Keesokan harinya, aku bersiap menunggu Ren datang menjemput. Kemarin sore, Septian benar-benar kembali dengan beberapa makanan hangat. Dia juga ikut makan malam denganku. Saat aku tanya mengenai cokelat itu, dia hanya menjawab kalau dia mendapatkan cokelat tersebut dari pemilik kedai dan sama sekali tidak berniat untuk memakannya. Karena itu dia memberikannya padaku. Mendengar jawabannya justru membuatku tertawa. Septian sama sekali tidak ingin berkata jujur.
Sebuah ketukan pintu menyadarkan lamunanku. Aku bergegas mengintip melalui jendela, memastikan kalau orang yang mengetuk pintu adalah Ren. Dan benar, Ren berdiri di depan pintu rumahku dengan pakaian santainya.
Aku segera membuka pintu, “berangkat sekarang?”
Ren tersenyum, “tentu. Ayo.”
Aku keluar rumah, tanpa lupa mengunci pintu kemudian berjalan mensejajari Ren. Hari ini, Ren mengajakku ke sebuah bazar dengan motornya. Bazar tersebut digelar setiap tahun. Bazar yang menjual aneka jenis buku, no
Di tempat lain, seorang wanita berdiri di belakang jendela dengan sebuah senyum misterius. Dia meraih ponselnya lalu mendekatkan ke telinganya, “lanjutkan ke tahap berikutnya. Pastikan dia menyadari posisinya.”Wanita itu menyimpan ponselnya dengan sebuah seringai misterius. Sebuah derap langkah perlahan mendekat pada wanita itu. Dia menatap wanita di depannya dengan tatapan sedih.“Apa yang akan kamu lakukan, Riska? Tidak bisakah kamu merelakannya?” laki-laki itu enggan untuk lebih dekat lagi. Dia berdiri dengan jarak beberapa meter.Wanita bernama Riska tersebut menoleh, menatap laki-laki yang berdiri di belakangnya, “tidak, Kak Henry. Aku akan menghancurkan siapapun yang mendekati calon suami masa depanku.”“Carissa sama sekali tidak ada hubungannya dengan Septian. Jika kamu ingin mendapatkan Septian kenapa harus mengurusi kehidupan Carissa? Kakak tidak suka apa yang kamu lakukan saat ini,” cerca Henry, b
Di hari Senin tepat pukul 8 lebih, aku sudah dalam perjalanan menuju ke kantor Septian. Entah kenapa hari ini aku memutuskan untuk ke tempatnya. 45 menit perjalanan, akhirnya aku sampai di tempat parkir perusahaan megah milik Septian.Aku turun dari motor dan segera melangkah menuju ke meja resepsionis. Salah seorang wanita yang duduk di belakang meja, bergegas berdiri menyambutku. Dia tersenyum ramah, “ada yang bisa saya bantu?”“Apa Septian ada?” tanyaku.“Bos sedang keluar kota, sejak dua hari yang lalu. Apa Anda sedang ada janji dengan Beliau?” wanita tersebut kembali melontarkan padaku.Aku terdiam sejenak, mendengar jawaban dari wanita di depanku. Septian bahkan tidak mengatakan apapun padaku. Aku menggeleng lantas berucap, “tidak, tidak ada janji. Kalau begitu, terima kasih.”Wanita itu tersenyum dan membiarkanku berbalik menjauh dari meja resepsionis. Aku berjalan kembali menuju parkiran. Wani
Septian berdiri di depanku dengan tas jinjing di tangannya. Dia menyerahkan tas yang dibawanya padaku, “ini untukmu.”Dengan penuh keraguan, aku menerima tas tersebut dan melihat apa yang ada di dalamnya. Sebuah vas bunga berwarna putih yang sangat cantik berada di dalam tas yang kupegang. Pandanganku beralih menatap Septian, “kenapa?”Septian mengalihkan pandangannya, sama sekali tidak ingin menatapku, “hanya oleh-oleh kecil.”Melihat reaksi Septian membuatku menyungging senyum. Terlepas dari sikap menyebalkannya, dia masih punya sikap lembut yang aku yakin sangat jarang ditunjukkan pada orang lain.Aku membuka pintu lebih lebar, “masuklah, aku akan membuatkan kopi untukmu.”Tanpa banyak berpikir, Septian melangkah masuk. Aku pun segera membuntutinya. Saat sampai di depan ruanganku, aku bergegas membuka pintu dan mempersilakan baginya untuk masuk, “tunggulah di sini. Aku akan membuat kopi. Apa
