Share

Terpisah

Author: Bia Baharda
last update Last Updated: 2021-06-08 09:02:35

Waktu bergulir tanpa terasa, detik berlalu menjadi menit, menit berlalu menjadi jam, jam berlalu menjadi hari, dan semuanya berjalan terus menerus. Hari itu Rania dan 789 santriwati dari seluruh pondok cabang PM berkumpul di lapangan hijau PM pusat yang berada di daerah Ngawi, Jawa Timur. Mereka menunggu nama mereka dipanggil untuk mengetahui keputusan tempat mereka akan mengabdi selanjutnya. Meskipun suasananya tidak semenakutkan saat mereka menjalani yudisium kenaikan ke kelas enam. Namun, tetap saja rasa khawatir menguasai diri mereka, selain harap-harap cepam karena takut tidak lulus, mereka juga khawatir mendapatkan tempat pengabdian yang tidak sesuai dengan hati dan keinginan mereka.

“Ran, kamu harus jujur kemarin waktu mengisi angket, dimana kamu memilih tempat pengabdian?” Aira membuka pembicaraan.

“Memangnya penting?” Rania malas menanggapi.

“Kamu kenapa sih merahasiakannya?” kini Aulia buka suara.

“Kalian penasaran banget ya?” goda Rania.

“Atau jangan-jangan kamu mengisi angket itu dengan pengabdian pada suami?” balas Aira jahil.

“Ah benar, jangan-jangan,” Aulia ikut menggoda.

“Hust...kalian ini berisik banget, diam dong tidak enak dengan yang lain,” Rania berusaha menenangkan keadaan.

“Wah kamu tidak mau menjawabnya, berarti benar ya? Kamu mau menikah?” Aira tidak menyerah.

“Ya iyalah mau,” Rania menanggapi.

“Jadi, benar kamu mau menikah? Dengan siapa?” Aulia dan Aira berseru girang.

“Ya mau, siapa coba yang tidak mau menikah, semua orang juga mau, kalian juga pasti mau kan? Nah masalah dengan siapanya itu yang aku juga belum tahu, masih di tanggan Allah jodohku.”

“RANIA!!!” Aira dan Aulia berteriak geram pada sahabatnya itu, beberapa orang memperhatikan mereka karena berisik.

“Hust, diam, lihatlah semua orang memandang ke arah kita,” Rania memelototkan matanya kepada dua sahabatnya itu.

“Kamu sih jahil banget,” Aira merasa kesal karena merasa tertipu dengan ucapan sahabatnya itu.

“Kalian sih penasaran banget,” sahut Rania kesal.

Aira dan Aulia tidak lagi menghiraukan ucapan Rania, mereka berpura-pura kesal padanya dengan harapan Rania akan berkata jujur pada mereka, tentang tempat pengabdian yang ditulis Rania di angket.

“Baiklah kalian menang aku kalah, kalian menyebalkan. Oke aku akan bicara, aku menulis pengabdian luar. Apa kalian puas?” Rania memutuskan mengalah pada dua sahabat baiknya itu.

Kedua sahabatnya itu merasa heran dengan keputusan Rania, selama ini mereka beranggapan bahwa Rania akan memilih pengabdian di PM 5, tapi ternyata anggapan mereka salah.

“Kenapa?” tanya Aira beberapa saat kemudian setelah sempat terkejut dengan keputusan Rania.

“Aku ingin membantu anak-anak di daerah terpencil yang kurang mendapatkan perhatian, tapi itukan hanya harapan dan keinginanku. Lagi pula menurutku pengisian angket itu hanya formalitas saja, mungkin ada yang terkabul tapi ada juga yang tidak terkabul, semua bergantung keputusan pimpinan dan tentunya kehendak dari Allah,” jelas Rania.

“Iya, kamu benar juga semua keputusan di tangan Allah, semoga saja kita mendapat tempat terbaik,” harap Aira yang kini menyandarkan kepalanya di bahu Aulia.

“Lalu kamu kenapa memilih pengadian di pondok cabang yang ada di luar Jawa?” tanya Rania pada Aira.

“Iseng,” jawab Aira santai.

