Nadia dan Sherina akhirnya bermain, Sherina begitu senang. Sherina yang semula tidak pernah merasakan kasih sayang, justru sekarang sudah bisa merasakannya.
"Sherina, jadilah anak yang selalu ceria dan bahagia seperti ini ya," Nadia mengucap dengan penuh perasaan kasih sayang dan lemah lembut.
"Baik, Bu. Terimakasih telah menjadi ibu yang baik untuk ku." Sherina memeluk erat Nadia.
Mereka melanjutkan bermain, mulai dari bermain boneka dan juga permainan yang lainnya.
"Di rumah ini, Sherina hanya tinggal berdua sama Ayah?" tanya Nadia, ketika dia melihat rumahnya begitu sepi.
"Tidak, Bu. Ada bibi juga, bibi Inem. Bibi Inem yang membantu aku mandi dan makan sedari dulu," jawab Sherina.
"Sekarang, bibi Inem ke mana? Dari tadi aku lihat tidak ada orang," Nadia bertanya.
"Iya, bibi Inem pulang kampung. Katanya sedang merindukan keluarganya, paling besok pagi pulang ke sini lagi, Bu," jawab Sherina yang sedang sibuk dengan boneka-bonekanya.
"Oh..Begitu ya."
Nadia terus saja menemani Sherina bermain.
Azan duhur sudah lama berkumandang, Nadia lupa bahwa dirinya belum sholat. Jam masih menunjukkan pukul 13.30 wib, Nadia langsung pergi ke kamar mandi.
"Sherina bermain sendiri dulu ya, Ibu mau sholat duhur dulu," pamit Nadia.
"Baik, Bu." Sherina menjawab dalam keadaan masih tetap dengan semua bonekanya.
Nadia berjalan menelusuri rumah yang mewah itu, ternyata di dalam rumah itu juga terdapat Mushola.
"Subhanallah.. Bukan hanya seperti istana, akan tetapi rumah ini lengkap dengan mushola." Nadia berbicara sendiri.
Setelah selesai sholat, Nadia menelusuri kembali rumah mewah itu.
"Benar-benar rumah yang luas, bahkan mobil saja berjejer rapi." Nadia kembali bergumam.
Nadia melihat ada lima mobil di dalam garasi rumah Marvel.
"Kamu lagi ngapain di sini?" Tiba-tiba Marvel datang dan mengagetkan Nadia.
"Aku.. Ehh.. Aku..." Nadia bingung untuk menjawab.
"Kamu lagi apa?" tanya Marvel lagi.
Kali ini wajah Marvel tampak bersahabat, tidak ada wajah menakutkan lagi. Dia terlihat lebih sopan dan tidak kasar.
"Aku lagi keliling lihat-lihat," jawab Nadia.
"Kalau sudah, boleh kembali pada Sherina. Kasihan dia, bermain sendirian." ucap Marvel dengan sedikit senyuman yang indah.
Tanpa menjawab, Nadia langsung pergi dan menghampiri Sherina yang lagi asik bermain di kamarnya.
"Bu, sudah selesai sholatnya?" tanya Sherina dengan wajah berseri-seri. Ada kebahagiaan yang Nadia rasakan, ketika dia melihat kebahagiaan Sherina.
"Iya, sudah selesai," Nadia menjawab dengan membalas senyuman Sherina.
"Sudah bilang sama Ayah, Bu?" tanya Sherina.
"Iya, Ibu lupa. Nanti sore ya." jawab Nadia.
Kemudian, mereka berdua bermain bersama. Layaknya seperti seorang ibu dan anak kandung, ikatan batin mereka begitu kuat.
Tidak terasa waktu cepat berlalu. Waktu sore telah tiba, Nadia melaksanakan kewajibannya lagi.
"Aku harus segera bilang kepada Marvel, perihal tidur di kamar Sherina." Gumam Nadia.
Nadia kemudian cepat-cepat membuka mukenah nya dan mencari Marvel.
