"Murti, aku sa..sayang sama kamu," ucap Mas Galih terbata karena sedikit rasa bersalahnya mulai muncul.
"Apa? Coba katakan sekali lagi Mas, aku kurang jelas tadi, apa kamu bilang? Sayang?" Aku menyeringai sambil meletakkan telapak tanganku disebelah telingaku.
Sikap dinginku ternyata membuat Mas Galih semakin gugup, karena selama ini Aku selalu bersikap lemah lembut dan menurut dengannya.
"Iya, aku sayang sama kamu, tapi aku juga sayang sama Winda." tuturnya.
"Ooh.. Jadi namanya Winda.” Aku menyeringai.
“Egois kamu Mas, sangat-sangat egois! Kalau kamu sayang sama aku, kamu gak selingkuh Mas!" kecamku.
Mas Galih menelan ludah kasar, ia bingung bagaimana menjawabnya dan menghadapi sikapku yang seperti ini, istrinya tidak seperti biasanya, mungkin itu yang sedang ia pikirkan sekarang, aku sudah berani menjawab dan melawan ucapannya dengan suara lantang.
“Kenapa diam? Jawab dong! Aku sudah tau kamu menjalin hubungan dengan dia sejak sebelum kita menikah, tapi aku yakin kamu akan berubah setelah kita menikah, aku pertahankan sekuat tenaga rumah tangga ini dan lebih memilih kamu, padahal banyak diluaran sana yang mengincar cintaku, Mas! Kamu tau itu kan? Tapi kenapa kamu masih melanjutkan hubungan kamu sama perempuan itu sampai sekarang?!” Aku sedikit berteriak meluapkan segala keluh kesahku, emosiku memuncak sudah.
Nafasku terengah setelah mengucapkan kata-kata itu, bulir bening dari mataku seketika menetes. Segera ku usap pipiku yang mulai basah, aku tidak ingin terlihat lemah lagi di depan Mas Galih.
“Mur.. aku harus bagaimana?” lirihnya.
“Tinggalkan dia! Mudah kan?” Sinisku.
“Aku gak bisa Mur, saat aku bersama dia, aku menjadi lebih bahagia, hatiku tenang, aku gak ngerti kenapa perasaanku seperti ini, Mur.” Ungkapnya.
Aku menggeram, rahangku mengeras, tanganku mengepal, sekuat tenaga aku menahan amarah. Kata-kata Mas Galih barusan menusuk jantungku, begitu sakit untuk didengar. Namun aku tetap menahan agar air mataku tidak tumpah lagi.
“Astaghfirullah…” ucapku pelan sambil mengusap dadaku yang sesak lalu menunduk sekejap menarik nafas perlahan agar aku sedikit merasa tenang.
“Kamu mengatakan hal itu mikir gak gimana perasaan aku? Jadi maksud kamu aku gak buat kamu bahagia? Hati kamu gak tenang saat bersamaku? Gitu?” ucapku dengan suara sedikit serak.
“Gak gitu Mur, aku cuman ngerasa beda aja, dia memang lebih tua dari aku, aku seperti lebih disayangi, kamu tau sendiri ibuku seperti apa, gak pernah peduli samaku sejak aku kecil, Mur,” Mas Galih mencoba berkilah.
“Cukup Mas, aku muak dengar omongan kamu! Sekarang kamu pilih, ceraikan aku atau tinggalkan dia!” Aku lalu pergi ke kamar membanting pintu sekeras mungkin. Andai saja pintu itu adalah Mas Galih, Aku tidak akan memberinya ampun.
Aku sekuat tenaga untuk tidak menangis. Air mataku sangat mahal untuk menangisinya.
“Pasti perempuan tua itu sangat senang melihat aku dan Mas Galih berseteru hebat.” Gumamku.
***
Keesokan harinya, Aku bersikap untuk lebih cuek kepada Mas Galih, aku sengaja tidak memasak, tidak membersihkan rumah dan tidak mengurus pekerjaan rumah tangga lainnya seperti biasa yang aku lakukan setiap hari. Semua ku biarkan begitu saja, lalu pergi bekerja.
Sementara Mas Galih juga sedang bersiap berangkat ke kantor, kami tidak saling menyapa atau berbicara satu sama lain sejak kemarin, Mas Galih juga tidur sofa tidak berani mengetuk pintu kamar untuk sekedar meminta bantal atau selimut.