“Aira!” teriak Rania dan Aulia bersama-sama, beberapa pasang mata kembali tertuju pada mereka, menyadari hal itu mereka pun menahan tawa.

“Kamu menyebalkan,” Rania menggelitiki pinggang Aira.

“Hust, Ran jangan berisik nanti kita jadi pusat perhatian,” Aira berusaha mengalihkan Rania.

“Baiklah kamu selamat karena kita di tempat umum tapi jangan harap ya nanti sampai di kamar,” ucap Rania dengan mata penuh ancaman.

“Tapi aku memang serius iseng memilih pondok luar Jawa, soalnya aku penasaran mau merasakan suasana pondok di sana,” Aira melanjutkan ucapannya.

“Baiklah, aku tahu kamu itu kan memang orangnya suka penasaran dengan sesuatu yang beda, baiklah semoga saja rasa penasaran kamu tidak akan membawamu pada penyesalan,” Rania menasihati.

“Ih Rania kok kamu bicaranya seperti itu si,” rajuk Aira.

“Hahaha iya-iya maaf, bercanda kok,” Rania tertawa riang.

“Lalu kalian tidak bertanya padaku kenapa aku menulis pengabdian di luar?” Aulia merasa diacuhkan.

“Tidak,” sunggut Aira.

“Kok gitu?” Aulia tidak terima.

“Karena kita sudah tahu jawabannya,” Rania menimpali.

“Apa memangnya?” Aulia tidak percaya.

“Belajar disain,” ucap Rania dan Aira secara bersamaan.

Aulia terkikik pelan mendengar jawaban super kompak dari dua sahabat baiknya itu, mereka pun tertawa bersama kembali.

Mereka berusaha menahan kesedihan dengan tawa. Tali persahabatan mereka telah terjalin sejak lama. Hal itu menyebabkan terbentuknya rasa saling memahami. Mereka berusaha menahan tangis, bukan tidak senang karena akan lulus, tetapi kelulusan berarti pula perpisahan. Tidak hanya mereka bertiga yang akan berpisah tapi semua santri kelas enam, itu artinya mereka harus berpisah dengan angkatan mereka. Tidak hanya teman, tapi mereka juga keluarga, mereka tidak hanya berpisah dengan teman-teman seangkatan, tapi juga dengan kamar mereka, dengan kebiasaan mereka, dan segala yang ada di dalam PM, yang tentu saja tidak akan mereka temukan di tempat lain.

Nama Aira, Aulia dan Rania dipanggil satu persatu dengan kloter yang berbeda. Pemanggilan Aira dan Aulia berada di satu kloter yang sama meskipun mereka mendapatkan tempat pengabdian yang berbeda. Aira mendapatkan pengabdian sesuai keinginannya di pondok cabang yang berada di luar Jawa, tepatnya di daerah Aceh. Sedangkan Aulia harus menahan keiginannya untuk belajar disai lebih cepat karena keinginanya untuk mendapatkan pengabdian bebas tidak terwujud. Aulia ditempatkan di pondok cabang yang letaknya di Balikpapan, Kalimantan Timur.

Rania mendapatkan pemanggilan di kloter tiga, kloter sebelum akhir, keinginan Rania untuk mendapatkan pengabdian bebas memang tidak terwujud tapi dia menerima dengan lapang dada segala yang ditakdirkan Allah padanya. Rania mendapatkan tempat pengabdian di salah satu pondok alumni[1] yang terletak di Bogor, Jawa Barat.

“Aku akan merindukan kalian,” Aulia tiba-tiba berbicara ketika sedang membereskan kamar yang ia tinggali dengan 31 teman lainnya.

“Aku juga akan merindukanmu,” Rania memeluk Aulia.

“Kita semua akan saling merindukan,” ucap Tasya yang juga ada di kamar itu.

Saat itu kondisi kamar sudah sepi beberapa teman mereka sudah ada yang pulang lebih dulu, di kamar itu tinggalah Rania, Aira, Aulia, Tasya, Mira, dan juga Nadia. Mereka berenam saling berpelukan untuk mengucapkan salam perpisahan. Bertahun-tahun di PM membuat mereka berat untuk berpisah. Meskipun tidak begitu dekat dengan Mira, Tasya, dan Nadia, Rania tetap merasakan kehilangan.

