Pagi itu di jam 9 pagi panti terasa begitu sepi. Suara tawa dan riuh rendah anak-anak panti tak terdengar karena mereka semua sedang berada di sekolah. Bunda Raisa juga sedang berbelanja ke pasar ditemani pak Muh. Hanya ada Nessa yang duduk di ruang tengah, duduk di sofa dengan segelas teh hangat di tangannya.Namun suasana hatinya jauh dari kata tenang. Dua sosok pria yang selalu setia mendampinginya, Langit dan Margo, tiba-tiba bergabung duduk di kursi seberangnya. Mereka kemudian berbicara serius tentang apa yang mereka kerjakan kemarin kepada Nessa.“Jadi… mereka belum sadar semua, Om?” tanya Nessa hati-hati, setelah mendengar penjelasan Langit mengenai apa yang mereka lakukan kemarin termasuk mengawasi empat pria tersangka penguntit yang tengah berada di ICU rumah sakit karena kecelakaan.Langit menggeleng pelan. “Belum, Nona. Luka mereka terlalu parah. Menurut dokter, butuh waktu lama sampai mereka bisa benar-benar siuman.”Nessa menelan ludahnya sendiri. Ada sesuatu yang terasa
Malam semakin larut. Lampu ruang tengah panti sudah diredupkan, hanya menyisakan cahaya kekuningan dari lampu dinding yang membuat suasana terasa tenang, namun sekaligus menegangkan. Nessa masih terjaga. Tubuhnya bersandar di sofa, kedua tangan memeluk bantal kecil, sementara matanya sesekali melirik ke arah pintu depan.Sejak dua jam lalu ia mencoba menghubungi Langit dan Margo, tapi tidak ada jawaban. Pesannya hanya centang satu, lalu menghilang ditelan kesibukan yang entah apa. Telepon yang ia lakukan pun tak pernah diangkat. Rasa khawatir mulai merayap. Mereka memang pamit sebentar, katanya hanya dua jam, tapi kini sudah lebih dari empat jam.“Kenapa nggak ada kabar sama sekali sih?” gumamnya lirih.Nessa sebenarnya tidak ingin terlalu memikirkan hal itu, namun keheningan panti membuat pikirannya semakin dipenuhi kemungkinan buruk. Ia tahu Langit dan Margo sering terlibat urusan yang tidak bisa ia pahami seluruhnya, urusan yang selalu mereka tutupi dengan kata-kata sederhana: ada
Adrian menutup laci mejanya perlahan, sambil memikirkan percakapan singkatnya dengan Nessa yang baru saja terjadi. Tangannya sempat berhenti di atas gagang laci, matanya kosong menatap permukaan kayu. Entah mengapa, suara Nessa masih berputar di telinganya. Jawaban singkat gadis itu, nada canggungnya, bahkan gumaman kecil yang nyaris tak terdengar… semua masih menempel erat di benaknya.Ia menarik napas panjang sebelum akhirnya melangkah menuju ruang kerja. Lampu meja kerja besar itu menyala terang, memantulkan cahaya kekuningan ke tumpukan kertas tebal di atas meja. Julio, sekretaris sekaligus tangan kanan papanya, sudah menunggunya di sana dengan wajah serius.“Kok tumben banyak banget, Kak?” Adrian mengeluh, menarik salah satu map yang penuh grafik dan laporan.Julio, pria paruh baya dengan kemeja putih rapi dan kacamata tipis di ujung hidungnya, hanya tersenyum tipis. “Ini baru separuh, Tuan Muda. Besok pagi Papa Anda minta presentasi lengkap, jadi semua harus selesai malam ini.”
Suasana ruang makan Panti Harapan Kasih masih menyisakan hangatnya makan malam. Piring-piring sudah menumpuk di meja, sementara aroma sayur capcay dan ayam goreng masih samar tercium. Nessa dengan sigap membantu Bunda Raisa merapikan meja, memindahkan piring kotor ke nampan besar. Sementara Meita bertugas membantu mencuci piring hari ini. Adik-adik Nessa yang lain kembali ke ruang tengah. “Dik Langit sama Margo kok nggak kelihatan dari tadi?” tanya Bunda Raisa sambil melipat serbet makan. Nessa melirik ke arah beliau, lalu menjawab pelan, “Mereka ada urusan, Bun. Jadi nggak bisa ikut makan malam bareng.” Bunda Raisa mengangguk pelan, lalu menaruh sendok terakhir ke wadah pencuci. “Oh begitu… ya sudah. Bunda sudah simpan jatah makan mereka di meja, ditutup tudung biar tetap hangat. Kalau nanti mereka pulang, langsung dimakan saja.” “Baik, Bun. Nanti Nessa sampaikan,” jawab Nessa sambil tersenyum kecil. Tangannya terus bekerja membantu mengangkat gelas-gelas yang tersisa sementara h
Nessa masih menatap layar ponselnya. Pesan singkat yang baru saja dikirim Adrian terasa menggantung, seolah menuntut jawaban cepat darinya. Namun entah kenapa jari-jarinya enggan bergerak di atas layar. Hanya suara helaan napasnya yang terdengar, bercampur dengan gumaman pelan."Kenapa sih harus dia lagi...?" pikirnya kesal pada diri sendiri.Tok-tok.Suara ketukan pelan di pintu kamarnya membuat Nessa buru-buru menutup layar ponsel.“Nona Nessa, ini saya, Langit,” terdengar suara berat pria dari luar.“Sebentar…” Nessa bangkit cepat, membuka pintu. Sosok Langit, bodyguard yang sejak dulu ditugaskan menjaga dirinya, berdiri dengan wajah serius seperti biasa.“Iya, ada apa Om?” tanyanya sambil mengernyit heran.“Begini, Non. Ada beberapa urusan yang harus kami bereskan. Saya dan Margo akan keluar sekitar dua jam. Mohon nona tidak meninggalkan panti selama kami di luar.”Nessa mengangguk pelan. “Baik, Om. Lagian aku juga nggak ada urusan di luar. Kan sudah resign dari kerja paruh waktu,
Adrian menatap kaca spion mobilnya. Dari sana, bayangan Karina yang masih berdiri di parkiran kampus terlihat samar, semakin mengecil seiring ia menjauh. Ada sedikit rasa bersalah yang menekan dadanya karena ia menolak ajakan Karina untuk berkencan dan juga tentang kebohongannya.Ia belum pernah menceritakan apa pun tentang perjodohannya dengan Nessa. Rahasia itu hanya ia simpan sendiri, bahkan kepada Karina—perempuan yang selama dua tahun terakhir menyandang status kekasihnya.Adrian menarik napas panjang. Waktu di kediaman keluarga Sudibyo, ia terpaksa berbohong di depan Nessa. Ia bilang kekasihnya—Karina sudah tahu soal perjodohan itu. Padahal, kenyataannya sama sekali tidak. Ia sengaja mengatakannya agar Nessa lebih nyaman, agar gadis itu mau bekerja sama pura-pura sebagai calon pasangan selama 3 bulan. Semua semata demi neneknya yang sakit-sakitan. Adrian tidak ingin penolakan dirinya pada perjodohan justru membuat sang nenek stres atau, lebih buruk, terkena serangan jantung.Mo