Share

SEMBUNYIKAN

Auteur: DEAR GREEN
last update Dernière mise à jour: 2023-02-05 11:36:27

“Mur.. kamu yang sabar ya, kalau kamu butuh bantuan, kapan saja silahkan hubungi kakak,” Kak Yuni mengusap punggungku yang masih tersedu di parkiran saat kami hendak pergi dari kafe itu.

Dalam hatiku masih saja terus mengharap suamiku akan keluar lalu mengejarku dan meminta maaf. Namun harapanku sia-sia, aku bahkan sudah tahu kalau suamiku tidak akan melakukan itu. Harapan itu semakin membuatku kecewa saja.

“Kak, aku mohon jangan cerita sama siapa-siapa, apalagi orang tuaku ya! masalah ini baru diketahui sama kakak saja,” pintaku memelas.

“Kenapa gak boleh Mur, masalah ini harus diketahui oleh keluarga masing-masing pihak, supaya cepat diselesaikan, kalau tidak kamu akan tersiksa terus menerus,” ujarnya.

“Gak kak, nanti aku akan cari cara lain, siapa tau Mas Galih masih bisa berubah,” ucapku meyakinkan Kak Yuni.

Kak Yuni menarik nafas kasar, ia terlihat tak yakin bahwa Mas Galih akan berubah, melihat sikapnya yang sama sekali tidak merasa bersalah bahkan lebih memilih selingkuhannya dari pada istri sahnya.

Sesampainya di rumahku.

“Kamu sudah berapa lama tau hal ini?” tanya Kak Yuni penasaran.

“Sejak awal menikah, Kak.” Lirihku

“Apa? Jadi selama ini kamu sudah tau tapi baru kali ini memergokinya secara langsung?” ucap Kak Yuni kaget.

Aku mengangguk, menatap Kak Yuni, pasrah. Aku tahu sebentar lagi sepupuku ini akan mengomeliku habis-habisan.

“Ya Allah Mur.. kenapa baru sekarang kamu bertindak? Sudah setahun kamu menikah. Jadi selama ini kamu menahan penderitaan ini sendirian?” Ucap Kak Yuni kesal sekaligus prihatin.

“Hmmm…” jawabku ragu, aku tak berani menangapi panjang lebar karena hal itu akan semakin membuat Kak Yuni kesal.

“Kebangetan kamu Mur, bisa-bisanya kamu diam saja setelah mengetahui suamimu selingkuh,” Kak Yuni menatapku dengan sorot mata penuh kecewa.

“Aku gak diam aja Kak, selama ini aku sudah terlusuri, dan cari tau semuanya barulah sekarang aku nekat mengikutinya tapi gak berani sendirian makanya aku ajak Kakak, karena aku tau, aku lemah dan gak berdaya saat melihat Mas Galih sedang berselingkuh.” Aku menunduk lemah.

“Terus, setelah sudah jelas bahwa Galih selingkuh, apa yang akan kamu lakukan?” tegas Kak Yuni. Ia ingin segera mengetahui tindakan selanjutnya dariku kepada Mas Galih.

Aku menggelengkan kepala, lalu menunduk, “Aku belum tau kak,” cicitku.

“Hmm.. sudah ku duga itu jawabanmu. Tadi kamu bilang akan cari cara untuk membuatnya berubah, sekarang kamu bilang belum tau apa yang akan kamu lakukan, menipis sudah kesabaranku sama kamu Mur,” sentak Kak Yuni.

“Kak…” lirihku.

“Mur, aku tau ini bukan urusanku apalagi ini masalah rumah tangga, tapi aku gak bisa tinggal diam kalau keluargaku tersakiti,” tegasnya, memotong kata-kataku yang baginya hanya akan membuatnya semakin kesal.

“Tiga bulan menikah, saat kecurigaanku semakin besar bahwa Mas Galih benar-benar selingkuh, aku langsung memintanya untuk bercerai. Aku tak sengaja melihat foto Mas Galih sedang merangkul wanita itu.” Ucapanku terhenti, dadaku terasa sesak saat mengingat hal menyakitkan itu.

“Lalu?” Desak Kak Yuni.

“Dia mengancam ingin bunuh diri kalau aku meminta cerai,” sambungku.

“Halah.. Mur… Mur.. modus aja itu mah, mana mungkinlah dia berani bunuh diri, egois banget suami kamu ya, dicerai gak mau, tapi dia enak-enakan selingkuh.”

Aku menarik nafas kasar.

