Matahari sore menebarkan kehangatan di bumi Pondok Maarif (PM), rasa gerah bersarang di tubuh para santri, hari itu hari pertama imtihan akhiru sannah [1], seperti kebudayaan yang telah turun-temurun di Pondok Maarif, apabila santri kelas 1-5 imtihan (ujian), kelas enamlah yang bertugas piket ma’had [2], dari piket thobahoh [3], kharisatu nahar [4], kharisatu lail [5], wadhifah ghurfah [6], wadhifah khatif [7], dan juga piket di sore hari yang biasanya disebut bersih lingkungan (berlin).
Pondok Maarif merupakan pondok yang memiliki banyak cabang tersebar di berbagai wilayah di Indonesia, tempat Rania belajar merupakan cabang Pondok Maarif Putri yang ke-lima, letaknya di daerah Kediri, Jawa Timur. Penempatan pondok putra dan putri pun tidak satu wilayah, berbeda dengan pondok pesantren kebanyak yang mempunyai santri putra dan putri pada satu wilayah yang hanya berbatas tembok. Pondok Maarif sangat ketat dalam pengawasan santrinya karena itu pondok putra dan putri terletak pada wilayah yang cukup jauh.
Sore itu saat Rania dan beberapa orang temannya, Aulia, Aira, dan Zakia sedang bertugas membersihkan sampah yang berada di sekitar gedung Syiriah, tiba-tiba suara dari speaker qismu i’lam [8] memanggil namanya untuk datang kebagian riayah [9].
“Ran, nama kamu tuh dipanggil, kamu habis melanggar peraturan ya?” ucap Zakia sedikit cemas.
“He Ki, memangnya kalau dipanggil ustazah riayah harus selalu berhubungan dengan kesalahan ya?” sungut Aulia tak terima.
“Hehehe, ya nggak juga sih,” Zakia menggaruk kepalanya yang tertutup kerudung putih.
“Eh sudah-sudah yang dipanggil aku kok kalian yang ribut, tenang saja aku tidak merasa melakukan kesalahan. Jadi, kalian tidak perlu khawatir, palingan juga akan ada tamu yang datang,” ucap Rania mencoba menenangkan teman-temannya.
“Ya sudah Ran, cepat ke sana!” ucap Aira.
Tanpa disuruh dua kali Rania memberikan sapu lidi yang dipegangnya pada Aira dan berlari ke hujroh [10] ustazah riayah. Dengan nafas yang masih terengah-engah ia mengucapkan salam di depan pintu riayah.
“Waalaikum salam, naam suaya [11],” ucap salah satu ustazah dari dalam hujroh.
Rania menunggu dengan sedikit cemas. Ia mencoba menyakinkan dirinya bahwa tidak ada kesalahan yang ia perbuat sehingga tidak ada alasan bagi ustazah riayah untuk menghukumnya. Namun, dia juga tidak dapat membohongi perasaannya, takut apabila secara tidak sengaja melanggar peraturan, gadis itu tidak ingin mendapatkan hukuman di hari-hari terakhirnya di pondok, baginya sudah cukup banyak peraturan yang selama ini dilanggar oleh dirinya selama berada di Pondok Maarif. Salah satu hal yang ditakutkan Rania adalah memakai kerudung berwarna oranye mencolok, hadiah khusus dari ustazah riayah bagi para santri yang melanggar peraturan. Baginya sudah cukup lima kali saja memakai kerudung mencolok itu. Itu merupakan hukuman yang memalukan. Saat semua santi memakai kerudung putih, orang yang melanggar memakai kerudung berwarna oranye, berbeda dari yang lain, selain itu ditambah dengan dijemur di depan masjid setelah Salat Zuhur dengan membawa papan bertuliskan kesalahan yang telah dilakukan, semua mata tentunya akan tertuju pada si pelaku, seakan-akan diadili oleh semua penghuni dunia.
Saat Rania sibuk dengan pikirannya, suara langkah kaki terdengar semakin mendekatinya, ia menegakkan pandangannya, dan melihat seorang wanita berumur 23 tahunan berdiri tegap di hadapannya, badannya lebih tinggi beberapa senti dari Rania, tubuhnya tidak gemuk dan tidak kurus, cukup proposional, ia adalah Ustazah Uswah, asisten wali kelas 6 B, kelas Rania belajar.
