2 bulan kemudian.
Fajar termenung di kursi ruangannya. Herman yang berada di sampingnya, memeriksa kelengkapan laporan yang akan ditandatangani Fajar dengan segera mengetuk meja. Tok tok, Ketukan di meja menyadarkan Fajar seketika. "Bos, ini dokumennya sudah lengkap," ucap Herman menyerahkan setumpuk dokumen yang sudah ia periksa. Fajar mengangguk. "Letakkan dulu di sana!" "Baik, apa ada yang bisa saya bantu lagi?"tanya Herman lagi. Fajar menggeleng dan berkata. "Soal Nessa, aku akan segera bilang pada Alinka dan membawanya pulang ke Jakarta." "Tapi Bos, musuh anda sedang menyerang dari berbagai arah. Apa nona Nessa akan aman dari bahaya?" ucap Herman khawatir. Fajar kelihatan ragu sekarang. Ya satu setengah bulan yang lalu, Fajar mengetahui kalau Nessa adalah Nayla—putri kandungnya yang dulu diculik berdasarkan hasil tes DNA yang sudah ia lakukan dengan menggunakan sampel darahnya, istrinya dan juga Nessa. Hasil tes DNA itu menyatakan 99.9999% Fajar dan Alinka adalah orang tua kandung Nessa. Fajar belum memberi tahu kabar gembira itu pada Alinka agar istrinya itu fokus dengan penyembuhannya setelah kecelakaan. Fajar juga memikirkan keamanan Nessa karena insiden kecelakaan yang dialami Alinka bukan murni kecelakaan semata. Ada orang yang sengaja mengincar nyawa anggota keluarganya. "Herman, gimana hasil penyelidikan kecelakaan istriku yang kamu dapat?" tanya Fajar tiba-tiba. "Tersangka itu tetap nggak mau mengaku bos, siapa yang menyuruhnya. Dia tetap beralasan sedang dalam kondisi mabuk," lapor Herman. "Sialan, minta petugas siksa dia di penjara sampai mengaku," geram Fajar. Ya Fajar akan bersikap kejam pada orang-orang yang mengincar nyawa orang yang dia sayang. "Baik Bos," ucap Herman lalu segera menelpon petugas suruhan mereka di penjara. *** Sesampai di kediaman Sudibyo, Fajar segera menemui Alinka di kamarnya. Alinka yang sedang berias sehabis mandi itu segera bangkit menyambut kedatangan suaminya. "Pa, tumben belum jam 6 sudah pulang. Mama belum turun nyiapin makan malam," sambut Alinka. Fajar tersenyum menghampiri istrinya, "Ada yang mau papa omongin ke mama ... Penting," ucap Fajar dengan nada yang serius. Alinka segera mengerti lalu mengajak Fajar segera duduk di sofa. "Katakan pa, apa apa?" tanya Alinka yang penasaran. Fajar mengeluarkan sebuah map hasil tes DNA Nessa dari tas kerjanya dan memberikannya pada istrinya. "Apa ini pa?"tanya Alinka "Buka saja ma," jawab Fajar. Alinka lalu membuka map tersebut dan membacanya. Brakk! Map itu terjatuh ke lantai diikuti suara tangisan dari Alinka. "Hiks..Nayla putri kita pa..."isak Alinka pelan. Fajar segera merengkuh istrinya ke dalam pelukannya. "Iya Nayla—princess kita masih hidup ma," gumam Fajar pelan. "Hiks pa...Ayo kita jemput putri kita sekarang pa. Mama pengen ketemu sekarang. Dimana dia tinggal pa?"ujar Alinka menggebu-gebu. Fajar menghela napas."Dia ada di Bogor ma. Dia orang yang mendonorkan darahnya ke kamu, Ma." Deg, "Dia donor darah ke mama, pa?" ucap Alinka panik. "Pa, apa dia nggak apa-apa? Nggak sakit setelah donor ke mama?" tanyanya lagi. Sungguh sebagai seorang ibu dia tak ingin setetes