Nessa baru saja mendapatkan kebenaran tentang keluarganya setelah tinggal 19 tahun di panti asuhan. Dan yang paling tidak disangka, selain masih punya keluarga, ia juga punya tunangan yang dijodohkan dengan dirinya sejak dalam kandungan. Apa Nessa siap menerima hidup yang tak pernah ia rencanakan atau ia akan memilih mengukir jalannya sendiri?
더 보기Drrrrt,
Bunyi getar ponselnya membuat Fajar yang baru saja selesai meeting, buru-buru mengambil ponsel yang berada di saku jasnya.
Ia menatap bingung ke arah layar ponselnya kemudian mengode sang asisten bahwa ia akan menerima panggilan telepon. Herman sang asisten buru-buru menjauh memberi ruang privasi kepada bosnya.
"Sayang?" gumam Fajar mengernyitkan dahinya begitu mengetahui istrinya yang menelpon karena setengah jam yang lalu sang istri baru mengabari kalau ia baru berangkat dari hotel untuk pulang ke Jakarta lebih dulu karena ada kepentingan keluarga.
"Halo sayang...Sudah sampai mana? Aku baru selesai meeting," ucap Fajar setelah mengangkat panggilan tersebut.
"Halo apa benar ini keluarga pemilik ponsel?" tanya seseorang yang ada di seberang telepon.
"Siapa ini? Dimana istri saya?" ujar Fajar panik begitu mengetahui yang menelponnya ternyata seorang laki-laki bukan istrinya—Alinka.
"Saya petugas dari kepolisian, pemilik ponsel ini mengalami kecelakaan mobil," jawab petugas.
"Apa? Kecelakaan?" teriak Fajar.
Deg,
Jantungnya berdebar kencang, dadanya begitu sesak tak bisa menerima kabar yang baru disampaikan petugas kepolisian itu. Herman yang tadi sedikit menjauh segera menghampiri bosnya yang tiba-tiba limbung lalu berpegangan dinding.
Herman kemudian membantu bosnya berdiri kembali.
Fajar menarik napas panjang berusaha menjawab ponselnya kembali.
"Halo...Halo pak?" tanya petugas.
"Iya pak, saya suami dari pemilik ponsel. Bagaimana kondisi istri saya sekarang?" tanya Fajar pelan.
"Istri bapak masih ditangani di RS Samrat. Kondisinya kritis. Butuh donor darah segera. Apa ada anggota keluarga yang golongan darahnya sama?"info dari petugas kepolisian.
Fajar dengan cepat menjawab,"Tidak ada pak. Golongan darah istri saya Rh null yang termasuk golongan darah langka."
"Baik Pak nanti saya sampaikan kepada pihak rumah sakit. Anda sebaiknya cepat datang ke rumah sakit. Untuk penabrak mobil istri bapak sudah kami amankan di kantor Polresta Bogor."
"Baik pak," Fajar kemudian langsung menutup panggilan dan bergegas pergi ke arah parkiran mobil bersama Herman.
***
Begitu sampai di parkiran rumah sakit, Fajar segera turun bersama Herman, sementara itu Fajar sudah menugaskan Ridwan—pengacaranya untuk mengurus kasus kecelakaan yang menimpa istrinya di kantor polisi.
Begitu memasuki lobby rumah sakit. Ia segera meminta data pasien di bagian informasi tentang pasien yang baru masuk karena kecelakaan mobil.
"Pasien atas nama Alinka Sudibyo masih di IGD pak," ucap petugas bagian informasi.
Fajar dan asistennya lalu segera menuju IGD dan berencana menanyai dokter yang bertugas disana namun mereka tidak diperbolehkan masuk karena IGD sedang penuh pasien.
Sosok laki-laki berpakaian jas dokter—Dokter Dani, yang bertugas segera keluar menemui Fajar.
"Keluarga Nyonya Alinka?"tanyanya.
"Iya dok, saya suaminya,"jawab Fajar.
Dokter Dani mengangguk. “Pasien kehilangan banyak darah dan butuh segera dioperasi untuk menghentikan pendarahan di perut dan di kepalanya. Selain itu pasien butuh donor darah segera."
"Di keluarga kami tidak ada yang sama golongan darahnya dengan istri saya,” jawab Fajar.
"Iya pak tadi petugas kepolisian sudah menyampaikan. Karena stok darah Rh null di rumah sakit kami sedang kosong, kami sudah meminta bantuan pada PMI. Mohon ditunggu karena info dari PMI, pendonor sudah bersedia datang kemari.
"Syukurlah. Terima kasih dok," ujar Fajar.