“Rania, seusai Salat Magrib siapkan guest house [12] ya, karena pukul delapan nanti Ustaz Hanafi dan sekertarisnya akan berkunjung ke sini,” ucap Ustazah Uswah to the point.
“Oh, naam [13] Ustazah,” ucap Rania sopan.
“Beri tahu qismu ghurfah [14] dari sannah sadisa [15] yang lain ya.”
“Naam Ustazah.”
“Kalau begitu lanjutkan pekerjaan kamu yang lain!”
“Naam ustazah, syukron [16]. Assalammualaikum,” Rania berpamitan dan mencium punggung tangan Ustazah Uswah.
Rania kembali berjalan ke tempat teman-temannya berada. Dari kejauhan terlihat Aulia, Aira, dan Zakia sedang duduk berselonjor di samping taman depan gedung Syiriah. Pekerjaan mereka telah beres, mereka menunggu kedatangan Rania sambil bersantai.
“Ran bagaimana? Kamu tidak mendapat hukuman kan?” Aulia berseru heboh.
Rania hanya tersenyum dan menggelengkan kepalanya.
“Terus kenapa kamu dipanggil ke riayah?” Aira kini ikut bertanya tidak sabar.
“Biasa, mau ada tamu, jadi qismu ghurfah disuruh bersih-bersih guest house,” ucap Rania sambil duduk di sebelah Aira.
“Wah meskipun sudah pergantian pengurus masih saja bertugas ya, kasihan, hahaha,” Zakia melontarkan ledekannya. Suara tawanya yang cempreng membuat Rania, Aulia, dan Aira menutup telinga.
“Kia diam!” ucap Rania, Aulia, dan Aira serempak.
Zakia menghentikan tawanya dan menatap kesal pada tiga temannya, kemudian mereka berempat tertawa bersama-sama.
“By the way, tamunya siapa sih?” Aira menghentikan tawa mereka.
“Ustaz Hanafi dan sekertarisnya.”
“Apa? Ustaz Hanafi dan sekertarisnya? Kamu tidak bohongkan Ran?” Aulia berseru heboh.
“Untuk apa aku berbohong? Kamu kenapa sih heboh begitu?” Ucap Rania.
“Aduh Ran, kamu ini seperti tidak tahu saja, sekertarisnya Ustaz Hanafi itu kan ganteng banget, banyak santriwati dan ustazah yang suka beliau juga,” ucap Aulia antusias.
“Aduh kambuh lagi penyakitnya,” ucap Zakia, Rania dan Aira hanya tertawa geli melihat sikap Aulia.
**
Setelah Salat Magrib dengan cepat Rania, Anisa, dan Fatma mengganti mukenah mereka dengan kerudung dan bergegas ke guest house. Saat mereka sampai, Ustazah Uswah telah menuggu mereka.
“Ustaz Hanafi sebentar lagi tiba, tadi guest house sudah dibersihkan, sekarang kalian tinggal siapkan makan malam dan meja makannya saja. Tadi Ustazah Alin juga sudah membeli nasi dan lauknya, semuanya ada di dapur, saya harus pergi sekarang kalian bisa sendirikan?” tutur Ustazah Uswah dengan wajah datar.
“Naam Ustazah,” ucap Rania, Fatma, dan Anisa bebarengan.
Tanpa ba-bi-bu mereka bertiga langsung pergi ke dapur. Lauk yang telah dibeli oleh Ustazah Alin mereka hidangkan di mangkuk dan piring-piring. Saat mereka sedang asyik menata meja makan tiba-tiba terdengar suara mobil berhenti di depan guest house, tanpa menunggu komando mereka mempercepat kerja mereka.
“Aduh aku mabtun [17],” ucap Fatma tiba-tiba.
“Haduh jangan bohong deh,” Anisa tidak percaya.
“Beneran ini, aku tidak berbohong, aku ke kamar mandi dulu ya, maaf.”
Fatma berlari dengan wajah yang sulit diartikan, seakan menahan sesuatu yang akan keluar. Rania hanya tersenyum melihat ekspresi wajah Anisa yang kesal pada Fatma.