“Tunggu, tadi kamu bilang dia berfoto dengan wanita itu dan terlihat mesra? Apa dia tidak menyangkal, atau menjelaskan sesuatu gitu?” Kak Yuni mencoba mengorek informasi agar tidak ada yang ditutupi lagi olehku.

“Iya, dia tidak menyangkal sama sekali, bahkan kami saling bertatapan.”

“Tatapan mataku padanya saat itu sudah menjelaskan semuanya bahwa aku bertanya itu siapa, kenapa berfoto mesra dan semua keluh kesahku yang berkecambuk di dalam pikiranku.” Sambungku.  

“Sedangkan tatapan matanya menjawab bahwa benar itu wanita selingkuhannya. Kami saling terdiam tanpa berdebat atau bertengkar hanya mata kami yang saling berpacu, kemudian dia merampas ponselnya dengan kasar lalu pergi meninggalkanku.” Air mataku kembali luruh saat menjelaskan kejadian tiga bulan awal pernikahanku dengan mas Galih.

Tapi Kak Yuni masih kurang puas dengan penjelasanku, ia merasa masih ada lagi yang ditutupi olehku. Namun kali ini ia tidak ingin lagi memaksakan Aku untuk mengungkap semuanya.

“Kamu yakin hanya itu? Tidak ada lagi yang kamu sembunyikan?” Kak Yuni melirik dengan mata sadisnya.

Aku mengagguk lalu segera menundukkan kepalaku karena tak berani membalas tatapan Kak Yuni.

“Baiklah, kalau kamu memang belum mau mengungkapkan hal ini pada keluarga, segera buat keputusan untuk kedepannya agar kamu tidak semakin menderita, paham?” tegas Yuni lagi.

“Paham kak,” cicitku.

“Jangan lemah dong, mana Murti yang aku kenal? Selama ini kamu tu orangnya gigih, riang, tegas, dan juga berani,” Kak Yuni bangkit dari duduknya lalu menepuk bahuku lembut.

Saat mengantar Kak Yuni kedepan rumah untuk pulang, Aku kembali mengingatkannya agar ia tidak keceplosan mengungkapkan masalahku dengan Mas Galih, terutama kejadian hari ini.

“Kak, ingat ya, jangan bilang siapa-siapa! Awas aja kalau kakak keceplosan!”

Kak Yuni hanya mengacungkan jempolnya, kemudian berlalu pergi. Namun Aku merasa ragu mempercayai sepupuku itu.

“Semoga saja dia bisa pegang rahasia,” gumamku.

***

Ting…

Tiba-tiba masuk pesan di aplikasi hijau milikku.

[“Udah gak waras kamu ya, bawa-bawa si Yuni segala!”] tulis Galih.

[“Gila ya, bisa-bisanya bilangin aku yang gak waras, kamu nyadar gak siapa yang lebih gak waras?!”] balasku tegas.

Jawabanku sedikit melawan, mulai detik ini aku tidak ingin lagi bersikap lemah lembut dan mengalah pada Mas Galih. Aku akan merubah sikapku agar Mas Galih tidak menyepelekanku.

Mas Galih kemudian tidak membalas hanya membacanya saja. Aku merasa puas atas ucapanku. Keputusan pertamaku adalah ingin menjadi wanita yang lebih sadis dan tidak lemah, kemudian perlahan membuat suamiku berubah, karena sejujurnya aku masih sangat mencintai Mas Galih.

Beberapa jam kemudian Mas Galih pulang, Aku dengan santai menonton televisi tak memperdulikan kedatangan suamiku itu. Aku juga bersikap dingin dan lebih tenang.

“Apa-apaan kamu tadi? Sengaja mau buat malu aku di depan banyak orang hah ???” Hardik Mas Galih sambil melemparkan topinya ke sofa dekat Aku duduk.

Aku menaikkan sudut bibirku sambil terus menatap televisi menyilangkan kakiku di kaki satunya, aku sengaja tidak menanggapi amarah Mas Galih. Karena yang seharusnya sangat marah adalah aku.

“Kamu mengejekku?” Mas Galih mendekatiku perlahan.

“Jadi sekarang sudah berani melawanku ya?” bentaknya lagi.

Aku hanya memandang sesaat lalu membuang wajah sambil memutar bola mata jengah.

“Jawab!!” Mas Galih menarik lengan Aku dengan kasar.

Aku memekik kesakitan, kemudian ku tepis tangan Mas Galih dari lenganku sehingga membentuk bekas jari Mas Galih disana.