darah anaknya didonorkan padanya. Fajar segera berusaha menenangkan istrinya."Dia sehat ma, dia sering donor darah." "Pa ayo kita segera ke sana. Kita bawa dia pulang ke sini sekarang pa..." ucap Alinka tak sabar. "Ma masalahnya tidak semudah itu," tutur Fajar. Alinka mengernyitkan dahinya. "Apa maksud papa?" "Dia dari kecil tinggal di panti Asuhan. Berdasarkan info yang didapat Herman. Seseorang membuangnya di tempat sampah di dekat sungai. Dia ditemukan sudah hampir mati kedinginan oleh seorang warga dan kemudian di serahkan ke panti asuhan karena saat itu tak ada yang berani merawat karena takut berurusan dengan polisi," terang Fajar. Alinka kembali menangis mendengar cerita dari Fajar. "Kejam sekali pa orang yang membuang putri kita di tempat sampah. Nessa pasti mengira kita yang membuangnya. Gimana ini pa?" ujarnya panik. "Itulah papa juga bingung ma. Selain itu demi keamanan Nessa, apa sebaiknya kita memang tinggal jauh darinya. Selama ini dia aman tidak disentuh oleh musuh papa lagi. Ingat kecelakaan mama kemarin yang ternyata ada udang di balik batu," sahut Fajar. Alinka kemudian teringat fakta kecelakaan yang dialaminya. Ia ingat sekali sebelum kecelakaan itu mobil yang menabraknya itu seakan menggu dia lewat baru kemudian berjalan menabrak mobilnya dari samping kanan. "Iya pa bisa bahaya kalau begitu. Tapi papa sudah menyuruh orang untuk menjaga anak kita kan di sana?" tanya Alinka khawatir. "Tentu saja ma. Aku sudah menyuruh Langit dan Margo mengawasi dan menjaga princess kita." sahut Fajar yang menyebutkan kedua bodyguard andalan keluarga Sudibyo yang bertugas menjaga Nessa. "Syukurlah kalau begitu." Alinka menarik napas lega. "Mama tenang saja, papa besok akan ke panti. Papa akan berbicara terlebih dahulu dengan pemilik panti," kata Fajar. "Iya pa, semoga pemilik panti bisa membantu kita bicara pada Nessa. Mama takut sekali kalau Nessa sampai berpikir kita membuangnya dan menolak kita pa." Alinka terisak kembali. "Sabar ma, doakan lancar besok ya," ucap Fajar mengusap kepala istrinya. *** Keesokan harinya. Tepat jam 10 pagi, Fajar dan Herman sampai di depan panti Harapan Kasih. Fajar kemudian turun dari mobil. Herman berjalan lebih dulu dan menyapa penjaga panti yang bernama pak Muh. "Pagi pak. Kami dari Jakarta ingin bertemu dengan pemilik panti." "Silahkan masuk, kebetulan bu Raisa baru kembali dari pasar. Ayo saya antar ke dalam," jawab Pak Muh. "Silahkan Bos," ucap Herman kemudian mengikuti Bosnya yang berjalan bersama pak Muh di depan. Sesampai di bangunan panti yang cukup sederhana itu, terlihat seorang perempuan paruh baya sedang membereskan barang-barang seperti baru selesai berjualan. Pak Muh menghampiri Bunda Raisa, "Bu Raisa ini ada tamu dari Jakarta. Mereka ingin bertemu ibu." Raisa mengangguk lalu mempersilahkan kedua orang tamu masuk. Dalam hati ia bertanya-tanya kenapa ada orang berpakaian kantoran datang ke panti di jam segini. "Ada yang bisa saya bantu, pak?" tanya Raisa. Herman kemudian berbicara lebih dahulu mewakili Bosnya," Begini bu, maksud kedatangan kami di sini untuk menyampaikan informasi tentang salah satu anak asuh anda yang