“He jangan cemberut dong, kamu kenapa tidak percaya pada Fatma? Lagi pula untuk apa dia berbohong?”
“Ran kamu ini, tahu sendirikan setiap Ustaz Hanafi ke sini Fatma kan selalu menghidar, dia itu tidak mau bertemu dengan beliau. Padahal kalau aku jadi Fatma, aku akan memanfatkan keadaan.”
“Maksudnya kamu memanfaatkan keadaan? Ah aku tahu kamu mau cari perhatian sama sekertaris Ustaz Hanafi ya?” Rania menggoda Anisa.
“Ngawur kamu, maksudku memanfaatkan keadaan untuk meminta tambahan uang saku ke Ustaz Hanafi, kan Fatma keponakan ustaznya, andai saja aku yang keponakannya pasti dapat uang saku tambahan,” ucap Anisa penuh harap.
“Anisa kamu ini, Masyaallah, uang saku terus yang dipikirin, kamu jangan mikir enaknya saja, pikirin juga sisi negatifnya.”
“Maksud kamu? Memangnya ada sisi negatif menjadi keponakan Ustaz Hanafi?” tanya Anisa dengan wajah polos.
“Ya tentu saja ada. Misalnya, Fatma pasti akan ditanya-tanya tentang ujian kemarin, terus tugas akhir papernya dia, kan kamu tahu sendiri dulu saja secara tiba-tiba Ustaz Hanafi pernah ngetes Fatma waktu dia masih kelas lima.”
“Ah iya kamu benar juga. Aku tidak berpikir sejauh itu. Aku jadi ingat saat itu Fatma bilang dunia seperti berhenti berputar. Aku tidak bisa membayangkan bagaimana rasanya menjadi Fatma saat itu, ih horor.”
Rania tertawa geli melihat ekspresi wajah Anisa, “Lebih horor melihat kamu Sa.”
Anisa memutar kedua bola matanya, membuat Rania tertawa terpingkal-pingkal, saat itulah tiba-tiba suara langkah kaki seseorang berjalan mendekati mereka.
“Afwan Ukhti, fi Ma’ [18]?” suara asing yang tidak pernah didengar Rania menggema di langit-langit dapur.
Rania dan Anisa merasa salah tingkah, berharap tingkah aneh mereka sebelumnya tidak dipergoki oleh pria yang kini tegap berdiri di depan mereka.
“Eh, ma..ma.ujud [19] Ustaz,” ucap Rania sedikit tergagap. Pandangan mata Rania tertuju pada kaki pria itu, berusaha menghindari pandangan mata pria yang ada di hadapannya.
“Ini Ustaz,” Anisa dengan sigap memberikan botol air mineral kepada pria yang mereka panggil dengan sebutan ustaz itu, setelah menerima uluran air, pria itu mengucapkan terima kasih dan pergi meninggalkan mereka.
“Ran...Ran sumpah ganteng banget ustaz itu,” bisik Anisa sambil mencengkram lengan Rania.
“Aduh kamu ini apa-apaan sih Nis, sakit tahu,” keluh Rania kesal sambil melepaskan cengkraman tangan Anisa.
“Aduh kamu kok biasa saja, padahal baru saja ada pangeran di hadapan kita,” ucap Anisa dengan gaya centilnya.
“Anisa kamu ini apa-apaan si, kamu kan tahu memandang pria yang bukan mahrom kamu dengan intens itu dosa, zina mata tahu nggak si.”
“Sekali-kali nggak apa-apa kali, kenapa kamu jadi sewot sih?” Ucap Anisa kesal.
“Bukannya sewot, cuman mengingatkan kamu saja Nis, ingat dosa!” ucap Rania geram.
“Iya bu nyai, maaf, sudah jangan ributin itu lagi, mendingan kita membawa semua makanan ini ke meja makan.”
“Nah, itu baru benar,” Rania tersenyum jail ke arah Anisa.