“Jadi selain selingkuh kamu juga mau main kasar sama aku?" Aku bangkit dari dudukku lalu menyapu dengan arogan bekas jari Mas Galih yang tergambar di lenganku.

"Enggak.. Mur, maaf aku gak sengaja!" Mas Galih mulai gugup dan ketakutan karena dia sudah berjanji pada dirinya sendiri untuk tidak kasar atau melakukan KDRT padaku.

"Gak apa-apa Mas, silahkan lakukan semua yang kamu mau untuk terus menyakitiku, lakukan saja sesukamu!" hardikku.

Continuez à lire ce livre gratuitement
Scanner le code pour télécharger l'application
Commentaires (1)
goodnovel comment avatar
Hersa Hersa
tolol bin idiot
VOIR TOUS LES COMMENTAIRES

Latest chapter

  • TAK INGIN BERCERAI   DIUJUNG TAKDIR (TAMAT)

    Saat langkahku sampai di ruang tamu, ternyata Mas Galih membawa Intan ke rumah. Wanita itu semakin kurus, namun senyuman tersungging ramah ke arahku.Aku membalasnya dengan senyum pula seraya menghampirinya.“Intan.. apa kabar?” aku mengulurkan tangan dari jauh untuk memeluknya.Wanita berpakaian sederhana itu berdiri menyambut pelukanku. Mas Galih pasti sengaja lama datang karena menunggu Ibuku pulang terlebih dahulu agar bisa membawa Intan ke rumah.“Maaf ya, Mur.. aku gak sempat ngabarin kamu karena tadi ke rumah sakit dulu buat kontrol kondisi Intan,” ujar Mas Galih.Aku mengangguk, “lalu, bagaimana keadaanmu, Ntan? Sudah lebih baik, kan?” tanyaku.Intan tersenyum getir, pandangannya beralih pada suamiku. Sementara yang ditatap hanya salah tingkah. Apa yang mereka sembunyikan?“Oya, Mur, mana Faruq? Intan juga ingin melihatnya,” ucap Mas Galih berusaha mengalihkan pembicaraan tentang Intan.“Ada di kamar sama Fatin dan Dessy. Mereka sebentar lagi pulang, Mas. Jadi sekalian siap-si

  • TAK INGIN BERCERAI   PUBER?

    Empat puluh hari pasca melahirkan.Hari ini, masa nifasku telah habis. Ibuku pun berberes untuk segera pulang ke kampung. Sebentar lagi Kak Rian akan menjemput Ibu.Semenjak kenyataan itu terungkap, Kak Rian menjadi bersikap canggung padaku, tapi aku membawanya ke suasana seperti biasa saja. Sepertinya Kak Rian masih belum bisa menerima hal itu."Kak, meskipun kita tak sedarah, tapi kita lahir dari rahim yang sama, itu artinya kita tetap kakak adik. Jangan terbebani hanya karena kita tak sebapak.." nasehatku waktu itu padanya.Dan hari ini Mas Galih berjanji akan pulang ke rumah, tapi sampai sekarang belum ada kabarnya. Sudah dua minggu Mas Galih tidak pulang ke rumah, bahkan saat itu suamiku pernah mengirimiku poto Intan dan dirinya berdua di depan rumah baru mereka.Memang tidak berpose mesra, tapi senyuman Intan menandakan dia benar-benar bahagia. Mas Galih juga selalu bersikap terubuka padaku, dia terus melaporkan semua kegiatannya padaku mulai dari berangkat kerja pagi-pagi sampa

  • TAK INGIN BERCERAI   KEMUNCULAN PAPA

    “Murti itu bukan mahramnya kamu!” lirih Ibu, air matanya lolos begitu derasnya.Aku terngangah lebar, sedangkan Kak Rian membeku sambil menatap Ibu dengan tatapan tak percaya.“Ibu…” lirihku.“Bu… apaan sih, bercandanya gak lucu…” Kak Rian masih cengengesan, dia tak percaya dan menganggap ucapan Ibu hanya sebuah lelucon.Ibu semakin terisak, dadanya naik turun menahan emosi.“Ibu gak becanda, Kak..” ucapku dengan suara yang tiba-tiba serak.“Apa?” Kak Rian beralih menatapku.“Fatin… Desi..” panggilku.Kedua gadis berseragam putih itu menghampiriku. Aku segera memberikan Faruq pada mereka untuk dibawa keluar.“Ibu.. duduk sini, mari kita bicara!” aku menepuk sisi ranjang, tempatku saat ini duduk bersandar.Sementara Kak Rian masih dalam keadaan bingung. Sesuatu yang sangat kucemaskan terjadi. Aku takut sakit Ibu kambuh. Kuatkan kami ya Allah menerima kenyataan ini bersama. Doaku dalam hati.“Mur… ada apa ini sebenarnya?” kak Rian menggaruk kepala, heran.“Ibu… bagaimana Ibu bisa tau?”

