Dia menautkan alisnya, menatapku dengan tatapan kesal, “apa yang aku lakukan di sini? Ini kamarku.”
Sontak aku langsung bangkit dari tidurku dan justru mengakibatkan kepalaku berdenyut cukup kuat hingga membuatku didekap oleh laki-laki di depanku. Aku segera menjauhkan diri dengan berusaha menahan pusing di kepalaku. Mataku beralih menatapnya, “bagaimana aku bisa di kamarmu? Kamu tidak melakukan sesuatu, kan?”
“Aku tidak tertarik melakukan sesuatu padamu,” jawabnya dingin, tanpa mengalihkan pandangannya dariku.
Aku menghela napas pelan. Lagipula pakaianku masih lengkap. Sejak awal pun dia lebih suka mempermainkanku karena dia keturunan laki-laki menyebalkan. Suara lembut sebelumnya mungkin hanya imajinasiku saja.
“Makanlah,” laki-laki itu menyodorkan nasi yang sudah dicampur dengan sup ayam.
Aku mengangguk dan menerima mangkuk darinya. Perlahan namun pasti, aku mulai makan. Makanan ini enak, mirip dengan masakan ibuku. Mungkinkah dia yang membuat makanan ini?
“Enak?” laki-laki itu bertanya pelan.
Aku menatapnya lalu mengangguk, “sangat mirip dengan masakan ibuku. Apakah Anda yang membuatnya sendiri, Tuan?” aku mulai mengoreksi tutur kataku karena sebelumnya aku merasa jika mengatakan aku-kamu tidak sopan untuknya yang derajatnya jauh di atasku.
Laki-laki itu berdehem, “Septian. Panggil aku Septian. Dan jangan berbicara seformal itu.”
Aku menatapnya dengan tatapan terkejut, namun aku segera mengangguk. Ruangan kembali senyap. Aku lebih memilih menikmati makanan di depanku karena rasa lapar akibat kemarin tidak menyantap makanan apapun. Sedangkan Septian masih saja menatapku. Sampai sekarang pun aku tidak bisa menebak apa yang sedang dipikirkannya.
“Maaf,” Septiap berujar pelan.
Mendengar kata itu keluar dari mulutnya membuatku seketika menatapnya dan pandangan kami pun bertemu. Aku memilih untuk diam demi menunggunya melanjutkan ucapannya.
“Maaf untuk yang kemarin. Aku tidak menawarkanmu makan siang. Aku tidak tahu jika kamu menderita anemia,” sambungnya.
Aku terdiam, mencerna kalimatnya sekaligus berpikir apa yang harus kuucapkan. Semua ini memang salahnya, tapi untuk anemia itu memang aku tidak mengatakan apapun soal itu. Beberapa saat terdiam, aku memutuskan untuk mengulas senyum, “tidak apa-apa. Aku sudah baik-baik saja.” ucapan lembut sebelumnya bukanlah mimpi. Aku pikir dia sama sekali tidak bisa berucap lembut, karena sejak awal dia selalu berucap tajam dan dingin. Sesuatu yang langka darinya.
“Apa makanannya kurang? Mau tambah?” Septian bertanya setelah mangkuk di tanganku kosong.
Aku menggeleng pelan, “tidak. Aku sudah kenyang. Terima kasih untuk makanannya.”
Septian mengambil mangkuk dari tanganku lalu menggantinya dengan segelas susu hangat. Mau tidak mau aku menerimanya dan meminumnya perlahan. Aku tidak menyangka jika dia benar-benar menyiapkan semua ini. Setelah minuman habis, Septian kembali mengambil gelas dari tanganku sebelum aku meletakkannya di atas nampan. Dia membawa nampan itu keluar dari kamar.
Aku terkagum dengan sikapnya yang berbeda 180 derajat. Kehidupannya penuh dengan misteri. Kualihkan pandanganku menatap seisi ruangan. Tidak ada yang istimewa di kamar ini. Hanya sebuah kamar laki-laki yang biasanya dengan koleksi-koleksinya. Pandanganku beralih mencari ponselku. Di atas nakas tidak ada, di dalam laci pun tidak ada.
