Aku memeriksa aplikasi cek-lokasi di ponselku yang sudah aku sambungkan di ponsel milik Mas Galih, suamiku.
Dengan jantung berdebar aku perlahan memperhatikan gerak lokasi yang sedang dituju olehnya. Titiknya kini berhenti disebuah kafe di pinggir kota, aku lalu menghubungi sepupuku untuk menemaniku menuju lokasi tempat Mas Galih sekarang berada.
“Kak Yuni, lagi sibuk gak?” tanyaku saat Kak Yuni menjawab teleponku.
“Gak Mur, lagi santai, ini kan hari minggu. Ada apa?” sahutnya sambil sesekali terdengar ia menyeruput minuman.
“Bisa temani aku ke Kafe Gemilang?” Ucapku sedikit gugup.
“Boleh, emangnya kamu gak masak hari ini?”
“Bukan, datang saja dulu nanti aku ceritain!” aku tidak sabar ingin segera mendatangi Mas Galih yang ku yakini sedang bersama wanita lain.
Sambil menunggu Kak Yuni datang menjemputku, aku terus menelepon Mas Galih namun tak kunjung dijawab. Malah kini Mas Galih mematikan ponselnya, membuat jantungku semakin berdegup kencang, air mataku berhasil lolos dari mataku yang sedari tadi terbendung.
“Assalamu’alaikum… Murti..!” Kak Yuni datang dan langsung masuk ke rumahku yang tidak terkunci.
Aku dengan cepat menghapus air mataku yang tak mau berhenti mengalir meski sudah berusaha keras untuk menenangkan diri sejak tadi.
“Loh, kamu nangis? Ada apa Mur?” Kak Yuni duduk lalu memeluk tubuhku.
“Aku belum tau pasti Mas Galih dengan siapa ke kafe itu, tapi firasatku sangat kuat, Kak. Sudah puluhan kali aku meneleponnya, tapi tak pernah diangkat, tadi dia reject, lalu sekarang dia mematikan handphonenya,” Aku kembali sesenggukan.
Kak Yuni yang masih belum mengerti dengan perkataanku mencoba perlahan bertanya kembali, “Maksud kamu gimana? Firasat apa?”
“Mas Galih selingkuh, Kak!” Aku kembali tersedu.
Kak Yuni membelalak mata mendengar pernyataanku, pasalnya Mas Galih yang selama ini ia kenal bukanlah tipe lelaki seperti itu. Selama ini ia melihat rumah tanggaku dan Mas Galih selalu bahagia dan harmonis.
“Kamu yakin, Mur? Apa Galih tega melakukan itu? Dia kancinta banget sama kamu,” kening Kak Yuni berkerut, namun ia terus mengelus punggungku agar aku tenang.
“Aku yakin kak, ayo kita lihat dia disana kalau kakak gak percaya sama aku!” Aku sudah mengetahui perselingkuhan Mas Galih dengan wanita ini bahkan sejak sebelum kami menikah, namun aku merahasiakan hal ini dari semua orang, terutama keluargaku.
Dengan jantung yang kian bergemuruh, Aku pergi ke lokasi dimana suamiku berada. Aku yakin saat ini Mas Galih bersama wanita selingkuhannya, karena saat sebelum dia pergi, Mas Galih menerima telepon dari seseorang yang membuatnya sangat riang, lalu bergegas meninggalkanku di rumah tanpa berpamitan.
Usia pernikahan kami kini sudah satu tahun, rahasia ini aku simpan rapat-rapat demi nama baik suamiku dan juga keluarga kami. Hari ini aku akan mengungkapkan rahasia itu di depan Kak Yuni, kakak sepupuku yang sangat dekat denganku. Dialah orang pertama yang nantinya akan mengetahui hal ini pertama kalinya.
Sesampainya di Kafe Gemilang, Aku semakin gugup dan gelisah. Kak Yuni terus mencoba menenangkanku. Melihat ekspresi wajahku yang sangat yakin dengan perselingkuhan Mas Galih, Kak Yuni pun terlihat percaya dengan apa yang ku ungkapkan.
“Mur, tenang, tarik nafas, istighfar!” titahnya.
Aku mencoba mengikuti apa yang dikatakan Kak Yuni. Kini kami berdua perlahan masuk ke dalam kafe tersebut dan menyusuri pondok-pondok lesehan yang bersekat-sekat.
