Share

2: HUTANG DAN RINDU

'Dirga. Aku Dirga.'

Tiga kata itu berkeliaran di kepalanya, tapi tak juga terucap dari ujung lidahnya.

Naas memang, Andien — perempuan yang ada di hadapannya tidak mengenalinya. Padahal Dirga tau akan seperti ini, ia bahkan sudah menyiapkan berbagai skenario untuk menguatkan hatinya. Tapi entah kenapa, tidak dikenali oleh orang yang terkasih, rasanya tetap saja menyedihkan.

Andien, perempuan yang sosoknya sudah Dirga simpan dengan baik di suatu tempat dalam hatinya. Seseorang yang akhirnya ia menyerah untuk melupakannya. Mungkin beginilah sulitnya melupakan cinta pertama bagi beberapa orang naif seperti pria itu.

Dirga mulai menyukainya sejak mereka masih anak-anak, beranjak remaja lebih tepatnya. Dua belas tahun umurnya saat itu — setidaknya itu yang bisa ia ingat dengan sadar. Dirga tak sadar saja kalau kekagumannya pada Andien sudah tertanam bahkan sejak perempuan itu masih di usia balita.

Yang Dirga ingat, saat itu ia duduk di kelas enam SD, seorang perempuan remaja — yang ia ketahui sebagai pengasuh Andien dan adiknya si kembar — datang ke rumahnya sore itu. Perempuan itu membawa beberapa buah labu dan umbi-umbian yang ternyata pesanan dari sang Mama. Saat perempuan itu ingin undur diri, Dirga memberanikan diri bertanya "Kak Yani, yang suka jagain Andien dan si kembar ya?".

"Iya. Dirga kenal Andien? Soalnya Andien jarang keluar rumah. Ga boleh sama Ummah dan Abah."

Dirga kecil hanya menggaruk kepalanya yang tak gatal karena salah tingkah.

"Umm, itu... Salam buat Andien ya Kak."

Dan wajah Dirga benar-benar memerah saat itu, hingga membuat Yani yang melihatnya menahan tawa.

"Iya, nanti Kakak sampaikan ya" jawab pengasuh Andien itu.

'Tuh, bener-bener sih dia mondar-mandir aja di pikiran gue'

Dulu, Dirga dan Andien tinggal di lingkungan yang sama, bahkan menuntut ilmu di sekolah yang sama. Andien adalah adik kelas Dirga yang berbeda dua tingkat dengannya.

Andien kecil tidak seperti anak-anak lainnya. Gadis kecil itu jarang bermain keluar rumah. Biasanya ia akan keluar di sore hari, bermain di lapangan tepat di belakang kediamannya. Kasti, benteng, galaksin, kelereng, petak umpet, mainan-mainan tradisional yang sangat populer di masa lalu kerap gadis kecil itu jadikan pilihan. Sesekali Dirga juga ikut dalam permainan itu, tetapi sayangnya mereka berdua tidak pernah berinteraksi one to one secara langsung. Begitu adzan maghrib berkumandang, dipastikan Andien kecil sudah kembali ke rumahnya. Tak mengenal hari libur seperti anak lainnya yang kerap akan bermain hingga malam hari, Andien kecil terpaksa berdiam diri di dalam kamarnya. Seperti yang Yani katakan, tak diijinkan orang tuanya. Pola asuh yang dianut orang tuanya saat itu membuat Andien menjadi anak yang murung dan penyendiri.

Waktu berlalu, dan selalu sama, dengan berbagai alasan dan ketidakpercayaan diri, Dirga hanya berperan sebagai pengagum rahasia Andien, bahkan menjadi teman Andien pun tidak. Hingga saat Dirga ingin mendekati Andien, terlambat sudah, Andien telah hijrah bersama keluarganya entah kemana.

Menyesal? Jangan ditanya. Bahkan perceraian Dirga dengan mantan istrinya mungkin ada andil dari hati pria itu yang terlalu sulit menghilangkan nama Andien.

Dirga masih berdiri sambil menyesap orange juice di tangannya sedikit demi sedikit. Memandang Andien dari jarak yang cukup jauh.

Di depan sana, Andien sadar pria asing yang tadi mengamatinya belum juga mengalihkan kedua netra dari memandanginya. Andien hanya bisa pura-pura acuh tak menanggapi, walaupun benaknya pun tak henti bertanya siapa gerangan pria itu.

