Malam semakin larut, jam menunjukkan pukul 21.00 WIB, PM masih ramai dengan kesibukan belajar para santri kelas 1-5, sedangkan siswi akhir atau kelas enam ada yang sibuk mengerjakan dan memperbaiki paper tugas akhir, ada yang sibuk hafalan jus tiga puluh dan surat pilihan ke ustazah pembimbing masing-masing, ada pula yang mengulang hafalan sendiri. Memang benar ungkapan yang mengatakan Alma’hadu La Yanamu Abadan yang berarti bahwa Pondok tidak pernah Tidur.
Meskipun sudah kelas enam tidak berarti mereka bisa berleha-leha dan bebas dari kegiatan pondok, bukan hanya bertanggung jawab dalam menjaga kebersihan PM tapi mereka juga mempunyai setumpuk tugas akhir sebagai persyaratan mengikuti yudisium kelulusan, seperti tugas membuat paper yang berhubungan dengan Ilmu Fikih, Hadis, dan Tafsir yang tentunya ditulis dengan bahasa wajib PM, yaitu bahasa Arab dan bahasa Inggris, santri mempunyai kebebasan untuk memilih salah satu dari dua bahasa wajib tersebut, selain menggunakan bahasa wajib PM paper juga ditulis dengan tulisan tangan bukan dengan ketikan. Selain paper siswi kelas enam juga mempunyai tugas untuk menghafalkan jus tiga puluh dan beberapa tambahan surat-surat pilihan, cukup berat namun itu adalah kewajiban yang harus dipenuhi.
Malam itu ketika Rania sedang sibuk mengulang hafalan jus tiga puluh dan surat-surat pilihan di depan taman gedung Santiniketan, tiba-tiba suara Aulia yang sedikit cempreng berteriak memanggilnya.
“Kamu kenapa sih, teriak-teriak tidak jelas, kamu pikir ini hutan apa?” sungut Rania ketika Aulia telah berada di sampingnya.
“Ya maaf kan sudah kebiasaan suka teriak-teriak,” ucap Aulia tanpa rasa bersalah sambil memperlihatkan cengiran kudanya.
Rania melotot malas pada Aulia, kemudian ia melanjutkan kembali hafalannya.
“Eh Rania sebentar, Aulia mau bicara,” Aulia menarik tangan kanan Rania.
“Apa sih Aul? Kamu ini mengganggu hafalanku saja,” Rania menunjukkan wajah kesalnya.
“Ih sabar dulu, aku juga belum hafalan kok, kamu dipanggil Ustazah Aida di hujroh wartel.”
Rania berpikir sejenak, “Ustazah Aida? Perasaan aku tidak ada urusan dengan ustazahnya deh.”
“Pembimbing paper akhir kamu kan Ustazah Ilma.”
“Iya Ustazah Ilma, terus apa hubungannya dengan Ustazah Aida?”
“Ih kamu ini, kalau ada orang bicara dengar dulu sampai selesai jangan dipotong.”
“Iya, maaf deh.”
“Jadi, ceritanya Ustazah Ilma itu disuruh pulang mendadak oleh orangtuanya karena neneknya sakit, terus paper yang kamu kumpulkan ke ustazahnya seminggu yang lalu dititipkan ke Ustazah Aida. Lalu, karena Ustazah Aida beberapa hari yang lalu ada urusan di ma’had pusat jadinya baru sempat sekarang mengembalikan ke kamu, paham?” Aulia menjelaskan panjang lebar.
“Oh begitu, paham teman tercintaku, terus sekarang di mana paperku?” mata Rania memperhatikan tubuh Aulia, mencari-cari kalau temannya itu membawa paper tugas akhirnya.
“Ya dibawa Ustazah Aida.”
“Kenapa tidak bilang dari tadi?” ucap Rania geram.
“Ya ini sudah bilang.”
“Terserah kamu deh, yang penting sekarang kamu harus mengantarkanku ke sana,” tanpa mendengar jawaban Aulia, Rania menarik paksa tangan temannya itu.