Setelah mereka saling berpelukan dan mengucapkan salam perpisahan, satu persatu dari mereka berpamitan untuk pulang. Aulia terpaksa pulang lebih dulu karena telah ditunggu orangtuanya dan jadwal pesawat. Tinggalah Aira dan Rania di dalam ruangan itu, mereka menunggu jemputan dari Abah Rahman, Ayahanda Rania, Aira akan pulang bersama Rania karena ayahnya tidak bisa menjemput. Ibu Aira telah lama meninggal itulah sebabnya tidak ada yang bisa menjemputnya, rumah saudara-saudaranya pun jauh, mayoritas berada di luar Jawa.

“Abah kamu sudah sampai mana?” Aira memulai pembicaraan.

“Katanya lima belas menit lagi tiba.”

“Kalau begitu sekarang saja kita ke parkirannya, kita tunggu di sana,” Aira mengusulkan.

Rania tampak berpikir sejenak sebelum akhirnya mengangguk, sependapat dengan sahabatnya itu.

[1] pondok yang didirikan lulusan dari Pondok Maarif

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Syahadat Cinta   Epilog

    “Rania tunggu,” Robert tiba-tiba memanggil Rania yang telah berada beberapa langkah di depannya. “Ada apa Em?” Rania menghentikan langkahnya dan berbalik menghadap Robert. Rober pun berjalan mendekat ke tempat Rania berdiri. “Akar dan batang adalah dua hal yang tidak bisa terpisahkan, tanpa akar tumbuhan akan mati, begitu pula tumbuhan bila tanpa batang bagaimana mungkin ia akan ditumbuhi daun, yang akan terjadi adalah akar yang mengering. Adibah Rania Zahara, aku ingin kita menjadi seperti akar dan batang yang saling menguatkan, yang hidup saling melengkapi, saling menyempurnakan satu dengan lainnya. Rania maukah dirimu menjadi matahari di siang ku dan bulan di malam ku. Aku memang bisa hidup tanpamu, namun aku tidak sempurna tanpamu, seperti langit yang tak akan sempurna di siang hari tanpa matahari dan bulan bintang di malam hari, begitulah diriku tanpamu.” Rania tidak pernah menyangka akan mendengar kata-kata indah tersebut dari Robert. Ia masih m

  • Syahadat Cinta   Perjalanan Cinta

    Rania dan keluarganya segera kembali ke rumah mereka. Faza dan Ahda yang datang ke acara wisuda Rania juga ikut ke rumah Rania. Mereka ingin menikmati kesejukan udara kebun teh. Rania sangat bahagia karena bisa berkumpul dengan orang-orang yang disayanginya. Meski sempat kesal karena Robert menjahili dirinya, tetapi sesungguhnya gadis itu merasa sangat senang karena pria bermata hazel itu telah memberinya kejutan yang benar-benar mengejutkan.“Jadi, setelah ini kamu mau lanjut S2 atau menikah Ran?” Faza membuka percakapan di dalam mobil. Saat itu Rania, Robert, Ahda, dan Faza berada dalam satu mobil milik Ahda. Rania duduk bersama Faza di kursi belakang sedangkan Robert duduk di kursi penumpang sebelah kursi kemudi mobil yang dikemudikan oleh Ahda.“Kak Faza ini bisa saja. Mau menikah dengan siapa kak? Lagi pula tidak ada calon,” Rania merasa malu dengan pertanyaan itu.“Memang benar tidak ada calonnya? Jangan bilang kamu masih belu

