Nessa baru saja sampai di depan rumahnya setelah menempuh perjalanan hampir satu jam sepulang dari rumah sakit dengan menaiki angkutan umum. Jalanan yang padat, macet dimana-mana karena bertepatan dengan jam orang pulang kerja memperlama ia sampai ke panti asuhan.
Nessa bersenandung riang begitu memasuki pagar rumahnya—Panti Asuhan Harapan Kasih.
Kepulangannya disambut riuh saudara-saudaranya dan juga Bunda Raisa, sosok yang mengasuh dan membesarkannya.
"Kok jam segini baru pulang, nak? Apa macet jalannya?"tanya Bunda Raisa dengan raut wajah khawatir.
"Iya bun macet banget, biasa jam orang pulang kerja,"jawab Nessa.
"Lah tadi pagi bukannya bilang kuliahnya sampai jam 1 nak?" tanya Bunda Raisa kembali.
"Tadi ada yang nelpon di jalan Bun pas Nessa pulang, ada yang butuh donor darah, pasien habis kecelakaan. Jadi Nessa ke Rumah Sakit Samrat dulu sebelum pulang," ujar Nessa menjelaskan.
"Ya ampun, kamu habis donor, nak? Sekarang duduk dulu, Bunda buatin minuman hangat dulu ya nak,"ucap bunda Raisa khawatir.
"Makasih bun,"kata Nessa lalu duduk di sofa di ruangan kantor bunda Raisa.
Edo salah satu adiknya di panti segera menghampirinya.
"Kak Nes, donor itu apa?"tanya Edo.
"Donor itu kita menyumbangkan darah kita untuk orang lain,"jawab Nessa sambil mengusap kepala bocah yang sekarang duduk di kelas 2 SD.
"Nggak mati kak habis donor? Kan darah kita diambil nanti habis dong?" tanya Qinta—adik panti Nessa yang lain yang juga berumur sama dengan Edo.
"Hahaha..ada-ada aja kalian. Ya enggak dong. Ini buktinya kakak sehat." Nessa tertawa mendengar pertanyaan absurd para adik-adiknya ini.
"Ini air madu hangat, nak," ucap Bunda Raisya yang baru datang membawa nampan dari dapur yang berisi beberapa gelas air madu hangat.
"Ini buat kalian juga, ayo diambil segera diminum hangat-hangat."
"Terima kasih bunda,"jawab mereka bertiga serentak.
***
Setelah satu jam beristirahat di kamar. Nessa segera keluar bosan dengan kegiatan rebahannya. Ia lalu memutuskan ke dapur untuk membantu.
"Loh, kak kok ke sini? Kata bunda kakak habis donor darah. Di kamar aja kak istirahat," ucap Meita yang sekarang duduk di bangku SMA, ia adalah adik panti Nessa yang tertua.
"Bosen dik, kakak di kamar. Kakak bantu apa?"tanya Nessa mencari kesibukan.
"Udahan kak semuanya, tadi bunda yang masak. Aku cuma bantuin saja. Sekarang biar aku saja yang bantu bawa ke meja makan. Kakak bantu panggil yang lain ya sudah waktunya makan," jawab Meita.
Nessa menatap Meita dengan bangga. Ia yang turut serta merawat adik-adik pantinya dari kecil ikut merasakan tumbuh kembang mereka. Mereka tumbuh saling menyayangi dan membantu satu sama lain.
Di meja makan, sekarang sudah berkumpul bunda Raisa, bu Ranti—karyawan bu Raisa, serta Pak Muh penjaga panti dan 10 anak asuhnya. Mereka makan malam dengan menu seadanya namun penuh nikmat.
Bunda Raisa memandang Nessa dan kesembilan anak asuhnya yang lain.
"Terima kasih Tuhan," ucapnya penuh syukur dalam hati.
Ya 19 tahun yang lalu Raisa dan sang suami mendirikan panti asuhan ini untuk mengasuh anak-anak yang ditelantarkan keluarganya. Anak asuh mereka pertama kali adalah Nessa. Nessa adalah bayi yang dibuang. Kondisinya sangat mengenaskan ketika ditemukan sudah dingin di tempat sampah di sekitar sungai di desa mereka. Seorang warga yang menemukannya kemudian membawanya ke panti asuhan mereka.