Aku melihat sepasang sepatu milik suamiku yang berdampingan dengan sandal wanita di depan salah satu sebuah pondok lesehan. Gegas aku langsung mendatangi pondok itu, tidak salah lagi, memang benar Mas Galih berada disana sedang bercumbu dengan posisi manja, merebahkan kepalanya diatas paha perempuan itu.
“Mas, kamu ngapain disini? Ayo pulang!” Aku yang tidak berdaya melihat pemandangan itu, sudah tidak bisa lagi marah. Bibirku hanya bisa mengucapkan kalimat itu.
Aku sangat terkejut, marah, kesal, kecewa, perasaanku campur aduk tidak bisa lagi dijelaskan. Meskipun aku sudah tahu kalau selama ini suamiku berselingkuh, namun baru kali ini aku melihatnya secara langsung.
Mas Galih bahkan tidak kaget melihatku datang memergokinya, begitupun dengan wanita selingkuhannya, ekspresinya sangat tenang tidak ada raut diwajahnya yang menampakan perasaan bersalah, ia malah tersenyum sinis kepadaku.
“Kamu yang ngapain disini, sana pulang!” usir Mas Galih.
Tak sadar air mata Aku luruh, aku menangis dalam hati tanpa suara dan isakan. Entah kenapa aku tidak bisa menjambak rambut wanita itu atau bahkan menamparnya begitupun dengan suamiku.
Rasa cintaku terhadap Mas Galih yang begitu besar sukses membuatku meredam amarah. Wajarkah rasa cinta yang aku rasakan saat ini? Ataukah hanya kebodohan semata? Inikah yang dinamakan cinta buta? Benar-benar membutakan segalanya sampai aku rela menahan penderitaan dan sakit hati selama satu tahun pernikahan ini.
“Galih!!! Apa-apaan kamu! Tega-teganya kamu selingkuh! Kurang apa Murti ha? Dia bahkan lebih cantik dan lebih muda dari pada wanita murahan ini!!” hardik Kak Yuni yang tak bisa menahan emosi melihat perbuatan suamiku.
Galih memandangku dan Kak Yuni dengan tatapan acuh, tersenyum miring kepada kami, begitupun dengan wanita itu. Wajahnya memang tampak lebih tua dari pada Mas Galih, namun ku akui, wanita itu memang sangatlah cantik. Mas Galih seperti sedang tidak sadar dengan situasi saat ini.
“Mas, ayo pulang!” ajakku dengan suara serak.
Namun Mas Galih tak menanggapi, ia bahkan masih dalam posisi berbaring dalam pangkuan wanita selingkuhannya.
“Keterlaluan! kalian berdua memang bukan manusia!!!” bentak Kak Yuni lagi yang tak bisa menahan amarahnya.
Kemudian ia mendekati wanita itu yang sedari tadi hanya diam dan tersenyum kecut. Tanpa pikir panjang Kak Yuni langsung menarik rambut si wanita.
“Dasar wanita murahan! Gak tau diri! Tua bangka gak tau malu! Ini suami orang, jelas-jelas istri sahnya datang tapi kau malah gak peduli! Gak ada sedikitpun rasa bersalahmu, ha?” bentak Kak Yuni geram.
Mas Galih sontak bangkit dari rebahnya lalu menepis tangan Kak Yuni dengan tatapan membunuh.
“Lepasin! Kau siapa ikut campur urusanku ha? Pergi sana!” hardik Galih kepada Kak Yuni.
Kak Yuni hanya bisa menggeleng kesal, ia tak menyangka Mas Galih yang selama ini ia anggap seorang suami yang baik dan setia nyatanya berselingkuh terang-terangan di depanku.
Tangis ku pecah saat melihat kejadian di depan mataku, ketika suamiku lebih membela sang selingkuhan.
“Gak nyangka kakak Gas, liat kelakuan kamu kayak gini apalagi gara-gara membela dia kamu sampai berani membentak kakak.” Lirih Kak Yuni.
Sementara wanita selingkuhannya itu masih sibuk membenarkan rambutnya yang kusut akibat ditarik oleh Kak Yuni.
“Aku bukan perempuan murahan seperti yang kau ucapkan tadi! Galih sendiri yang memintaku untuk menjadi wanita simpanannya, dan kami saling menyukai,” ucap wanita itu dengan santai tanpa rasa bersalah.
“Hah, akhirnya kau bersuara. Tapi, apa tadi? Kau bilang bukan perempuan murahan? Lalu kau mengaku sebagai simpanan? Hahahah konyol sekali. Ini nih tandanya kalau orang gak pernah sekolah,” cibir Kak Yuni.
