Fajar kemudian segera mengambil alih dan menyuruh Herman diam. Ia kecewa dengan Herman yang tidak peka, ia membuat keruh suasana. Ia yakin sekarang bu Raisa tidak senang dengan berita yang baru disampaikan Herman.
"Maaf bu Raisa. Perkenalkan saya Fajar. Saya adalah orang tua kandung Nessa. Kami juga baru tahu kalau Nessa adalah putri kami yang hilang dari hasil tes DNA ini." Fajar menyerahkan dokumen hasil tes DNA kepada Raisa.
Raisa menerima map hasil tes DNA tersebut dan membacanya. Tangannya sedikit gemetar setelah tahu fakta bahwa orang tua kandung Nessa datang setelah 19 tahun dia mengasuh Nessa.
"Bisa tolong jelaskan maksud bapak tadi tentang Nessa adalah putri bapak yang hilang," ujar Bunda Raisa.
Fajar mengangguk lalu mulai bercerita tentang kejadian penculikan putrinya yang dulu masih berusia 3 bulan itu, berikut upaya-upaya yang sudah ia lakukan bersama keluarga besarnya selama bertahun-tahun sampai akhirnya ia dan istri berusaha mengikhlaskan. Namun 19 tahun kemudian, Tuhan mempertemukan mereka kembali dengan putri mereka lewat jalan yang tidak pernah disangka-sangka yaitu jalan donor darah yang dilakukan putri mereka pada istrinya yang baru saja kecelakaan.
"Ini bukti laporan polisi yang kami buat saat putri kami diculik serta foto putri kami saat berusia tiga bulan," lanjut Fajar menyerahkan bukti itu pada Raisa.
Raisa menerima bukti-bukti itu dan segera memeriksanya. Air mata Raisa menetes ketika melihat foto bayi berusia 3 bulan yang sangat mirip dengan Nessa saat ia diserahkan oleh warga yang menemukannya.
Dengan bukti yang diserahkan padanya, Raisa percaya Fajar tidak mungkin berbohong dan bermaksud jahat pada Nessa.
"Anda akan berbicara pada Nessa hari ini?"tanya Bunda Raisa.
Fajar mengangguk, "Kami ingin meminta bantuan pada Anda untuk membantu menjelaskan pada Nessa. Tentu bagi Nessa akan sulit jika saya langsung menemuinya dan mengatakan ini semua padanya."
"Saya mengerti, saya akan membantu menjelaskan pada Nessa saat ia pulang kuliah nanti. Besok bapak bisa ke sini lagi," jawab Bunda Raisa.
"Terima kasih banyak bu Raisa, kami undur diri dulu," ucap Fajar lalu mengode Herman untuk segera beranjak pergi.
"Silahkan," ujar Bunda Raisa mengantarkan kedua tamunya ke depan pintu.
***
Nessa bergegas memasuki panti. Ia khawatir dengan bunda Raisa yang memintanya segera pulang setelah kuliah selesai.
Begitu memasuki panti, Nessa segera ke kamar bunda Raisa dan mengetuk pintu kamarnya.
Tok, tok.
"Masuk nak," jawab Raisa.
"Bun, ada masalah apa?" tanya Nessa yang baru memasuki kamar bunda Raisa.
"Duduk dulu sini, bunda mau bicara," ucap Raisa serius memanggil Nessa untuk duduk di sampingnya.
Nessa menurut, ia langsung duduk di sebelah bunda Raisa.Ia mendapati raut wajah bunda Raisa yang serius di sampingnya.
"Sebelumnya, tolong dengarkan dulu sampai akhir jangan menyela," ujar bunda Raisa.
Nessa mengangguk.
Bunda Raisa lalu menceritakan tentang kedatangan Fajar tadi pagi berikut maksud kedatangannya serta memberikan hasil tes DNA dan bukti-bukti laporan kepolisian serta foto-foto Nessa saat masih bayi sampai berumur 3 bulan sebelum kejadian penculikan.
"Jadi...Mereka tidak pernah buang Nessa, bun?" tanya Nessa dengan menahan air matanya.
Bunda Raisa mengangguk, "Iya nak, faktanya kamu dulu diculik lalu dibuang dan ditemukan warga sekitar panti."