  • TAK INGIN BERCERAI   BUKAN MAHRAM

    “Galih gak pergi-pergi lagi abis ini, kan Mur?” tanya Ibu sedikit berbisik.“Engga bisa dipastikan, Bu. Karena Mas Galih emang lagi sibuk-sibuknya, lagi ada proyek baru soalnya.” Aku menjelaskan dengan hal yang tentu saja kubuat-buat sendiri.Ibuku mendesah berat, ada raut kecewa di wajahnya, kemudian menatapku dengan perasaan kasihan.“Murti baik-baik aja kok, Bu. Kan disini sudah ada Ibu, Bi Karti, Kak Yuni juga bakalan sering datang, banyak banget orang-orang yang peduli dan sayang sama Murti… pekerjaan juga bagian dari tanggung jawab Mas Galih, Bu. Murti gak boleh egois..” aku mencoba memberi Ibu pengertian.“Iya, Nak. Ibu paham..” ucapnya sambil tersenyum.‘Ya Allah,, sampai kapan aku terus menyembunyikan rahasia ini? bagaimana jika Ibu mengetahui dari orang lain, pasti hatinya akan sangat sakit.’“Mas.. sudah selesai makannya?” aku menyapa suamiku ketika dia membuka pintu kamar.“Kalian ngobrol dulu ya, Ibu mau bantuin Bi Karti beres-beres.” Wanita yang telah melahirkanku itu pe

  • TAK INGIN BERCERAI   IKHLAS

    “Aku tadi liat suami kamu lagi di rumah sakit, dia ngapain? Jenguk temen?” tanya Kak Yuni penuh selidik.“Oh, itu.. anu..” aku ragu, akankah kucertiakan tentang kejadian sebenarnya pada Kak Yuni? Toh, dia juga sudah banyak tahu masalahku sejak awal.“Mulai.. mulai… udah main rahasia rahasiaan sama aku,” cibirnya.“Enggak, Kak. Bukan gitu, aku takut Ibu tau…” cicitku sedikit berbisik.“Emang ada apa? Bicara pelan, mumpung bayi lu anteng dan semua orang sedang di luar..” kata Kak Yuni dengan suara berbisik pula.“Tapi janji, di depan Ibu pura-pura gak tau aja, ya! Aku mau perlahan-lahan aja keluargaku tau soal ini,” ucapku.Kak Yuni mengangguk sambil mencebikkan bibirnya. Lalu, aku mencertiakan semuanya, termasuk penderitaan yang dialami oleh Intan sampai sekarang alasan dia berada di rumah sakit.Kak Yuni terngangah, kemudian membekap mulutnya. Raut wajahnya jelas tergambar keterkejutan, air mata terbendung di sudut netranya.“Ya Allah, Mur.. kasihan banget tuh anak..” lirihnya.“Kalau

  • TAK INGIN BERCERAI   MEMBELIKAN RUMAH

    Setelah mendengar cerita pahit tentang masalah hidup Intan yang begitu menyayat untuk kurasakan, aku pun merelakan Mas Galih untuk senantiasa bersamanya sampai dia benar-benar sembuh. Dokter bilang Intan harus dioperasi. Aku tidak tahu apa yang terjadi padanya setelah seminggu ini.Bahkan Mas Galih juga tidak pernah pulang. Dia sibuk bolak balik rumah sakit ke kantor. Jika rindu dengan Faruq, kami hanya melakukan panggilan video saja.Aku memaklumi keadaan ini, aku tidak boleh egois. Lagi pula aku dikelilingi orang-orang yang peduli dan menyayangiku.“Sebenarnya Galih kemana, Mur? kok udah seminggu gak pulang?” tanya Ibu yang belakang memang kuperhatikan tengah penasaran dengan keberadaan suamiku.“Beliau sibuk banget, Bu. Kan sudah sering cuti seperti yang Ibu bilang waktu itu, jadi kerjaannya menumpuk. Terkadang juga harus ke luar kota ketemu klien, meeting segala macem lah, Bu. Hehe..” jawabku sambil cengengesa, berusaha menutupi kegundahan yang sedang kurasakan. Ya, aku merindukan

