Sebuah rumah yang sangat berbeda dibanding rumah lainnya itu, terlihat lebih terang dari biasanya. Yang biasanya hanya ada satu dua lampu saja, kini hampir semua lampunya menyala. Membuat rumah yang sering dijuluki sebagai rumah hantu itu, tampak megah.
Sena menyipitkan mata demi melihat seorang laki-laki yang berdiri di balkon lantai paling atas. Rumah itu memiliki empat lantai dan kabarnya di dalam pun ada lift-nya. Jadi, tidak heran jika dari posisi Sena saat ini, dia tidak bisa melihat lebih jelas. Apalagi dengan mata minus Sena.
“Kata Maura rumah ini kosong,” gumam Sena. Dia tidak tinggal di wilayah ini, tapi cerita tentang rumah hantu super megah ini cukup ramai dibicarakan orang-orang. Kabarnya rumah ini sudah lama tidak ditinggali lagi. Walau selalu ada orang-orang yang datang untuk membersihkan rumah ini, tapi karena bentuknya yang lebih mirip istana tak berpenghuni, anak-anak lebih suka menyebutnya sebagai rumah hantu.
Sena mengambil kacamata demi bisa melihat lebih jelas. Hal yang sebenarnya tidak penting karena dia hanya kebetulan saja lewat di sana. Tidak penting juga, siapa laki-laki yang berdiri di sana. Hanya saja, Sena cukup penasaran, siapa sebenarnya pemilik rumah megah ini? Kenapa pula membangun rumah semegah ini di lingkungan yang bisa dibilang mayoritas masyarakatnya menengah ke bawah.
Bisa dibilang, tidak ada yang tahu siapa pemilik rumah itu. Orang-orang yang bekerja di sana seperti sudah mendapat perjanjian agar tidak ada yang berbicara. Semua yang mereka lihat di dalam pun, kabarnya tidak boleh sampai keluar. Jika ada yang berani melanggar, hukumannya tidak akan main-main.
“Hidup orang kaya memang kadang membingungkan dan sok misterius.” Baru saja mulutnya menutup, tubuh Sena tersentak saat menyadari laki-laki yang sedang dia intai, rupanya juga menatap ke arahnya.
“Ketahuan!” seru Sena seraya berjalan dengan cepat. Jangan sampai orang-orang bertubuh besar yang berjaga di depan pintu juga tahu kalau Sena sedang mengintai.
***
Memang dasar Sena. Sudah tahu kemarin ketahuan sedang mengintai, sekarang dia justru kembali berjalan di depan rumah itu. Padahal ada jalan lain menuju rumah Maura. Jalan yang tentunya lebih ramai. Pasalnya rumah megah itu panjangnya sudah seperti panjang lima rumah dan di depannya hanya ada kebun. Katanya kebun itu juga dimiliki oleh orang yang sama.
Sena berdehem saat melewati pintu gerbang. Sama seperti semalam, pintu itu dijaga oleh orang-orang bertubuh besar. Ingin rasanya Sena melirik ke dalam melalui gerbang, tapi melihat tubuh orang-orang itu, Sena tidak berani. Pandangannya tetap lurus ke depan. Baru setelah melewati pintu gerbang, dia menoleh ke kamar di lantai paling atas.
Tidak ada siapapun di sana. Jendelanya pun tampak tertutup rapat. Namun, saat pandangan Sena semakin ke atas, barulah Sena melihat seorang laki-laki yang duduk di atap. Laki-laki itu tersenyum ke arah Sena, sadar jika Sena sedang menatapnya.
Semalam Sena tidak bisa melihat dengan jelas wajah laki-laki itu, tapi sekarang dengan bantuan kacamata dan cahaya matahari yang mulai bergerak ke barat, Sena bisa melihat wajah rupawan laki-laki itu.
Laki-laki itu tampak mengambil sesuatu, sedang Sena masih terpaku di tempatnya. Barulah saat dia menyadari apa yang diambil oleh laki-laki itu, semuanya sudah terlambat. Laki-laki itu sudah memotret dirinya. Dengan jarak mereka yang cukup jauh, kemungkinan laki-laki itu tidak bisa memotret wajah Sena dengan jelas. Namun! Teknologi zaman sekarang sudah menggila. Orang yang bisa membangun sebuah istana, tentu bisa memiliki camera super yang bisa menangkap jarak yang cukup jauh.