Rania dan Anisa pun memindahkan makanan yang ada di dapur ke ruang makan, karena kecerobohan Anisa kuah soto yang ia bawa tumpah ke bajunya, kebetulan malam itu ia memakai baju berwarna biru langit sehingga bercak kuning terlihat jelas di bajunya. Anisa merasa malu apabila harus ikut menghidangkan makanan di hadapan Ustaz Hanafi dan Ustaz Ahda dengan keadaan seperti itu. Ia pun menolak untuk keluar dapur. Jadilah Rania seorang diri yang menata meja makan.
Ketika Rania sedang menyiapkan piring di atas meja makan tiba-tiba Ustaz Ahda telah berdiri di sampingnya, membuat Rania kaget dan salah tingkah.
“Maaf saya mengagetkan kamu,” ucap Ustaz Ahda penuh penyesalan.
“Tidak apa-apa Ustaz,” ucap Rania sambil menundukkan pandangannya.
“Ustaz Hanafi kurang sehat, beliau mengalami sakit kepala. Jadi, akan makan di dalam kamarnya dan baru berkeliling mahad besok pagi,” ucap Ustaz Ahda tiba-tiba, membuat Rania bingung memberikan tanggapan.
“Oh, naam Ustaz,” akhirnya hanya kata-kata itu saja yang keluar dari bibir mungilnya.
“Saya yang akan mengantarkan makan malam Ustaz Hanafi,” lanjut Ustaz Ahda.
“Oh, naam ustaz,” lagi-lagi hanya itu yang dapat Rania ucapkan.
Keadaan hening beberapa saat, dalam keheningan Ustaz Ahda sedikit mencuri pandang pada wanita yang berada di hadapannya itu, Rania yang merasa diperhatikan merasa semakin salah tingkah. Jantungnya tiba-tiba berdegup lebih cepat, perasaan aneh menyergap dirinya, ia mulai sibuk dengan hatinya yang berkecamuk tak menentu.
“Di mana teman kamu yang tadi?” Suara lembut Ustaz Ahda memecah keheningan.
“Ada di dapur Ustaz, sedang membersihkan dapur,” ucap Rania dengan suara sedikit bergetar. Dalam hati ia merutuki dirinya sendiri, berharap agar Ustaz Ahda tidak menyadari suaranya yang bergetar.
Setelah merapikan meja makan, Rania berpamitan untuk kembali ke dapur, tetapi Ustaz Ahda menghentikannya.
“Sebentar, saya minta tolong kamu masak air panas ya, saya mau membuat kopi tapi tidak terbiasa menggunakan air panas dari dispenser, kamu tidak keberatan kan?”
“Oh baik Ustaz, akan saya rebuskan airnya,” ucap Rania dengan menyunggingkan senyum manisnya, tanda bahwa ia tidak merasa keberatan dengan permintaan Ustaz Ahda.
“Oh iya sampai mendidih ya,” tambah Ustaz Ahda.
“Naam Ustaz,” Rania berjalan menuju dapur dan meninggalkan Ustaz Ahda yang sedang mempersiapkan makan untuk Ustaz Hanafi.
Saat Rania tiba di dapur, Fatma ternyata telah kembali dan sedang asyik berbincang-bincang dengan Anisa, pandangan kedua teman Rania itu terasa misterius, tajam dan menakutkan, seperti pandangan mata serigala yang sedang memandang tajam ke arah mangsanya.
“Kalian kenapa sih melihatku seperti itu?” tanya Rania heran.
“Kamu bicara tentang apa saja dengan ustaz kece?” tanya Anisa sewot.
“Apa saja yang kamu lakukan di ruang makan tadi? Hayo ngaku!” timpal Fatma.
Rania berkacak pinggang di depan teman-temannya dengan wajah yang penuh kekesalan, “Maksud kalian apa?”
“Halah tidak perlu sok polos, kita tahu lagi,” ucap Anisa sambil menahan tawa, Rania hanya mengerutkan keningnya, tanda tak mengerti dengan ucapan kedua temannya itu.
“Ah terserah kalian lah, aku mau masak air panas dulu,” ucap Rania kesal.
“Cie..cie,” Fatma dan Anisa dengan kompak menyoraki Rania. Rania memilih tidak meladeni mereka, dia melanjutkan pekerjaannya dengan diam.