“Mencari sesuatu?” Septian kembali muncul di balik pintu.
Aku menatapnya lalu mengangguk, “dimana ponselku?”
“Di kantormu. Mau kuambilkan?” Septian menjawab lalu duduk di tepi tempat tidur.
Aku diam. Sikapnya benar-benar jauh dari perkiraanku. Aku merasa seperti berbicara dengan orang yang berbeda dari kemarin. Cukup lama aku diam, Septian kembali membuka suara.
“Kenapa kamu menatapku seperti itu? Masih tidak percaya aku orang yang sama seperti kemarin?” tanyanya.
Aku mengangguk pelan, “bukan tidak percaya. Hanya saja ... sulit untuk dipikirkan.”
Septian berdecak kesal lalu mengambil ponselnya. Entah apa yang akan dilakukannya, dia mendekatkan ponsel ke telinganya lalu berucap, “ambilkan ponsel di kantor Kafe Coffee katakan pada karyawannya jika ini perintah dari atasannya.” Setelah itu, dia meletakkan ponselnya lalu menatapku yang senantiasa menatapnya tidak percaya.
“Kenapa kamu mau melakukannya?” tanyaku.
“Untuk membuktikan jika aku tidak sekejam yang kamu pikirkan. Aku akan mengantarmu pulang nanti sore. Jadi sampai sore nanti kamu akan tetap disini dan istirahat,” tuturnya panjang lebar.
Aku hanya bisa mengangguk dan memposisikan tubuhku untuk berbaring.
Septian berdiri lalu membantuku menaikkan selimut, “jika membutuhkan sesuatu, panggil saja aku. Aku ada di luar kamar.”
Aku kembali mengangguk, “terima kasih.”
Septian hanya mengangguk lalu melangkah keluar kamar. Percuma saja rasanya aku menebak laki-laki itu karena semuanya diluar pemahamanku. Mau tidak mau aku harus menuruti ucapannya, lagipula tidak ada hal yang ingin kulakukan.
Belum sampai aku sepenuhnya terlelap, pintu kamar kembali terbuka. Septian melangkah masuk dengan tangan menggenggam ponselku. Dia menatapku sejenak lalu memasukkan ponselku ke dalam laci.
“Jangan dulu bermain ponsel. Kesehatanmu jauh lebih penting,” ucapnya.
Aku mendengus kesal lalu memejamkan mata. Percuma berdebat dengannya. Perlahan aku terlelap, mengabaikan Septian yang masih berdiri di dekatku. Beberapa menit setelah memastikan aku tertidur, Septian melangkah keluar kamar dengan raut wajah kesal. Bibirnya bergumam, “kenapa harus laki-laki itu?”
Pukul 3 sore. Aku yang terbangun segera beranjak dari tempat tidurku menuju ke luar kamar. Sebelum keluar, aku lebih dulu mengambil ponselku di dalam laci lalu melangkah keluar. Di luar kamar, Septian sedang duduk di sofa dengan berkas-berkas di atas meja.
Menyadari keberadaanku, Septian menoleh kearahku, “sudah tidak pusing?”
Aku mengangguk lalu duduk berseberangan dengannya. Mataku mengamati berkas di depanku, berkas yang kemarin aku kerjakan.
“Mulai besok, kamu akan menjadi sekretarisku. Tidak ada penolakan,” Septian berucap pelan namun tegas dengan mata menatap kearahku.
Aku membeku di tempat. Berpikir untuk menjauh ternyata sama sekali tidak mungkin bagiku. Satu hal yang bisa kupastikan, laki-laki ini kembali menjadi menyebalkan seperti sebelumnya. Dia memutuskan tanpa persetujuanku.