Sena kelabakan. Tidak tahu apa maksud laki-laki itu memotretnya, yang jelas Sena sudah melakukan kesalahan besar. Terlebih saat melihat laki-laki itu melambai ke arah Sena.
Agaknya sikap laki-laki itu menarik perhatian pengawalnya. Laki-laki berbadan besar yang berjaga di depan gerbang, sempat heran melihat tuannya sebelum akhirnya melihat Sena yang membeku di tempat. Memang bodoh gadis yang satu ini. Bukannya lari, dia justru mematung di tempat. Barulah saat tiga laki-laki berbadan besar berjalan ke arahnya, Sena mulai melangkahkan kakinya menjauh dengan gerakan secepat yang dia bisa.
Sena tidak tahu apakah pria-pria itu mengikutinya. Yang jelas, dia terus berlari dan berlari sampai menemukan orang. Napasnya terengah-engah saat dia tiba di depan rumah Maura. Rumah mungil bercat kuning dengan pagar setinggi satu meter yang terbuat dari kayu.
Sena terbatuk. Dia membuka gerbang rumah Maura sambil menepuk pelan dadanya. Dia tidak perlu repot-repot mengetuk pintu karena si pemilik rumah sudah keluar lebih dulu.
“Habis maraton?” tanya Maura asal. Dahinya mengerut saat melihat sahabatnya duduk berselonjor di lantai. “Atau habis dikejar maling?”
Sena mengibas-ngibaskan tangannya, tanda jika dia belum bisa menjawab. Untung di depan rumah Maura ada pohon mangga, jadi masih ada semilir angin.
“Buat apa maling ngejar aku, heh? Yang ada, aku yang ngejar maling,” kata Sena akhirnya. Dia membiarkan punggunya merasakan sejuknya dinding rumah Maura.
Maura terkikik geli.
“Syukur kalau gitu, berarti masih bisa mikir.” Maura bergabung dengan Sena. Dia mulai membuka laptop yang sejak tadi tergeletak di atas meja. “Habis apa, sih? Kenapa sampe ngos-ngosan gitu?”
“Habis lihat penampakan.”
“Hah?”
“Di rumah hantu.”
“Hah?”
Maura mengerutkan keningnya.
“Badannya besar-besar.”
“Ngomong apa, sih?”
Maura gemas sendiri dengan temannya. Datang dengan napas tersengal-sengal dan sekarang omongannya tidak jelas.
“Di rumah hantu yang pernah kamu ceritain itu.”
Masih tidak paham, dahi Maura mengerut dalam.
“Kesambet, ya?” tanya Maura asal. Dia geleng-geleng melihat teman baiknya. Tidak heran sih, Sena memang kadang tidak jelas seperti itu.
“Belum. Makanya aku lari.”
Maura menepuk dahi. Kenapa obrolannya dengan Sena semakin tidak jelas.
“Nggak tau, ah! Omongan kamu nggak jelas.”
“Bawain aku minum dulu. Nanti aku ceritain.”
“Ambil sendiri.”
Tidak protes, Sena mengangkat tubuhnya dan berjalan memasuki rumah Maura seperti rumahnya sendiri. Bersahabat dengan Maura sejak awal kuliah membuat dia sudah terbiasa menghabiskan waktu di rumah Maura. Kedua orangtua Maura juga sudah hapal kebiasaan-kebiasaan Sena. Salah satunya minum air putih di tengah malam.
Dulu, saat baru awal-awal menginap di rumah Maura, ibu Maura sampai berpikir Sena itu hantu, saat melihat ada yang berjalan di dapur dengan rambut acak-acakkan. Untung saja ibu Maura tipe orang yang lebih suka merapalkan doa daripada berteriak. Dan untung saja, Sena berbalik saat mendengar langkah kaki ibu Maura.
Kembali ke masa sekarang, Sena kembali ke teras dengan satu botol air mineral dingin dengan dua gelas. Salah satu gelas yang baru Sena isi dengan air, langsung dia tandaskan. Dia kembali menuang air dingin, tapi kali ini hanya setengahnya.