bernama Nessa." "Ada apa ya pak dengan Nessa?"tanya Raisa balik. "Tenang bu. Bukan kabar buruk bu. Ini berita baik bu tentang orang tua kandung Nessa," sahut Herman. "Apa? Apa maksudnya ini?" Raisa tiba-tiba berdiri kaget ketika mendengar kalimat yang diucapkan oleh Fajar. TBC...Udara malam di halaman belakang kediaman Sudibyo terasa sejuk, ditemani cahaya lampu taman yang berkelip redup. Semilir angin menerbangkan rambut panjang Nessa yang dibiarkan tergerai, menambah kesan gamang pada wajahnya yang sedang muram.Ia duduk di bangku kayu panjang, tepat di seberang Adrian. Jarak mereka tidak begitu jauh, namun keheningan yang tercipta membuatnya terasa seperti sebuah jurang.Sebelumnya, setelah makan malam bersama, Nessa sudah berniat untuk langsung masuk kamar dan beristirahat. Namun niat itu buyar saat suara lembut sang mama terdengar.“Nak, tolong temenin Nak Adrian di halaman belakang, ya?”Nessa tidak bisa menolak, apalagi saat tatapan ibunya terlihat penuh harap. Ia hanya bisa mengangguk pelan, meski dalam hati berteriak keberatan. Dan kini, inilah ia terjebak dalam keheningan canggung bersama calon tunangan yang bahkan tidak benar-benar ia pahami.Nessa membuang muka, menatap ke arah taman bunga yang sedang bermekaran. Ia menggigit bibir bawahnya, berus
Setelah hampir setengah jam berkendara melewati jalanan kota yang padat, mobil hitam Adrian akhirnya sampai di kediaman keluarga Sudibyo. Pagar besi tinggi menjulang itu segera terbuka begitu para penjaga melihat mobil Adrian datang. Dengan sikap penuh hormat, mereka memberi jalan, membiarkan mobil mewah itu melaju masuk ke dalam halaman yang luas.Begitu mobil berhenti, Nessa dan Adrian hampir bersamaan membuka pintu. Suara pintu mobil yang tertutup bergema singkat, lalu langkah kaki keduanya beradu di pelataran.Kedatangan mereka disambut oleh Alinka dan Fajar yang sudah menunggu di teras. Alinka tampak anggun dengan gaun rumah berwarna biru lembut, sementara Fajar berdiri tegap dengan senyum ramahnya.“Maaf kami baru datang, Om, Tante. Perjalanannya macet,” ucap Adrian dengan nada tenang, sambil menjabat tangan Fajar dan menunduk sopan ke arah Alinka.Nessa spontan mengernyit. Kata-kata Adrian barusan langsung membuat otaknya berputar. "Macet? Bukannya tadi dia sendiri bilang ada
Satu jam akhirnya berlalu. Nessa berhasil menyelesaikan treadmill dengan susah payah, berkeringat habis-habisan di bawah pantauan ketat Adrian. Setelah latihan itu selesai, Adrian hanya berkata singkat, “Lima belas menit. Bersihkan dirimu.”Sepuluh menit kemudian, Nessa berdiri di depan cermin wastafel. Rambutnya yang basah sudah ia sisir rapi, wajahnya bersih tanpa sisa keringat. Tapi tetap saja, ia menatap bayangan dirinya dengan wajah masam.“Ya ampun… pucat banget aku. Bener-bener, ya Adrian itu… ckkk,” desis Nessa sambil menepuk pipinya sendiri.Pandangan matanya turun ke bibir, membuat pipinya merona seketika. Ia buru-buru menggeleng cepat.“Kenapa jadi kepikiran yang tadi…” gumamnya pelan, lalu menepuk-nepuk kedua pipi biar sadar.Ia menarik napas panjang, lalu berbalik dan membuka pintu.Klik.Deg—Nessa langsung mematung. Adrian sudah berdiri tepat di depan pintu, satu tangannya terangkat seolah hendak mengetuk. Keduanya saling bertatapan beberapa detik, suasana jadi kikuk.“