Bersamaan dengan itu dari sisi lain seorang perempuan muda berambut panjang sedang berlari dengan sangat cepat menuju ruang IGD.
Sampai akhirnya sang perempuan muda itu berhenti berlari tepat di depan Fajar, Herman dan juga dokter Dani.
Fajar membeku melihat paras perempuan muda itu yang mirip sekali dengan wajah istrinya di kala muda. Begitu juga dengan Herman sang asisten yang terbengong melihat perempuan yang mirip sekali dengan istri bosnya itu.
Hosh hosh..
Perempuan muda itu mengatur napasnya yang masih terengah-engah sambil menyodorkan sebuah kartu pada dokter Dani.
"Nona Nessa?" ucap dokter Dani begitu memeriksa identitas pemilik kartu donor darah di tangannya.
Perempuan itu mengangguk
"Silahkan masuk, semua sudah siap di dalam." ucap dokter Dani.
Nessa langsung masuk ke dalam. Sementara itu dokter Dani segera memberi informasi pada Fajar," Nona Nessa tadi adalah pendonor darah untuk istri bapak,"ujar dokter Dani lalu berbalik masuk ke dalam ruangan IGD.
Deg,
Fajar menatap Herman yang juga menatapnya. Sepertinya mereka mempunyai pemikiran yang sama. Paras yang hampir sama serta golongan darah langka yang sama. Semua pasti menduga ke arah sana.
"Selidiki siapa perempuan tadi!" titah Fajar.
"Baik Bos," jawab Herman lalu undur diri untuk segera melakukan penyelidikan.
Sementara Fajar masih terpaku menatap ruangan IGD di depannya.
"Apakah itu kamu princess?"batin Fajar.
***
Sementara itu di dalam ruangan UGD,
Nessa diarahkan ke bagian transfusi dan dilakukan skrining pemeriksaan fisik berupa berat badan dan tekanan darah serta kadar Hemoglobin.
"Hasil Hb Anda bagus, tekanan darah normal, kami akan lanjutkan," ujar Sinta—perawat yang bertugas.
Beberapa menit kemudian, Nessa sudah duduk di atas brankar. Lengan kirinya disterilkan. Jarum besar perlahan masuk ke pembuluh darahnya. Kantung darah mulai terisi satu tetes demi tetes berisi jutaan harapan hidup untuk korban kecelakaan yang saat ini membutuhkan darahnya.
"Berapa banyak yang kalian butuhkan kali ini?" tanya Nessa.
"Untuk saat ini cukup satu kantung. Kami juga sedang menunggu pendonor lain. Pasien akan segera dioperasi. Dia kehilangan banyak darah karena kecelakaan," jawab Suster Santi.
"Langsung ambil 2 kantung saja sus," ujar Nessa.
Suster Santi terlihat ragu mendengar jawaban Nessa.
"Nggak apa Sus, saya sehat kok. Daripada nunggu yang belum pasti datang," ucap Nessa meyakinkan.
Suster Nessa kemudian menggeleng.
"Terima kasih mbak..Tapi saya tanyakan ke dokter Dani dahulu apa pendonor lainnya sudah dapat atau belum."
Nessa pun mengangguk.
Tak lama kemudian suster Santi segera memberikan jawaban pada Nessa," Maaf mbak Nessa, pendonor lainnya belum dapat. Apa mbak Nessa benar nggak keberatan diambil darahnya 2 kantung?"
"Nggak apa sus, tadi kan saya sudah menawarkan, "jawab Nessa sambil tersenyum.
"Terima kasih banyak ya mbak, mudah-mudahan pasien bisa selamat karena mbak Nessa sudah maksimal mendonorkan darahnya, aamiin." doa suster Santi.
"Aamiin," sahut Nessa.
Sementara itu Fajar sedang menunggu di depan pintu ruang operasi bersama Asep—sopirnya karena Herman belum juga kembali. Di dalam ruang operasi kini sedang dilakukan tindakan penyelamatan pada istrinya yang mengalamai pendarahan organ dalam dan kehilangan banyak darah itu akibat kecelakaan.
"Asep, kamu tolong tunggu di sini, saya ada perlu sebentar." Fajar tiba-tiba berdiri.
"Siap Tuan," jawab Asep.
Fajar lalu berjalan menuju ruang IGD menunggu sosok pendonor darah untuk istrinya tadi. Ia benar-benar terharu saat tahu dari suster Sinta bahwa perempuan muda bernama Nessa itu mendonorkan darahnya yang langka itu sebanyak 2 kantung darah. Padahal mereka tidak saling mengenal, tak juga ada imbalan yang ia tawarkan.