“Kak Yuni! Cukup kak! Ini bukan urusan kakak, gak usah ikut campur urusan rumah tanggaku! Sekarang silahkan kakak pergi, bawa Murti pulang!” bentak Mas Galih dengan tatapan tajam kepada Kak Yuni, rahangnya mengeras sambil mengepalkan tangannya.
Orang-orang dikafe sudah sejak tadi memperhatikan kejadian ini, beberapa dari mereka saling berbisik dan ada juga yang diam-diam merekam dengan ponselnya. Mungkin bagi mereka hal seperti ini adalah tontonan seru.
“Sudahlah kak, ayo kita pulang, percuma kita berdebat disini, yang ada kita menjadi tontonan orang-orang dan Mas Galih juga lebih membela wanita itu,” Aku mulai gerah dengan keadaan di kafe dan merasa malu.
“Mohon kepada sesiapa yang merekam, Hapus sekarang atau aku akan panggil polisi!” ancam Kak Yuni kepada para pengunjung yang menyaksikan perseteruan kami.
Seketika semuanya kembali ke dalam pondok dan beberapa kembali ke tempat duduknya masing-masing.
Betapa sakit hati dan malunya Aku, kejadian ini disaksikan oleh banyak orang, dan aku bahkan tidak mendapat perlakuan baik dari suamiku sendiri, aku mengharap setidaknya Mas Galih merasa bersalah dan menjelaskan kenapa dia bisa bersama wanita itu lalu meminta maaf dan mengejarku ketika pergi.
Namun nyatanya Mas Galih lebih memilih membela wanita itu dan sama sekali tidak menghiraukan keberadaanku sebagai istri sahnya.
Saat langkahku sampai di ruang tamu, ternyata Mas Galih membawa Intan ke rumah. Wanita itu semakin kurus, namun senyuman tersungging ramah ke arahku.Aku membalasnya dengan senyum pula seraya menghampirinya.“Intan.. apa kabar?” aku mengulurkan tangan dari jauh untuk memeluknya.Wanita berpakaian sederhana itu berdiri menyambut pelukanku. Mas Galih pasti sengaja lama datang karena menunggu Ibuku pulang terlebih dahulu agar bisa membawa Intan ke rumah.“Maaf ya, Mur.. aku gak sempat ngabarin kamu karena tadi ke rumah sakit dulu buat kontrol kondisi Intan,” ujar Mas Galih.Aku mengangguk, “lalu, bagaimana keadaanmu, Ntan? Sudah lebih baik, kan?” tanyaku.Intan tersenyum getir, pandangannya beralih pada suamiku. Sementara yang ditatap hanya salah tingkah. Apa yang mereka sembunyikan?“Oya, Mur, mana Faruq? Intan juga ingin melihatnya,” ucap Mas Galih berusaha mengalihkan pembicaraan tentang Intan.“Ada di kamar sama Fatin dan Dessy. Mereka sebentar lagi pulang, Mas. Jadi sekalian siap-si
Empat puluh hari pasca melahirkan.Hari ini, masa nifasku telah habis. Ibuku pun berberes untuk segera pulang ke kampung. Sebentar lagi Kak Rian akan menjemput Ibu.Semenjak kenyataan itu terungkap, Kak Rian menjadi bersikap canggung padaku, tapi aku membawanya ke suasana seperti biasa saja. Sepertinya Kak Rian masih belum bisa menerima hal itu."Kak, meskipun kita tak sedarah, tapi kita lahir dari rahim yang sama, itu artinya kita tetap kakak adik. Jangan terbebani hanya karena kita tak sebapak.." nasehatku waktu itu padanya.Dan hari ini Mas Galih berjanji akan pulang ke rumah, tapi sampai sekarang belum ada kabarnya. Sudah dua minggu Mas Galih tidak pulang ke rumah, bahkan saat itu suamiku pernah mengirimiku poto Intan dan dirinya berdua di depan rumah baru mereka.Memang tidak berpose mesra, tapi senyuman Intan menandakan dia benar-benar bahagia. Mas Galih juga selalu bersikap terubuka padaku, dia terus melaporkan semua kegiatannya padaku mulai dari berangkat kerja pagi-pagi sampa
“Murti itu bukan mahramnya kamu!” lirih Ibu, air matanya lolos begitu derasnya.Aku terngangah lebar, sedangkan Kak Rian membeku sambil menatap Ibu dengan tatapan tak percaya.“Ibu…” lirihku.“Bu… apaan sih, bercandanya gak lucu…” Kak Rian masih cengengesan, dia tak percaya dan menganggap ucapan Ibu hanya sebuah lelucon.Ibu semakin terisak, dadanya naik turun menahan emosi.“Ibu gak becanda, Kak..” ucapku dengan suara yang tiba-tiba serak.“Apa?” Kak Rian beralih menatapku.“Fatin… Desi..” panggilku.Kedua gadis berseragam putih itu menghampiriku. Aku segera memberikan Faruq pada mereka untuk dibawa keluar.“Ibu.. duduk sini, mari kita bicara!” aku menepuk sisi ranjang, tempatku saat ini duduk bersandar.Sementara Kak Rian masih dalam keadaan bingung. Sesuatu yang sangat kucemaskan terjadi. Aku takut sakit Ibu kambuh. Kuatkan kami ya Allah menerima kenyataan ini bersama. Doaku dalam hati.“Mur… ada apa ini sebenarnya?” kak Rian menggaruk kepala, heran.“Ibu… bagaimana Ibu bisa tau?”