Nessa menangis mengetahui fakta tentang apa yang sesungguhnya terjadi dan juga penderitaan kedua orang tuanya yang mengira kehilangan seorang anak. Sungguh terbalik dengan dugaannya selama ini, ia mengira dirinya dibuang orang tuanya sampai tak mau diadopsi orang lain karena tidak percaya lagi dengan yang namanya orang tua selain bunda Raisya dan bu Ranti yang merawatnya selama 19 tahun ini.
Ia mengingat pertemuannya dengan Fajar waktu itu yang ternyata ternyata papa kandungnya. Sungguh hati memang tidak bisa dibohongi. Ikatan hati di antara mereka saat mereka bertemu terasa kuat.
Nessa sangat bersyukur kepada Tuhan, darahnya saat itu bisa membantu ibu kandungnya di saat-saat kritis dan bisa membuatnya bertemu dengan kedua orang tua kandungnya.
"Mereka akan ke sini besok, nak. Kamu mau kan ketemu dan bicara dengan mereka?" tanya Raisa sambil memeluk Nessa.
Nessa mengangguk pelan.
***
Keesokan harinya di halaman panti harapan kasih, bunda Raisya menyambut kedatangan Fajar serta Alinka.
"Selamat pagi bu Raisya, perkenalkan saya Alinka," sapa Alinka seraya berjabatan tangan.
"Pagi bu Alinka, pak Fajar. Nessa masih di dalam pak, silahkan tunggu dulu di ruang tamu panti," jawab bunda Raisa.
Alinka merasa sedikit kecewa mendengar jawaban bunda Raisa, ia khawatir sang putri tidak mau bertemu dengan mereka.
Bunda Raisa yang melihat kekhawatiran di kata Alinka segera berkata. "Saya sudah berbicara dengan Nessa kemarin Pak, Bu. Syukurlah Nessa mengerti dan menerima semua apa yang terjadi padanya."
"Terima kasih banyak bu," ucap Alinka dan Fajar bersamaan.
"Pak Muh, tolong panggil Nessa di kamar," ujar bunda Raisa begitu melihat pak Muh lewat.
"Baik bu," jawab pak Muh.
"Mari pak, bu tunggu di dalam ruangan saya," Raisya mempersilahkan masuk.
Fajar dan Alinka lalu berjalan di belakang bunda Raisa masuk ke ruangan beliau.
Tak lama kemudian Nessa datang,
Deg,
Jantungnya terasa berdetak kencang, melihat kedua orang tua kandungnya. Ya bapak paruh baya yang mengucapkan terima kasih padanya waktu itu adalah bapak kandungnya. Sementara perempuan di sampingnya yang berwajah mirip dengannya adalah ibu kandungnya.
Alinka segera berlari menghampiri Nessa yang hanya diam saja itu. Sesaat kemudian Alinka berhenti karena takut Nessa menolaknya.
Nessa yang melihat itu, segera langsung memeluk Alinka. Tangis Alinka pecah seketika.
"Nayla putriku...hiks," ucap Alinka masih terisak.
Nessa ikut menangis dalam pelukan Alinka.
"Ini mama, nak," ujar Alinka.
"Mama," kata Nessa.
"Iya nak, ini mama,"ucap Alinka dengan masih terisak.
Fajar yang awalnya hanya menahan tangisnya, ikut memeluk istri dan putrinya itu."Ini papa princess."
Setelah adegan pelukan itu, Fajar dan Alinka meminta waktu berbicara dengan Alinka kepada bunda Raisa. Mereka ingin berbicara serius pada Nessa.
Bunda Raisa mengiyakan, ia segera keluar dari ruangannya untuk memberikan waktu kepada Nessa dan keluarganya.
"Nayla," panggil Fajar pada putrinya itu.
"Maaf pa, panggil Nessa saja," tolak Nessa karena merasa belum nyaman dengan panggilan Nayla.
"Baik, Nessa. Papa dan mama ingin kamu ikut kami pulang ke Jakarta. Apa kamu keberatan?"
Nessa menggeleng, "Nessa tidak keberatan ikut, tapi sekarang Nessa masih kuliah di sini. Kurang tiga semester lagi Nessa lulus."