“Kenapa harus aku? Bagaimana dengan sekretarismu sebelumnya?” sergahku tidak terima.
Septian menurunkan pandangannya kembali menatap berkas di tangannya, “aku memindahkannya ke perusahaan lain.”
Aku menatapnya tidak mengerti, “dengan kata lain, kamu memecatnya?”
“Tidak. Aku tidak mengatakan hal itu. Kontraknya dengan perusahaanku sudah habis. Mau tidak mau dia harus pindah,” Septian menjawab tanpa menatapku. Dia lebih memilih menatap kertas di tangannya.
Laki-laki yang egois! Bukankah dia bisa memperpanjang kontrak itu? Kenapa juga harus aku? Padahal aku sangat ingin menjauh dari laki-laki menyebalkan ini dan sekarang aku tidak memiliki kesempatan itu. Aku mendengus kesal dan berniat menyela namun sebuah tatapan tajam kudapatkan lengkap dengan kalimat dinginnya.
“Jika kamu memiliki tenaga untuk berbicara sebaiknya gunakan untuk membantuku menyelesaikan berkas-berkas ini,” ucap Septian tajam dan dingin.
Aku berdecak kesal dan mulai melakukan apa yang diucapkannya. Jika berbicara dengannya aku tidak memiliki peluang untuk menyela maupun membela diriku sendiri. Menyebalkan!
Pukul 5 sore. Semua berkas berhasil diselesaikan. Septian menepati janjinya mengantarku, bukan ke kafeku melainkan langsung ke rumahku. Mobil Septian berhenti tepat di depan rumahku.
“Bagaimana kamu tahu rumahku?” tanyaku sembari menatapnya penuh dengan pertanyaan di kepalaku.
Septian menatap rumahku sekilas lalu beralih menatapku, “sebagai seorang atasan, aku harus tahu alamat bawahanku.”
Bawahan? Mataku menatapnya datar, “sejak kapan aku setuju menjadi sekretarismu? Seingatku aku tidak menjawab ucapanmu.”
Mendengar ucapanku, Septian justru tersenyum miring, “seingatku, aku tidak menerima penolakan darimu. Jadi, mulai besok kamu bekerja padaku. Cepat turun dan masuk ke rumahmu. Jangan lupa makan.”
Menyebalkan!!!
Aku berdecak kesal lalu membuka pintu di sebelahku dan keluar dari mobil. Pintu kembali tertutup namun tidak dengan jendela di depanku yang justru terbuka. Mobil milik Septian pun masih enggan untuk beranjak. Mungkinkah dia menginginkan sesuatu yang lain?
Aku sedikit membungkuk menatap Septian yang juga menatapku, “ada apa? Kelupaan sesuatu?”
Septian diam sejenak lalu berucap, “terima kasih untuk hari ini.”
.
.