“Jadi, habis dikejar setan?”
Sena mengangguk polos.
“Setannya besar?”
Sena kembali mengangguk.
“Tadi pagi sudah minum obat?”
Dan Sena sadar, temannya sedang mencandainya. Padahal Sena menjawab dengan jujur.
“Aku nggak bohong. Rumah hantu itu sekarang ada penghuninya. Yang jaga di depan gerbang, tubuhnya besar-besar. Ada kali lima orang. Trus ada cowok. Pas malem-malem aku lihat, dia di balkon kamar paling atas, tapi tadi dia duduk di atap. Trus, dia malah moto aku!”
“Ah, setannya punya kamera?”
“Iya!” jawab Sena menggebu, tapi kemudian dia kembali menyadari kebodohannya. “Sial! Nggak percaya, ya?”
“Percaya.” Tapi, wajah Maura menunjukkan sebaliknya. Dia menanggapi ucapan Sena saja seperti formalitas saja. Sama sekali tidak ada minat.
“Aku nggak bohong, Ma. Rumah itu sekarang ada penghuninya.”
“Iya, setan, kan?”
Sena menepuk dahinya. Dia menyadari kebodohannya.
“Maksudku bukan setan.”
“Terus, iblis?” tanya Maura lagi.
“Manusia!”
“Makanya kalau cerita yang jelas, dong. Tadi katanya ada penampakan. Gimana, sih?”
Sena tersenyum lebar. Dia kembali meneguk sisa air di gelasnya.
“Iya, orang. Rumah itu sekarang ada orangnya. Di gerbang, ada pengawal. Terus di depan pintu juga ada pengawalnya. Aku curiga, jangan-jangan di dalem juga masih banyak pengawalnya.”
“Itu rumah atau sarang pengawal.”
“Mana kutahu. Yang jelas, aku takut lewat sana.”
“Kenapa? Sama orang masa takut.” Maura kembali geleng-geleng. Tatapannya lebih sering fokus pada layar laptop ketimbang Sena yang sedang bercerita. Habis, cerita Sena tidak mutu. Tidak jelas juga.
“Cowok yang tadi aku bilang. Dia moto aku. Buat apa coba?”
“Kenapa kamu bisa tau kalo dia moto kamu? Katanya dia di atap?”
“Kan aku lihat.”
“Kamu nglihatin rumah itu?”
“Iya.”
“Ngapain?” Kali ini Maura menoleh ke arah Sena. Dahinya mengerut dalam.
“Heran aja, tiba-tiba rumah itu ada orangnya.”
“Yaelah Sena! Orang-orang nyebut rumah hantu juga bukan karena ada hantunya. Cuma asal sebut saja. Malah ada yang bilang istana hantu.”
Sena hanya mengedikkan bahu, tidak peduli. Yang jelas, dia tidak akan lewat ke sana lagi. Walau jalan lain akan memakan waktu lebih lama.