Pukul 8 pagi, aku masih sibuk di dapur menyiapkan sarapan dan disaat yang bersamaan sebuah klakson mobil di depan rumahku. Aku berpikir itu pasti Septian. Tanpa melepas apronku, aku bergegas membuka pintu dan Septian sudah berdiri di depan pintu rumah.Aku yang terkejut karenanya hanya bisa berdiam diri di ambang pintu.Septian menatapku dengan tatapan tidak suka, “kenapa masih pakai apron?”Aku tersenyum kaku, “aku baru saja selesai membuat sarapan. Kamu mau ikut sarapan?” tanyaku yang berusaha mengalihkan pembicaraan.Septian terlihat menghela napas sembari menatapku dengan tatapan yang lebih lembut, “apa yang sedang kamu masak?”“Omurice. Masuklah,” aku menyingkir dari pintu dan memersilakan baginya untuk masuk.Septian melangkah masuk sembari memerhatikan sekitar. Pintu kembali kututup lantas berjalan mensejajari langkah Septian menuju ruang makan. Septian menarik kursi lalu duduk sembari m
Hana berpikir sejenak lalu menjawab, “beliau tegas, pekerja keras. Beliau juga baik hati. Saat ibu saya masuk rumah sakit, Beliau tidak membebankan pekerjaan pada saya. Yang ada justru Tuan Septian memberikan saya cuti satu minggu untuk menemani ibu saya.”Aku sedikit tidak percaya dengan kata ‘baik hati’ yang diucapkan oleh Hana. Cukup sulit untuk membayangkan apa yang Hana ceritakan sekaligus sulit untuk membayangkan Septian dalam mode baik hati. Aku menundukkan kepala, berusaha untuk menahan tawaku. Demi menghindari sikap curiga dari Hana, aku kembali meminum minuman di tanganku.“Walaupun kadang Tuan Septian galak. Apalagi beliau selalu menatap orang lain dengan tatapan tajam dan dinginnya. Hal itu membuat semua orang takut padanya. Selama saya bekerja saya belum pernah sekalipun melihat Tuan Septian tersenyum ataupun menatap orang lain dengan tatapan yang lebih ramah,” sambung Hana.Sekali lagi aku diam, mengingat kembali
Septian yang melihatku tersungkur bergerak cepat mendekap tubuhku, “kamu baik-baik saja?” Septian meletakkan telapak tangannya ke dahiku, memeriksa suhuku, “kamu demam?”Tanganku memegang lengannya, “maaf. Kepalaku rasanya sakit.” Setelah kalimat itu terucap, kesadaranku perlahan mulai hilang dan semuanya menjadi gelap.Dengan sigap Septian mengangkat tubuhku lalu membaringkannya ke sofa. Septian mengambil ponselnya dan berniat menghubungi dokter, namun pintu ruangan lebih dulu terbuka dengan Mako dan Alan yang berdiri diambang pintu.Melihatku yang terbaring sontak membuat Mako panik. Cepat-cepat dia mendekat lalu menanyakan keadaanku pada Septian, “apa yang terjadi pada nona? Apa dia baik-baik saja?”“Tidak. Aku akan menghubungi dokter,” tindakan Septian kembali terhenti saat Alan mendekat padanya dan berkata dialah yang akan memeriksaku.Septian mengalihkan pandangannya menatap tidak pe
Kembali ke rumah sakit tempatku dirawat. Aku membuka mata setelah rasanya begitu lama aku menutup mata. Kualihkan pandanganku menatap sekitar. Ruangan ini serba putih, tanganku diinfus, dan aku berbaring di sebuah tempat tidur tidak kukenal. Aku bisa menebak kalau saat ini aku berada di salah satu ruangan di rumah sakit. Perasaan ini mengingatkanku kalau aku pernah terbaring di ranjang rumah sakit. Kuedarkan pandanganku menatap seisi ruangan dan terhenti saat melihat Alan tengah menyusun bunga ke dalam vas. “Alan?” aku bertanya dengan nada pelan. Alan menoleh padaku lalu meninggalkan vas bunga kemudian berjalan mendekati tempat tidurku, “kepalamu masih sakit?” Alan menarik kursi dan duduk di samping tempat tidurku. Aku menggeleng, “sudah lebih baik.” Alan tersenyum, “syukurlah. Untuk sementara kamu harus dirawat di sini hingga benar-benar sembuh.” Aku hanya bisa mengangguk. Alan mengambil ponselnya lalu menghubungi seseorang, “
Kuterima panggilan tersebut kemudian mendekatkan ponsel ke telingaku, “hai, Alan.”“Hai, Carissa. Bagaimana kabarmu?”Kudorong kembali troli sembari mencari sambil berbincang dengan Alan, “aku sudah baik-baik saja, Alan.”“Kuingatkan padamu, jangan asal makan atau minum sesuatu yang belum terbiasa untukmu. Oke?”Mendengar nasihat darinya justru membuatku tertawa pelan, “oke. Oke. Aku akan mengingat nasihatmu, dokter.”Terdengar kekehan dari Alan di seberang, “itu benar. Pasien harus mendengarkan ucapan dokter. Jangan sampai kelelahan. Jaga kesehatanmu.”Aku berdehem, “oke. Kamu sedang tidak bekerja?”“Ini sedang bekerja. Tugasku hanya menjadi pengawas.”Aku berhenti di depan rak yang penuh dengan bumbu dapur, memilah beberapa kemudian memasukkannya ke dalam troli, “tidak masalah, kah? Rekan-rekanmu se