"Kira-kira Marvel di mana ya?" Nadia berpikir.
Nadia telusuri semua rumah itu, hingga dia menemukan sebuah ruangan. Nadia kemudian membuka pintu ruangan tersebut.
"Krekkkk.... " bunyi dorongan pintu.
Seketika itu, Marvel menoleh. Ada wajah yang terlihat kesal dan memerah. Entah apa yang merasuki Marvel, hingga dalam jiwanya penuh dengan sikap dan sifat yang tidak bisa ditebak.
"Kalau mau masuk, ketok pintu dulu. Kamu gak punya tata krama ya. Dasar.... Gayanya saja berhijab tapi tingkah lakunya minus," umpat Marvel.
"Ma...Af... Aku kira, di dalam tidak ada orang." Nadia berbicara dengan menundukkan pandangannya.
Nadia mengakui bahwa dirinya salah, Nadia bingung harus menjawab apa. Dia hanya bisa meminta maaf, karena dia juga tidak tahu kalau di dalam ada Marvel.
"Maaf... Maaf... Kamu itu bisanya cuma minta maaf," Marvel masih dalam emosinya. Marvel juga seorang lelaki yang terlalu membesar-besarkan masalah dan suka membentak. Sebab hati Nadia yang terlalu lembut, membuat Nadia sering menangis. Walau sebenarnya hal itu tidak perlu dia tangisi, mungkin dengan begini, Nadia akan kuat pada akhirnya.
"Kamu itu hobi nangis?" tanya Marvel.
"Kamu tidak usah menangis, bagaimanapun aku tidak akan memperdulikan kamu," imbuh Marvel.
Mendengar akan hal itu, Nadia mencoba untuk melupakan semua perkataan yang begitu menyakitkan. Mungkin dengan usahanya itu mampu membuatnya berhenti menangis.
"Kamu lagian, ngapain ke ruangan ini?" tanya Marvel.
Dengan sedikit gugup, Nadia berkata.
"Aku, mau minta izin. Nanti malam, aku mau tidur bersama Sherina."
"Aku sudah bilang dari awal kan, aku itu tidak pernah mengharapkan mu menjadi istri ku. Sudah jelas, aku bersamamu hanya karena putri kecilku, Sherina. Aku ingin kamu merawatnya, aku ingin kamu menjadi ibunya. Jangan kepedean, untuk menyentuhmu saja aku tidak sudi. Apalagi harus tidur sekamar bersamamu," Marvel kembali mengingatkan Nadia, tujuan sebenarnya Marvel menikahinya.
Nadia berlalu pergi begitu saja, Nadia memilih pergi ke taman untuk meredakan tangisannya.
"Apa aku memang tidak pantas untuk bahagia? Apa memang aku dilahirkan untuk menderita?" Nadia bertanya-tanya kepada dirinya sendiri, Nadia yang malang, yang selalu mencoba untuk tegar menghadapi hari.
Nadia kembali melihat di sekitar, tanaman hijau yang berada di taman begitu indah. Nadia belajar untuk mensyukuri apa yang saat ini terjadi, berharap esok akan ada keajaiban yang justru menolongnya. Keajaiban di mana Nadia akan dihargai dan disayangi.
"Ibu, kenapa ibu sendiri di sini?" Ada suara yang Nadia kenal. Nadia langsung menoleh dan ternyata memang benar, Sherina menyusul Nadia dan menemaninya di taman.
"Ibu lagi melihat keindahan yang ada di taman ini, Ibu suka sekali di sini." Nadia berusaha menyembunyikan kesedihannya.
"Oh...Sudah bilang sama Ayah, Bu?" tanya Sherina sembari memeluk boneka hello kitty.
"Sudah," Nadia menjawab singkat, sebab Nadia masih menetralisir rasa yang ada di hatinya.
"Terus jawaban Ayah, bagaimana?" tanya Sherina lagi.
