Share

Terpisah

Waktu bergulir tanpa terasa, detik berlalu menjadi menit, menit berlalu menjadi jam, jam berlalu menjadi hari, dan semuanya berjalan terus menerus. Hari itu Rania dan 789 santriwati dari seluruh pondok cabang PM berkumpul di lapangan hijau PM pusat yang berada di daerah Ngawi, Jawa Timur. Mereka menunggu nama mereka dipanggil untuk mengetahui keputusan tempat mereka akan mengabdi selanjutnya. Meskipun suasananya tidak semenakutkan saat mereka menjalani yudisium kenaikan ke kelas enam. Namun, tetap saja rasa khawatir menguasai diri mereka, selain harap-harap cepam karena takut tidak lulus, mereka juga khawatir mendapatkan tempat pengabdian yang tidak sesuai dengan hati dan keinginan mereka.

“Ran, kamu harus jujur kemarin waktu mengisi angket, dimana kamu memilih tempat pengabdian?” Aira membuka pembicaraan.

“Memangnya penting?” Rania malas menanggapi.

“Kamu kenapa sih merahasiakannya?” kini Aulia buka suara.

“Kalian penasaran banget ya?” goda Rania.

“Atau jangan-jangan kamu mengisi angket itu dengan pengabdian pada suami?” balas Aira jahil.

“Ah benar, jangan-jangan,” Aulia ikut menggoda.

“Hust...kalian ini berisik banget, diam dong tidak enak dengan yang lain,” Rania berusaha menenangkan keadaan.

“Wah kamu tidak mau menjawabnya, berarti benar ya? Kamu mau menikah?” Aira tidak menyerah.

“Ya iyalah mau,” Rania menanggapi.

“Jadi, benar kamu mau menikah? Dengan siapa?” Aulia dan Aira berseru girang.

“Ya mau, siapa coba yang tidak mau menikah, semua orang juga mau, kalian juga pasti mau kan? Nah masalah dengan siapanya itu yang aku juga belum tahu, masih di tanggan Allah jodohku.”

“RANIA!!!” Aira dan Aulia berteriak geram pada sahabatnya itu, beberapa orang memperhatikan mereka karena berisik.

“Hust, diam, lihatlah semua orang memandang ke arah kita,” Rania memelototkan matanya kepada dua sahabatnya itu.

“Kamu sih jahil banget,” Aira merasa kesal karena merasa tertipu dengan ucapan sahabatnya itu.

“Kalian sih penasaran banget,” sahut Rania kesal.

Aira dan Aulia tidak lagi menghiraukan ucapan Rania, mereka berpura-pura kesal padanya dengan harapan Rania akan berkata jujur pada mereka, tentang tempat pengabdian yang ditulis Rania di angket.

“Baiklah kalian menang aku kalah, kalian menyebalkan. Oke aku akan bicara, aku menulis pengabdian luar. Apa kalian puas?” Rania memutuskan mengalah pada dua sahabat baiknya itu.

Kedua sahabatnya itu merasa heran dengan keputusan Rania, selama ini mereka beranggapan bahwa Rania akan memilih pengabdian di PM 5, tapi ternyata anggapan mereka salah.

“Kenapa?” tanya Aira beberapa saat kemudian setelah sempat terkejut dengan keputusan Rania.

“Aku ingin membantu anak-anak di daerah terpencil yang kurang mendapatkan perhatian, tapi itukan hanya harapan dan keinginanku. Lagi pula menurutku pengisian angket itu hanya formalitas saja, mungkin ada yang terkabul tapi ada juga yang tidak terkabul, semua bergantung keputusan pimpinan dan tentunya kehendak dari Allah,” jelas Rania.

“Iya, kamu benar juga semua keputusan di tangan Allah, semoga saja kita mendapat tempat terbaik,” harap Aira yang kini menyandarkan kepalanya di bahu Aulia.

“Lalu kamu kenapa memilih pengadian di pondok cabang yang ada di luar Jawa?” tanya Rania pada Aira.

“Iseng,” jawab Aira santai.

“Aira!” teriak Rania dan Aulia bersama-sama, beberapa pasang mata kembali tertuju pada mereka, menyadari hal itu mereka pun menahan tawa.

“Kamu menyebalkan,” Rania menggelitiki pinggang Aira.

“Hust, Ran jangan berisik nanti kita jadi pusat perhatian,” Aira berusaha mengalihkan Rania.

“Baiklah kamu selamat karena kita di tempat umum tapi jangan harap ya nanti sampai di kamar,” ucap Rania dengan mata penuh ancaman.

“Tapi aku memang serius iseng memilih pondok luar Jawa, soalnya aku penasaran mau merasakan suasana pondok di sana,” Aira melanjutkan ucapannya.