Mas Galih juga belum memutuskan akan memilih siapa. Sepertinya ia ingin keadaan berjalan seperti ini saja tanpa memikirkan perasaanku kedepannya.
Ku lajukan motor dengan kencang sehingga mengeluarkan suara motor yang begitu keras. Sengaja ku lakukan agar Mas Galih sadar.
Lantas, apakah dia bisa memilih salah satu pilihan yang ku berikan? Dia masih tidak memikirkan itu, membiarkan semuanya berjalan seperti biasanya saja. Karena dia tidak ingin kehilangan keduanya.
Biasanya setiap pagi, Aku selalu menyiapkan sarapan dan secangkir kopi panas untuk Mas Galih, bangun pagi membereskan cucian dan membersihkan rumah, menyiapkan pakaian untuknya ke kantor, namun hari ini Aku bersikap tak peduli.
["Hati-hati sayang, jangan ngebut-ngebut bawa motornya, jangan lupa sarapan ya!"] aku membaca pesan darinya saat tiba di sekolah.
["Sayang, hari ini kita jadi ke Mall kan?"] masuk pula sebuah pesan dari Winda. Aku memang sudah menyadap aplikasi hijau milik Mas Galih sehingga aku tahu apa yang mereka bicarakan. Mas Galih tidak menyadari itu.
Mas Galih langsung membalasnya hanya dalam hitungan detik.
["Tentu sayang, setelah aku pulang dari kantor, aku jemput kamu ya,"]
Aku jijik membaca chattingan mereka. Lalu ku abaikan semuanya. Aku akan menjalani aktivitas seperti biasanya.
***
Aku adalah seorang operator di sebuah Sekolah Dasar, pekerjaanku mengelola administrasi sekolah, gajinya tidak besar, aku hanya ingin mengisi waktu luang saja dari pada menganggur.
Meskipun aku seorang sarjana komputer, namun aku tidak ingin bekerja di sebuah perusahaan yang mungkin gajinya lebih besar. Bukan karena aku tidak butuh uang, hanya saja uang yang diberikan Mas Galih selama ini, setiap bulan sudah lebih dari cukup bagiku.
Sekolah tempat ku bekerja hanya sepuluh menit berjalan kaki dari rumah orang tuaku. Itulah salah satu alasan agar aku bisa leluasa pulang dan beristirahat ke rumah Ibu sembari menunggu suamiku menjemput atau terkadang aku mengendarai motor sendiri. Ayah mertuaku bahkan sudah menawariku jabatan di perusahaannya jika aku ingin bekerja, namun aku menolak.
Sedangkan Mas Galih adalah anak dari pemilik perusahaan kelapa sawit terbesar di kota ini yaitu PT. Adyatama Agro Jaya. Ia menjabat sebagai direktur produksi. Jabatan itu ia emban sesuai perintah sang Ayah, Baroto Adyatama, sekaligus orang terkaya di kota ini.
Namun keluarganya bukan seperti orang kaya di sinetron yang selalu menyombong dan menginginkan menantu yang sepadan, orang tua Mas Galih membebaskan anaknya untuk memilih jodoh sendiri mau itu orang kaya atau bahkan miskin, mereka tidak mempermasalahkannya. Karena sejatinya, Baroto sendiri juga terlahir dari keluarga yang pas-pasan. Ia membangun perusahaan ini sendiri dari Nol.
Aku adalah gadis dari keluarga biasa saja, pekerjaan orang tuaku hanya seorang petani. Mempunyai sebuah kebun yang sering ditanam berbagai buah atau rempah. Dari hasil bertani itulah orang tuaku bisa menyekolahkan kedua anaknya, Kak Rian dan Aku, sampai menjadi seorang sarjana.
Awalnya Ayah, menentang hubunganku dengan Mas Galih. Karena merasa minder dengan keluarganya yang kaya raya, namun entah bagaimana akhirnya beliau merestui pernikahan kami berdua. Lalu Kak Rian, diberi jabatan oleh Pak Baroto sebagai Mandor di perusahaannya. Kak Rian memilih itu karena ia tidak ingin jabatan tinggi, takut tidak bisa bertanggung jawab. Namun Pak Baroto berjanji kelak akan menaikkan jabatannya maupun gajinya.