  • TAK INGIN BERCERAI   MENJALANI PERAN

    Sepuluh hari berlalu, Faruq akhirnya dibolehkan pulang karena semua kondisinya sudah stabil dan berat badannya sudah bertambah, kini mencapai tiga kilogram.Mas Galih membayar seorang bidan dan perawat untuk mengurusku dan Faruq selama sebulan ke depan sampai aku habis masa nifas.Ibu dan Bi Karti juga siaga di rumah kapan saja aku membutuhkan sesuatu, mereka selalu siap. Bahkan Bi Karti dan Ibu sering bekerja sama membuat jamu, membantuku memakai pilis, param dan pasukan-pasukan lainnya yang tak kumengerti.Setiap hari Ibu membantuku memakaikan bengkung yaitu kain sepanjang tiga meter yang dililitkan diperut. Terkadang aku tidak tahan memakai itu karena terlalu sesak, jadi bisa juga diganti dengan kain gurita.Ibu dan Bi Karti begitu telaten mengurusku sehabis melahirkan. Sampai hari ini, tibalah saatnya Faruq dibawa pulang. Mama dan Mas Galih yang menjemput.“Siap-siap begadang kamu, Mur..” goda Ibu.“Iya, Bu. Murti udah gak sabar nih..” ucapku senang.“Kalau capek bisa bangunin Bib

  • TAK INGIN BERCERAI   BAYIKU

    “Selamat sore…”Dokter Cyndi masuk ke ruangan bersama dua orang suster. Lagi-lagi aku selamat dari rasa penasaran Ibu dan Mama.“Selamat sore, Dok.” Kami menjawab kompak.Setelah memasukkan obat ke dalam infusku lalu memberikan beberapa saran dan nasehat, dokter Cyndi pergi. Satu jam kedepan kami diperbolehkan untuk melihat bayiku. Nanti suster yang akan mengantar ke ruanganku untuk melatihnya juga menghisap ASI karena ternyata kesiapan bayiku sudah stabil, hanya saja menunggu berat badannya untuk menentukan kapan boleh pulang.Namun, sudah setengah jam berlalu, Mas Galih masih belum kembali juga. Aku mengirim pesan padanya tapi belum pernah dibaca. Lalu, aku mengirim pesan pada Bi Karti menanyakan keberadaan Mas Galih dan keadaan Intan, tapi Bi Karti tak langsung membacanya. Padahak biasanya beliau dengan cepat membalas jika aku mengirim pesan teks.“Kenapa, Mur?” tanya Mama mendekatiku.Sementara Ibu dan Bapak sibuk mengobrol sambil menonton TV dan menikmati cemilan. Mereka sumringa

  • TAK INGIN BERCERAI   PEMERIKSAAN

    “Anak kita telah lahir…” ucapku dan Mas Galih bersamaan, air mata haru bahagia menetes seraya bibir ini tersenyum lebar.Bayi berjenis kelamin laki-laki itu diletakkan diatas dadaku. Dengan lucu bibirnya bergerak mencari puting susu. Air mataku menetes, tangis haru bahagia tak bisa kutahan. Beberapa menit kemudian, bayiku dibawa oleh suster untuk dibersihkan dan dibedong.Sementara perutku dijahit, Mas Galih mengazani bayi kami. Membuatku semakin sesenggukan. Suara azan yang bergetar dan lirih itu membuat bayi laki-laki kami ikut menangis. Suaranya begitu menyayat hati.Selesai mengazani, bayi yang belum sempat kupilihkan nama itu dibawa ke ruang inkubator karena bayi prematur harus mendapat perawatan disana.“Bayinya sehat, Ibunya hebat. Semuanya dalam keadaan normal meskipun lahir di waktu yang belum cukup bulan, tapi berat badannya sudah termasuk normal di dua koma lima kilo. Namun, untuk minimal dua minggu ke depan, bayi kalian harus menginap disini, belum boleh dibawa pulang.” Do

Découvrez et lisez de bons romans gratuitement
Accédez gratuitement à un grand nombre de bons romans sur GoodNovel. Téléchargez les livres que vous aimez et lisez où et quand vous voulez.
Lisez des livres gratuitement sur l'APP
Scanner le code pour lire sur l'application
DMCA.com Protection Status