***
Sebagai orang yang kalau melakukan sesuatu serba setengah-setengah, kesukaan Sena pun serba setengah-setengah. Dia suka berkumpul dengan teman-temannya, tapi dia juga suka menghabiskan waktu seorang diri selama berjam-jam. Dengan ditemani laptop, kopi, dan beberapa cemilan, Sena mampu berdiam diri di sudut café selama berjam-jam.Sama seperti hari ini. Akhir pekan selalu menjadi hari yang terbaik. Sejak pukul sepuluh pagi, Sena sudah duduk manis di HOC Café Peleburan. Padahal café ini baru buka pukul sembilan pagi. Bisa dibilang, Sena adalah pengunjung awal sekaligus pelanggan tetap café ini. Beberapa karyawan di sana bahkan mengenal Sena dengan baik. Mungkin karena keberadaan Sena terlalu mencolok. Sendiri dan berjam-jam.Tempat yang menjadi pilihan Sena kali ini adalah di dekat coffee corner. Di sampingnya ada sebuah televisi jadul dan rak berisi VCD. Bukan salah satu tempat favorit memang. Dia hanya asal duduk saja. Yang penting nyaman da
“Nggak usah dibayar. Anggep aja kamu habis dapat rejeki. Nggak bersyukur namanya kalau nolak rejeki.” Maura kembali sok bijak. Memang menolak rejeki bukan tindakan yang baik. Masalahnya kasus Sena tidak seperti itu. Dia ditraktir orang tidak kenal. Bagaimana mungkin Sena bisa tenang.“Rejeki sih, rejeki. Masalahnya kamu nggak tau orangnya kayak gimana.”“Emang orangnya kayak gimana? Eh, kita lewat depan rumahnya aja, ya? Siapa tau orangnya ada di luar. Penasaran aku, pengin tau orangnya kayak gimana.”Sena tidak langsung menjawab. Dia sedang menimbang, haruskan dia masuk ke rumah itu dan mencari Quin untuk mengembalikan uang laki-laki itu atau dia titipkan saja pada pengawal di gerbang rumah Quin?“Ayo,” ajak Maura setelah memasukan semua bukunya. Untuk Maura yang otaknya lebih encer dibanding Sena, kuliah kali ini cukup menguras energi. Apalagi untuk Sena? Otaknya sudah panas dingin. Geometri transformasi s
Quin melirik arloji di pergelangan tangannya. Pukul empat sore. Artinya dia sudah ada di atap selama satu jam. Duduk dengan kaki berayun pada dinding pembatas atap. Hal yang sebenarnya berbahaya, tapi tidak ada yang berani melawan Quin. Padahal pengawal yang melihatnya dari bawah, selalu menahan napas setiap kali melihat Quin mengganti posisi duduknya. Takut bos muda mereka jatuh dari atap karena nyawa mereka pun dipastikan akan ikut melayang. Bukan tanpa alasan Quin duduk di sana. Biasanya memang Quin hanya iseng saja, mengamati orang-orang yang berlalu lalang. Namun, kali ini berbeda. Dia sedang menunggu Sena. Sayang, yang ditunggu sudah dua hari ini tak terlihat batang hidungnya. “Kalau gadis itu datang, segera hubungi aku!” pesan Quin sehari setelah dia membuat Sena ketakutan. Sayangnya, belum ada kabar dari Sena. Quin hanya sering melihat Maura dan dia tidak tertarik dengan Maura. “Kenapa nggak datang lagi?” gumam Quin. Dia meregangkan lengannya ke atas,
Menghirup udara pagi ketika segala beban telah berlalu ternyata menyegarkan. Tidak ada tugas. Tidak ada ujian. Yang menantinya hanya liburan! Oh, indahnya menjadi mahasiswi. Setelah disibukan dengan tugas dan ujian, satu bulan lebih ujian telah menanti. Pulang kampung rasanya terdengar begitu merdu di telinga Sena. “Packing, ke rumah Maura ambil oleh-oleh, dan ke stasiun! Oh, indahnya,” gumam Sena yang masih bergulat di balik selimut. Tetangga sebelah kamarnya sudah pulang sejak kemarin. Sena sengaja menunda kepulangannya satu hari karena ibu Maura yang minta. Katanya ibu Maura hendak menyiapkan sesuatu untuk orangtua Maura. Seperti kata Maura, rejeki tidak boleh ditolak. Tidak masalah kalau harus menunda pulang satu hari. Yang penting tidak menyakiti hati ibu Maura. Sena menutup mulutnya yang sedang menguap. Di raihnya ponsel yang sejak tadi tidak ada bunyinya. Entah sejak kapan, tapi Quin sudah tidak menerornya dengan pesan dan panggilan telepon lagi. “Kaya
