Pukul 9 malam. Setelah makan malam aku kembali ke kamar. Hampir seharian aku tidak memeriksa ponselku dan begitu kubuka 3 panggilan tidak terjawab serta 5 pesan belum terbaca. Tiga panggilan tersebut dari Ren dan Alan. Sedangkan untuk pesan, dari Ren, Henry dan yang terbaru dari nomor tidak kukenal.
Nomor baru? Siapa?
Kubuka satu persatu pesan tersebut. Pertama pesan dari Ren yang mengingatkanku mengenai acara besok lusa. Aku segera membalasnya lalu berganti membaca pesan berikutnya dari Henry, dia mengirimkan sebuah foto tiket makan malam di salah satu restoran. Aku pun segera membalasnya walaupun sangat terlambat karena pesan darinya kuterima pukul 10 siang. Terakhir, pesan dari nomor tidak dikenal. Belum sempat aku membaca pesan tersebut, sebuah panggilan dengan nomor yang sama menghubungiku.
Kutekan tombol hijau lalu mendekatkan ke telingaku, “ya, halo. Dengan siapa?”
“Ini aku,” seseorang di seberang telepon menjawab. Nada yang sangat khas dari orang yang mengantarku sore ini. Tapi bagaimana dia bisa mendapatkan nomorku?
“S-Septian?” tanyaku memastikan.
Orang di seberang hanya berdehem sebagai jawaban. CEO menyebalkan yang seenaknya membawaku dan menyuruhku menjadi sekretarisnya, menghubungi tanpa tahu kapan aku memberikan nomorku padanya.
“Bagaimana kamu bisa mendapatkan nomorku?” tanyaku.
“Bukan hal yang sulit bagiku,” Septian menjawab singkat.
Aku menghela napas pelan. Menjauh dari laki-laki ini memang mustahil. Apalagi aku dipaksa harus menjadi sekretarisnya, “jadi, ada apa menghubungiku?”
“Mengingatkanmu kalau besok kamu harus menemaniku rapat. Kujemput pukul 8 pagi. Dah!” panggilan diakhiri sepihak oleh Septian. Aku hanya bisa menatap layar ponselku sembari menahan emosi. Selalu menyebalkan seperti biasa. Mungkin mode menyenangkan seperti sebelumnya tidak akan dilakukannya lagi.
Kuletakkan ponselku di atas meja lalu masuk ke dalam selimut dan tidur. Besok akan menjadi hari yang berat bagiku. Untuk malam ini, aku ingin tidur lebih awal.
Keesokan harinya. Tepat pukul 8 pagi. Sebuah klakson mobil memaksaku untuk keluar rumah. Septian dan mobilnya sudah berada di depan rumahku, sesuai dengan apa yang dikatakannya semalam.
Kutarik napas dalam-dalam lalu menghembuskannya perlahan. Mataku menatap Septian yang menungguku di dalam mobil. Dia bahkan tidak berniat untuk turun. Mau bagaimana lagi, aku berjalan menuju ke mobilnya lalu masuk dan duduk di sampingnya.
Tanpa berlama-lama, Septian mulai menjalankan mobilnya menyusuri jalan. Tidak ada pembicaraan diantara kami. Septian pun terlihat sangat fokus dengan jalan di depannya. Ibarat kalimat, jangan menggangguku atau akan kuturunkan kamu di sini.
“Sudah sarapan?” Septian membuka pembicaraan.
Aku berdehem, “sudah.”
“Kalau begitu kita langsung ke tempat rapat,” Septian melajukan mobilnya lebih cepat.
Pagi ini, jalan raya perlahan mulai ramai lalu-lalang kendaraan. Beberapa juga terlihat angkot yang keluar dari area sekolah. Entah kenapa, aku tidak begitu mengingat mengenai masa laluku mulai dari dimana aku bersekolah, siapa saja temanku, dan bagaimana kehidupanku waktu itu. Aku tidak ingat semuanya. Saat aku bertanya mengenai hal itu, Ibu menjawab kehidupanku sangat menyenangkan. Namun jika aku bertanya apakah aku pernah mengalami kecelakaan hingga membuatku kehilangan ingatanku, Ibuku menjawab tidak.