Dirga memperhatikan Andien yang melangkah untuk meletakkan piring kosongnya, kemudian kembali ke tempatnya duduk sambil menggenggam gelas berisi air mineral. Tak menunggu lagi, Dirga menguatkan diri - melangkah menuju tempat duduk yang tak berisi di samping Andien.

"Dirga."

"Ya?" tanya Andien. Ganjil.

"Namaku Dirga." Tutur ulang pria itu.

Andien terdiam. Netranya sempat membelalak sesaat karena sungguh tak menyangka kehadiran seseorang dari masa lalunya benar-benar nyata terjadi.

'Dia kaget? Berarti dia tau gue dong?' batin Dirga.

"Sudah selesai kan makannya? Aku duduk di sini ya." Ucap Dirga seraya duduk tepat di samping Andien tanpa menunggu persetujuan perempuan itu sama sekali.

"Hmmm, ga apa-apa sih. Memang ga tepat juga sendirian di tempat ramai begini, Kak" jawab Andien.

"Kak?" tanya Dirga heran.

"Kak Dirga bukan? Aku cuma tau satu nama Dirga sampai detik ini. Kakak kelasku waktu SD. Salah ya?" tanya Andien.

"Ternyata benar kamu kenal aku."

"Ga bisa dibilang kenal juga sih Kak."

"Kenapa?"

"Well, entahlah. Bingung jelasinnya, Kak." jawab Andien seraya mencengir.

Dirga terkekeh menanggapi.

"Serius, Ndien. Kita dulu ga sedekat itu kan? Ga seperti kamu dan Ian, atau kamu yang pasti tau Borne karena dia kakaknya Pia teman kamu dulu. Bahkan kamu mungkin ga pernah sadar aku ada. Dengan kondisi itu, kok bisa kamu masih ingat aku?"

"I owe you... A life... My life!" ujar Andien, lirih.

Dirga terdiam, berusaha mencerna maksud ucapan Andien.

Gagal!

"What do you mean?" Dirga tidak bisa menutupi kebingungan dalam nada suaranya.

"Kalau nanti kita ketemu lagi, dan cukup nyaman buat aku, aku akan ceritain ke Kak Dirga".

"Dan aku akan pastiin kita bakal ketemu lagi!" tegas Dirga.

Andien tertawa renyah.

"Pede banget sih, Kak!" candanya.

"Haruslah! Dan ga ada yang salah kan? Bisa disimpulkan kita sama-sama tau dari kecil, suka ga suka kita teman masa kecil. Dan sekarang kita sama-sama singlewell kita tidak dalam status menikah tepatnya. Jadi ga apa-apa kan kalau kita ketemu lagi?"

Andien tersenyum tapi tak mengiyakan pertanyaan Dirga.

"Mau duduk di luar ga, Kak? Biar lebih nyaman."

Dirga mengangguk, lalu berdiri lebih dulu dari tempatnya duduk. Andien pun beranjak, melangkahkan kaki keluar dari ruangan resepsi itu diikuti Dirga di belakangnya.

Ternyata di halaman gedung itu juga ditata beberapa kursi bagi para undangan. Dirga dan Andien memilih kursi yang kosong, yang posisinya sedikit menyudut dan berhadapan langsung dengan sebuah taman. Karena posisi kursi itu tidak jatuh di cahaya lampu taman, jadi susana yang tercipta terkesan temaram. Cukup nyaman untuk mereka bicara berdua dengan tenang.

Andien menarik napas dalam, menahan udara di paru-parunya sesaat, lalu menghembuskannya perlahan. Beberapa kali. Mengatur napas untuk mendapatkan ketenangan lebih.

"Cape ya?" tanya Dirga.

"Lumayan, Kak." jawabnya seraya tersenyum hangat.

Dirga masih terpana menatap perempuan di hadapannya. Cinta pertamanya.

'Ya Tuhan, dia cantik banget sih.'

Raut wajah Andien memang terlihat lelah. Lama tak bersua — di mata Dirga — paras cantik Andien benar–benar tidak menghilang. Jangankan menghilang, mengikispun tidak.

Dirga terus memperhatikan garis-garis wajah Andien yang tertutupi make up. Bukan make up yang norak dan tebal tentunya. Menggali kembali ingatan wajah sang cinta di masa–masa remajanya.

Pandangan Dirga berpindah ke bibir Andien yang sedari tadi digigitinya, menahan rasa pegal pada kaki yang di pukul-pukul perempuan itu perlahan.

'Itu bibir... Ciumable banget. Ya Tuhan, gila

beneranlah gue!'