Tanpa disadari Rania, sedari tadi ada seseorang yang terus memperhatikan tingkah lakunya bersama Aulia. Orang itu adalah Ahda, ia duduk di depan guest house saat Rania sedang menghafalkan hafalan Al-qurannya. Meski suasana di sana cukup ramai, namun tidak sulit bagi Ahda untuk menemukan sosok Rania.
Rania berjalan tergesa-gesa menuju hujroh Ustazah Aida yang berada dibagian gedung Syanggit, perasaannya tiba-tiba tidak enak. Ia takut apabila banyak kesalahan di paper miliknya, apa lagi besok sore adalah hari terakhir pengumpulan. Sejak di perjalanan dia merutuki dirinya sendiri yang ceroboh karena melupakan batas akhir pengumpulan.
“Sudah tenang saja jangan panik!” Aulia mencoba menenangkan Rania.
“Assalammualaikum,” setelah menenangkan dirinya, Rania pun mengucapkan salam di jendela kamar Ustazah Aida, memang begitulah kebiasaan di PM, apabila santri ingin bertemu atau ada keperluan dengan ustazah, mereka akan mengucap salam melalui jendela kamar sang ustazah.
“Waalaikum salam,” ucap seorang wanita dari dalam kamar.
“Ustazah saya Rania, apa Ustazah Aida ada?”
“Oh iya Rania, saya sendiri, sebentar ya.”
“Iya Ustazah.”
Beberapa saat Rania dan Aulia menunggu, kemudian Ustazah Aida membuka celah di jendela kaca kamarnya, “Ini Rania, maaf ya Ustazah baru memberikannya ke kamu sekarang,” ucap Ustazah Aida sambil mengeluarkan paper yang dijepit dengan klip dari celah jendela.
“Iya tidak apa-apa Ustazah, terima kasih Ustazah, assalammualaikum,” Rania mengambil paper miliknya kemudian bergegas meninggalkan gedung Syanggit.
Rania dan Aulia berjalan menuju tempat belajar mereka biasanya, yaitu di taman gedung Santiniketan. Ia membuka paper yang dipegangnya dengan hati-hati. Saat membuka halaman pertama ia masih bernafas dengan lega karena tidak terdapat coretan, memasuki halaman kedua tangannya berkeringat dingin karena tulisannya dicoret-coret di sisi kiri tulisan, terdapat tulisan bahasa Arab di sebelahnya yang menyatakan tulisan Rania tidak sejajar dari baris pertama hingga baris akhir halaman dua. Ia membalik halaman berikutnya dan kesalahan yang sama terlihat di halaman itu, ia mempercepat gerakan tangannya untuk membuka setiap halaman di paper tersebut. Mata Rania memanas, setetes, dua tetes, dan menjadi bertetes-tetes air mata Rania berjatuhan, dari halaman kedua hingga terakhir terdapat kesalahan yang sama di paper Rania yang artinya Rania harus menulis ulang paper tersebut.
“Jangan menangis dong Ran, aku bantuin deh, kamu tenang ya!” Aulia mencoba menenangkan hati Rania.
“Mana bisa Aul, tulisan kita kan tidak sama,” ucap Rania dengan terisak.
“Iya bagaimana ya? Aku juga bingung,” ucap Aulia sambil menggaruk kepalanya yang tertutup kerudung meski tidak gatal.
“Ustazah Ilma tega banget sih,” ucap Rania di sela tangisnya.
“Ada apa ini? Rania kenapa kamu menangis?” tanya Fatma dengan panik.
Tidak ada jawaban dari bibir Rania, Aulia pun angkat bicara dan menjelaskan duduk permasalahannya pada Fatma.
“Oh begitu, jangan sedih dong Ran pasti ada caranya!” ucap Fatma kemudian berusaha menenangkan temannya.
“Tapi besok batas akhir pengumpulannya dan Ustazah Ilma sedang pulang. Selain aku harus mengulang dari awal, aku juga tidak memiliki ustazah pembimbing. Waktunya juga mepet banget,” Rania bersedu-sedan.