“Jangan marah dong Ran, kita kan hanya bercanda,” ucap Anisa setelah hening beberapa saat.
“Siapa coba yang marah, aku hanya malas meladeni kalian saja,” ucap Rania sambil menjulurkan lidahnya ke arah Anisa.
“Heh Ran aku mau tanya serius, jawabnya yang serius juga ya,” ucap Fatma dengan ekspresi wajah penuh keseriusan.
“Kamu mau tanya apa Fat? Jangan membuat aku merinding gitu deh!” ucap Rania.
“Kamu suka apa tidak dengan Ustaz Ahda?” Ucap Fatma to the point, membuat Rania memutarkan bola matanya, tanda kesal.
“Ran jawab dong, aku serius ini!” Fatma memaksa.
“Iya Ran jawab, apa susahnya sih tinggal jawab?” Anisa membantu Fatma.
“Aduh kalian ini apa-apaan sih, aku saja baru bertemu hari ini, detik ini dengan ustaznya, kok ya sudah ditanya suka apa tidak, lagi pula kenapa sih kalian kepo banget?” Rania mulai emosi.
“Bukan maksudnya kepo, cuma kita lihat-lihat sepertinya Ustaz Ahda suka dengan kamu,” ucap Anisa tanpa ragu.
Rania menghembuskan nafas kasar, tanpa menanggapi ucapan kedua temannya. Ia mematikan kompor LPG dan mengangkat air mendidih dalam panci, kemudian memasukkannya ke dalam tremos air panas.
“Ran kami serius, tadi waktu kamu berbicara dengan ustaznya di ruang makan, kita kan ngintip dari celah pintu, terus aku memperhatikan ekspresi wajah ustaznya waktu ngelihatin kamu. Aduh ekspresinya ituloh ekspresi penuh cinta,” ucap Anisa mendramatisasi.
Rania meletakkan panci yang dipegangnya, masih terdapat sisa air panas yang mengepul, “Nis sudah deh kamu ini ngarang saja kerjaannya.”
“Ya sudah kalau kamu tidak percaya, kan kamu tahu aku punya kelebihan membaca ekspresi wajah seseorang,” ucap Anisa kesal.
“Ya sudah terserah kamu, yang jelas memandang orang yang bukan mahromnya itu dosa, apa lagi kalau menikmati pemandangan itu jadi zina mata, ingat itu Nis!” Rania semakin emosi menanggapi dua teman baiknya itu.
“Iya, tenang saja tidak akan aku ulangi lagi kok. Tadikan cuma mau lihat dan memastikan apa benar gosip yang beredar selama ini kalau sekertaris Ustaz Hanafi itu cakep, eh ternyata gosipnya bukan gosip tapi fakta,” ucap Anisa tanpa rasa bersalah.
“Terserah kamu lah yang penting aku sudah mengingatkan. Jadi, kalau dosa ditanggung sendiri ya.”
“Tapi aku masih penasaran kamu suka apa tidak dengan Ustaz Ahda?” Anisa masih berusaha mencari jawaban dari Rania.
“Nis aku baru pertama kali bertemu dengan beliau, jadi aku tidak tahu, lagian rasa suka itukan tidak bisa begitu saja datangnya,” ucap Rania sambil menutup termos.
“Ya kan ada cinta pada pandangan pertama,” Anisa tak mau kalah.
“Pandanganku tidak tertuju pada beliau, jadi aku tidak mungkin merasakan cinta pada pandangan pertama,” Rania membela diri.
“Em, okelah bisa diterima deh jawaban kamu, tapi kamu bisa pegang omongan aku kok, kalau ustaz kece itu ada rasa tertarik dengan kamu,” Anisa mengakhiri ucapannya.
Rania tidak lagi menanggapi ucapan Anisa, ia berjalan keluar dapur menuju ke ruang makan untuk memberikan air panas yang diminta Ustaz Ahda, namun di dalam hatinya mulai timbul pertanyaan. Pertanyaan akan kebenaran dari pernyataan Anisa. Benarkah Ustaz Ahda tertarik padanya? Memikirkan hal itu membuat jantung Rania berdegup tidak menentu.