"Jangan diliatin mulu, Kak. Nanti aku luntur lho... Hihihi." canda Andien.

Dirga ikut tersenyum menatapnya.

Susah payah. Susah payah Dirga menahan diri. Jika saat ini ditanya, pria itu ingin sekali memeluk Andien, mengusap puncak kepalanya, bahkan mengecup bibir merah jambu yang sedari tadi digigiti perempuan di sampingnya itu. Pria itu benar–benar berharap bisa tetap menjaga kewarasannya agar malam ini tidak berakhir dengan adegan tamparan di pipi dan menghilangnya Andien kembali.

'Ya kali gue malah bikin masalah!'

"Suka ngopi Ndien?"

"Banget Kak, tapi ga ada booth kopi tuh di sini." ia memanyunkan bibirnya lagi.

'Imut banget sih!'

Dirga membuka sling bag-nya, mengambil tumbler kecil di sana dan menyodorkannya ke cinta pertamanya itu.

"Aku biasa bikin kopi sendiri dan bawa kemana-mana. Cobain Ndien."

"Ah gak usah Kak" Andien mencoba menolak.

"Tenang, belum aku sentuh sama sekali isinya. Sangat higienis tanpa kontaminasi kalau kamu takut minum setumbler dengan aku" jelas Dirga sambil terkekeh.

"Bukan gitu Kak..." Andien memajukan bibirnya, memberengut, pun mencebik.

'Ya Tuhan! Jangan salahkan gue aja kalau sampe kelepasan

nyium dia.'

'Bener-bener sarap lo Ga!' rutuk Dirga pada dirinya sendiri.

"Ayolah. Ambil Ndien. Sepertinya kamu butuh mood

booster." Dirga menyodorkan tangannya lagi. "Tanganku pegal lho Ndien."

Andien terkekeh mendengar nada manja di suara Dirga. Mendapati ketulusan pria itu, ia akhirnya mengulurkan tangannya meraih tumbler dari tangan Dirga.

"Thank you, Kak. Jangan sedih kalau kuhabiskan ya."

"Dengan senang hati."

Andien membuka tutup tumbler itu, menghirup aroma cairan di dalamnya, ia tersenyum kemudian menyesapnya.

"Salted

Caramel, hah? Enak banget Kak!" Andien menatap Dirga sambil tersenyum.

'Ya Tuhan semoga malam ini tidak cepat berakhir.'

"Biasanya cowo bukannya suka kopi hitam ya?" tanya Andien memecah adegan saling tatap dalam diam di antara mereka berdua.

"Feeling aja tadi sore kepingin bikin salted caramel sauce. Ternyata ketemu kamu di sini. Kamu suka?"

"Yakin 'ternyata'? Bukannya udah duga bakalan ketemu aku di sini?"

Dirga yang mendengar pernyataan Andien ternganga yang justru membuat Andien terkekeh melihat ekspresi lucu itu.

"Eh... Umm... Itu...."

Pria itu spontan salah tingkah. Respon yang selalu terjadi saat ia kebingungan pun dilakukannya, menggaruk kepala yang tak gatal dan mengusap-usap tengkuknya. Lagi-lagi Andien terkekeh geli.

"Suka..." Andien menatap Dirga lagi, tersenyum lagi.

'Kenapa gue dengernya ambigu gitu ya?'

"My favorite one. Yang paling kusuka malah."

Dirga merasakan detak jantungnya yang semakin tidak normal, bertalu–talu semakin cepat.

'Ini gue yang kegeeran atau emang kata-katanya ga merujuk ke kopi sih?'

Andien menatap ganjil pada Dirga, keningnya ikut mengerut.

"Kak Dirga kenapa? Sakit?"

'Iya, duh jantung gue! Pikiran gue juga kenapa jadi ga waras gini? Ya ampun Andien, kamu apain aku sih?' batin Dirga.

Andien mengambil tissue dari dalam tasnya, mengusap lembut di kening Dirga. Pria itu spontan membeku. Wajahnya semakin memerah. Untung saja pencahayaan di tempat mereka tidak bisa dikatakan terang — temaram, jadi bisa dipastikan jika Andien tak dapat melihat perubahan warna pada wajah pria itu. Tetapi jangan lupa, Andien kerap memperhatikan perubahan di garis-garis wajah Dirga. Sadar seperti ada yang tidak beres, spontan Andien meletakkan punggung tangannya di kening Dirga. Dirga semakin membatu.

