Bab 28: Novel Jadul
Setelah Yana pergi, aku kembali melamun di teras belakang gedung ini. Entah mengapa, pikiranku masih belum bisa lepas dari bayangan Ibu Joyce. Sumpah mati, tindak-tanduknya itu membuat aku penasaran sekali.
Aku sehat, aku normal, dan aku waras. Telingaku juga tidak tersumbat oleh kotoran apa pun. Di ruangannya tadi aku memang mendengar dia bilang “kangen”. Jelas, jelas sekali, sama jelas dengan ketika dia bilang “benci”.
Ibu Joyce membenci aku karena kangen padaku? Benci karena kangen? Ganjil sekali. Apakah iya memang ada perasaan semacam itu di dunia ini? Ibu Joyce dengan segala sikapnya sejak awal bertemu dulu, benar-benar very unpredictable!
Tentang olah raga bola voli,
Bab 29:Malamnya Para Kawula Muda “Kenapa dengan Lo Rena?”“Dia, dia.., ternyata dia..,” Tiiin..! Tiiin..! Tiiiin..!Aku terkejut setengah mati. Lampu merah ternyata telah berganti hijau, dan ratusan kendaraan di sekitarku, khususnya yang terhalangi oleh sepedaku serentak membunyikan klakson mereka.“Lex, Lex! Nanti dulu ya! Kita sambung lagi nanti!”“Joko! Ternyata Lo Rena itu…, uaaa, iuuu..,”Aku tak sempat mendengar lanjutan kata-kata Alex,
Bab 30:Catatan Hati Seorang Ningsih “Aku suka kamu, Mas. Sungguh, aku suka kamu. Sejak dulu, sejak aku masih duduk di kelas satu SMA, sejak pertama kali aku melihat kamu di pasar, sejak pertama kali aku melihatmu mengantarkan Ayu Dyah adik kamu ke sekolah, dan sejak pertama kali aku melihatmu di suatu pertandingan voli.”“Jujur, aku tidak suka bola voli, Mas. Tapi, kamu pasti tidak tahu pada satu hal yang ini, bahwa di mana pun ada pertandingan atau turnamen voli aku selalu menonton, dengan harapan aku bisa melihat kamu.”“Aku suka melihat kamu ketika memukul bola dan mengumpulkan poin demi poin bersama rekan satu timmu. Aku suka melihat kamu ketika melakukan passing, melakukan jump serve dan melakukan smash.
Bab 31:Seperti Mau ke Pantai Hingga kemudian, aku menunduk untuk melihat pada cover novel yang tengah tertelungkup di atas dada Ningsih itu. Aku membaca judulnya, yaitu..,Aaakh..! Pada saat itulah aku terbangun karena gigitan seekor nyamuk. Sayang, sayang sekali aku tidak sempat membaca judul novel di dalam mimpiku tadi. Rasanya ada yang mengganjal, membuat penasaran, seperti menonton sinetron namun di tengah adegan yang genting malah mati lampu.Aku menghirup nafas sekali lagi, dan sekali lagi aku mereguk air putih dari botol minum sampai benar-benar tandas. Sungguh, aku merasa sangat penasaran dengan mimpiku barusan. Terlebih lagi pada judul novel yang dibaca Ningsih di dalam mimpi. Aku kemudian berpikir, mungkin aku bisa melanjutkan mimpiku dengan kembali t
Bab 32:Di Jalan Yang Benar Alex, sahabat karibku sejak SMP ini memang unik. Dia orang dengan tipe easy going, optimis, dan gentleman terhadap nasibnya sendiri. Maksudku, ikhlas dan berlapang dada menerima hidupnya. Aku sudah bilang rambutnya sedikit keriting? Aku bilang “sedikit” sebenarnya untuk menghaluskan saja. Karena faktanya rambut dia lebih keriting dari sekadar keriting. Oh, sudahlah, aku tidak ingin melanjutkan ke pembahasan soal kulitnya yang “sedikit” gelap.Ups, maaf. Karena sungguh, kata “keriting” yang aku maksud di atas tanpa ada maksud untuk memaknainya dalam pengertian yang buruk. Karena, dalam sudut pandang yang lain itu bisa berarti style, atau gaya, dan berapa banyak orang yang berambut lurus namun sengaja menggulungnya supaya menjadi keriting. Bahkan ta