Saat Rania tiba di ruang makan, Ustaz Ahda sedang menyantap makan malamnya, kaki Rania terasa berat saat berjalan mendekatinya, Rania sendiri tidak mengerti apa penyebabnya, hanya saja ia merasa tidak nyaman berada di satu tempat dengan pria yang bukan mahromnya tanpa ada orang lain, meski di ruang lain ada Ustaz Hanafi dan juga dua temannya yang berhasil membuat hati Rania merasakan perasaan campur aduk.
“Hadha alma’ [20] ustadz,” ucap Rania sambil menyodorkan air dalam termos yang ia pegang.
“Oh iya, terima kasih ya,” ucap Ustaz Ahda dengan senyum manis yang membuat kedua lesung pipinya terlihat, namun Rania hanya melihat senyum itu dengan samar karena pandangan matanya terfokus pada meja makan bukan pada wajah tampan sang ustaz.
Ustaz Ahda mengambil termos dari tangan Rania, ia memegang bagian ujung termos yang ternyata sedikit licin karena basah, hampir saja termos itu jatuh ke lantai, untungnya Rania secara sigap menangkap termos itu, tanpa sadar Ustaz Ahda juga melakukan hal yang sama, tetapi yang tertangkap oleh tangan Ustaz Ahda adalah ujung jari Rania. Secara tidak sengaja tangan mereka pun saling menyentuh.
“Maaf,” ucap Rania dan Usta Ahda secara bersamaan.
Keduanya tampak salah tingkah dan kikuk, buru-buru Rania berpamitan agar wajahnya yang bersemu merah tidak terlihat oleh Ustaz Ahda. Saat itulah ketika tangan mereka secara tidak sengaja saling bersentuhan Rania untuk pertama kalinya dapat memandang dengan intens wajah pria yang telah berhasil membuat hatinya berkecamuk tak menentu, tentu saja tatapan mata mereka bertemu secara tak sengaja. Setelah dapat menguasai dirinya kembali Rania buru-buru memalingkan tatapan matanya, dan berusaha menetralisasi hatinya yang berdesir tidak karuan.
∞
Dalam lindungan pencipta alam ku serahkan hidupku
Allah, Tuhan pemberi cinta
Segalanya masih rahasia
Penuh misteri tak dapat diprediksi
Yang dekat tak selalu dekat
Yang jauh tak selalu jauh
Biarlah takdir yang menentukan
Biarlah waktu yang berbicara
Ku serahkan segalanya pada Allah Taala
[1] ujian akhir tahun di semester genap
[2] pondok
[3] menjaga makanan di dapur
[4] piket gedung dan lingkungan pondok di siang hari
[5] jaga pondok di malam hari
[6] berjaga di tempat penerimaan tamu
[7] berjaga di tempat penerimaan telepon
[8] bagian informasi
[9] pengasuhan (bagian yang mengurusi segala sesuatu, berhubungan dengan santri, pimpinan pondok, masalah santri, berhubungan dengan wali santri, keamanan pondok, penanggung jawab penuh santri-santri yang ada di pondok, berwenang memberikan hukuman pada para santri khususnya kelas lima dan enam, dipegang oleh ustazah)
[10] kamar
[11] iya, sebentar
[12] kamar tamu
[13] iya
[14] bagian penerimaan tamu
[15] kelas enam
[16] Terima kasih
[17] sakit perut
[18] maaf, saudara (pr), apa ada air minum?