Dan tentunya keluarga kami berdua sampai saat ini tidak mengetahui perbuatan Mas Galih terhadapku. Karena sejatinya kami selalu terlihat seperti pasangan yang selalu mesra dan bahagia di depan semua orang.
Aku memang pandai menyembunyikan kesakitanku, sedangkan Mas Galih memang tidak punya perasaan, ia bersikap seperti biasa seolah tidak terjadi apa-apa.
Namun sesabar apapun seseorang pasti lama kelamaan tidak tahan juga, Aku mulai ingin membuka suara tentang prahara dalam rumah tanggaku ini dengan seorang yang bisa ku percayai. Aku ingin mencurahkan isi hatiku, setidaknya ada orang yang mendengarkan keluh kesahku.
Aku menatap layar ponselku dengan tatapan kosong, tiba tiba aku berubah kembali menjadi Murti yang lemah. Apalagi saat membaca pesan dari Mas Galih.
Jujur, sebenarnya aku tidak bisa bersikap acuh begini, karena aku tahu Mas Galih tidak becus, ia pasti keluar dengan pakaian yang kusut, tidak memikirkan sarapan, tidak peduli dengan penampilannya jika Aku tidak mengurusnya.
Namun perbuatan Mas Galih juga tidak bisa begitu saja ku maafkan kecuali dia meninggalkan selingkuhannya itu. Aku ingin Mas Galih hanya milikku, tidak ingin cintanya terbagi.
Saat langkahku sampai di ruang tamu, ternyata Mas Galih membawa Intan ke rumah. Wanita itu semakin kurus, namun senyuman tersungging ramah ke arahku.Aku membalasnya dengan senyum pula seraya menghampirinya.“Intan.. apa kabar?” aku mengulurkan tangan dari jauh untuk memeluknya.Wanita berpakaian sederhana itu berdiri menyambut pelukanku. Mas Galih pasti sengaja lama datang karena menunggu Ibuku pulang terlebih dahulu agar bisa membawa Intan ke rumah.“Maaf ya, Mur.. aku gak sempat ngabarin kamu karena tadi ke rumah sakit dulu buat kontrol kondisi Intan,” ujar Mas Galih.Aku mengangguk, “lalu, bagaimana keadaanmu, Ntan? Sudah lebih baik, kan?” tanyaku.Intan tersenyum getir, pandangannya beralih pada suamiku. Sementara yang ditatap hanya salah tingkah. Apa yang mereka sembunyikan?“Oya, Mur, mana Faruq? Intan juga ingin melihatnya,” ucap Mas Galih berusaha mengalihkan pembicaraan tentang Intan.“Ada di kamar sama Fatin dan Dessy. Mereka sebentar lagi pulang, Mas. Jadi sekalian siap-si
Empat puluh hari pasca melahirkan.Hari ini, masa nifasku telah habis. Ibuku pun berberes untuk segera pulang ke kampung. Sebentar lagi Kak Rian akan menjemput Ibu.Semenjak kenyataan itu terungkap, Kak Rian menjadi bersikap canggung padaku, tapi aku membawanya ke suasana seperti biasa saja. Sepertinya Kak Rian masih belum bisa menerima hal itu."Kak, meskipun kita tak sedarah, tapi kita lahir dari rahim yang sama, itu artinya kita tetap kakak adik. Jangan terbebani hanya karena kita tak sebapak.." nasehatku waktu itu padanya.Dan hari ini Mas Galih berjanji akan pulang ke rumah, tapi sampai sekarang belum ada kabarnya. Sudah dua minggu Mas Galih tidak pulang ke rumah, bahkan saat itu suamiku pernah mengirimiku poto Intan dan dirinya berdua di depan rumah baru mereka.Memang tidak berpose mesra, tapi senyuman Intan menandakan dia benar-benar bahagia. Mas Galih juga selalu bersikap terubuka padaku, dia terus melaporkan semua kegiatannya padaku mulai dari berangkat kerja pagi-pagi sampa
“Murti itu bukan mahramnya kamu!” lirih Ibu, air matanya lolos begitu derasnya.Aku terngangah lebar, sedangkan Kak Rian membeku sambil menatap Ibu dengan tatapan tak percaya.“Ibu…” lirihku.“Bu… apaan sih, bercandanya gak lucu…” Kak Rian masih cengengesan, dia tak percaya dan menganggap ucapan Ibu hanya sebuah lelucon.Ibu semakin terisak, dadanya naik turun menahan emosi.“Ibu gak becanda, Kak..” ucapku dengan suara yang tiba-tiba serak.“Apa?” Kak Rian beralih menatapku.“Fatin… Desi..” panggilku.Kedua gadis berseragam putih itu menghampiriku. Aku segera memberikan Faruq pada mereka untuk dibawa keluar.“Ibu.. duduk sini, mari kita bicara!” aku menepuk sisi ranjang, tempatku saat ini duduk bersandar.Sementara Kak Rian masih dalam keadaan bingung. Sesuatu yang sangat kucemaskan terjadi. Aku takut sakit Ibu kambuh. Kuatkan kami ya Allah menerima kenyataan ini bersama. Doaku dalam hati.“Mur… ada apa ini sebenarnya?” kak Rian menggaruk kepala, heran.“Ibu… bagaimana Ibu bisa tau?”