"Gak demam sih. Sebentar ya Kak, aku panggilin siapa tadi yang sama Kak Dirga? Kak Dirga kaya gak sehat gini." kata Andien seraya berdiri.

Dirga meraih lengan Andien, "Ga usah, Ndien. Aku ga apa-apa. Just stay with me... Please?"

"Atau aku panggilin Ian?"

"Ya Allah dia lagi! Ga usah Ndien, beneran I'm ok."

Andien terkekeh lalu duduk kembali.

"Beneran ga apa-apa?"

Ada sirat kekhawatiran di mata dan nada suara perempuan itu.

'Kok gue bahagia banget ya liat sikap dia begini?'

"Iya ga apa-apa. Gerah aja. Kamu nanya sekali lagi dapet hadiah piring cantik."

Andien tertawa renyah. Dirga pun ikut tersenyum.

Dirga melonggarkan dasinya, dan membuka kancing atas kemejanya. Menyingkap jua kancing di pergelangan tangannya dan melipat kedua lengan baju itu sampai ke siku.

Dirga tau Andien memperhatikan gerak-geriknya. Ia lantas kembali menatap Andien lekat. Andien refleks menunduk, meraih kembali tumbler kopi yang tadi ia letakkan di antara mereka berdua, menyesap cairan itu lagi.

"Andien... Aku rindu..."

'Ya Tuhan, itu suara gue kan? Si bego! Kenapa bisa tiba-tiba gue ngomong begitu?'

Andien menoleh ke arah Dirga, bingung. Di logikanya, skenario apapun benar-benar tidak bisa memberi penjelasan mengapa Dirga bisa rindu pada dirinya.

"Maaf Ndien... Aku gak bermaksud —"

"Kak... Biasanya rindu itu untuk orang yang tersimpan khusus di hati kita, kan?"

'Basah ajalah Ga sekalian! Nanggung amat lo! Tunjukin sekalian perasaan cinta lo ke dia. Pake

uang dan koneksi lo nanti kalau–kalau dia kabur atau menghilang lagi' batin Dirga pada dirinya sendiri.

"You are!" ucap Dirga pelan, tetapi pasti terdengar di telinga Andien.

Andien menoleh kembali menatap Dirga lekat.

"Apa Kak?"

"Kamu... Special untukku."

Demi Tuhan, kali ini Dirga sangat bersyukur Tuhan menganugerahi laki-laki dengan hormon testosteron yang berlebih, sehingga wajahnya akan tetap kaku walaupun di dalam dada seperti menunggu meledak.

Andien mengerutkan keningnya kembali.

"Seriously?" tanya Andien acuh.

"Sebagai informasi tambahan, aku adalah pengagum rahasia kamu!" ucap Dirga lagi.

'Kalau sampe malam ini kacau, beneran gue jahit ini mulut!'

"Hahaha!" Andien terbahak. Entah apa yang membuatnya tertawa selepas itu.

"Kok ketawa?"

"Hmmm, I like your jokes. Kupikir tempo hari Ian cuma bercanda ngisengin aku."

"Thats not a jokes, Ndien! Dan kamu pikir chat yang kamu baca itu karangan Ian? Kalau kamu ingat apa yang aku bilang ke Ian, harusnya kamu ga anggap ucapanku barusan hanya candaan."

"You are like an actor! Meyakinkan banget lho barusan. Aku sampe takjub. Dilihat dari manapun, ucapan Kak Dirga ga masuk akal."

Dirga berusaha tak menanggapi kalimat terakhir Andien yang baru saja dituturkannya.

"I'm an architect, not an actor, by the way".

"Oh ya??? Wah keren!"

"Apanya yang keren?"

"Arsitek".

"Dari mana kerennya?"

"Jangan ngerusak mood aku deh. Pokoknya keren!" jawab Andien.

Dirga tertawa renyah.

"Iya deh. Aku seneng kok dianggap keren sama kamu."

"Bukan kamunya yang keren. Profesi arsitek yang menurutku keren!" sanggah Andien.

"Jangan ngerusak mood aku deh. Pokoknya aku senang dianggap keren!" jawab Dirga menyalin sebagian kata-kata Andien.

Andien menatap Dirga, pun sama seperti Dirga yang tak kunjung melepas pandangannya pada Andien, dan akhirnya mereka berdua tertawa. Entah bagaimana, pembicaraan yang tadinya sempat membuat suasana sedikit lebih panas, kini menjadi sejuk kembali.

'Cantik banget!'

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status