Share

Sweet #6

Dia menautkan alisnya, menatapku dengan tatapan kesal, “apa yang aku lakukan di sini? Ini kamarku.”

Sontak aku langsung bangkit dari tidurku dan justru mengakibatkan kepalaku berdenyut cukup kuat hingga membuatku didekap oleh laki-laki di depanku. Aku segera menjauhkan diri dengan berusaha menahan pusing di kepalaku. Mataku beralih menatapnya, “bagaimana aku bisa di kamarmu? Kamu tidak melakukan sesuatu, kan?”

“Aku tidak tertarik melakukan sesuatu padamu,” jawabnya dingin, tanpa mengalihkan pandangannya dariku.

Aku menghela napas pelan. Lagipula pakaianku masih lengkap. Sejak awal pun dia lebih suka mempermainkanku karena dia keturunan laki-laki menyebalkan. Suara lembut sebelumnya mungkin hanya imajinasiku saja.

“Makanlah,” laki-laki itu menyodorkan nasi yang sudah dicampur dengan sup ayam.

Aku mengangguk dan menerima mangkuk darinya. Perlahan namun pasti, aku mulai makan. Makanan ini enak, mirip dengan masakan ibuku. Mungkinkah dia yang membuat makanan ini?

“Enak?” laki-laki itu bertanya pelan.

Aku menatapnya lalu mengangguk, “sangat mirip dengan masakan ibuku. Apakah Anda yang membuatnya sendiri, Tuan?” aku mulai mengoreksi tutur kataku karena sebelumnya aku merasa jika mengatakan aku-kamu tidak sopan untuknya yang derajatnya jauh di atasku.

Laki-laki itu berdehem, “Septian. Panggil aku Septian. Dan jangan berbicara seformal itu.”

Aku menatapnya dengan tatapan terkejut, namun aku segera mengangguk. Ruangan kembali senyap. Aku lebih memilih menikmati makanan di depanku karena rasa lapar akibat kemarin tidak menyantap makanan apapun. Sedangkan Septian masih saja menatapku. Sampai sekarang pun aku tidak bisa menebak apa yang sedang dipikirkannya.

“Maaf,” Septiap berujar pelan.

Mendengar kata itu keluar dari mulutnya membuatku seketika menatapnya dan pandangan kami pun bertemu. Aku memilih untuk diam demi menunggunya melanjutkan ucapannya.

“Maaf untuk yang kemarin. Aku tidak menawarkanmu makan siang. Aku tidak tahu jika kamu menderita anemia,” sambungnya.

Aku terdiam, mencerna kalimatnya sekaligus berpikir apa yang harus kuucapkan. Semua ini memang salahnya, tapi untuk anemia itu memang aku tidak mengatakan apapun soal itu. Beberapa saat terdiam, aku memutuskan untuk mengulas senyum, “tidak apa-apa. Aku sudah baik-baik saja.” ucapan lembut sebelumnya bukanlah mimpi. Aku pikir dia sama sekali tidak bisa berucap lembut, karena sejak awal dia selalu berucap tajam dan dingin. Sesuatu yang langka darinya.

“Apa makanannya kurang? Mau tambah?” Septian bertanya setelah mangkuk di tanganku kosong.

Aku menggeleng pelan, “tidak. Aku sudah kenyang. Terima kasih untuk makanannya.”

Septian mengambil mangkuk dari tanganku lalu menggantinya dengan segelas susu hangat. Mau tidak mau aku menerimanya dan meminumnya perlahan. Aku tidak menyangka jika dia benar-benar menyiapkan semua ini. Setelah minuman habis, Septian kembali mengambil gelas dari tanganku sebelum aku meletakkannya di atas nampan. Dia membawa nampan itu keluar dari kamar.

Aku terkagum dengan sikapnya yang berbeda 180 derajat. Kehidupannya penuh dengan misteri. Kualihkan pandanganku menatap seisi ruangan. Tidak ada yang istimewa di kamar ini. Hanya sebuah kamar laki-laki yang biasanya dengan koleksi-koleksinya. Pandanganku beralih mencari ponselku. Di atas nakas tidak ada, di dalam laci pun tidak ada.

“Mencari sesuatu?” Septian kembali muncul di balik pintu.

Aku menatapnya lalu mengangguk, “dimana ponselku?”

“Di kantormu. Mau kuambilkan?” Septian menjawab lalu duduk di tepi tempat tidur.

Aku diam. Sikapnya benar-benar jauh dari perkiraanku. Aku merasa seperti berbicara dengan orang yang berbeda dari kemarin. Cukup lama aku diam, Septian kembali membuka suara.

“Kenapa kamu menatapku seperti itu? Masih tidak percaya aku orang yang sama seperti kemarin?” tanyanya.

Aku mengangguk pelan, “bukan tidak percaya. Hanya saja ... sulit untuk dipikirkan.”

Septian berdecak kesal lalu mengambil ponselnya. Entah apa yang akan dilakukannya, dia mendekatkan ponsel ke telinganya lalu berucap, “ambilkan ponsel di kantor Kafe Coffee katakan pada karyawannya jika ini perintah dari atasannya.” Setelah itu, dia meletakkan ponselnya lalu menatapku yang senantiasa menatapnya tidak percaya.

“Kenapa kamu mau melakukannya?” tanyaku.

