Share

Third Time

Gemerlap cahaya lampu menjadi penghias kelab malam yang ramai pengunjung. Lampu-lampu redup di pasang di seluruh penjuru bar. Menimbulkan kesan remang-remang, bahkan tak jarang ada juga yang menganggapnya romantis. Sekalipun musik yang diputar di sana sanggup bikin pekak telinga.

Lala, seperti biasa, dengan gaun kurang kain berwarna merah menyala, lipstik merah, dan sepatu berhak yang juga berwarna merah, berjalan gemulai membawa nampan berisi beberapa gelas minuman. Meletakkannya di meja pengunjung yang memesan. Berlalu setelah melempar senyuman manis terkesan genit. Bukan bermaksud menggoda. Tidak ada sama sekali niat menggoda para laki-laki berdompet tebal. Ini murni suruhan atasan. Bos empunya kelab.

Lala berkumpul dengan pelayan lain di ujung meja di sudut kelab. Berdiri sambil mengedarkan mata ke seluruh ruangan. Hentakan musik tidak mampu membuat tubuh Lala ikut menari. Dia bahkan tidak menikmati kehadirannya di sini. Walapun sudah tiga tahun bekerja, dia masih belum terbiasa. Atau dia memang tidak mau membiasakan diri dengan gemerlap dunia malam ini.

Sungguh, jika bukan karena terpaksa Lala tidak akan mau bekerja jadi pelayan, di kelab malam pula. Kelab ini memang digadang-gadang memberikan keamanan pada pelayan perempuannya, tapi meskipun begitu tak jarang bagian tubuh Lala seperti tangan, paha dan leher, dibelai oleh tangan laki-laki nakal. Pengaduan Lala hanya didengar, karena bagi bosnya kelakuan laki-laki itu masih dalam batas wajar.

Bahu Lala disenggol teman kerjanya. Stefani menunjuk ke sebuah meja dengan dagu. Lala mengikuti arah tunjukan Stef. Yang ditunjuk Stef adalah punggung tegap seorang laki-laki. Wajahnya tak terlihat karena dia duduk membelakangi mereka. Lala menyipitkan mata lalu memandang Stef dengan dua alis yang terangkat.

“Kenapa? Dia kayaknya nggak manggil kita untuk tambah minuman, kan?” tanya Lala.

Stef nyengir. “Nggak. Cuma dia kayaknya ganteng banget, Kak. Punggungnya itu tegap banget. Pokoknya dilihat dari belakangnya aja udah ketahuan kalau dia itu ganteng. Yakin seratus persen dia juga mapan. Empat tahun kerja di sini baru kali ini aku liat dia.” Perempuan berambut cokelat itu mengerling nakal. Menggoda Lala.

“Terus, kenapa natap aku kayak gitu?”

“Kali aja Kakak mau deketin dia.”

Lala kontan mencubit lengan Stef. “Ih! Pikiran kamu kejauhan! Aku nggak mau terlibat sama cowok yang model begituan, ya.” Dia pura-pura merajuk. Bibirnya maju beberapa senti. Tangan kurusnya diletakkan di depan dada.

“Model begituan kayak gimana, Kak?” Stef pura-pura tidak mengerti.

“Ya … yang sejenis dia.” Lala menunjuk laki-laki yang dia maksud dengan ekor matanya. “Yang suka ke kelab buat mabuk-mabukan. Ngabisin uang. Mending uangnya ditabung buat masa depan, kan?”

Stef tertawa keras mendengar jawaban Lala. “Kakak ini bodoh banget, ya.” Dia menggelengkan kepala tak habis pikir. “Justru orang kayak dia yang kita perlukan, Kak. Coba nggak ada mereka-mereka, Kakak mau kerja di sini digaji pakai daun?”

Lala meringis menyadari kebodohannya. Dia menggeleng pelan-pelan sambil cengengesan.

“Kita samperin yuk, Kak?” Stef menarik tangan Lala. Langsung ditepis olehnya.

“Ogah, ah!” tolak Lala mentah-mentah.

“Kok nggak mau? Uangnya pasti banyak. Kalau dia tertarik sama Kakak, lumayan Kakak bisa minta uang ke dia.”

“Kamu ini …,” geram Lala. “Kalau dia udah punya istri gimana? Kamu suruh aku jadi pelakor, gitu?”