“Galih gak pergi-pergi lagi abis ini, kan Mur?” tanya Ibu sedikit berbisik.“Engga bisa dipastikan, Bu. Karena Mas Galih emang lagi sibuk-sibuknya, lagi ada proyek baru soalnya.” Aku menjelaskan dengan hal yang tentu saja kubuat-buat sendiri.Ibuku mendesah berat, ada raut kecewa di wajahnya, kemudian menatapku dengan perasaan kasihan.“Murti baik-baik aja kok, Bu. Kan disini sudah ada Ibu, Bi Karti, Kak Yuni juga bakalan sering datang, banyak banget orang-orang yang peduli dan sayang sama Murti… pekerjaan juga bagian dari tanggung jawab Mas Galih, Bu. Murti gak boleh egois..” aku mencoba memberi Ibu pengertian.“Iya, Nak. Ibu paham..” ucapnya sambil tersenyum.‘Ya Allah,, sampai kapan aku terus menyembunyikan rahasia ini? bagaimana jika Ibu mengetahui dari orang lain, pasti hatinya akan sangat sakit.’“Mas.. sudah selesai makannya?” aku menyapa suamiku ketika dia membuka pintu kamar.“Kalian ngobrol dulu ya, Ibu mau bantuin Bi Karti beres-beres.” Wanita yang telah melahirkanku itu pe
“Aku tadi liat suami kamu lagi di rumah sakit, dia ngapain? Jenguk temen?” tanya Kak Yuni penuh selidik.“Oh, itu.. anu..” aku ragu, akankah kucertiakan tentang kejadian sebenarnya pada Kak Yuni? Toh, dia juga sudah banyak tahu masalahku sejak awal.“Mulai.. mulai… udah main rahasia rahasiaan sama aku,” cibirnya.“Enggak, Kak. Bukan gitu, aku takut Ibu tau…” cicitku sedikit berbisik.“Emang ada apa? Bicara pelan, mumpung bayi lu anteng dan semua orang sedang di luar..” kata Kak Yuni dengan suara berbisik pula.“Tapi janji, di depan Ibu pura-pura gak tau aja, ya! Aku mau perlahan-lahan aja keluargaku tau soal ini,” ucapku.Kak Yuni mengangguk sambil mencebikkan bibirnya. Lalu, aku mencertiakan semuanya, termasuk penderitaan yang dialami oleh Intan sampai sekarang alasan dia berada di rumah sakit.Kak Yuni terngangah, kemudian membekap mulutnya. Raut wajahnya jelas tergambar keterkejutan, air mata terbendung di sudut netranya.“Ya Allah, Mur.. kasihan banget tuh anak..” lirihnya.“Kalau
Setelah mendengar cerita pahit tentang masalah hidup Intan yang begitu menyayat untuk kurasakan, aku pun merelakan Mas Galih untuk senantiasa bersamanya sampai dia benar-benar sembuh. Dokter bilang Intan harus dioperasi. Aku tidak tahu apa yang terjadi padanya setelah seminggu ini.Bahkan Mas Galih juga tidak pernah pulang. Dia sibuk bolak balik rumah sakit ke kantor. Jika rindu dengan Faruq, kami hanya melakukan panggilan video saja.Aku memaklumi keadaan ini, aku tidak boleh egois. Lagi pula aku dikelilingi orang-orang yang peduli dan menyayangiku.“Sebenarnya Galih kemana, Mur? kok udah seminggu gak pulang?” tanya Ibu yang belakang memang kuperhatikan tengah penasaran dengan keberadaan suamiku.“Beliau sibuk banget, Bu. Kan sudah sering cuti seperti yang Ibu bilang waktu itu, jadi kerjaannya menumpuk. Terkadang juga harus ke luar kota ketemu klien, meeting segala macem lah, Bu. Hehe..” jawabku sambil cengengesa, berusaha menutupi kegundahan yang sedang kurasakan. Ya, aku merindukan