Andai ada alat yang bisa memutar waktu. Andai Sena memiliki teman seperti Doraemon, yang bisa memunculkan barang apa saja dari kantong ajaibnya. Andai Sena tidak gegabah, dengan masuk ke rumah Quin tanpa izin. Andai … andai … dan andai. Segala pengandaian kini berputar di pikiran Sena, dengan tubuh yang lemas dan tak mampu berlari. Sena tahu, dia pasti akan mendapat masalah. Yang dia lihat saat ini jelas bukan sesuatu yang sepatutnya dia lihat. Di depannya, ada puluhan laki-laki berjas hitam dengan otot yang rasanya ingin meledak keluar dari lengan jas. Lalu, ada pula Quin yang tampak seperti orang kesetanan dan seorang laki-laki tak berdaya yang kini tubuhnya dipenuhi darah segar. Apa yang Quin lakukan? Bagaimana mungkin orang-orang membiarkan Quin memukuli orang hingga sekarat seperti itu? Wajah orang itu bahkan sudah tak terlihat bentuknya karena tertutup dengan darah dan bekas pukulan. Sena yang pada dasarnya tidak bisa melihat darah, seketika merasa mual dan lem
Dengan lembut Quin membersihkan darah di pipi Sena dengan tisu basah. Itu bukan darah Sena. Itu adalah darah dari pria yang Quin pukuli. Darah itu ikut menempel saat Quin menampar Sena. Sebuah tamparan hasil dari luapan emosi Quin karena Sena yang dia pikir terlalu usil. “Pasti sakit,” gumam Quin. Dia membelai puncak kepala Sena. “Ini akibat karena kamu terlalu usil. Kamu harus diberi hukuman berat, Sena. Aku sebenarnya nggak mau nampar kamu, tapi kamu sudah melewati batas.” Quin masih tidak habis pikir, gadis yang ada di hadapannya, berani masuk ke rumahnya tanpa izin. Terutama saat Quin tahu alasan kedatangan Sena. Memang terkadang datang di tempat yang salah di waktu yang tidak tepat, bisa berakibat fatal. Seperti yang akan Sena terima. Anak buah Quin bukannya tidak tahu jika ada layang-layang yang bertamu di rumah itu. Mereka hanya mengabaikannya. Hal seperti itu sudah sering terjadi, mengingat rumah Quin yang sangat besar. Hanya saja, ada hal penting yan
Sena menjerit sejadi-jadinya hingga membuat Quin menjauh sambil menutup telinga. Sungguh, teriakan Sena sangat memekakkan telingat. Umumnya Quin akan marah karena ada orang yang berani meneriakinya, tapi dia justru tertawa. Tawa yang terlihat menakutkan bagi Sena. Sena beringsut menjauh hingga berada di ujung kasur. Tubuhnya bersandar pada dinding dengan lengan memeluk kakinya yang terlipat. Sorot matanya tak pernah lepas dari Quin, berjaga-jaga agar laki-laki itu tidak melakukan hal yang membahayakan hidup Sena. Masih ingat dengan jelas di otak Sena, bagaimana menakutkannya Quin saat memukuli orang yang bahkan sudah tak berdaya. Lalu, Quin juga tanpa ragu menamparnya. Sebuah tamparan yang baru pertama kali Sena rasakan. Tamparan yang juga menghapus semua harapannya pada Quin, harapan bahwa Quin tidak mungkin memukul wanita. Memang benar apa kata ibu, bahwa tidak seharusnya kita berharap pada seseorang. Berharap pada seseorang hanya akan memberi kita kekecewa
Sena mendudukkan dirinya di lantai. Tubuhnya kembali terasa lemah. Pikirannya kosong, tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi. Apa dia sekarang benar-benar tidak bisa keluar dari rumah ini? Kenapa? Kenapa dia harus tidak bisa keluar dari rumah ini? Memang apa yang terjadi dan apa kesalahannya terlalu fatal hingga Quin mengurungnya? Ah, apa karena Quin takut Sena akan lapor pada orang-orang bahwa Quin adalah anak Calon Presiden Wigar? Atau karena Sena melihat Quin memukuli orang hingga hampir meninggal? Entah sekarang orang itu sudah benar-benar meninggal atau justru mendapat pertolongan segera? Tidak peduli! Sena tidak mau peduli pada orang itu karena nasibnya sendiri saja masih tidak jelas. Sena menatap handle pintu. Selama beberapa saat dia cuma menatap handle itu sebelum akhirnya dia berdiri dan berusaha membuka pintu. Digedornya pintu itu dengan keras sambil berteriak minta pertolongan. Namun, sekeras apapun Sena berusaha, tidak ada tanda-tanda kalau akan