Stef mengedikkan bahu. “Aku yakin dia belum kawin.”

Lala berdecih. “Sok tahu kamu.” Dia meminum air mineral beberapa teguk untuk membasahi tenggorokannya yang kering karena habis berdebat sengit dengan Stef di tengah kelab yang bising.

“Mayoritas cowok yang jadi pengunjung kelab kita cuma dua jenis, Kak. Satu, belum nikah. Dua, sudah nikah tapi bosan dengan istrinya. Dan cowok di depan kita termasuk jenis yang pertama.”

Lala hanya menarik napas panjang. “Terserah kamu lah.”

Stef memegang bahu Lala sebelum berkata, “Tapi serius loh ini, Kak. Aku dapat feeling bagus tentang hubungan Kakak dengan cowok itu. Aku bisa liat benang merah di jari kelingking Kakak berakhir di jari kelingking cowok itu. Seratus persen kalian jodoh.”

Lala memutar bola matanya. “Ngibul, ah. Emang kamu cenayang bisa liat apa aja yang nggak keliatan dengan mata telanjang?”

Stef nyengir superlebar. Dia menekuk lutut untuk menyamakan tinggi dengan wanita di sampingnya itu. “Kan, aku emang cenayang. Kakak lupa waktu aku ke kos Kakak dulu, aku bilang ada cewek rambut panjang selalu berdiri di depan pintu kamar kos Kakak? sekarang dia berdiri di samping Kakak loh. Matanya yang cekung itu pinggirnya berwarna hitam, bibirnya juga hitam, rambutnya panjang awut-awutan, kukunya panjang. Dia lagi liat Kakak dengan tatapan mau membunuh,” kata Stef dengan suara lirih dan angker yang dibuat-buat.

Tubuh Lala beku di tempat. Lipstik merahnya semakin menyala karena wajahnya yang dari awal sudah putih sekarang semakin putih. Seputih salju. Sialan si Stef. Sahabatnya itu tahu Lala takut hantu dan dia semakin mempermainkannya.

Stef menyeringai penuh kemenangan. “Ah! Aku baru ingat, waktu Kakak terbaring di ranjang karena sakit dulu, aku liat dia juga tiduran di samping Kakak. Meluk Kakak, lagi. Kayaknya dia sayang sama Kakak. Hati-hati, Kakak bisa diajaknya ke dunia lain entar.”

“Stef!” pekik Lala. “Kalau kamu nggak mau jadi gundul, berhenti nakut-nakutin aku!” Dia mengentakkan kaki yang dibungkus highheels ke lantai marmer secara membabi buta.

“Lagian Kakak kenapa jadi takut sama hantu segala sih? Hantu itu nggak ada loh, Kak.”

Nah, nah! Asli, Stef ini tukang ngibul. Tadi dia bilang melihat hantu berdiri di samping Lala. Sekarang dia bilang apa? Hantu itu nggak ada? Lala berpikir untuk mendaftarkan Stef jadi peserta Stand Up Comedy saja. Biar bakat ngibulnya makin tersalurkan. Jadi dia tidak perlu merasa merinding disco mendengar cerita-cerita horor Stef yang tidak diragukan lagi kepalsuannya.

Stef segera berlalu untuk mengantarkan minuman. Meninggalkan Lala seorang diri dengan sejuta pikiran. Jika tidak ada Stef yang mengajaknya bicara, dia akan kepikiran ibu yang terbaring lemah di rumah sakit. Juga memikirkan mencari pekerjaan lain yang bisa menghasilkan banyak uang. Tapi apa? dia yang notabenenya hanya lulusan SMP ini bisa dapat kerja apa? selain kerja serabutan dan upahnya tidak seberapa.

Jangan menyarankan Lala untuk meminjam uang di bank karena Lala tidak punya benda berharga untuk dijadikan jaminan.

Lala memijit pelipis. Sekarang bukan cuma uang saja yang menjadi beban pikiran. Ada tambahan satu lagi. Dan tambahan ini bukan main bikin sakit kepala. Apalagi kalau bukan Aiden.

Cowok itu secara tidak terduga datang lagi ke hidupnya. Bagaimana bisa? Lalu hati ini, kenapa masih berdenyut nyeri padahal dia sudah delapan tahun diobati. Aiden itu hanya masa lalu. Tidak lebih, tidak kurang. Sayang, waktu delapan tahun ternyata tidak bisa membuat Aiden menjadi kenangan.