  • Syahadat Cinta   Sajak

    Hari berlalu begitu cepat, tanpa terasa Rania akhirnya dapat menyelesaikan studinya dalam waktu tiga setengah tahun. Keluarganya merasa bangga atas apa yang telah dicapai oleh gadis itu. Kerja keras dan usaha yang dilakukannya selama ini akhirnya berbuah manis, ia dapat menyelesaikan kuliahnya lebih cepat dari kebanyanyakan teman-temannya.Banyak hal yang telah terjadi dalam kehidupan Rania dalam tiga setengah tahun terakhir ini. Ia menemukan teman-teman baru yang tentu saja sangat berbeda dengan kepribadia anak-anak pesantren. Mereka berasal dari sekolah yang berbeda-beda, suku berbeda, agama berbeda, dan sifat yang berbeda-beda pula. Namun, gadis bermata teduh itu sangat menikmati segala perbedaan yang ia rasakan.Bukan hanya tentang kehidupan pertemanan saja yang ia temui, tentang percintaan pun ia mengalami. Meskipun bukan Rania yang merasakan cinta. Banyak teman laki-lakinya baik dari jurusan yang sama maupun dari jurusan yang berbeda berusaha mendekati Rania bahk

  • Syahadat Cinta   Emier Reza Alfadi

    Matahari musim panas terasa begitu menyengat membakar kulit, gadis Sunda itu sebenarnya sudah terbiasa dengan udara panas karena ia hidup di negeri tropis, tapi baginya udara dan matahari musim panas di London tetaplah berbeda dan membuatnya merasa terbakar.“Kamu bilang tidak suka berada di luar rumah saat musim panas lalu kenapa sekarang kamu berada di sini,” Rania menatap pria di sampingnya yang sedang membersihkan tumbuhan-tumbuhan mati.“Rania, ini masih di dalam rumah, ya meskipun memang tidak beratap, tapi bagiku ini masih kawasan dalam rumah,” ucap pria itu tanpa mengalihkan pandangannya dari batang-batang kering yang ia kumpulkan.“Ah, sudahlah bicara denganmu membuatku selalu terlihat salah,” Rania merasa kesal.Robert menghentikan gerakan tangannya mengumpulkan tumbuhan kering dan memandang ke arah Rania.“Rania, maksudku tidak senang pergi keluar rumah itu, sepetti ke pantai, climbing,

  • Syahadat Cinta   Awal Sebuah Kekaguman

    Rania tersenyum pada Robert, “Maaf aku jadi bercerita panjang lebar, padahal harusnya aku hanya menjawab masih atau tidak.”“Tidak Rania, aku senang mendengarkan jawabanmu itu. Aku senang mendengarkan ceritamu,” Robert tersenyum menyakinkan Rania.“Baiklah sudah cukup cerita tentangku. Aku yakin nenek juga pasti sudah banyak bercerita tentang aku, sekarang giliran kamu, aku sama sekali tidak tahu tentang dirimu.”“Eits, tunggu dulu, kamu belum mengatakan jawaban yang diberikan oleh Allah apa atas Shalat Istigharah yang kamu lakukan.”“Allah memberiku petunjuk melalui mimpi dan dari mimpi itu aku memantapkan hatiku untuk tidak melanjutkan hubunganku dengan Ustaz Ahda.”“Memangnya apa mimpimu?” Robert bertanya dengan penuh antusias.“Rahasialah.”“Ah Rania, kamu ini membuatku penasaran. Mimpi tentang apa memangnya?” Robert mendesak Rania untu

  • Syahadat Cinta   Awal Segalanya

    Malam hari, usai menjalankan Salat Isya berjamaan dengan Nenek Ainun dan Robert, Rania pun mengutarakan niatnya untuk pulang ke Indonesia pada sang nenek. Sontak saja hal tersebut membuat Nenek Ainun terkejut, pasalnya cucu tercintanya itu baru dua hari menginjakkan kaki di London, tapi sudah ingin kembali pulang ke Indonesia.Nenek Ainun menentang keputusan Rania, ia meminta cucunya untuk setidaknya menetap selama satu minggu lagi. Namun, Rania tetap menolak, ia menjelaskan kepada sang nenek alasan dia harus secepatnya kembali ke Indonesia. Nenek Ainun tetap tidak menerima alasan tersebut. Robert juga membantu Rania menjelaskan pada sang nenek, tetapi perempuan 67 tahun itu tetap tidak menerima. Ia menyuruh agar Rania melepaskan universitas yang menerimanya dan sebagai gantinya Nenek Ainun akan mendaftarkan Rania di London. Namun, dengan lembut gadis bermata teduh itu menolak keinginan sang nenek.“Rania janji Nek, suatu hari nanti Rania akan datang ke sini dan

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status