“Untuk membuktikan jika aku tidak sekejam yang kamu pikirkan. Aku akan mengantarmu pulang nanti sore. Jadi sampai sore nanti kamu akan tetap disini dan istirahat,” tuturnya panjang lebar.

Aku hanya bisa mengangguk dan memposisikan tubuhku untuk berbaring.

Septian berdiri lalu membantuku menaikkan selimut, “jika membutuhkan sesuatu, panggil saja aku. Aku ada di luar kamar.”

Aku kembali mengangguk, “terima kasih.”

Septian hanya mengangguk lalu melangkah keluar kamar. Percuma saja rasanya aku menebak laki-laki itu karena semuanya diluar pemahamanku. Mau tidak mau aku harus menuruti ucapannya, lagipula tidak ada hal yang ingin kulakukan.

Belum sampai aku sepenuhnya terlelap, pintu kamar kembali terbuka. Septian melangkah masuk dengan tangan menggenggam ponselku. Dia menatapku sejenak lalu memasukkan ponselku ke dalam laci.

“Jangan dulu bermain ponsel. Kesehatanmu jauh lebih penting,” ucapnya.

Aku mendengus kesal lalu memejamkan mata. Percuma berdebat dengannya. Perlahan aku terlelap, mengabaikan Septian yang masih berdiri di dekatku. Beberapa menit setelah memastikan aku tertidur, Septian melangkah keluar kamar dengan raut wajah kesal. Bibirnya bergumam, “kenapa harus laki-laki itu?”

Pukul 3 sore. Aku yang terbangun segera beranjak dari tempat tidurku menuju ke luar kamar. Sebelum keluar, aku lebih dulu mengambil ponselku di dalam laci lalu melangkah keluar. Di luar kamar, Septian sedang duduk di sofa dengan berkas-berkas di atas meja.

Menyadari keberadaanku, Septian menoleh kearahku, “sudah tidak pusing?”

Aku mengangguk lalu duduk berseberangan dengannya. Mataku mengamati berkas di depanku, berkas yang kemarin aku kerjakan.

“Mulai besok, kamu akan menjadi sekretarisku. Tidak ada penolakan,” Septian berucap pelan namun tegas dengan mata menatap kearahku.

Aku membeku di tempat. Berpikir untuk menjauh ternyata sama sekali tidak mungkin bagiku. Satu hal yang bisa kupastikan, laki-laki ini kembali menjadi menyebalkan seperti sebelumnya. Dia memutuskan tanpa persetujuanku.

“Kenapa harus aku? Bagaimana dengan sekretarismu sebelumnya?” sergahku tidak terima.

Septian menurunkan pandangannya kembali menatap berkas di tangannya, “aku memindahkannya ke perusahaan lain.”

Aku menatapnya tidak mengerti, “dengan kata lain, kamu memecatnya?”

“Tidak. Aku tidak mengatakan hal itu. Kontraknya dengan perusahaanku sudah habis. Mau tidak mau dia harus pindah,” Septian menjawab tanpa menatapku. Dia lebih memilih menatap kertas di tangannya.

Laki-laki yang egois! Bukankah dia bisa memperpanjang kontrak itu? Kenapa juga harus aku? Padahal aku sangat ingin menjauh dari laki-laki menyebalkan ini dan sekarang aku tidak memiliki kesempatan itu. Aku mendengus kesal dan berniat menyela namun sebuah tatapan tajam kudapatkan lengkap dengan kalimat dinginnya.

“Jika kamu memiliki tenaga untuk berbicara sebaiknya gunakan untuk membantuku menyelesaikan berkas-berkas ini,” ucap Septian tajam dan dingin.

Aku berdecak kesal dan mulai melakukan apa yang diucapkannya. Jika berbicara dengannya aku tidak memiliki peluang untuk menyela maupun membela diriku sendiri. Menyebalkan!

Pukul 5 sore. Semua berkas berhasil diselesaikan. Septian menepati janjinya mengantarku, bukan ke kafeku melainkan langsung ke rumahku. Mobil Septian berhenti tepat di depan rumahku.

“Bagaimana kamu tahu rumahku?” tanyaku sembari menatapnya penuh dengan pertanyaan di kepalaku.

Septian menatap rumahku sekilas lalu beralih menatapku, “sebagai seorang atasan, aku harus tahu alamat bawahanku.”

Bawahan? Mataku menatapnya datar, “sejak kapan aku setuju menjadi sekretarismu? Seingatku aku tidak menjawab ucapanmu.”

Mendengar ucapanku, Septian justru tersenyum miring, “seingatku, aku tidak menerima penolakan darimu. Jadi, mulai besok kamu bekerja padaku. Cepat turun dan masuk ke rumahmu. Jangan lupa makan.”

Menyebalkan!!!

Aku berdecak kesal lalu membuka pintu di sebelahku dan keluar dari mobil. Pintu kembali tertutup namun tidak dengan jendela di depanku yang justru terbuka. Mobil milik Septian pun masih enggan untuk beranjak. Mungkinkah dia menginginkan sesuatu yang lain?

Aku sedikit membungkuk menatap Septian yang juga menatapku, “ada apa? Kelupaan sesuatu?”

Septian diam sejenak lalu berucap, “terima kasih untuk hari ini.”

.

.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status