“Kita ke Ustazah Uswah saja, bagaimana?” usul Fatma.
“Ustazah Uswah? Untuk apa?” tanya Rania.
“Kita cerita ke Ustazah Uswah permasalahannya terus kita minta tolong ustazahnya menjadi ustazah pembimbing pengganti untuk kamu,” Fatma menjelaskan.
“Ah! Itu ide yang bagus,” Aulia menyetujui.
“Kalau ustazahnya marah?” Rania ragu.
“Marah urusan nanti, yang penting kamu punya pembimbing dulu dan paper kamu bisa dikumpulkan tepat waktu,” ucap Fatma bersemangat.
Rania terdiam, Aulia tidak sabar menunggu sahabatnya itu, ia pun menarik tangan Rania untuk ikut bersamanya ke kamar Ustazah Uswah yang letaknya tidak jauh dari gedung Santiniketan.
Mereka bertiga berjalan melewati depan guest house, Ahda yang sedang berbincang dengan ustaz pengasuh PM 5, yaitu Ustaz Hanafi seketika mengalihkan pandangannya ke arah tiga santri yang berjalan berdampingan, pandangannya tertuju pada santri berjubah merah muda yang berjalan di tengah, diapit kedua temannya. Meski tidak begitu jelas tapi Ahda dapat melihat raut kesedihan di mata santriwati itu dan wajahnya pun terlihat muram tidak seperti beberapa jam lalu saat bertemu dengannya.
“Ustaz, ada apa?” Ustaz Hanafi menegur Ahda yang terlihat tidak fokus.
“Oh tidak Ustaz tadi saya melihat seseorang lewat, sepertinya saya mengenal dia tapi ternyata setelah saya perhatikan lagi bukan orang yang saya kenal,” ucap Ahda beerbohong, dalam hati ia merasa bersalah karena telah berbohong pada Ustaz Hanafi.
“Oh begitu, saya kira kamu sedang memperhatikan santriwati yang ada di sini?”
Ahda merasa tersendiri, ia merasa terkejut dengan ucapan Ustaz Hanafi, ia terlihat kikuk beberapa saat.
“Hahaha, ternyata menggoda antum[1] begitu mudah ustaz, tenanglah jangan dipikirkan saya hanya bercanda,” ucap Ustaz Hanafi, seketika itu Ahda bisa bernafas dengan tenang kembali.
“Atau jangan-jangan benar kamu sedang memperhatikan seorang santri?”
Ustaz Hanafi kembali berbicara, Ahda merasa salah tingkah kembali. Ustaz Hanafi tertawa menyaksikkan sikap pria yang ada di hadapannya itu, Ahda pun menyadari bahwa ustaz pengasuh yang ada di hadapannya ini hanya bergurau, menggodanya.