"Maaf… aku nggak sengaja," ucap Nessa refleks, suaranya terdengar bergetar. Jantungnya berdegup tak karuan, wajahnya memanas seperti disiram bara. Ia bahkan tidak tahu dari mana energi untuk langsung meminta maaf itu datang mungkin karena takut Adrian salah paham.Adrian diam. Tatapannya menusuk, dingin, seakan sedang menghitung setiap detik yang baru saja terjadi. Ia tidak berkata apa-apa, hanya menatap Nessa beberapa detik, lalu memutar badan dan pergi begitu saja."Astaga… jangan bilang dia marah," batin Nessa panik.Ia meraih keningnya yang sedikit sakit akibat benturan barusan. "Aku kan nggak sengaja… kenapa reaksinya kayak gitu?" gumamnya lirih. Bibirnya bergetar saat mengingat momen singkat tabrakan wajah mereka yang tidak terduga. "Ya ampun…harusnya aku yang marah... itu tadi ciuman pertamaku," keluhnya lirih, tangannya refleks menutup mulutnya sendiri.Di sisi lain, Adrian masuk ke kamar mandi. Ia menyalakan keran, membasuh wajahnya dengan air dingin, lalu menatap dirinya di
"Ini dimana kak? Kok bukan rumah ka- kamu?"tanya Nessa lagi. Ia masih bingung karena mengira Adrian mengajaknya ke rumahnya sebelum ke kediaman Sudibyo. "Siapa yang bilang kita akan ke rumahku?"ucap Adrian yang membuat Nessa tambah bingung. "Bukannya tadi katanya akan ke tempatnya? Apa aku yang salah dengar?" batin Nessa. Walau sedikit kesal, Nessa tetap berjalan mengikuti Adrian memasuki sebuah bangunan ruko 3 lantai yang tenyata beridentitas sebuah cafe steakhouse. "Selamat datang Tuan muda," sambut waitress yang membukakan pintu. Adrian hanya mengangguk menerima sambutan dari waitress itu sementara Nessa berjalan mengekori Adrian masuk ke lorong menuju ujung ruangan. Nessa pikir di ujung itu adalah tangga namun itu adalah sebuah ruang manager cafe. "Ayo masuk." ajak Adrian yang lebih dulu masuk bahkan tanpa mengetuk pintu. Nessa menghela napas lalu mengikuti Adrian masuk ke ruangan tersebut. Ruangan tersebut seperti ruang kantor manager pada umumnya yang berisi kursi
Sudah sepuluh menit mobil Adrian melaju di jalan tol, namun suasana di dalam mobil tetap saja terasa canggung. Nessa bersandar di kursinya, matanya menatap ke arah pemandangan sisi kiri jendela, mencoba mengalihkan perasaan canggung yang sejak tadi menyerangnya. Sementara itu, Adrian menatap lurus ke depan, fokus pada jalanan. Tangannya memegang kemudi erat, wajahnya tanpa ekspresi, seolah tidak peduli ada penumpang di sampingnya.Namun, tanpa sepengetahuan Nessa, telinga kanan Adrian terhubung dengan earpiece kecil berwarna hitam. Dari sana, suara anak buahnya terdengar pelan, melaporkan kondisi jalan dan situasi terkini di kediaman keluarga Sudibyo tempat tujuan mereka hari ini. Sesekali, tatapan mata Adrian melirik spion, mengamati kendaraan di belakang dengan penuh kewaspadaan.Nessa menoleh sekilas ke arahnya. Dari samping, wajah Adrian tampak begitu dingin, bahkan seperti tak memiliki celah untuk disapa. "Ya ampun, ini situasi apaan sih? Kenapa canggung banget gini? Serius, me