Bukankah ini sangat aneh. Aku hanya mengingat kejadian lima tahun terakhir. sedangkan sebelum itu aku tidak bisa mengingatnya. Seakan aku tidak pernah mengalami kehidupan sebelumnya.
“Kita sudah sampai. Ayo turun,” suara Septian menyadarkanku.
Aku menoleh kearahnya yang sudah melepas sabuk pengaman dan bersiap keluar mobil. Segera aku melakukan hal yang sama dan keluar dari mobil. Aku hanya mengekori Septian yang berjalan masuk ke sebuah gedung perusahaan. Gedung yang sama megahnya dengan milik Septian. Kami masuk ke dalam lift dan dengan cepat diantar menuju ke lantai 5.
“Apa yang kamu lamunkan?” Septian berucap tanpa menoleh kearahku sedikit pun.
“Bukan apa-apa,” jawabku singkat. Mana mungkin aku menjelaskan pada orang ini. Kemungkinan besar tidak ditanggapi adalah seratus persen.
“Apapun itu. Jangan sampai mengganggu rapat hari ini,” pintu lift terbuka dan Septian melangkah keluar. Aku pun mulai melangkahkan kaki mensejajari Septian.
Seorang wanita dewasa dengan pakaian rapi berdiri menyambut kami. Dia tersenyum kearah Septian lalu membuka pintu di belakangnya. Aku tidak akan terkejut jika masih banyak wanita di luar sana yang mengagumi laki-laki di sampingku saat ini.
Septian melangkah masuk, begitupun aku. Di dalam ruangan, sudah ada enam orang yang duduk menunggu kedatangan kami. Septian mengisyaratkan padaku untuk duduk di salah satu kursi yang masih kosong. Sedangkan dirinya segera melangkah dan berdiri di depan semua orang.
Tanpa menunggu perintah dua kali, aku segera duduk dan meeting pun dimulai. Di sini, Septianlah yang menjadi pembicara, membicarakan mengenai kerjasama dan juga pembagian dividen. Aku tidak begitu mengerti, tapi sebisa mungkin aku mencermati dan berusaha memahami pembicaraan.
Septian berbicara sembari menjelaskan tulisan yang ditampilkan di layar proyektor. Dia terlihat begitu berwibawa menjelaskan tanpa ada keraguan sedikitpun dalam setiap kalimatnya. Mungkin saja, dia sudah terbiasa dengan atmosfer seperti ini.
Septian menatapku sekilas lalu mengalihkan pandangannya menatap enam orang di depannya, “untuk sementara kita lanjutkan sesuai dengan program kerja yang telah disepakati. Jika ada sesuatu yang ingin dibahas, kita lakukan di rapat berikutnya. Yang ingin bertanya saya persilakan.”
Semua orang menunduk, membaca kembali materi di depan mereka. Begitupun denganku. Saat Septian menatapku tadi, seketika aku tersadar kalau aku terlalu lama memerhatikannya. Sial! Apa dia menyadarinya?
Salah seorang audien mengangkat tangan membuat Septian menatapnya, “di sini dituliskan kalau dalam waktu dekat bekerja sama dengan salah satu kafe. Dalam hal ini, kafe seperti apa yang masuk kriteria?”
“Kalau urusan itu, aku sudah memutuskannya. Aku akan mengabarinya besok. Ada yang ditanyakan lagi?” Septian menjawab dengan nada tenang tanpa mengalihkan pandangannya dari audien. Semua orang menggeleng. Septian pun mengganti lembaran di tangannya dan kembali melanjutkan pembicaraan mengenai pembagian dividen.
Bekerja sama dengan kafe? Satu-satunya kafe yang menonjol diantara kafe yang lain adalah Kafe Mandellin. Namun jika mengingat pemiliknya yang sukar ditemui, mungkin itu akan menyulitkan untuk menjalin kerja sama.