“Galih gak pergi-pergi lagi abis ini, kan Mur?” tanya Ibu sedikit berbisik.“Engga bisa dipastikan, Bu. Karena Mas Galih emang lagi sibuk-sibuknya, lagi ada proyek baru soalnya.” Aku menjelaskan dengan hal yang tentu saja kubuat-buat sendiri.Ibuku mendesah berat, ada raut kecewa di wajahnya, kemudian menatapku dengan perasaan kasihan.“Murti baik-baik aja kok, Bu. Kan disini sudah ada Ibu, Bi Karti, Kak Yuni juga bakalan sering datang, banyak banget orang-orang yang peduli dan sayang sama Murti… pekerjaan juga bagian dari tanggung jawab Mas Galih, Bu. Murti gak boleh egois..” aku mencoba memberi Ibu pengertian.“Iya, Nak. Ibu paham..” ucapnya sambil tersenyum.‘Ya Allah,, sampai kapan aku terus menyembunyikan rahasia ini? bagaimana jika Ibu mengetahui dari orang lain, pasti hatinya akan sangat sakit.’“Mas.. sudah selesai makannya?” aku menyapa suamiku ketika dia membuka pintu kamar.“Kalian ngobrol dulu ya, Ibu mau bantuin Bi Karti beres-beres.” Wanita yang telah melahirkanku itu pe
“Aku tadi liat suami kamu lagi di rumah sakit, dia ngapain? Jenguk temen?” tanya Kak Yuni penuh selidik.“Oh, itu.. anu..” aku ragu, akankah kucertiakan tentang kejadian sebenarnya pada Kak Yuni? Toh, dia juga sudah banyak tahu masalahku sejak awal.“Mulai.. mulai… udah main rahasia rahasiaan sama aku,” cibirnya.“Enggak, Kak. Bukan gitu, aku takut Ibu tau…” cicitku sedikit berbisik.“Emang ada apa? Bicara pelan, mumpung bayi lu anteng dan semua orang sedang di luar..” kata Kak Yuni dengan suara berbisik pula.“Tapi janji, di depan Ibu pura-pura gak tau aja, ya! Aku mau perlahan-lahan aja keluargaku tau soal ini,” ucapku.Kak Yuni mengangguk sambil mencebikkan bibirnya. Lalu, aku mencertiakan semuanya, termasuk penderitaan yang dialami oleh Intan sampai sekarang alasan dia berada di rumah sakit.Kak Yuni terngangah, kemudian membekap mulutnya. Raut wajahnya jelas tergambar keterkejutan, air mata terbendung di sudut netranya.“Ya Allah, Mur.. kasihan banget tuh anak..” lirihnya.“Kalau
Setelah mendengar cerita pahit tentang masalah hidup Intan yang begitu menyayat untuk kurasakan, aku pun merelakan Mas Galih untuk senantiasa bersamanya sampai dia benar-benar sembuh. Dokter bilang Intan harus dioperasi. Aku tidak tahu apa yang terjadi padanya setelah seminggu ini.Bahkan Mas Galih juga tidak pernah pulang. Dia sibuk bolak balik rumah sakit ke kantor. Jika rindu dengan Faruq, kami hanya melakukan panggilan video saja.Aku memaklumi keadaan ini, aku tidak boleh egois. Lagi pula aku dikelilingi orang-orang yang peduli dan menyayangiku.“Sebenarnya Galih kemana, Mur? kok udah seminggu gak pulang?” tanya Ibu yang belakang memang kuperhatikan tengah penasaran dengan keberadaan suamiku.“Beliau sibuk banget, Bu. Kan sudah sering cuti seperti yang Ibu bilang waktu itu, jadi kerjaannya menumpuk. Terkadang juga harus ke luar kota ketemu klien, meeting segala macem lah, Bu. Hehe..” jawabku sambil cengengesa, berusaha menutupi kegundahan yang sedang kurasakan. Ya, aku merindukan
