Share

Sweet #8

Pukul 5 sore. Septian mengantarku sampai ke rumah. Aku bahkan sama sekali tidak memiliki kesempatan untuk mampir ke kafeku. Kurebahkan tubuhku ke atas tempat tidur. Sekujur tubuhku rasanya lelah. Makan siang dengan klien memang tidak memakan waktu lama, namun setelah itu Septian menyuruhku untuk membantunya menyelesaikan berkas di kantornya. Pada akhirnya semua itu selesai sore ini.

Sebuah dering ponsel menahanku untuk tidak tertidur. Dengan malas aku mengambil ponsel di dalam tas lalu menerima panggilan.

“Carissa, malam ini senggang?” suara riang Henry terdengar di telingaku.

Aku menghela napas pelan, “apa ada sesuatu?”

“Aku mendapatkan tiket makan malam. Kamu sudah membaca pesanku kemarin bukan? Jadi aku mau mengajakmu makan malam, nanti. Bagaimana?”

“Apa harus malam ini, Henry?” sebenarnya aku ingin menolaknya, karena hari ini aku sangat kelelahan.

“Tiketnya hanya bisa digunakan malam ini. Apa kamu sibuk?”

Aku diam sejenak, berpikir. Malam ini aku tidak ingin memasak untuk makan malam. Mungkin pergi dengan Henry adalah pilihan terakhirku. “Tidak. Tidak sibuk sama sekali. Aku ikut denganmu,” ucapku.

“Benarkah? Kalau begitu, kita ketemuan di depan Resto Pynsa pukul 7. Dah.”

Tepat pukul 7 malam, aku sampai di Resto Pynsa. Dari dalam taksi aku bisa melihat Henry yang sudah sampai dan tengah menungguku di depan resto. Aku segera membayar taksi lalu keluar menghampiri Henry.

“Apa aku terlambat?” tanyaku setelah satu langkah di depannya.

Henry tersenyum lalu menggeleng, “aku yang terlalu cepat datang. Ayo masuk.” Henry menarikku untuk segera mengikutinya.

Kami masuk ke dalam resto, dimana sudah ada banyak orang yang duduk sembari menikmati hidangan di depan mereka. Henry membawaku ke sebuah tempat duduk yang masih kosong. Karena kami datang berdasarkan tiket, maka pelayan pun dengan sigap menerima tiket dari Henry lalu berjalan menuju ke dapur.

Resto Pynsa, merupakan resto mewah ke dua di kota ini. Resto ini memiliki area yang luas, dimana terdapat beberapa tempat makan dengan nuansa yang berbeda. Saat ini kami berada di tempat makan yang hanya bisa dipesan untuk dua orang. Aku dan Henry duduk berhadapan, sembari menunggu makanan datang.

“Kamu sibuk akhir-akhir ini?” Henry membuka suara, mengawali pembicaraan.

Aku mengangguk, “memang merepotkan. Tapi aku harus tetap melakukannya.”

Henry tertawa pelan, “semangatlah. Aku bisa membantumu jika kamu butuh bantuan.”

Di lain tempat, Ren memegang beberapa lembar kertas. Matanya memicing, membaca setiap kalimat yang tertulis. Sebuah boxfile tergeletak di depannya dengan judul “Kasus Ditutup, Tabrakan Lima Tahun yang lalu”. Ren menggeram sembari mengacak-ngacak rambutnya, “ini sulit. Aku butuh rekaman CCTV. Apapun yang terjadi aku akan menemukan pelaku yang menabrakmu, Carissa.”

Di sebuah ruangan megah, Septian duduk santai sembari memperhatikan layar komputernya. Matanya menatap gerak-gerik di setiap monitor CCTV. Di tangannya memegang selembar kertas, yang sudah selesai dibacanya. Melihat sesuatu yang janggal, Septian meletakkan kertas di tangannya lalu menyambar jasnya kemudian bergegas meninggalkan ruangannya. Dia membawa mobil mewahnya membelah jalanan.

Pukul 8 malam, aku dan Henry keluar dari resto. Henry mengatakan jika akan mengantarku sampai ke rumah. Kami berdiri di tepi jalan menunggu taksi.

“Sangat berbahaya jika pulang malam sendirian,” ucap Henry.

Aku hanya mengangguk. Hal itulah yang menjadi alasan kami tidak bisa berlama-lama di Resto Pynsa. Setelah makan malam selesai, Henry mengajakku untuk segera pulang.

Aku menoleh kesana-kemari menunggu taksi yang telah kami pesan yang tak kunjung datang. Pandanganku terhenti pada seseorang yang terang-terangan menatap kearahku. Dia mengalihkan wajahnya ketika aku menatapnya, dan bagiku itu sangat aneh.

“Ada apa, Carissa?” Henry menatap kearah yang sama denganku.

Kualihkan pandanganku menatap Henry, “aku merasa seseorang memperhatikanku.”

Henry merangkul bahuku, “abaikan saja.”

Aku mengangguk, berusaha untuk mengalihkan pikiranku.

Suara derap langkah kembali mengalihkan pandanganku. Aku menoleh ke kananku dan seketika terkejut saat orang yang kutatap sebelumnya berlari kearahku dengan sebuah belati di tangan kanannya.

Aku berusaha menghindarinya, yang semakin dekat denganku. Saat belati itu tepat di depan perutku, spontan aku menutup mata. Tiga detik aku tidak merasakan sakit atau apapun. Perlahan aku membuka mata dan kembali terkejut saat Henry menggunakan telapak tangannya untuk menahan belati itu.

“Henry!”

Pandangan Henry menatap tajam pelaku yang menusuknya. Bukannya meminta maaf atau bertanggungjawab atas ulahnya, pelaku justru menarik kembali belatinya lalu bergegas pergi.

Cepat-cepat aku menggunakan sapu tanganku untuk menahan darah agar tidak banyak keluar. Taksi pesanan kami datang di waktu yang sangat tepat. Aku segera membuka pintu taksi dan menyuruh Henry untuk masuk.

Aku duduk di samping Henry, “ke rumah sakit, pak.”

“Baik, nona,” supir taksi mulai menjalankan taksi menuju ke tujuan yang kusebutkan.

Tanganku masih menekan sapu tangan di telapak tangan Henry, memastikan agar Henry tidak kehilangan banyak darah.

“Aku baik-baik saja, Carissa,” Henry menyentuh tanganku dengan tangan kiri.

Aku menggeleng kuat, “tidak. Kita harus ke rumah sakit. Lukamu harus diobati.”

Terdengar helaan napas dari Henry. Tangan kirinya meraih kepalaku lalu menariknya perlahan, menyatukannya dengan kepalanya, “kamu sangat baik, Carissa. Benar-benar baik.”

Di tempatku sebelumnya, Septian menghela napas panjang sembari menyandarkan punggungnya. Dia hampir saja keluar dari mobilnya jika seseorang tidak mengambil tindakan menahan belati itu melukaiku. Septian menyalakan mobilnya kemudian mulai menjalankan mobilnya meninggalkan tempat. Sorot matanya menatap tajam jalanan di depannya. Otaknya kembali mengingat kejadian yang baru saja dilihatnya.

“Sepertinya aku harus mulai berhati-hati. Sesuatu yang buruk akan terjadi dalam waktu dekat,” desisnya pelan.

.

.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status