“Baiklah sekian untuk hari ini,” Septian meninggalkan kertas-kertas di tangannya lalu berjalan menuju pintu. Dia sempat melihat kearahku dan mengisyaratkan untuk mengikutinya.
Aku pun berdiri lalu sedikit membungkuk pada semua orang kemudian mengikuti Septian keluar ruangan. Seorang wanita yang sama menyambut kami. Dia berdiri dengan senyum merekah di bibirnya.
“Terima kasih atas kehadirannya, Tuan. Apa Tuan berkenan untuk ikut makan siang?” ucap wanita itu.
“Tidak perlu,” Septian berjalan melewati wanita itu, tanpa sedikitpun berniat untuk menatap kearahnya. Untuk kali ini, aku tidak ingin berkomentar apapun. Jadi, aku hanya mengikutinya tanpa sepatah katapun. Kami masuk lift dan lift pun bergerak turun menuju lantai dasar.
“Bagaimana menurutmu rapat tadi?” Septian sembari menatap kearahku.
Kualihkan pandanganku menatapnya, “aku tidak begitu paham tapi kamu menjelaskan dengan sangat baik. Aku penasaran, kafe mana yang akan menjalin kerja sama dengan perusahaanmu. Kalau tebakanku benar, apa itu Kafe Mandellin?”
“Kafemu,” Septian menjawab dengan santai.
Aku mengangguk-anggukkan kepala namun setelah sadar apa yang diucapkannya, aku menatapnya tidak percaya, “a-apa aku tidak salah dengar?”
Septian tidak menjawab. Dia lebih memilih melangkahkan kaki begitu pintu lift terbuka. Melihat pertanyaanku yang diacuhkan olehnya, aku pun segera mengejarnya untuk mengetahui kebenaran dari ucapannya.
“Tunggu dulu. Jawab pertanyaanku,” aku berusaha mensejajari langkah Septian yang mengarah ke parkiran.
Begitu sampai di dekat mobilnya dia berhenti lalu beralih menatapku, “kenapa? Kamu tidak suka? Bukankah ini akan menguntungkan bagimu?”
“Memang menguntungkan, tapi kenapa? Bukankah masih ada kafe yang lebih terkenal? Kenapa harus kafeku?” sergahku dengan rentetan pertanyaan.
Septian menatapku dengan tatapan datar, “aku tidak tertarik.” Setelah itu dia berbalik dan masuk mobil. Sebelum dia menyuruhku dengan kata tajamnya, aku segera masuk mobil dan duduk di samping jok kemudi.
Tanpa menunggu lama, Septian menjalankan mobilnya keluar dari pelataran perusahaan. mobil bergerak menyusuri jalan, membaur dengan kendaraan lainnya. Aku masih tidak bisa mempercayai ucapan Septian. Mana mungkin kafe kecil seperti milikku bisa bekerja sama dengan perusahaan besar miliknya. Kesampingkan mengenai hal itu, mobil Septian terus bergerak hingga melewati perbatasan kota. Jika akan kembali ke perusahaannya, seharusnya dia kearah sebaliknya.
Aku berniat membuka suara namun Septian lebih dulu berucap, “kita akan makan siang dengan klien.”
Parah!
.
.