Bab 33:Kena Mental Aku harus menceritakan terlebih dulu perihal rumah Alex di Selat Panjang sana. Begini, bentuk dan ukurannya tidak jauh berbeda dengan rumah orangtuaku sendiri. Hanya saja, letaknya lebih jauh dari pusat kota kecamatan dan sudah berada di kawasan pedesaan.Rumah Alex merupakan bangunan semi permanen, dengan susunan batu bata tanpa plaster di bagian bawahnya dan susunan papan di bagian atasnya. Daun jendelanya juga terbuat dari papan. Atapnya terbuat dari seng, berwarna coklat dan karatan. Lantainya hanya acian semen. Tanpa plafon dan tanpa dekorasi arsitektur yang macam-macam. Jika pun ada sesuatu yang dapat dikatakan “plus”, adalah kandang sapi di belakang rumahnya itu.Singkat cerita, rumah Alex itu memang sederhana sekali. Maka sekarang, iya, sekarang ini, ketika dia berdiri di hadapan sebuah rumah mew
Bab 34:Akal Bulus “Halo?” sapaku, yang segera disambut oleh sebuah suara dari seberang sana.“Halo? Bu Kemas?”Aku langsung mengernyitkan kening. Mencari Ibu Kemas, tetapi aku yang ditelepon? Ah, siapa pula ini? Batinku. Jangan-jangan, ini adalah telemarketer, bermaksud menawari aku asuransi atau pinjaman kredit macam-macam. “Maaf, saya bukan Bu Kemas,” sahutku datar.“Jadi, ini siapa?”Beberapa detik aku mencoba mengenali suara orang dari seberang telepon sana. Aku tidak pernah mendengar warna suara yang sengau seperti sedang pilek ini. Entah mengapa, sejak aku diburon oleh Pak Sadeli, aku selalu was-was jika ada orang asing yang menelepon aku.“Nah, kamu sendiri siapa? Kok bisa menelepon saya? Kok tahu nomor saya?”“Hemm, ini, kamu.., kamu Joko, kan?”Lho? Kok, di
Bab 35:Minuman Kaleng Joyce Angelique meletakkan ponselnya di atas meja, lalu menutupi wajahnya yang memerah dengan kedua telapak tangan. Beberapa saat ia terus menunduk dengan wajah yang tertutup itu. Bibirnya tersenyum-senyum karena geli. Isi benaknya juga masih semarak dengan suara-suara percakapan antara dirinya dengan Joko barusan tadi.Ada rasa malu di dalam hati sang manajer ini, malu dari jenis yang menyenangkan. Itu pula yang membuat ia kemudian tertawa di dalam ruang kantornya.“Joko.., Joko.., kurang ajar kamu, ya? Kok bisa sih aku kangen sama kamu? Hah?”“Nomor telepon Bu Kemas memang aktif kok, tapi aku sengaja menelepon kamu dan berpura-pura. Akting-akting sedi
Bab 36:Kisah Si Calon Bidan “Aku ingin memberi tahu kamu, Mas Joko, dan terserah kamu apakah kamu peduli dengan apa yang aku katakan ini atau tidak. Aku bersyukur, karena aktifitasku sebagai mahasiswi di akademi kebidanan ini sudah mulai bisa aku jalani dengan sepenuh hati.”“Meskipun, pada awalnya, akademi kebidanan merupakan pilihan keduaku dalam meneruskan pendidikan, namun sepertinya ini sudah tepat. Tepat untuk kehidupanku di masa yang akan datang, dan tepat pula dengan cita-cita aku waktu masih kecil dulu.”“Bidan, abdi masyarakat yang bertugas melayani orang di bidang kesehatan, khususnya yang terkait dengan perempuan, keren bukan? Aku bahkan sudah bisa membayangkan diriku yang di suatu saat nanti akan membantu persalinan seorang perempuan. Menolong Si calon ibu ketika melahirkan, dan juga menolong Si jabang bayi untuk keluar dan menyambut kehidupannya di dunia i