Setelah itu banyak bayi yang diasuh mereka datang dan pergi silih berganti karena ada yang mengadopsi. Pernah ada yang mau mengadopsi Nessa ketika berumur 3 tahun, tapi Nessa tidak mau. Ia ingin tinggal di panti tidak mau berpisah dari bunda Raisa dan adik-adiknya yang lain. Sekarang anak asuhnya tinggal Nessa yang paling tua, Meita yang berusia 17 tahun, Abram 10 tahun, Cinta 12 tahun, Farah 11 tahun, Ihsan dan Rifky 10 tahun, Mela 9 tahun, Qinta dan Edo 8 tahun. Sekarang panti asuhan mereka sudah tidak menerima anak asuh lagi karena Raisa yang sudah tua dan kesusahan mencari orang yang mau mengasuh bayi di pantinya. Suaminya sudah lama meninggal. Kedua karyawannya juga sudah menua seperti dirinya. Maka ia sekarang hanya fokus mengasuh ke 10 anak-anak asuhnya dibantu oleh bu Ranti dan Pak Muh serta Nessa yang sudah beranjak dewasa. Untuk masalah biaya operasional panti juga mendapat subsidi dari pemerintah daerah serta ada donatur tetap yang memberi donasi pada panti mereka. Selain itu Nessa juga mencari pekerjaan part time untuk membantu keuangan panti. Untuk masalah biaya pendidikan tidak ada masalah karena semua bersekolah di sekolah negeri yang gratis. Sedangkan Nessa sendiri yang sudah kuliah mendapatkan beasiswa atas prestasi akademik yang diraihnya.
Mereka hidup sederhana selalu penuh rasa syukur dibawah pengasuhan Raisa dan Ranti.
Setelah makan malam, Raisa segera menyuruh Nessa istirahat,"Nes, kamu istirahat saja biar lekas pulih. Bunda sama ibu (Ratri) yang nyiapin perlengkapan jualan buat besok pagi."
Ya aktifitas malam mereka biasanya diisi menyiapkan bahan-bahan yang akan dimasak dan dijual untuk besok pagi.
Mereka menjual nasi kuning dan juga 'polo pendem' di pasar pagi habis subuh. Keuntungannya akan dipakai untuk tambahan biaya makan mereka sehari-hari.
"Baik bun, ibu. Besok Nessa yang akan bantu jualin di pasar. Kuliah Nessa besok jam 10 pagi,"kata Nessa.
"Iya nak, kamu cepat istirahat." Ratri menimpali.
Nessa kembali ke kamarnya dengan tubuh lelah. Ia yang tadinya merasa kuat sekarang baru merasa sangat letih efek dari mendonorkan darahnya tadi. Ia meraih sesuatu di lacinya dan segera menelan suplemen tambah darah tersebut dengan segelas air putih.
Pikirannya kembali melayang kepada adegan di depan ruangan IGD tadi.
"Kenapa aku tadi deg-degan melihat bapak Fajar tadi?" ujar Nessa tiba-tiba kepikiran teringat perasaannya tadi.
"Ah sudahlah, lebih baik aku segera tidur biar bisa bangun pagi bantu jualan di pasar," Nessa segera berbaring dan menutup kedua matanya.
TBC...
Malam itu kediaman Sudibyo tampak sunyi. Hanya suara serangga malam dan semilir angin yang berdesir melalui celah jendela kamar tamu. Adrian masih terjaga. Ia duduk di tepi ranjang, masih dengan pakaian rapi, menatap kosong pada lantai. Kata-katanya sendiri terngiang di kepala.“Karena semua sudah jadi begini, maka jangan salahkan gue menyeret Nessa dalam pusaran ini.”Ia mengusap wajahnya kasar, menarik napas panjang. Beban itu semakin berat sejak ia tahu bahwa pernikahan mereka ditetapkan hanya tinggal hitungan hari. Tanpa persetujuan, tanpa diskusi dengannya maupun Nessa hanya keputusan sepihak dari para orang tua.“Apa gue keterlaluan waktu bilang begitu sama dia?” gumamnya lirih. “Tapi… apa ada pilihan lain? Keluarga gue maksain ini semua."Adrian menunduk, menatap jemari tangannya yang terkepal. Ia merasa seperti pion di papan catur, digerakkan sesuai kehendak orang lain. Ia tidak pernah membayangkan hidupnya akan dipaksa menikah di usia sekarang, apalagi dengan cara seperti ini
Udara malam di halaman belakang kediaman Sudibyo terasa sejuk, ditemani cahaya lampu taman yang berkelip redup. Semilir angin menerbangkan rambut panjang Nessa yang dibiarkan tergerai, menambah kesan gamang pada wajahnya yang sedang muram.Ia duduk di bangku kayu panjang, tepat di seberang Adrian. Jarak mereka tidak begitu jauh, namun keheningan yang tercipta membuatnya terasa seperti sebuah jurang.Sebelumnya, setelah makan malam bersama, Nessa sudah berniat untuk langsung masuk kamar dan beristirahat. Namun niat itu buyar saat suara lembut sang mama terdengar.“Nak, tolong temenin Nak Adrian di halaman belakang, ya?”Nessa tidak bisa menolak, apalagi saat tatapan ibunya terlihat penuh harap. Ia hanya bisa mengangguk pelan, meski dalam hati berteriak keberatan. Dan kini, inilah ia terjebak dalam keheningan canggung bersama calon tunangan yang bahkan tidak benar-benar ia pahami.Nessa membuang muka, menatap ke arah taman bunga yang sedang bermekaran. Ia menggigit bibir bawahnya, berus