"Tidak apa-apa, Ayah mengizinkan kita bersama, " Mendengar jawaban itu, Sherina justru melompat-lompat kegirangan.
"Yeyyyyy... Alhamdulillah." Dengan wajahnya yang lucu dan imut serta senyuman yang memancar dari wajahnya.
Kemudian Nadia meminta agar Sherina duduk di ayunan bersamanya.
"Sherina bahagia? Ada Ibu di sini?" tanya Nadia.
"Ya jelas dong, Bu. Sudah lama ibu ku pergi, sekarang sudah ada ibu di sini. Jadi aku tidak bersedih lagi," jawab Sherina dengan kepolosannya.
"Kalau seumpama, Ibu pergi dari sini?" tanya Nadia.
Sherina hanya terdiam, dia tidak mampu menjawab pertanyaan Nadia. Mata Sherina mulai berkaca-kaca, Sherina tidak bisa membayangkan jika dia harus kehilangan ibu untuk kedua kalinya. Melihat mata Sherina yang sudah mulai tidak terbendung lagi air matanya, Nadia berkata.
"Aku sudah berjanji dari awal, akan menemanimu. Jadi, kamu tidak usah bersedih. Ibu pasti akan terus menjaga dan merawatmu." Nadia menyeka air mata Sherina. Mendengar akan ucapan Nadia, Sherina akhirnya memberikan senyuman kembali.
"Ibu, tidak akan ingkar janji?" tanya Sherina.
"Iya, Ibu janji." jawab Nadia.
Sekarang tidak ada alasan untuk Nadia pergi, Nadia terpaksa terus tinggal di rumah itu. Nadia yang harus juga berusaha menepati janji, kepada seorang anak yang sudah dia sayangi. Nadia harus bertekad kuat, sebab yang dia pikirkan saat ini bukan hanya kebahagiaannya. Akan tetapi, ada kebahagiaan Sherina juga.
Nadia tidak ingin, Sherina nantinya akan merasakan hidup yang pernah Nadia rasakan. Hanya karena keegoisan orang dewasa, harus ada anak yang terluka. Rasa trauma yang seharusnya tidak ada, justru menjelma dan selalu terbayang-bayang dalam ingatan. Jika pun Nadia bisa memilih dahulu, Nadia akan merancang setiap kejadian yang akan menimpa hidupnya. Serta mengubah takdir yang tidak indah menjadi indah. Akan tetapi, hal itu sangat mustahil.
Hanya Allah lah yang menentukan segalanya dan hanya Allah yang maha tahu, apapun yang akan terjadi dan menimpa hamba-hamba_Nya.
Sore sebentar lagi akan menjelma menjadi malam, matahari sudah mulai terbenam. Senja sudah mulai tertutup oleh awan dengan perlahan-lahan. Nadia mengajak Sherina untuk masuk ke dalam rumah, sebelum Azan magrib di kumandangkan."Sherina, Ayok masuk.!" ajak Nadia."Iya, Bu." Sherina memang anak yang begitu sholihah, dia menurut saja apa yang dikatakan oleh Nadia."Bu, kenapa harus masuk?" tanya Sherina kemudian, ketika mereka berdua sudah melangkahkan kakinya ke dalam rumah."Iya, dulu nenek pernah berkata. Kalau sudah petang, syaiton lebih mudah masuk ke dalam rumah-rumah," Nadia menjelaskan segalanya, yang pernah ibu Nadia katakan."Seram ya, Bu," Sherina berkata dengan ekspresi ketakutan.Nadia menatap wajahnya sembari berkata,"Tidak usah takut, syaiton akan hilang kalau kita baca ayat suci Al-Quran.""Kalau begitu, aku lebih giat lagi untuk belajar ngajinya," ucap Sherin
