. Lampu merah ternyata telah berganti hijau, dan ratusan kendaraan di sekitarku, khususnya yang terhalangi oleh sepedaku serentak membunyikan klakson mereka.“Lex, Lex! Nanti dulu ya! Kita sambung lagi nanti!”“Joko! Ternyata Lo Rena itu…, uaaa, iuuu..,”Aku tak sempat mendengar lanjutan kata-kata Alex,
Bab 30:Catatan Hati Seorang Ningsih “Aku suka kamu, Mas. Sungguh, aku suka kamu. Sejak dulu, sejak aku masih duduk di kelas satu SMA, sejak pertama kali aku melihat kamu di pasar, sejak pertama kali aku melihatmu mengantarkan Ayu Dyah adik kamu ke sekolah, dan sejak pertama kali aku melihatmu di suatu pertandingan voli.”“Jujur, aku tidak suka bola voli, Mas. Tapi, kamu pasti tidak tahu pada satu hal yang ini, bahwa di mana pun ada pertandingan atau turnamen voli aku selalu menonton, dengan harapan aku bisa melihat kamu.”“Aku suka melihat kamu ketika memukul bola dan mengumpulkan poin demi poin bersama rekan satu timmu. Aku suka melihat kamu ketika melakukan passing, melakukan jump serve dan melakukan smash.
Bab 31:Seperti Mau ke Pantai Hingga kemudian, aku menunduk untuk melihat pada cover novel yang tengah tertelungkup di atas dada Ningsih itu. Aku membaca judulnya, yaitu..,Aaakh..! Pada saat itulah aku terbangun karena gigitan seekor nyamuk. Sayang, sayang sekali aku tidak sempat membaca judul novel di dalam mimpiku tadi. Rasanya ada yang mengganjal, membuat penasaran, seperti menonton sinetron namun di tengah adegan yang genting malah mati lampu.Aku menghirup nafas sekali lagi, dan sekali lagi aku mereguk air putih dari botol minum sampai benar-benar tandas. Sungguh, aku merasa sangat penasaran dengan mimpiku barusan. Terlebih lagi pada judul novel yang dibaca Ningsih di dalam mimpi. Aku kemudian berpikir, mungkin aku bisa melanjutkan mimpiku dengan kembali t
Bab 32:Di Jalan Yang Benar Alex, sahabat karibku sejak SMP ini memang unik. Dia orang dengan tipe easy going, optimis, dan gentleman terhadap nasibnya sendiri. Maksudku, ikhlas dan berlapang dada menerima hidupnya. Aku sudah bilang rambutnya sedikit keriting? Aku bilang “sedikit” sebenarnya untuk menghaluskan saja. Karena faktanya rambut dia lebih keriting dari sekadar keriting. Oh, sudahlah, aku tidak ingin melanjutkan ke pembahasan soal kulitnya yang “sedikit” gelap.Ups, maaf. Karena sungguh, kata “keriting” yang aku maksud di atas tanpa ada maksud untuk memaknainya dalam pengertian yang buruk. Karena, dalam sudut pandang yang lain itu bisa berarti style, atau gaya, dan berapa banyak orang yang berambut lurus namun sengaja menggulungnya supaya menjadi keriting. Bahkan ta
Bab 33:Kena Mental Aku harus menceritakan terlebih dulu perihal rumah Alex di Selat Panjang sana. Begini, bentuk dan ukurannya tidak jauh berbeda dengan rumah orangtuaku sendiri. Hanya saja, letaknya lebih jauh dari pusat kota kecamatan dan sudah berada di kawasan pedesaan.Rumah Alex merupakan bangunan semi permanen, dengan susunan batu bata tanpa plaster di bagian bawahnya dan susunan papan di bagian atasnya. Daun jendelanya juga terbuat dari papan. Atapnya terbuat dari seng, berwarna coklat dan karatan. Lantainya hanya acian semen. Tanpa plafon dan tanpa dekorasi arsitektur yang macam-macam. Jika pun ada sesuatu yang dapat dikatakan “plus”, adalah kandang sapi di belakang rumahnya itu.Singkat cerita, rumah Alex itu memang sederhana sekali. Maka sekarang, iya, sekarang ini, ketika dia berdiri di hadapan sebuah rumah mew
Bab 34:Akal Bulus “Halo?” sapaku, yang segera disambut oleh sebuah suara dari seberang sana.“Halo? Bu Kemas?”Aku langsung mengernyitkan kening. Mencari Ibu Kemas, tetapi aku yang ditelepon? Ah, siapa pula ini? Batinku. Jangan-jangan, ini adalah telemarketer, bermaksud menawari aku asuransi atau pinjaman kredit macam-macam. “Maaf, saya bukan Bu Kemas,” sahutku datar.“Jadi, ini siapa?”Beberapa detik aku mencoba mengenali suara orang dari seberang telepon sana. Aku tidak pernah mendengar warna suara yang sengau seperti sedang pilek ini. Entah mengapa, sejak aku diburon oleh Pak Sadeli, aku selalu was-was jika ada orang asing yang menelepon aku.“Nah, kamu sendiri siapa? Kok bisa menelepon saya? Kok tahu nomor saya?”“Hemm, ini, kamu.., kamu Joko, kan?”Lho? Kok, di