∞
[1] Panggilan untuk saling menghormati dalam bahasa Arab
“Apa aku bilang, Ustazah Uswah baik kan, mekipun beliau ustazah riayah tapi beliau itu lembut, aduh pokoknya baik banget ustazahnya itu,” ucap Fatma terus-menerus.“Fatma cukup ya, kamu dari tadi tidak selesai-selesai memuji Ustazah Uswah. Lebih baik kamu sekarang diam saja, jangan mengganggu Rania. Biarkan dia berkonsentrasi menyelesaikan papernya, kamu sekarang hafalan jus tiga puluh saja, belum selesaikan hafalan kamu?” ucap Aulia.Fatma hanya memberikan cengiran khasnya, menyadari bahwa masih banyak surat dari jus tiga puluh yang belum ia hafal, ia pun menghentikan kecerewetannya dan memilih untuk kembali menenggelamkan diri dengan jus amma yang ia pegang.Rania pun dapat tersenyum kembali berkat kemurahan hati Ustazah Uswah yang bersedia menjadi ustazah pembimbing pengganti untuk dirinya. Tentunya hal itu terjadi juga berkat keberania dua temannya untuk bercerita kepada Ustazah Uswah. Malam itu ia pun begadang di depan
Waktu menunjukkan pukul 05.00 WIB, Rania mengakhiri aktivitasnya di dapur umum dan dengan segera bergegas ke dapur guest house melalui pintu belakang. Saat ia tiba di sana telah ada Fatma yang sibuk memanaskan lauk.“Aku kira kamu tertidur,” ucapan Fatma menyambut kedatangan Rania.“Aku tidak mungkin ingkar janji, tadi aku dari dapur umum, bantu-bantu yang piket di sana, takutnya kalau aku ke kamar tidak bisa bangun.”“Subhanaallah kamu baik banget sih Ran,” Fatma memeluk Rania yang berdiri di sampingnya.“Sudah lah Fat, tidak perlu berlebihan juga,” Ramia mencoba melepaskan tangan Fatma yang memeluk lehernya.“Kamu ah tidak bisa diajak romantis-romantisan,” Fatma melepaskan tangannya kemudian memasang wajah cemberut.“Ih, kamu ini ada-ada saja, jelas lah aku tidak mau romantis-romantisan dengan kamu, maunya ya sama suamiku nanti, kalau sama kamu nanti jadiny
“Rania, kamu kenapa dari tadi siang melamun terus?” Aira teman sekamar Rania menegurnya.“Ih, siapa bilang aku melamun, kamu ada-ada saja,” Rania mengelak.“Nggak usah bohong sama aku, jadi cerita saja,” Aira tidak menyerah.“Diamlah Ra ini sudah malam, nanti yang lain bisa terbangun, sebaiknya kita tidur saja.”“Jangan mencoba mengalihkan pembicaaan.”“Aku tidak mengalihkan pembicaraan, tapi berbicara kenyataan, sudah tidur sana!”“Aku mengenalmu sudah sangat lama, aku tahu kapan kamu sedang jujur dan kapan kamu sedang berbohong, jadi jangan coba-coba bermain denganku,” Aira semakin menggoda Rania.Rania berpura-pura menutup matanya dan diam tanpa menghiraukan ucapan Aira kembali. Aira merasa kesal karena diacuhkan, ia memukul wajah Rania dengan bantal.“Auh, kamu ini apa-apaan sih Ra?” sungut Rania dengan kesal.&ld
Waktu bergulir tanpa terasa, detik berlalu menjadi menit, menit berlalu menjadi jam, jam berlalu menjadi hari, dan semuanya berjalan terus menerus. Hari itu Rania dan 789 santriwati dari seluruh pondok cabang PM berkumpul di lapangan hijau PM pusat yang berada di daerah Ngawi, Jawa Timur. Mereka menunggu nama mereka dipanggil untuk mengetahui keputusan tempat mereka akan mengabdi selanjutnya. Meskipun suasananya tidak semenakutkan saat mereka menjalani yudisium kenaikan ke kelas enam. Namun, tetap saja rasa khawatir menguasai diri mereka, selain harap-harap cepam karena takut tidak lulus, mereka juga khawatir mendapatkan tempat pengabdian yang tidak sesuai dengan hati dan keinginan mereka.“Ran, kamu harus jujur kemarin waktu mengisi angket, dimana kamu memilih tempat pengabdian?” Aira membuka pembicaraan.“Memangnya penting?” Rania malas menanggapi.“Kamu kenapa sih merahasiakannya?” kini Aulia buka suara.&ld