Nadia membenarkan hijabnya dan membalas senyum."Kenalin, Bu. Ustadz Zacky," kata Sherina."Nadia, Ibunya Sherina," ucap Nadia tanpa jabat tangan seperti namaste."Zacky, guru lesnya Sherina." Zacky melakukan hal yang sama. Kemudian, Nadia kembali ke dapur, dia menyiapkan minuman untuk Zacky. Zacky dan Sherina belajar di ruangan yang sudah disediakan oleh Marvel. Mereka berdua terlihat begitu akrab, selayaknya om dan ponakannya. Nadia dari arah kejauhan sembari membawa segelas teh sedang memperhatikan mereka juga ikut senang."Di minum dulu, tehnya." Nadia mempersilahkan Zacky untuk meminum teh yang sudah diletakkan di atas meja."Terimakasih." Zacky langsung menyeruput teh.Nadia kembali masuk ke dalam, dia bingung mau ngapain. Beruntungnya masih ada televisi, akhirnya dia nonton. Dia tidak tahu, apa yang mereka lakukan di ruang belajar. Nadia begitu berharap Sherina akan sukses nanti, dia bisa menjadi wanita y
Setelah kejadian itu, Sherina datang menghampiri Marvel dan Nadia yang lagi di ruang makan, Sherina datang dengan wajah yang begitu pucat."Sherina, kenapa wajahmu pucat?" tanya Nadia khawatir."Aku menggigil, Bu," jawab Sherina lemas."Badan kamu panas sekali!" ujar Nadia dengan memegang dahi Sherina.Mendengar ucapan Nadia, Marvel yang tadinya duduk di sebelah Nadia mengambil Sherina yang telah duduk di pangkuan Nadia."Pergi kamu!" ucap Marvel mengusir Nadia."Kenapa panas sekali?" tanya Marvel dengan melihat wajah Nadia. Pertanda dia bertanya kepadanya."Aku tidak tahu," jawab Nadia.Marvel lagi-lagi memarahi Nadia, dia berkata."Kamu tidak becus mengurus anak.! Baru saja tinggal di rumah ini, Sherina sudah sakit." Marvel begitu marah, dia kemudian menggendong Sherina dan masuk ke kamarnya.Nadia mengikuti dari belakang, dia juga
Nadia kembali masuk ke dalam kamar rawat Sherina, setelah dia selesai berbicara dengan Ilham. Dia menemui Sherina yang masih bersama suster. Setiap langkah kakinya, Nadia terus saja merasa memang ada yang beda dari Ilham, Nadia juga tidak mengerti apa yang sedang Ilham rasakan."Bu, aku sudah sehat," ucap Sherina saat dia menelan bubur yang disuapi oleh suster."Alhamdulillah... Buburnya enak?" tanya Nadia."Enak, Bu. Aku suka," jawab Sherina."Mana, Sus. Biar aku saja yang menyuapi Nur." Nadia mengambil semangkok bubur yang di berikan oleh suster."Harus makan yang banyak, biar cepat pulang." Ucap Nadia sembari menyuapi Sherina.Sherina semakin semangat untuk memakan bubur itu, dia yang senang disuapi oleh ibunya. Perhatian Nadia kepada Sherina begitu besar, hati Nadia layaknya seorang ibu meski dia tak pernah melahirkan. Sekarang, suster sudah pergi meninggalkan mereka berdua, mereka pun bercanda bersama
"Assalamu'alaikum..." Terdengar suara Marvel dengan mendorong pintu kamar tempat Sherina dirawat."Waalaikumsalam..." Nadia, Sherina, Ilham menoleh dan menjawab salam."Kenapa lama, yah?" tanya Sherina."Tadi macet di jalan, ada kecelakaan beruntun. Maaf ya, Ayah lama." Ucap Marvel setelah Sherina dan Nadia menunggu sekitar setengah jam."Iya, Ayah tidak apa-apa?" Tanya Sherina khawatir."Iya, Alhamdulillah. Ayah tidak apa-apa," ucap Marvel."Syukur, Ayah tidak apa-apa." ucap Sherina dengan raut wajah yang gembira."Ayo, pulang!" Ajak Marvel tidak sabar."Ayok.." Sherina juga tampak bersemangat."Boleh pulang beneran, Dok?" Tanya Marvel memastikan."Iya," jawab Ilham."Nadia, bajunya sudah dikemas semua?" tanya Marvel."Sudah," jawab Nadia.Nadia sudah membereskan semua pakaian mereka siang tadi dan sekarang, Nadia m