Nessa mengikuti program akselerasi waktu SMA sehingga di umurnya yang ke 19 ini dia sudah kuliah semester 5.
"Kamu bisa pindah kuliah di Jakarta nak," kata Alinka.
"Tapi...Nessa harus mulai dari semester awal jika pindah ke universitas lain," jawab Nessa.
"Kamu tetap harus ke Jakarta untuk bertemu dengan tunanganmu. Keluarga tunanganmu sangat senang ketika kami memberi kabar kamu sudah ditemukan. Mereka berencana melanjutkan perjodohan yang sudah diatur kakek nenek kalian dari kalian kecil," ucap Alinka.
"Tunangan? Dijodohkan?"ucap Nessa tak percaya mendapati dirinya mempunyai tunangan.
"Iya nak, kalian sudah dijodohkan saat di dalam kandungan," kata Fajar.
"Apa?" teriak Nessa dalam hati. Ia sangat syok tahu dirinya sudah dijodohkan saat masih ada dalam kandungan.
TBC...
Udara malam di halaman belakang kediaman Sudibyo terasa sejuk, ditemani cahaya lampu taman yang berkelip redup. Semilir angin menerbangkan rambut panjang Nessa yang dibiarkan tergerai, menambah kesan gamang pada wajahnya yang sedang muram.Ia duduk di bangku kayu panjang, tepat di seberang Adrian. Jarak mereka tidak begitu jauh, namun keheningan yang tercipta membuatnya terasa seperti sebuah jurang.Sebelumnya, setelah makan malam bersama, Nessa sudah berniat untuk langsung masuk kamar dan beristirahat. Namun niat itu buyar saat suara lembut sang mama terdengar.“Nak, tolong temenin Nak Adrian di halaman belakang, ya?”Nessa tidak bisa menolak, apalagi saat tatapan ibunya terlihat penuh harap. Ia hanya bisa mengangguk pelan, meski dalam hati berteriak keberatan. Dan kini, inilah ia terjebak dalam keheningan canggung bersama calon tunangan yang bahkan tidak benar-benar ia pahami.Nessa membuang muka, menatap ke arah taman bunga yang sedang bermekaran. Ia menggigit bibir bawahnya, berus
Setelah hampir setengah jam berkendara melewati jalanan kota yang padat, mobil hitam Adrian akhirnya sampai di kediaman keluarga Sudibyo. Pagar besi tinggi menjulang itu segera terbuka begitu para penjaga melihat mobil Adrian datang. Dengan sikap penuh hormat, mereka memberi jalan, membiarkan mobil mewah itu melaju masuk ke dalam halaman yang luas.Begitu mobil berhenti, Nessa dan Adrian hampir bersamaan membuka pintu. Suara pintu mobil yang tertutup bergema singkat, lalu langkah kaki keduanya beradu di pelataran.Kedatangan mereka disambut oleh Alinka dan Fajar yang sudah menunggu di teras. Alinka tampak anggun dengan gaun rumah berwarna biru lembut, sementara Fajar berdiri tegap dengan senyum ramahnya.“Maaf kami baru datang, Om, Tante. Perjalanannya macet,” ucap Adrian dengan nada tenang, sambil menjabat tangan Fajar dan menunduk sopan ke arah Alinka.Nessa spontan mengernyit. Kata-kata Adrian barusan langsung membuat otaknya berputar. "Macet? Bukannya tadi dia sendiri bilang ada
Satu jam akhirnya berlalu. Nessa berhasil menyelesaikan treadmill dengan susah payah, berkeringat habis-habisan di bawah pantauan ketat Adrian. Setelah latihan itu selesai, Adrian hanya berkata singkat, “Lima belas menit. Bersihkan dirimu.”Sepuluh menit kemudian, Nessa berdiri di depan cermin wastafel. Rambutnya yang basah sudah ia sisir rapi, wajahnya bersih tanpa sisa keringat. Tapi tetap saja, ia menatap bayangan dirinya dengan wajah masam.“Ya ampun… pucat banget aku. Bener-bener, ya Adrian itu… ckkk,” desis Nessa sambil menepuk pipinya sendiri.Pandangan matanya turun ke bibir, membuat pipinya merona seketika. Ia buru-buru menggeleng cepat.“Kenapa jadi kepikiran yang tadi…” gumamnya pelan, lalu menepuk-nepuk kedua pipi biar sadar.Ia menarik napas panjang, lalu berbalik dan membuka pintu.Klik.Deg—Nessa langsung mematung. Adrian sudah berdiri tepat di depan pintu, satu tangannya terangkat seolah hendak mengetuk. Keduanya saling bertatapan beberapa detik, suasana jadi kikuk.“