Sepuluh hari berlalu, Faruq akhirnya dibolehkan pulang karena semua kondisinya sudah stabil dan berat badannya sudah bertambah, kini mencapai tiga kilogram.Mas Galih membayar seorang bidan dan perawat untuk mengurusku dan Faruq selama sebulan ke depan sampai aku habis masa nifas.Ibu dan Bi Karti juga siaga di rumah kapan saja aku membutuhkan sesuatu, mereka selalu siap. Bahkan Bi Karti dan Ibu sering bekerja sama membuat jamu, membantuku memakai pilis, param dan pasukan-pasukan lainnya yang tak kumengerti.Setiap hari Ibu membantuku memakaikan bengkung yaitu kain sepanjang tiga meter yang dililitkan diperut. Terkadang aku tidak tahan memakai itu karena terlalu sesak, jadi bisa juga diganti dengan kain gurita.Ibu dan Bi Karti begitu telaten mengurusku sehabis melahirkan. Sampai hari ini, tibalah saatnya Faruq dibawa pulang. Mama dan Mas Galih yang menjemput.“Siap-siap begadang kamu, Mur..” goda Ibu.“Iya, Bu. Murti udah gak sabar nih..” ucapku senang.“Kalau capek bisa bangunin Bib
“Selamat sore…”Dokter Cyndi masuk ke ruangan bersama dua orang suster. Lagi-lagi aku selamat dari rasa penasaran Ibu dan Mama.“Selamat sore, Dok.” Kami menjawab kompak.Setelah memasukkan obat ke dalam infusku lalu memberikan beberapa saran dan nasehat, dokter Cyndi pergi. Satu jam kedepan kami diperbolehkan untuk melihat bayiku. Nanti suster yang akan mengantar ke ruanganku untuk melatihnya juga menghisap ASI karena ternyata kesiapan bayiku sudah stabil, hanya saja menunggu berat badannya untuk menentukan kapan boleh pulang.Namun, sudah setengah jam berlalu, Mas Galih masih belum kembali juga. Aku mengirim pesan padanya tapi belum pernah dibaca. Lalu, aku mengirim pesan pada Bi Karti menanyakan keberadaan Mas Galih dan keadaan Intan, tapi Bi Karti tak langsung membacanya. Padahak biasanya beliau dengan cepat membalas jika aku mengirim pesan teks.“Kenapa, Mur?” tanya Mama mendekatiku.Sementara Ibu dan Bapak sibuk mengobrol sambil menonton TV dan menikmati cemilan. Mereka sumringa
“Anak kita telah lahir…” ucapku dan Mas Galih bersamaan, air mata haru bahagia menetes seraya bibir ini tersenyum lebar.Bayi berjenis kelamin laki-laki itu diletakkan diatas dadaku. Dengan lucu bibirnya bergerak mencari puting susu. Air mataku menetes, tangis haru bahagia tak bisa kutahan. Beberapa menit kemudian, bayiku dibawa oleh suster untuk dibersihkan dan dibedong.Sementara perutku dijahit, Mas Galih mengazani bayi kami. Membuatku semakin sesenggukan. Suara azan yang bergetar dan lirih itu membuat bayi laki-laki kami ikut menangis. Suaranya begitu menyayat hati.Selesai mengazani, bayi yang belum sempat kupilihkan nama itu dibawa ke ruang inkubator karena bayi prematur harus mendapat perawatan disana.“Bayinya sehat, Ibunya hebat. Semuanya dalam keadaan normal meskipun lahir di waktu yang belum cukup bulan, tapi berat badannya sudah termasuk normal di dua koma lima kilo. Namun, untuk minimal dua minggu ke depan, bayi kalian harus menginap disini, belum boleh dibawa pulang.” Do