Tekad Nadia untuk kuliah semakin bulat, dia sudah berpikir matang-matang. Apapun resiko yang akan didapatkan, dia sudah menyiapkan mental. Perlahan dia turun untuk menemui Zacky yang sudah menunggunya dari tadi, Zacky berada diruang tamu bersama Sherina."Maaf, Ustadz. Sudah lama nunggunya?" tanya Nadia."Gak juga, kan sudah seperti biasa. Aku mengajari Sherina dulu."Sherina yang sedari tadi duduk bersama, masih kebingungan. Apa yang sebenarnya dibahas oleh Zacky dan Nadia, dia hanya diam saja dan melanjutkan tugasnya."Ustadz, ini sudah benar?" tanya Sherina sambil menyodorkan tugas yang sudah dikerjakan."Anak pintar," jawab Zacky."Aku ke kamar dulu ya, mau ambil boneka. Tugasku sudah benar, jadi aku gak papa main boneka?" tanya Sherina dengan wajahnya yang masih lugu."Iya, tentu boleh." Sherina berlari ke kamarnya, kini hanya tinggal Zacky dan Nadia. Nad
"Maaf, Kak. Untuk gedung F sebelah mana?" tanya Nadia ke salah satu mahasiswa di kampus. "Kakak lurus saja, terus belok kiri. Kakak mahasiswi yang mau ikut tes beasiswa?" tanya mahasiswa yang belum diketahui namanya itu. "Iya, Kak. Terimakasih sebelumnya," "Sama-sama." Nadia berlalu pergi dan segera menuju gedung yang telah ditunjukkan, dengan harapan dan do'a, Nadia antusias melaksanakan tes ini. Keadaan gedung sangat ramai, banyak sekali yang mengikuti tes ini. Nadia mulai ragu, namun dia tetap berusaha meyakinkan dirinya agar dia mendapatkan apa yang menjadi cita-citanya. Nadia mencari tempat duduk yang kosong, setelah dia melihat ke semua sudut ruangan, akhirnya dia menemukan tempat duduk. Tepatnya di barisan nomor dua dari belakangbelakang, dia sedikit canggung Namun dia yakin bahwa dia pasti bisa, sebab dia sudah belajar sebelumnya. Hanya butuh satu jam, akhirnya Nadia bisa bernapas lega. Dia melanju
"Nadia! Nadia!" Panggil Marvel saat dia lihat di meja makan kosong. Nadia sengaja tidak masak hari ini, dia juga enggan menjawab panggilan dari Marvel. Dia pura-pura tidur bersama Sherina, padahal masih jam 7 tujuh malam. Marvel pun berjalan ke kamar Sherina dan melihat Nadia di sana, Marvel menyentuh kepala Sherina dan juga Nadia."Kenapa dia? Apa ada sesuatu yang merasuki dirinya?" gumam Nadia."Kamu pasti lelah sekali, maafkan aku karena sikapku yang mungkin menyakitimu," ucap Marvel seorang diri."Apa aku gak salah dengar!?" gumam Nadia dengan posisi yang masih tetap saja sama.Sepertinya Nadia berhasil mengelabui Marvel dan pura-pura tidur nyenyak, sehingga Marvel tidak curiga. Langkah kaki Marvel sudah beranjak pergi dari kamar Sherina, dia juga telah menutup pintunya rapat-rapat. Nadia pun bangun dan memegang kepalanya, dia tidak menyangka, laki-laki yang selama ini berkata kasar padanya, ternyata punya hati yang lembut juga