[19] ada
[20] ini airnya
Malam semakin larut, jam menunjukkan pukul 21.00 WIB, PM masih ramai dengan kesibukan belajar para santri kelas 1-5, sedangkan siswi akhir atau kelas enam ada yang sibuk mengerjakan dan memperbaiki paper tugas akhir, ada yang sibuk hafalan jus tiga puluh dan surat pilihan ke ustazah pembimbing masing-masing, ada pula yang mengulang hafalan sendiri. Memang benar ungkapan yang mengatakan Alma’hadu La Yanamu Abadan yang berarti bahwa Pondok tidak pernah Tidur.Meskipun sudah kelas enam tidak berarti mereka bisa berleha-leha dan bebas dari kegiatan pondok, bukan hanya bertanggung jawab dalam menjaga kebersihan PM tapi mereka juga mempunyai setumpuk tugas akhir sebagai persyaratan mengikuti yudisium kelulusan, seperti tugas membuat paper yang berhubungan dengan Ilmu Fikih, Hadis, dan Tafsir yang tentunya ditulis dengan bahasa wajib PM, yaitu bahasa Arab dan bahasa Inggris, santri mempunyai kebebasan untuk memilih salah satu dari dua bahasa wajib tersebut, s
“Apa aku bilang, Ustazah Uswah baik kan, mekipun beliau ustazah riayah tapi beliau itu lembut, aduh pokoknya baik banget ustazahnya itu,” ucap Fatma terus-menerus.“Fatma cukup ya, kamu dari tadi tidak selesai-selesai memuji Ustazah Uswah. Lebih baik kamu sekarang diam saja, jangan mengganggu Rania. Biarkan dia berkonsentrasi menyelesaikan papernya, kamu sekarang hafalan jus tiga puluh saja, belum selesaikan hafalan kamu?” ucap Aulia.Fatma hanya memberikan cengiran khasnya, menyadari bahwa masih banyak surat dari jus tiga puluh yang belum ia hafal, ia pun menghentikan kecerewetannya dan memilih untuk kembali menenggelamkan diri dengan jus amma yang ia pegang.Rania pun dapat tersenyum kembali berkat kemurahan hati Ustazah Uswah yang bersedia menjadi ustazah pembimbing pengganti untuk dirinya. Tentunya hal itu terjadi juga berkat keberania dua temannya untuk bercerita kepada Ustazah Uswah. Malam itu ia pun begadang di depan
Waktu menunjukkan pukul 05.00 WIB, Rania mengakhiri aktivitasnya di dapur umum dan dengan segera bergegas ke dapur guest house melalui pintu belakang. Saat ia tiba di sana telah ada Fatma yang sibuk memanaskan lauk.“Aku kira kamu tertidur,” ucapan Fatma menyambut kedatangan Rania.“Aku tidak mungkin ingkar janji, tadi aku dari dapur umum, bantu-bantu yang piket di sana, takutnya kalau aku ke kamar tidak bisa bangun.”“Subhanaallah kamu baik banget sih Ran,” Fatma memeluk Rania yang berdiri di sampingnya.“Sudah lah Fat, tidak perlu berlebihan juga,” Ramia mencoba melepaskan tangan Fatma yang memeluk lehernya.“Kamu ah tidak bisa diajak romantis-romantisan,” Fatma melepaskan tangannya kemudian memasang wajah cemberut.“Ih, kamu ini ada-ada saja, jelas lah aku tidak mau romantis-romantisan dengan kamu, maunya ya sama suamiku nanti, kalau sama kamu nanti jadiny
“Rania, kamu kenapa dari tadi siang melamun terus?” Aira teman sekamar Rania menegurnya.“Ih, siapa bilang aku melamun, kamu ada-ada saja,” Rania mengelak.“Nggak usah bohong sama aku, jadi cerita saja,” Aira tidak menyerah.“Diamlah Ra ini sudah malam, nanti yang lain bisa terbangun, sebaiknya kita tidur saja.”“Jangan mencoba mengalihkan pembicaaan.”“Aku tidak mengalihkan pembicaraan, tapi berbicara kenyataan, sudah tidur sana!”“Aku mengenalmu sudah sangat lama, aku tahu kapan kamu sedang jujur dan kapan kamu sedang berbohong, jadi jangan coba-coba bermain denganku,” Aira semakin menggoda Rania.Rania berpura-pura menutup matanya dan diam tanpa menghiraukan ucapan Aira kembali. Aira merasa kesal karena diacuhkan, ia memukul wajah Rania dengan bantal.“Auh, kamu ini apa-apaan sih Ra?” sungut Rania dengan kesal.&ld