Saat keluar kamar, Rania, Aulia, dan Aira melihat masih banyak santriwati yang berkeliaran di sekitar masjid, ada yang berbincang dengan teman, ada yang mengucapkan salam perpisahan, ada pula yang hanya sekadar berfoto selfi dengan teman dan keluarga.“Kamu tadi jahat banget sih tidak mengajak aku ke pengasuhan, aku kan juga mau bertemu dengan Ustazah Uswah,” gumam Aira tiba-tiba di tengah perjalanan.“Ya kamu ke kamar mandi, aku sudah ditungguin ustazahnya, jadi tidak enak juga kalau aku menunggumu.”“Ah kamu menyebalkan. Aku jadi tidak bisa bertemu lagi dengan ustazahnya.”“Ya Allah tinggal ke pondok lagi kalau mau bertemu beliau, lagi pula aku tadi juga sebentar, hanya mengambil handphone yang aku titipkan, kemudian aku pergi, soalnya di pengasuhan lagi ramai banget.”“Em gitu, tapi buat apa juga ke pondok, kan tahun ini ustazahnya selesai pengabdian,” Aira menundukkan wajahnya
“Bismillahirrohmanirrohim, saya tahu ini memang terlalu cepat, kita juga baru beberapa kali bertemu, tapi sejak pertama bertemu denganmu saya merasa bahwa kamu adalah jawaban doa yang dikirimkan Allah untuk saya,” Ahda menghentikan kata-katanya sejenak.“Saya harap kamu bersedia menunggu saya hingga saya lulus nanti,” lanjut Ahda dengan perasaan hati yang berkecamuk.Rania terdiam, ia tidak mampu berkata-kata. Jantungnya terasa berhenti berdetak, darahnya seperti membeku. Terkejut. Tentu saja ia merasakan hal itu, wania mana yang tidak terkejut mendengar pria yang bari dikenalnya berkata seperti itu.“Saya tahu kamu pasti kaget mendengar ucapan saya. Tapi percayalah saya tidak mempunyai niat buruk, saya hanya ingin bersama-sama dengan kamu menuju surga Allah,” ucap Ahda tulus.“Saya tahu kesempatan tidak akan datang dua kali. Dulu saya pernah kehilangan seseorang yang berarti dalam hidup saya karena tidak
“Senang dik akhirnya kamu lulus juga,” ucap Andi, Kakak Rania saat bersantai di ruang keluarga.Sudah dua hari Rania berada di rumahnya, namun baru dapat bertemu kakaknya malam itu, kesibukan dan urusan bisnis sang kakak di luar kota lah yang membuat Rania tidak bisa langsung menemui Andi saat tiba di rumahnya.“Belum sepenuhnya aak, kan masih ada pengabdian juga.”“Tapi kan setidaknya sudah alumni.”“Baiklah terserah aak sajalah.”“Itu yang terbaik Ran, kalau sama aakmu itu mengalah saja, percuma kamu tanggapi ujung-ujungnya kalah,” Teh Rita, istri Andi yang baru bergabung di ruang keluarga ikut menanggapi.“Teteh sepertinya berpengalaman sekali,” Rania tersenyum melihat kakak iparnya yang cemberut mendengar ucapan Rania.“Ya begitulah aakmu ini tidak pernah mau mengalah meskipun yang diajak berdebat itu perempuan,” Rita melirik kesal pada suaminya.
Sepanjang malam Rania memikirkan apakah hatinya telah siap menerima kenyataan terpahit yang mungkin saja terjadi. Ia percaya Allah tidak akan mungkin memberikan cobaan di luar kemampuan hambanya. Rania merasa malu pada dirinya sendiri, saat menyadari pikiran-pikiran buruk bersemayam di otaknya.Sekitar pukul dua dini hari setelah beberapa saat tertidur Rania terbangun dan memutuskan mengambil air wudhu untuk salat malam. Usai salat, ia memohon pengampunan atas segala pikiran buruk yang terlintas dipikirannya. Gadis bermata sendu itu memohon pada Allah, Tuhan semesta alam, pemilik siang dan malam untuk memberikan jalan terbaik bagi dirinya dan masa depannya.Usai salat dan berdoa ia membaca wirit hingga pukul tiga pagi, tasbih pemberian Ahda menjadi saksi doa-doa dan bacaan wirit Rania malam itu. Kini semua kegelisahan itu tiba-tiba menghilang, lenyap, dan tergantikan oleh kedamaian. Itulah Rania selalu menenangkan hatinya dengan bermunajat pada Allah.Pagi itu u