Setelah hampir setengah jam berkendara melewati jalanan kota yang padat, mobil hitam Adrian akhirnya sampai di kediaman keluarga Sudibyo. Pagar besi tinggi menjulang itu segera terbuka begitu para penjaga melihat mobil Adrian datang. Dengan sikap penuh hormat, mereka memberi jalan, membiarkan mobil mewah itu melaju masuk ke dalam halaman yang luas.Begitu mobil berhenti, Nessa dan Adrian hampir bersamaan membuka pintu. Suara pintu mobil yang tertutup bergema singkat, lalu langkah kaki keduanya beradu di pelataran.Kedatangan mereka disambut oleh Alinka dan Fajar yang sudah menunggu di teras. Alinka tampak anggun dengan gaun rumah berwarna biru lembut, sementara Fajar berdiri tegap dengan senyum ramahnya.“Maaf kami baru datang, Om, Tante. Perjalanannya macet,” ucap Adrian dengan nada tenang, sambil menjabat tangan Fajar dan menunduk sopan ke arah Alinka.Nessa spontan mengernyit. Kata-kata Adrian barusan langsung membuat otaknya berputar. "Macet? Bukannya tadi dia sendiri bilang ada
Satu jam akhirnya berlalu. Nessa berhasil menyelesaikan treadmill dengan susah payah, berkeringat habis-habisan di bawah pantauan ketat Adrian. Setelah latihan itu selesai, Adrian hanya berkata singkat, “Lima belas menit. Bersihkan dirimu.”Sepuluh menit kemudian, Nessa berdiri di depan cermin wastafel. Rambutnya yang basah sudah ia sisir rapi, wajahnya bersih tanpa sisa keringat. Tapi tetap saja, ia menatap bayangan dirinya dengan wajah masam.“Ya ampun… pucat banget aku. Bener-bener, ya Adrian itu… ckkk,” desis Nessa sambil menepuk pipinya sendiri.Pandangan matanya turun ke bibir, membuat pipinya merona seketika. Ia buru-buru menggeleng cepat.“Kenapa jadi kepikiran yang tadi…” gumamnya pelan, lalu menepuk-nepuk kedua pipi biar sadar.Ia menarik napas panjang, lalu berbalik dan membuka pintu.Klik.Deg—Nessa langsung mematung. Adrian sudah berdiri tepat di depan pintu, satu tangannya terangkat seolah hendak mengetuk. Keduanya saling bertatapan beberapa detik, suasana jadi kikuk.“
"Maaf… aku nggak sengaja," ucap Nessa refleks, suaranya terdengar bergetar. Jantungnya berdegup tak karuan, wajahnya memanas seperti disiram bara. Ia bahkan tidak tahu dari mana energi untuk langsung meminta maaf itu datang mungkin karena takut Adrian salah paham.Adrian diam. Tatapannya menusuk, dingin, seakan sedang menghitung setiap detik yang baru saja terjadi. Ia tidak berkata apa-apa, hanya menatap Nessa beberapa detik, lalu memutar badan dan pergi begitu saja."Astaga… jangan bilang dia marah," batin Nessa panik.Ia meraih keningnya yang sedikit sakit akibat benturan barusan. "Aku kan nggak sengaja… kenapa reaksinya kayak gitu?" gumamnya lirih. Bibirnya bergetar saat mengingat momen singkat tabrakan wajah mereka yang tidak terduga. "Ya ampun…harusnya aku yang marah... itu tadi ciuman pertamaku," keluhnya lirih, tangannya refleks menutup mulutnya sendiri.Di sisi lain, Adrian masuk ke kamar mandi. Ia menyalakan keran, membasuh wajahnya dengan air dingin, lalu menatap dirinya di
"Ini dimana kak? Kok bukan rumah ka- kamu?"tanya Nessa lagi. Ia masih bingung karena mengira Adrian mengajaknya ke rumahnya sebelum ke kediaman Sudibyo. "Siapa yang bilang kita akan ke rumahku?"ucap Adrian yang membuat Nessa tambah bingung. "Bukannya tadi katanya akan ke tempatnya? Apa aku yang salah dengar?" batin Nessa. Walau sedikit kesal, Nessa tetap berjalan mengikuti Adrian memasuki sebuah bangunan ruko 3 lantai yang tenyata beridentitas sebuah cafe steakhouse. "Selamat datang Tuan muda," sambut waitress yang membukakan pintu. Adrian hanya mengangguk menerima sambutan dari waitress itu sementara Nessa berjalan mengekori Adrian masuk ke lorong menuju ujung ruangan. Nessa pikir di ujung itu adalah tangga namun itu adalah sebuah ruang manager cafe. "Ayo masuk." ajak Adrian yang lebih dulu masuk bahkan tanpa mengetuk pintu. Nessa menghela napas lalu mengikuti Adrian masuk ke ruangan tersebut. Ruangan tersebut seperti ruang kantor manager pada umumnya yang berisi kursi