Sepuluh hari berlalu, Faruq akhirnya dibolehkan pulang karena semua kondisinya sudah stabil dan berat badannya sudah bertambah, kini mencapai tiga kilogram.Mas Galih membayar seorang bidan dan perawat untuk mengurusku dan Faruq selama sebulan ke depan sampai aku habis masa nifas.Ibu dan Bi Karti juga siaga di rumah kapan saja aku membutuhkan sesuatu, mereka selalu siap. Bahkan Bi Karti dan Ibu sering bekerja sama membuat jamu, membantuku memakai pilis, param dan pasukan-pasukan lainnya yang tak kumengerti.Setiap hari Ibu membantuku memakaikan bengkung yaitu kain sepanjang tiga meter yang dililitkan diperut. Terkadang aku tidak tahan memakai itu karena terlalu sesak, jadi bisa juga diganti dengan kain gurita.Ibu dan Bi Karti begitu telaten mengurusku sehabis melahirkan. Sampai hari ini, tibalah saatnya Faruq dibawa pulang. Mama dan Mas Galih yang menjemput.“Siap-siap begadang kamu, Mur..” goda Ibu.“Iya, Bu. Murti udah gak sabar nih..” ucapku senang.“Kalau capek bisa bangunin Bib
“Selamat sore…”Dokter Cyndi masuk ke ruangan bersama dua orang suster. Lagi-lagi aku selamat dari rasa penasaran Ibu dan Mama.“Selamat sore, Dok.” Kami menjawab kompak.Setelah memasukkan obat ke dalam infusku lalu memberikan beberapa saran dan nasehat, dokter Cyndi pergi. Satu jam kedepan kami diperbolehkan untuk melihat bayiku. Nanti suster yang akan mengantar ke ruanganku untuk melatihnya juga menghisap ASI karena ternyata kesiapan bayiku sudah stabil, hanya saja menunggu berat badannya untuk menentukan kapan boleh pulang.Namun, sudah setengah jam berlalu, Mas Galih masih belum kembali juga. Aku mengirim pesan padanya tapi belum pernah dibaca. Lalu, aku mengirim pesan pada Bi Karti menanyakan keberadaan Mas Galih dan keadaan Intan, tapi Bi Karti tak langsung membacanya. Padahak biasanya beliau dengan cepat membalas jika aku mengirim pesan teks.“Kenapa, Mur?” tanya Mama mendekatiku.Sementara Ibu dan Bapak sibuk mengobrol sambil menonton TV dan menikmati cemilan. Mereka sumringa
“Anak kita telah lahir…” ucapku dan Mas Galih bersamaan, air mata haru bahagia menetes seraya bibir ini tersenyum lebar.Bayi berjenis kelamin laki-laki itu diletakkan diatas dadaku. Dengan lucu bibirnya bergerak mencari puting susu. Air mataku menetes, tangis haru bahagia tak bisa kutahan. Beberapa menit kemudian, bayiku dibawa oleh suster untuk dibersihkan dan dibedong.Sementara perutku dijahit, Mas Galih mengazani bayi kami. Membuatku semakin sesenggukan. Suara azan yang bergetar dan lirih itu membuat bayi laki-laki kami ikut menangis. Suaranya begitu menyayat hati.Selesai mengazani, bayi yang belum sempat kupilihkan nama itu dibawa ke ruang inkubator karena bayi prematur harus mendapat perawatan disana.“Bayinya sehat, Ibunya hebat. Semuanya dalam keadaan normal meskipun lahir di waktu yang belum cukup bulan, tapi berat badannya sudah termasuk normal di dua koma lima kilo. Namun, untuk minimal dua minggu ke depan, bayi kalian harus menginap disini, belum boleh dibawa pulang.” Do