Lala akhirnya bisa menyudahi kegalauannya berkat lambaian tangan Stef. Dengan langkah santai Lala menghampiri cewek itu. Berdiri di sampingnya dengan rasa percaya diri tinggi seperti yang diajarkan sang bos. Lala memberikan senyum terbaiknya kepada seorang laki-laki tampan. Dia terkejut ketika Stef membisikinya, mengatakan kalau laki-laki di hadapannya ini sedang mencari karyawan.

“Umurnya empat puluh lima, Kak. Dia katanya mau nawarin kamu kerja.”

“Jadi apa?”

Sugar Baby.”

Sialan! Lala mendelik ke arah Stef. Dari tatapan matanya harusnya Stef tahu Lala tidak suka acara perkenalan macam ini. Apalagi ujung-ujungnya memintanya jadi macam-macam. Sugar baby lah, wanita simpanan lah, atau apapun itu Lala tidak sudi.

“Kamu Lala, kan? Saya Deson. CEO perusahaan Mighty May. Mau kerja jadi wanita simpanan saya?”

Lala menyambut uluran tangan dari laki-laki itu. Oh, tadi dia bilang apa? CEO perusahaan Mighty May? Perusahaan nomor tiga terkaya di negeri ini. Siapa yang tidak mau bekerja dengan Deson? Tentu Lala mau, tapi tidak untuk menjadi wanita simpanannya. Tidak apa-apa kalau miskin melarat dari pada kaya tapi jadi wanita simpanan.

“Duduk, yuk.” Deson menarik tangan Lala dengan lembut. Didudukkan di kursi kosong di sebelahnya.

Perlakuan itu membuatnya tidak nyaman. Dia melirik Stef meminta bantuan. Sialnya si Stef ini malah berlalu sambil mengedipkan sebelah mata.

Sahabat macam apa kamu?!

Dason melingkarkan tangannya di bahu Lala yang terbuka. “Kamu cantik banget. Mau jadi wanita simpanan saya, kan? Uang akan mengalir ke dompet kamu tiap bulan.”

“Nggak, makasih, Pak. Saya sudah punya pacar.” Lala menyingkirkan tangan Deson tanpa berniat menyinggung laki-laki itu.

Deson terkekeh. “Terus hubungannya apa? Kamu pacaran-pacaran aja. Asal pacar kamu nggak tahu nggak pa-pa. Gimana? Tawaran saya menggiurkan, bukan? Saya nggak suka mengekang wanita. Jadi, kamu bebas mau ngapain aja selama jadi wanita simpanan saya.”

Lala menggeser duduknya sampai ke ujung sofa. Benar-benar menjaga jarak dari Deson. Biarlah dikatai orang jual mahal. Lala memang ingin semua orang menganggapnya begitu. Biar tidak ada yang berani mendekatinya.

Deson menggeser duduknya mendekati Lala. Tangannya memeluk pinggang cewek mungil itu. Dia ingin lari dari sana, tapi Deson seolah tahu keinginnannya. Pelukan Deson di pinggang Lala semakin mengerat. Lala menunduk. Menatap kosong lantai marmer di bawah kakinya. Dia menggigit bibirnya karena merasa risi.

 “Gebetan baru, Pak Des?” Seorang laki-laki duduk di hadapan Deson. “Cantik juga. Cuma kurang seksi.”

Deson tertawa. “Lagi negoisasi. Lumayan lah, daripada yang di rumah,” jawabnya setelah melepaskan tangannya dari pinggang Lala untuk meraih gelas minuman.

Lala mengepalkan tangannya. Tidak sanggup berada di sana. Dia pergi dengan tergesa-gesa. Mengabaikan panggilan Deson. Karena tidak memperhatikan langkahnya, Lala menabrak dada bidang seorang laki-laki.

Setelah meminta maaf dan bermaksud kembali ke sudut kelab untuk bergabung bersama teman-temannya, laki-laki yang Lala tabrak tadi meremas bahunya. Lala mendongak. Dia langsung tercekat. Meskipun cahaya lampu remang-remang, tapi dia yakin orang yang berdiri di hadapannya ini adalah orang yang Stefani dan dia bicarakan tadi.

Aiden.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status