"Maaf… aku nggak sengaja," ucap Nessa refleks, suaranya terdengar bergetar. Jantungnya berdegup tak karuan, wajahnya memanas seperti disiram bara. Ia bahkan tidak tahu dari mana energi untuk langsung meminta maaf itu datang mungkin karena takut Adrian salah paham.Adrian diam. Tatapannya menusuk, dingin, seakan sedang menghitung setiap detik yang baru saja terjadi. Ia tidak berkata apa-apa, hanya menatap Nessa beberapa detik, lalu memutar badan dan pergi begitu saja."Astaga… jangan bilang dia marah," batin Nessa panik.Ia meraih keningnya yang sedikit sakit akibat benturan barusan. "Aku kan nggak sengaja… kenapa reaksinya kayak gitu?" gumamnya lirih. Bibirnya bergetar saat mengingat momen singkat tabrakan wajah mereka yang tidak terduga. "Ya ampun…harusnya aku yang marah... itu tadi ciuman pertamaku," keluhnya lirih, tangannya refleks menutup mulutnya sendiri.Di sisi lain, Adrian masuk ke kamar mandi. Ia menyalakan keran, membasuh wajahnya dengan air dingin, lalu menatap dirinya di
"Ini dimana kak? Kok bukan rumah ka- kamu?"tanya Nessa lagi. Ia masih bingung karena mengira Adrian mengajaknya ke rumahnya sebelum ke kediaman Sudibyo. "Siapa yang bilang kita akan ke rumahku?"ucap Adrian yang membuat Nessa tambah bingung. "Bukannya tadi katanya akan ke tempatnya? Apa aku yang salah dengar?" batin Nessa. Walau sedikit kesal, Nessa tetap berjalan mengikuti Adrian memasuki sebuah bangunan ruko 3 lantai yang tenyata beridentitas sebuah cafe steakhouse. "Selamat datang Tuan muda," sambut waitress yang membukakan pintu. Adrian hanya mengangguk menerima sambutan dari waitress itu sementara Nessa berjalan mengekori Adrian masuk ke lorong menuju ujung ruangan. Nessa pikir di ujung itu adalah tangga namun itu adalah sebuah ruang manager cafe. "Ayo masuk." ajak Adrian yang lebih dulu masuk bahkan tanpa mengetuk pintu. Nessa menghela napas lalu mengikuti Adrian masuk ke ruangan tersebut. Ruangan tersebut seperti ruang kantor manager pada umumnya yang berisi kursi
Sudah sepuluh menit mobil Adrian melaju di jalan tol, namun suasana di dalam mobil tetap saja terasa canggung. Nessa bersandar di kursinya, matanya menatap ke arah pemandangan sisi kiri jendela, mencoba mengalihkan perasaan canggung yang sejak tadi menyerangnya. Sementara itu, Adrian menatap lurus ke depan, fokus pada jalanan. Tangannya memegang kemudi erat, wajahnya tanpa ekspresi, seolah tidak peduli ada penumpang di sampingnya.Namun, tanpa sepengetahuan Nessa, telinga kanan Adrian terhubung dengan earpiece kecil berwarna hitam. Dari sana, suara anak buahnya terdengar pelan, melaporkan kondisi jalan dan situasi terkini di kediaman keluarga Sudibyo tempat tujuan mereka hari ini. Sesekali, tatapan mata Adrian melirik spion, mengamati kendaraan di belakang dengan penuh kewaspadaan.Nessa menoleh sekilas ke arahnya. Dari samping, wajah Adrian tampak begitu dingin, bahkan seperti tak memiliki celah untuk disapa. "Ya ampun, ini situasi apaan sih? Kenapa canggung banget gini? Serius, me