Waktu bergulir tanpa terasa, detik berlalu menjadi menit, menit berlalu menjadi jam, jam berlalu menjadi hari, dan semuanya berjalan terus menerus. Hari itu Rania dan 789 santriwati dari seluruh pondok cabang PM berkumpul di lapangan hijau PM pusat yang berada di daerah Ngawi, Jawa Timur. Mereka menunggu nama mereka dipanggil untuk mengetahui keputusan tempat mereka akan mengabdi selanjutnya. Meskipun suasananya tidak semenakutkan saat mereka menjalani yudisium kenaikan ke kelas enam. Namun, tetap saja rasa khawatir menguasai diri mereka, selain harap-harap cepam karena takut tidak lulus, mereka juga khawatir mendapatkan tempat pengabdian yang tidak sesuai dengan hati dan keinginan mereka.“Ran, kamu harus jujur kemarin waktu mengisi angket, dimana kamu memilih tempat pengabdian?” Aira membuka pembicaraan.“Memangnya penting?” Rania malas menanggapi.“Kamu kenapa sih merahasiakannya?” kini Aulia buka suara.&ld
Saat keluar kamar, Rania, Aulia, dan Aira melihat masih banyak santriwati yang berkeliaran di sekitar masjid, ada yang berbincang dengan teman, ada yang mengucapkan salam perpisahan, ada pula yang hanya sekadar berfoto selfi dengan teman dan keluarga.“Kamu tadi jahat banget sih tidak mengajak aku ke pengasuhan, aku kan juga mau bertemu dengan Ustazah Uswah,” gumam Aira tiba-tiba di tengah perjalanan.“Ya kamu ke kamar mandi, aku sudah ditungguin ustazahnya, jadi tidak enak juga kalau aku menunggumu.”“Ah kamu menyebalkan. Aku jadi tidak bisa bertemu lagi dengan ustazahnya.”“Ya Allah tinggal ke pondok lagi kalau mau bertemu beliau, lagi pula aku tadi juga sebentar, hanya mengambil handphone yang aku titipkan, kemudian aku pergi, soalnya di pengasuhan lagi ramai banget.”“Em gitu, tapi buat apa juga ke pondok, kan tahun ini ustazahnya selesai pengabdian,” Aira menundukkan wajahnya
“Bismillahirrohmanirrohim, saya tahu ini memang terlalu cepat, kita juga baru beberapa kali bertemu, tapi sejak pertama bertemu denganmu saya merasa bahwa kamu adalah jawaban doa yang dikirimkan Allah untuk saya,” Ahda menghentikan kata-katanya sejenak.“Saya harap kamu bersedia menunggu saya hingga saya lulus nanti,” lanjut Ahda dengan perasaan hati yang berkecamuk.Rania terdiam, ia tidak mampu berkata-kata. Jantungnya terasa berhenti berdetak, darahnya seperti membeku. Terkejut. Tentu saja ia merasakan hal itu, wania mana yang tidak terkejut mendengar pria yang bari dikenalnya berkata seperti itu.“Saya tahu kamu pasti kaget mendengar ucapan saya. Tapi percayalah saya tidak mempunyai niat buruk, saya hanya ingin bersama-sama dengan kamu menuju surga Allah,” ucap Ahda tulus.“Saya tahu kesempatan tidak akan datang dua kali. Dulu saya pernah kehilangan seseorang yang berarti dalam hidup saya karena tidak
“Senang dik akhirnya kamu lulus juga,” ucap Andi, Kakak Rania saat bersantai di ruang keluarga.Sudah dua hari Rania berada di rumahnya, namun baru dapat bertemu kakaknya malam itu, kesibukan dan urusan bisnis sang kakak di luar kota lah yang membuat Rania tidak bisa langsung menemui Andi saat tiba di rumahnya.“Belum sepenuhnya aak, kan masih ada pengabdian juga.”“Tapi kan setidaknya sudah alumni.”“Baiklah terserah aak sajalah.”“Itu yang terbaik Ran, kalau sama aakmu itu mengalah saja, percuma kamu tanggapi ujung-ujungnya kalah,” Teh Rita, istri Andi yang baru bergabung di ruang keluarga ikut menanggapi.“Teteh sepertinya berpengalaman sekali,” Rania tersenyum melihat kakak iparnya yang cemberut mendengar ucapan Rania.“Ya begitulah aakmu ini tidak pernah mau mengalah meskipun yang diajak berdebat itu perempuan,” Rita melirik kesal pada suaminya.