Pukul 9 malam. Setelah makan malam aku kembali ke kamar. Hampir seharian aku tidak memeriksa ponselku dan begitu kubuka 3 panggilan tidak terjawab serta 5 pesan belum terbaca. Tiga panggilan tersebut dari Ren dan Alan. Sedangkan untuk pesan, dari Ren, Henry dan yang terbaru dari nomor tidak kukenal. Nomor baru? Siapa? Kubuka satu persatu pesan tersebut. Pertama pesan dari Ren yang mengingatkanku mengenai acara besok lusa. Aku segera membalasnya lalu berganti membaca pesan berikutnya dari Henry, dia mengirimkan sebuah foto tiket makan malam di salah satu restoran. Aku pun segera membalasnya walaupun sangat terlambat karena pesan darinya kuterima pukul 10 siang. Terakhir, pesan dari nomor tidak dikenal. Belum sempat aku membaca pesan tersebut, sebuah panggilan dengan nomor yang sama menghubungiku. Kutekan tombol hijau lalu mendekatkan ke telingaku, “ya, halo. Dengan siapa?” “Ini aku,” seseorang di seberang telepon menjawab. Nada yang s
Pukul 5 sore. Septian mengantarku sampai ke rumah. Aku bahkan sama sekali tidak memiliki kesempatan untuk mampir ke kafeku. Kurebahkan tubuhku ke atas tempat tidur. Sekujur tubuhku rasanya lelah. Makan siang dengan klien memang tidak memakan waktu lama, namun setelah itu Septian menyuruhku untuk membantunya menyelesaikan berkas di kantornya. Pada akhirnya semua itu selesai sore ini.Sebuah dering ponsel menahanku untuk tidak tertidur. Dengan malas aku mengambil ponsel di dalam tas lalu menerima panggilan.“Carissa, malam ini senggang?” suara riang Henry terdengar di telingaku.Aku menghela napas pelan, “apa ada sesuatu?”“Aku mendapatkan tiket makan malam. Kamu sudah membaca pesanku kemarin bukan? Jadi aku mau mengajakmu makan malam, nanti. Bagaimana?” “Apa harus malam ini, Henry?” sebenarnya aku ingin menolaknya, karena hari ini aku sangat kelelahan.“Tiketnya hany
Keesokan harinya, aku sedikit trauma dengan kejadian semalam dan hari ini rasanya aku ingin di rumah seharian, tanpa melakukan apapun. Sebuah ketukan pintu mengagetkanku yang tengah duduk di ruang makan. Dengan penuh kehati-hatian, aku melihat orang yang mengetuk pintu dari jendela. Septian? Aku membuka pintu dan mendapati Septian yang menatapku dengan tatapan dinginnya. Aku diam, begitu juga dengannya. Aku menundukkan kepala lalu berucap pelan, “aku tidak ingin pergi kemanapun hari ini.” “Kenapa? Kamu demam?” Septian meletakkan telapak tangannya ke dahiku lalu kembali menyimpan tangannya. Aku menggeleng pelan, “aku... hanya tidak ingin pergi.” “Menyingkir,” Septian berucap pelan namun tajam. Kudongakkan wajahku menatapnya dan dia menatapku dengan tatapan dinginnya. “Menyingkir,” ulangnya. Spontan, aku menepi dan membiarkan Septian masuk. Pintu kembali tertutup. Aku mengikuti langkah Septian yang menuju
Keesokan harinya, aku bersiap menunggu Ren datang menjemput. Kemarin sore, Septian benar-benar kembali dengan beberapa makanan hangat. Dia juga ikut makan malam denganku. Saat aku tanya mengenai cokelat itu, dia hanya menjawab kalau dia mendapatkan cokelat tersebut dari pemilik kedai dan sama sekali tidak berniat untuk memakannya. Karena itu dia memberikannya padaku. Mendengar jawabannya justru membuatku tertawa. Septian sama sekali tidak ingin berkata jujur. Sebuah ketukan pintu menyadarkan lamunanku. Aku bergegas mengintip melalui jendela, memastikan kalau orang yang mengetuk pintu adalah Ren. Dan benar, Ren berdiri di depan pintu rumahku dengan pakaian santainya. Aku segera membuka pintu, “berangkat sekarang?” Ren tersenyum, “tentu. Ayo.” Aku keluar rumah, tanpa lupa mengunci pintu kemudian berjalan mensejajari Ren. Hari ini, Ren mengajakku ke sebuah bazar dengan motornya. Bazar tersebut digelar setiap tahun. Bazar yang menjual aneka jenis buku, no