Beberapa saat kemudian perempuan muda yang ia tunggu keluar dari ruangan IGD.
"Tunggu nak, "ujar Fajar menahan perempuan yang hendak pergi itu.
Nessa kemudian menghentikan langkahnya berbalikmenatap laki-laki paruh baya di depannya.
Deg,
Jantung Nessa berdetak lebih kencang saat menatap Fajar. Ada sesuatu yang terasa berdesir di dadanya.
"Kenapa tiba-tiba begini?" batin Nessa.
"Saya Fajar, suami pasien yang kecelakaan tadi. Terima kasih banyak sudah mendonorkan darah untuk istri saya," ucap Fajar memperkenalkan diri.
Nessa menjawab, "Sama-sama pak Fajar... sudah kewajiban saya sebagai manusia untuk saling tolong menolong."
Fajar mengangguk lalu memberikan cek senilai 100 juta pada Nessa sebagai ucapan terima kasihnya.
"Apa ini pak Fajar?" tanya Nessa yang kaget ketika melihat nilai nominal cek yang diberikan kepadanya.
"Anggap saja ini niat baik saya untuk membalas kebaikan anda," jawab Fajar.
"Tidak perlu pak, saya ikhlas," tolak Nessa dengan sopan. Ia lalu mengembalikan cek tersebut.
"Maka saya memaksa, tolong anda terima. Meski nilainya tidak bisa dibandingkan dengan darah anda yang sudah anda berikan," ucap Fajar yang menyodorkan cek itu kembali namun Nessa tak mau menerimanya.
"Maaf pak, saya tidak bisa menerima ini. Terima kasih atas niat baiknya." Nessa menunduk memohon maaf lalu berlalu pergi.
"Nak, kamu baik sekali ... Andai itu kamu, princess," ucap Fajar lirih menatap sendu melihat kepergian Nessa.
TBC...
Setelah hampir setengah jam berkendara melewati jalanan kota yang padat, mobil hitam Adrian akhirnya sampai di kediaman keluarga Sudibyo. Pagar besi tinggi menjulang itu segera terbuka begitu para penjaga melihat mobil Adrian datang. Dengan sikap penuh hormat, mereka memberi jalan, membiarkan mobil mewah itu melaju masuk ke dalam halaman yang luas.Begitu mobil berhenti, Nessa dan Adrian hampir bersamaan membuka pintu. Suara pintu mobil yang tertutup bergema singkat, lalu langkah kaki keduanya beradu di pelataran.Kedatangan mereka disambut oleh Alinka dan Fajar yang sudah menunggu di teras. Alinka tampak anggun dengan gaun rumah berwarna biru lembut, sementara Fajar berdiri tegap dengan senyum ramahnya.“Maaf kami baru datang, Om, Tante. Perjalanannya macet,” ucap Adrian dengan nada tenang, sambil menjabat tangan Fajar dan menunduk sopan ke arah Alinka.Nessa spontan mengernyit. Kata-kata Adrian barusan langsung membuat otaknya berputar. "Macet? Bukannya tadi dia sendiri bilang ada
Satu jam akhirnya berlalu. Nessa berhasil menyelesaikan treadmill dengan susah payah, berkeringat habis-habisan di bawah pantauan ketat Adrian. Setelah latihan itu selesai, Adrian hanya berkata singkat, “Lima belas menit. Bersihkan dirimu.”Sepuluh menit kemudian, Nessa berdiri di depan cermin wastafel. Rambutnya yang basah sudah ia sisir rapi, wajahnya bersih tanpa sisa keringat. Tapi tetap saja, ia menatap bayangan dirinya dengan wajah masam.“Ya ampun… pucat banget aku. Bener-bener, ya Adrian itu… ckkk,” desis Nessa sambil menepuk pipinya sendiri.Pandangan matanya turun ke bibir, membuat pipinya merona seketika. Ia buru-buru menggeleng cepat.“Kenapa jadi kepikiran yang tadi…” gumamnya pelan, lalu menepuk-nepuk kedua pipi biar sadar.Ia menarik napas panjang, lalu berbalik dan membuka pintu.Klik.Deg—Nessa langsung mematung. Adrian sudah berdiri tepat di depan pintu, satu tangannya terangkat seolah hendak mengetuk. Keduanya saling bertatapan beberapa detik, suasana jadi kikuk.“