Pukul 5 sore. Septian mengantarku sampai ke rumah. Aku bahkan sama sekali tidak memiliki kesempatan untuk mampir ke kafeku. Kurebahkan tubuhku ke atas tempat tidur. Sekujur tubuhku rasanya lelah. Makan siang dengan klien memang tidak memakan waktu lama, namun setelah itu Septian menyuruhku untuk membantunya menyelesaikan berkas di kantornya. Pada akhirnya semua itu selesai sore ini.Sebuah dering ponsel menahanku untuk tidak tertidur. Dengan malas aku mengambil ponsel di dalam tas lalu menerima panggilan.“Carissa, malam ini senggang?” suara riang Henry terdengar di telingaku.Aku menghela napas pelan, “apa ada sesuatu?”“Aku mendapatkan tiket makan malam. Kamu sudah membaca pesanku kemarin bukan? Jadi aku mau mengajakmu makan malam, nanti. Bagaimana?” “Apa harus malam ini, Henry?” sebenarnya aku ingin menolaknya, karena hari ini aku sangat kelelahan.“Tiketnya hany
Keesokan harinya, aku sedikit trauma dengan kejadian semalam dan hari ini rasanya aku ingin di rumah seharian, tanpa melakukan apapun. Sebuah ketukan pintu mengagetkanku yang tengah duduk di ruang makan. Dengan penuh kehati-hatian, aku melihat orang yang mengetuk pintu dari jendela. Septian? Aku membuka pintu dan mendapati Septian yang menatapku dengan tatapan dinginnya. Aku diam, begitu juga dengannya. Aku menundukkan kepala lalu berucap pelan, “aku tidak ingin pergi kemanapun hari ini.” “Kenapa? Kamu demam?” Septian meletakkan telapak tangannya ke dahiku lalu kembali menyimpan tangannya. Aku menggeleng pelan, “aku... hanya tidak ingin pergi.” “Menyingkir,” Septian berucap pelan namun tajam. Kudongakkan wajahku menatapnya dan dia menatapku dengan tatapan dinginnya. “Menyingkir,” ulangnya. Spontan, aku menepi dan membiarkan Septian masuk. Pintu kembali tertutup. Aku mengikuti langkah Septian yang menuju
Keesokan harinya, aku bersiap menunggu Ren datang menjemput. Kemarin sore, Septian benar-benar kembali dengan beberapa makanan hangat. Dia juga ikut makan malam denganku. Saat aku tanya mengenai cokelat itu, dia hanya menjawab kalau dia mendapatkan cokelat tersebut dari pemilik kedai dan sama sekali tidak berniat untuk memakannya. Karena itu dia memberikannya padaku. Mendengar jawabannya justru membuatku tertawa. Septian sama sekali tidak ingin berkata jujur. Sebuah ketukan pintu menyadarkan lamunanku. Aku bergegas mengintip melalui jendela, memastikan kalau orang yang mengetuk pintu adalah Ren. Dan benar, Ren berdiri di depan pintu rumahku dengan pakaian santainya. Aku segera membuka pintu, “berangkat sekarang?” Ren tersenyum, “tentu. Ayo.” Aku keluar rumah, tanpa lupa mengunci pintu kemudian berjalan mensejajari Ren. Hari ini, Ren mengajakku ke sebuah bazar dengan motornya. Bazar tersebut digelar setiap tahun. Bazar yang menjual aneka jenis buku, no
Di tempat lain, seorang wanita berdiri di belakang jendela dengan sebuah senyum misterius. Dia meraih ponselnya lalu mendekatkan ke telinganya, “lanjutkan ke tahap berikutnya. Pastikan dia menyadari posisinya.”Wanita itu menyimpan ponselnya dengan sebuah seringai misterius. Sebuah derap langkah perlahan mendekat pada wanita itu. Dia menatap wanita di depannya dengan tatapan sedih.“Apa yang akan kamu lakukan, Riska? Tidak bisakah kamu merelakannya?” laki-laki itu enggan untuk lebih dekat lagi. Dia berdiri dengan jarak beberapa meter.Wanita bernama Riska tersebut menoleh, menatap laki-laki yang berdiri di belakangnya, “tidak, Kak Henry. Aku akan menghancurkan siapapun yang mendekati calon suami masa depanku.”“Carissa sama sekali tidak ada hubungannya dengan Septian. Jika kamu ingin mendapatkan Septian kenapa harus mengurusi kehidupan Carissa? Kakak tidak suka apa yang kamu lakukan saat ini,” cerca Henry, b