Di tempat lain, seorang wanita berdiri di belakang jendela dengan sebuah senyum misterius. Dia meraih ponselnya lalu mendekatkan ke telinganya, “lanjutkan ke tahap berikutnya. Pastikan dia menyadari posisinya.”Wanita itu menyimpan ponselnya dengan sebuah seringai misterius. Sebuah derap langkah perlahan mendekat pada wanita itu. Dia menatap wanita di depannya dengan tatapan sedih.“Apa yang akan kamu lakukan, Riska? Tidak bisakah kamu merelakannya?” laki-laki itu enggan untuk lebih dekat lagi. Dia berdiri dengan jarak beberapa meter.Wanita bernama Riska tersebut menoleh, menatap laki-laki yang berdiri di belakangnya, “tidak, Kak Henry. Aku akan menghancurkan siapapun yang mendekati calon suami masa depanku.”“Carissa sama sekali tidak ada hubungannya dengan Septian. Jika kamu ingin mendapatkan Septian kenapa harus mengurusi kehidupan Carissa? Kakak tidak suka apa yang kamu lakukan saat ini,” cerca Henry, b
Di hari Senin tepat pukul 8 lebih, aku sudah dalam perjalanan menuju ke kantor Septian. Entah kenapa hari ini aku memutuskan untuk ke tempatnya. 45 menit perjalanan, akhirnya aku sampai di tempat parkir perusahaan megah milik Septian.Aku turun dari motor dan segera melangkah menuju ke meja resepsionis. Salah seorang wanita yang duduk di belakang meja, bergegas berdiri menyambutku. Dia tersenyum ramah, “ada yang bisa saya bantu?”“Apa Septian ada?” tanyaku.“Bos sedang keluar kota, sejak dua hari yang lalu. Apa Anda sedang ada janji dengan Beliau?” wanita tersebut kembali melontarkan padaku.Aku terdiam sejenak, mendengar jawaban dari wanita di depanku. Septian bahkan tidak mengatakan apapun padaku. Aku menggeleng lantas berucap, “tidak, tidak ada janji. Kalau begitu, terima kasih.”Wanita itu tersenyum dan membiarkanku berbalik menjauh dari meja resepsionis. Aku berjalan kembali menuju parkiran. Wani
Septian berdiri di depanku dengan tas jinjing di tangannya. Dia menyerahkan tas yang dibawanya padaku, “ini untukmu.”Dengan penuh keraguan, aku menerima tas tersebut dan melihat apa yang ada di dalamnya. Sebuah vas bunga berwarna putih yang sangat cantik berada di dalam tas yang kupegang. Pandanganku beralih menatap Septian, “kenapa?”Septian mengalihkan pandangannya, sama sekali tidak ingin menatapku, “hanya oleh-oleh kecil.”Melihat reaksi Septian membuatku menyungging senyum. Terlepas dari sikap menyebalkannya, dia masih punya sikap lembut yang aku yakin sangat jarang ditunjukkan pada orang lain.Aku membuka pintu lebih lebar, “masuklah, aku akan membuatkan kopi untukmu.”Tanpa banyak berpikir, Septian melangkah masuk. Aku pun segera membuntutinya. Saat sampai di depan ruanganku, aku bergegas membuka pintu dan mempersilakan baginya untuk masuk, “tunggulah di sini. Aku akan membuat kopi. Apa
Pukul 8 pagi, aku masih sibuk di dapur menyiapkan sarapan dan disaat yang bersamaan sebuah klakson mobil di depan rumahku. Aku berpikir itu pasti Septian. Tanpa melepas apronku, aku bergegas membuka pintu dan Septian sudah berdiri di depan pintu rumah.Aku yang terkejut karenanya hanya bisa berdiam diri di ambang pintu.Septian menatapku dengan tatapan tidak suka, “kenapa masih pakai apron?”Aku tersenyum kaku, “aku baru saja selesai membuat sarapan. Kamu mau ikut sarapan?” tanyaku yang berusaha mengalihkan pembicaraan.Septian terlihat menghela napas sembari menatapku dengan tatapan yang lebih lembut, “apa yang sedang kamu masak?”“Omurice. Masuklah,” aku menyingkir dari pintu dan memersilakan baginya untuk masuk.Septian melangkah masuk sembari memerhatikan sekitar. Pintu kembali kututup lantas berjalan mensejajari langkah Septian menuju ruang makan. Septian menarik kursi lalu duduk sembari m