“Baiklah, aku tahu kamu itu kan memang orangnya suka penasaran dengan sesuatu yang beda, baiklah semoga saja rasa penasaran kamu tidak akan membawamu pada penyesalan,” Rania menasihati.

“Ih Rania kok kamu bicaranya seperti itu si,” rajuk Aira.

“Hahaha iya-iya maaf, bercanda kok,” Rania tertawa riang.

“Lalu kalian tidak bertanya padaku kenapa aku menulis pengabdian di luar?” Aulia merasa diacuhkan.

“Tidak,” sunggut Aira.

“Kok gitu?” Aulia tidak terima.

“Karena kita sudah tahu jawabannya,” Rania menimpali.

“Apa memangnya?” Aulia tidak percaya.

“Belajar disain,” ucap Rania dan Aira secara bersamaan.

Aulia terkikik pelan mendengar jawaban super kompak dari dua sahabat baiknya itu, mereka pun tertawa bersama kembali.

Mereka berusaha menahan kesedihan dengan tawa. Tali persahabatan mereka telah terjalin sejak lama. Hal itu menyebabkan terbentuknya rasa saling memahami. Mereka berusaha menahan tangis, bukan tidak senang karena akan lulus, tetapi kelulusan berarti pula perpisahan. Tidak hanya mereka bertiga yang akan berpisah tapi semua santri kelas enam, itu artinya mereka harus berpisah dengan angkatan mereka. Tidak hanya teman, tapi mereka juga keluarga, mereka tidak hanya berpisah dengan teman-teman seangkatan, tapi juga dengan kamar mereka, dengan kebiasaan mereka, dan segala yang ada di dalam PM, yang tentu saja tidak akan mereka temukan di tempat lain.

Nama Aira, Aulia dan Rania dipanggil satu persatu dengan kloter yang berbeda. Pemanggilan Aira dan Aulia berada di satu kloter yang sama meskipun mereka mendapatkan tempat pengabdian yang berbeda. Aira mendapatkan pengabdian sesuai keinginannya di pondok cabang yang berada di luar Jawa, tepatnya di daerah Aceh. Sedangkan Aulia harus menahan keiginannya untuk belajar disai lebih cepat karena keinginanya untuk mendapatkan pengabdian bebas tidak terwujud. Aulia ditempatkan di pondok cabang yang letaknya di Balikpapan, Kalimantan Timur.

Rania mendapatkan pemanggilan di kloter tiga, kloter sebelum akhir, keinginan Rania untuk mendapatkan pengabdian bebas memang tidak terwujud tapi dia menerima dengan lapang dada segala yang ditakdirkan Allah padanya. Rania mendapatkan tempat pengabdian di salah satu pondok alumni[1] yang terletak di Bogor, Jawa Barat.

“Aku akan merindukan kalian,” Aulia tiba-tiba berbicara ketika sedang membereskan kamar yang ia tinggali dengan 31 teman lainnya.

“Aku juga akan merindukanmu,” Rania memeluk Aulia.

“Kita semua akan saling merindukan,” ucap Tasya yang juga ada di kamar itu.

Saat itu kondisi kamar sudah sepi beberapa teman mereka sudah ada yang pulang lebih dulu, di kamar itu tinggalah Rania, Aira, Aulia, Tasya, Mira, dan juga Nadia. Mereka berenam saling berpelukan untuk mengucapkan salam perpisahan. Bertahun-tahun di PM membuat mereka berat untuk berpisah. Meskipun tidak begitu dekat dengan Mira, Tasya, dan Nadia, Rania tetap merasakan kehilangan.

Setelah mereka saling berpelukan dan mengucapkan salam perpisahan, satu persatu dari mereka berpamitan untuk pulang. Aulia terpaksa pulang lebih dulu karena telah ditunggu orangtuanya dan jadwal pesawat. Tinggalah Aira dan Rania di dalam ruangan itu, mereka menunggu jemputan dari Abah Rahman, Ayahanda Rania, Aira akan pulang bersama Rania karena ayahnya tidak bisa menjemput. Ibu Aira telah lama meninggal itulah sebabnya tidak ada yang bisa menjemputnya, rumah saudara-saudaranya pun jauh, mayoritas berada di luar Jawa.

“Abah kamu sudah sampai mana?” Aira memulai pembicaraan.

“Katanya lima belas menit lagi tiba.”

“Kalau begitu sekarang saja kita ke parkirannya, kita tunggu di sana,” Aira mengusulkan.

Rania tampak berpikir sejenak sebelum akhirnya mengangguk, sependapat dengan sahabatnya itu.

[1] pondok yang didirikan lulusan dari Pondok Maarif

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status