Di hari Senin tepat pukul 8 lebih, aku sudah dalam perjalanan menuju ke kantor Septian. Entah kenapa hari ini aku memutuskan untuk ke tempatnya. 45 menit perjalanan, akhirnya aku sampai di tempat parkir perusahaan megah milik Septian.Aku turun dari motor dan segera melangkah menuju ke meja resepsionis. Salah seorang wanita yang duduk di belakang meja, bergegas berdiri menyambutku. Dia tersenyum ramah, “ada yang bisa saya bantu?”“Apa Septian ada?” tanyaku.“Bos sedang keluar kota, sejak dua hari yang lalu. Apa Anda sedang ada janji dengan Beliau?” wanita tersebut kembali melontarkan padaku.Aku terdiam sejenak, mendengar jawaban dari wanita di depanku. Septian bahkan tidak mengatakan apapun padaku. Aku menggeleng lantas berucap, “tidak, tidak ada janji. Kalau begitu, terima kasih.”Wanita itu tersenyum dan membiarkanku berbalik menjauh dari meja resepsionis. Aku berjalan kembali menuju parkiran. Wani
Septian berdiri di depanku dengan tas jinjing di tangannya. Dia menyerahkan tas yang dibawanya padaku, “ini untukmu.”Dengan penuh keraguan, aku menerima tas tersebut dan melihat apa yang ada di dalamnya. Sebuah vas bunga berwarna putih yang sangat cantik berada di dalam tas yang kupegang. Pandanganku beralih menatap Septian, “kenapa?”Septian mengalihkan pandangannya, sama sekali tidak ingin menatapku, “hanya oleh-oleh kecil.”Melihat reaksi Septian membuatku menyungging senyum. Terlepas dari sikap menyebalkannya, dia masih punya sikap lembut yang aku yakin sangat jarang ditunjukkan pada orang lain.Aku membuka pintu lebih lebar, “masuklah, aku akan membuatkan kopi untukmu.”Tanpa banyak berpikir, Septian melangkah masuk. Aku pun segera membuntutinya. Saat sampai di depan ruanganku, aku bergegas membuka pintu dan mempersilakan baginya untuk masuk, “tunggulah di sini. Aku akan membuat kopi. Apa
Pukul 8 pagi, aku masih sibuk di dapur menyiapkan sarapan dan disaat yang bersamaan sebuah klakson mobil di depan rumahku. Aku berpikir itu pasti Septian. Tanpa melepas apronku, aku bergegas membuka pintu dan Septian sudah berdiri di depan pintu rumah.Aku yang terkejut karenanya hanya bisa berdiam diri di ambang pintu.Septian menatapku dengan tatapan tidak suka, “kenapa masih pakai apron?”Aku tersenyum kaku, “aku baru saja selesai membuat sarapan. Kamu mau ikut sarapan?” tanyaku yang berusaha mengalihkan pembicaraan.Septian terlihat menghela napas sembari menatapku dengan tatapan yang lebih lembut, “apa yang sedang kamu masak?”“Omurice. Masuklah,” aku menyingkir dari pintu dan memersilakan baginya untuk masuk.Septian melangkah masuk sembari memerhatikan sekitar. Pintu kembali kututup lantas berjalan mensejajari langkah Septian menuju ruang makan. Septian menarik kursi lalu duduk sembari m
Hana berpikir sejenak lalu menjawab, “beliau tegas, pekerja keras. Beliau juga baik hati. Saat ibu saya masuk rumah sakit, Beliau tidak membebankan pekerjaan pada saya. Yang ada justru Tuan Septian memberikan saya cuti satu minggu untuk menemani ibu saya.”Aku sedikit tidak percaya dengan kata ‘baik hati’ yang diucapkan oleh Hana. Cukup sulit untuk membayangkan apa yang Hana ceritakan sekaligus sulit untuk membayangkan Septian dalam mode baik hati. Aku menundukkan kepala, berusaha untuk menahan tawaku. Demi menghindari sikap curiga dari Hana, aku kembali meminum minuman di tanganku.“Walaupun kadang Tuan Septian galak. Apalagi beliau selalu menatap orang lain dengan tatapan tajam dan dinginnya. Hal itu membuat semua orang takut padanya. Selama saya bekerja saya belum pernah sekalipun melihat Tuan Septian tersenyum ataupun menatap orang lain dengan tatapan yang lebih ramah,” sambung Hana.Sekali lagi aku diam, mengingat kembali