"Maaf… aku nggak sengaja," ucap Nessa refleks, suaranya terdengar bergetar. Jantungnya berdegup tak karuan, wajahnya memanas seperti disiram bara. Ia bahkan tidak tahu dari mana energi untuk langsung meminta maaf itu datang mungkin karena takut Adrian salah paham.Adrian diam. Tatapannya menusuk, dingin, seakan sedang menghitung setiap detik yang baru saja terjadi. Ia tidak berkata apa-apa, hanya menatap Nessa beberapa detik, lalu memutar badan dan pergi begitu saja."Astaga… jangan bilang dia marah," batin Nessa panik.Ia meraih keningnya yang sedikit sakit akibat benturan barusan. "Aku kan nggak sengaja… kenapa reaksinya kayak gitu?" gumamnya lirih. Bibirnya bergetar saat mengingat momen singkat tabrakan wajah mereka yang tidak terduga. "Ya ampun…harusnya aku yang marah... itu tadi ciuman pertamaku," keluhnya lirih, tangannya refleks menutup mulutnya sendiri.Di sisi lain, Adrian masuk ke kamar mandi. Ia menyalakan keran, membasuh wajahnya dengan air dingin, lalu menatap dirinya di
"Ini dimana kak? Kok bukan rumah ka- kamu?"tanya Nessa lagi. Ia masih bingung karena mengira Adrian mengajaknya ke rumahnya sebelum ke kediaman Sudibyo. "Siapa yang bilang kita akan ke rumahku?"ucap Adrian yang membuat Nessa tambah bingung. "Bukannya tadi katanya akan ke tempatnya? Apa aku yang salah dengar?" batin Nessa. Walau sedikit kesal, Nessa tetap berjalan mengikuti Adrian memasuki sebuah bangunan ruko 3 lantai yang tenyata beridentitas sebuah cafe steakhouse. "Selamat datang Tuan muda," sambut waitress yang membukakan pintu. Adrian hanya mengangguk menerima sambutan dari waitress itu sementara Nessa berjalan mengekori Adrian masuk ke lorong menuju ujung ruangan. Nessa pikir di ujung itu adalah tangga namun itu adalah sebuah ruang manager cafe. "Ayo masuk." ajak Adrian yang lebih dulu masuk bahkan tanpa mengetuk pintu. Nessa menghela napas lalu mengikuti Adrian masuk ke ruangan tersebut. Ruangan tersebut seperti ruang kantor manager pada umumnya yang berisi kursi
Sudah sepuluh menit mobil Adrian melaju di jalan tol, namun suasana di dalam mobil tetap saja terasa canggung. Nessa bersandar di kursinya, matanya menatap ke arah pemandangan sisi kiri jendela, mencoba mengalihkan perasaan canggung yang sejak tadi menyerangnya. Sementara itu, Adrian menatap lurus ke depan, fokus pada jalanan. Tangannya memegang kemudi erat, wajahnya tanpa ekspresi, seolah tidak peduli ada penumpang di sampingnya.Namun, tanpa sepengetahuan Nessa, telinga kanan Adrian terhubung dengan earpiece kecil berwarna hitam. Dari sana, suara anak buahnya terdengar pelan, melaporkan kondisi jalan dan situasi terkini di kediaman keluarga Sudibyo tempat tujuan mereka hari ini. Sesekali, tatapan mata Adrian melirik spion, mengamati kendaraan di belakang dengan penuh kewaspadaan.Nessa menoleh sekilas ke arahnya. Dari samping, wajah Adrian tampak begitu dingin, bahkan seperti tak memiliki celah untuk disapa. "Ya ampun, ini situasi apaan sih? Kenapa canggung banget gini? Serius, me
“Dimana nona Nessa?” tanya Langit ketika melihat Adrian kembali ke ruang makan seorang diri.“Dia masih ganti baju,” jawab Adrian datar, lalu menarik kursi di samping Langit dan duduk santai. Sejenak ia meneguk air putih dari gelas yang tersedia di meja.Margo yang sejak tadi diam, melirik sekilas ke arah Adrian. Tatapannya penuh keraguan. Dari kemarin, ia merasa ada yang janggal dengan sikap lelaki itu. Terlalu tenang, terlalu misterius.“Tuan yang mengirim orang di sekitar kami, bukan?” tanya Margo tiba-tiba, nadanya penuh tuduhan.Langit segera menoleh cepat ke arah Margo, memberi kode agar pengawal senior itu menghentikan prasangkanya. “Margo…” bisiknya pelan.Namun Adrian sudah mendengar jelas. Tatapannya sedikit menyipit. “Maksud Om apa?” tanyanya dengan nada yang menekan di akhir kalimat.Langit terdiam, matanya membesar mendengar Adrian menyebut Margo dengan panggilan “Om”. Ia refleks memandang Margo, lalu kembali menatap Adrian dengan ekspresi sulit dijelaskan.“Ehem,” Langit
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
댓글