Share

1: REUNI

Perempuan itu sedang menatap sepasang mempelai di atas singgasananya. Ingatannya berkelana ke masa dua belas tahun yang lalu, saat moment bahagia yang sama sempat ia rasakan.

Sudah dua tahun, pria yang disebut suaminya itu pergi meninggalkannya. Seketika. Begitu saja. Jangankan ciuman perpisahan, bahkan pesan terakhirnya pun tak ada. Hanya desahan pelan yang sempat tersebut pria itu sebelum ketidaksadaran menguasainya, dan akhirnya tak mengembalikannya beberapa saat kemudian.

Siapa yang tidak hancur ditempa ujian berat seperti itu? Bahkan beberapa jam sebelum kejadian naas itu terjadi, sepasang kekasih itu masih sempat saling bersenda gurau.

"Mamaaa!"

Lamunannya pecah saat mendengar teriakan bocah kecil berumur dua tahun yang berlari ke arahnya. Segera ia menyeka aliran bulir bening yang tadi sempat membasahi kedua pipinya.

KEINARA ANDIENI TACHSIN, perempuan tiga puluh lima tahun itu, yang kini statusnya menjadi single

parent dengan tiga orang anak — berlutut sambil merentangkan lebar kedua tangannya menyambut putri kecilnya yang berlari ke pelukannya.

"Sayangnya Mama dari mana ya?"

"Mau es klim Mama"

"Kan Mama lagi nanya... Bi Sanah mana? Kenapa Cantika lari-lari sendiri?"

"Mau es klim!" ujar bocah kecil itu ketus tak mengindahkan nada gusar dalam ucapan Andien.

Sambil memeluk anak bungsunya Andien melihat seorang perempuan menjelang paruh baya berlari tergopoh-gopoh dengan wajah panik menuju dirinya.

"Ya Allah neng, Bibi udah mau pingsan ketakutan nyariin neng Cantik!" ujarnya panik.

Andien tersenyum, lalu mengelus lengan Sanah — wanita yang sudah membantunya merawat anak-anaknya selama delapan tahun terakhir.

"Maaf Bu, tadi neng Cantika tiba-tiba lari pas saya mau bikinin susu." ujar Sanah.

"Ga apa, Cantika sama saya dulu, Bibi makan dulu gih." jawab Andien.

"Baik Bu... Sekali lagi maaf ya Bu" ucap Sanah sambil mengelus lembut kepala Cantika seraya pergi menuju antrian menu utama acara malam itu.

Saat ini, mereka sedang berbaur di acara pernikahan keponakan dari Andien. Pernikahan anak sulung dari sepupunya — Adrian.

"Duh, Cantika bikin Mama kaget ya lari-lari sendiri. Mau Uncle gendong?" ucap Adrian si pemilik acara yang ternyata sudah menunduk di samping Andien dan Cantika yang masih saling memeluk.

Cantika menggeleng disambut cemberutan dari Adrian seraya mengusap pipi mungil Cantika.

"Abang kok di sini, bukannya di pelaminan nemenin mempelai?"

Adrian mencengkram kedua lengan Andien, membantu Andien yang kesusahan berdiri karena menggendong puteri kecilnya.

"Cape! Itu udah digantiin dulu sama Andra. Biarin dia nemenin mamanya dulu di situ. Abang mau nyapa teman-teman dulu."

Adrian adalah seorang Dokter Spesialis Ortopedi, jadi tidak heran jika acara malam ini mungkin didominasi mereka-mereka yang berprofesi kurang lebih sama dengannya. Apalagi ditambah sang mempelai perempuan — yang adalah putri pertama dari Adrian — juga memiliki profesi sebagai dokter internship di salah satu Rumah Sakit.

"I see."

"Gih sana, Cantika minta es krim kan? Diajak sama aku ga mau dia."

Adrian memasang wajah sedih menggoda gadis kecil itu, yang malah membuat Cantika dan Andien terkekeh.

Andien berbalik, hendak melangkah menuju booth es krim yang ada di belakangnya. Di saat yang sama, netranya bersirobok dengan netra seorang pria yang terpana memandangnya. Andien terlihat sungguh mempesona malam ini.

Andien memang cantik walaupun bukan selevel model-model sampul majalah dengan tinggi semampai. Ia, petite, yang justru membuatnya terlihat cantik dan mungil. Malam ini Andien mengenakan dress sabrina yang panjangnya tepat selutut dengan aksen lace dari pinggang ke bawah. Ia membawa clutch pesta yang dia silangkan di dadanya, juga sneakers putih yang ia pilih untuk menutup kakinya berhubung akan kelam-kabut jika memakai heels dengan resiko harus mengejar-ngejar Cantika sepanjang acara.

"Dokter Alex?" Sapa Andien.

Andien tak pernah menyangka akan bertemu dengan Dokter Spesialis Kandungan yang membantu kelahiran Cantika dua tahun silam.

"Ya?" ujar Alex ragu.

'Itu bener dia kan?' batin Alex.

"Iya deh tau. Pasti Dokter ga ingat sama saya." jawab Andien sambil tersenyum.

Alex terdiam, berusaha memastikan lembar demi lembar ingatan di kepalanya.

"Kata siapa? Saya ingat. Baru-baru ini Ibu ke poli kan ya?"

"Iya, kontrol IUD Dok"

"Ya! Ibu Keinara!" tentu saja Alex mengingatnya.

Andien adalah salah satu pasien favoritnya. Karena pembawaan Andien yang supel dan jenaka, cocok dengan karakter Alex yang hobi berkelakar dengan para pasiennya. Tetapi bukan itu saja, paras Andien yang menurutnya tidak membosankan, kritis, dan karakternya yang gigih membuat Alex diam-diam mengagumi perempuan cantik itu.

'Tipe gue banget!'

"Ternyata ingat. Kan saya malu Dok udah nyapa yang di sapa ga ngenalin saya. By the way, ga usah pakai Ibu, Dok. Berasa tua banget saya!" ujar Andien yang dijawab dengan tawa renyah dari Alex.

Belum sempat Alex menjawab gurauan Andien, mereka tercengang dengan celetukan Cantika — yang masih berada dalam gendongan Andien — pada Alex.

"Papa? Papa pulang?"

Jantung Andien seperti berhenti saat mendengar pertanyaan putri kecilnya, Alex pun terbelalak, kesiap dengan mulut yang menganga, mendengar pertanyaan yang sama dengan yang Andien dengar.

"Ya Allah, bukan sayang. Ini Om Dokter yang dulu bantu Mama lahirin Cantika. Papa kan sudah di surga, nak..." ujar Andien lembut.

Andien sangat paham jika penjelasannya belum bisa dimengerti puteri kecilnya itu. Hanya auto response karena kepanikannya. Dan jawaban panik itu sontak membuat mata Alex semakin terbelalak, pun di saat yang sama ia merasa seperti ada yang meremas jantungnya. Pilu.

"Maaf ya Dok." ucap Andien pada Alex.

Alex bisa mendengar nada sendu di suara Andien. Ia mencoba menetralkan wajahnya. Berusaha tersenyum. Walau senyum itu tetap terlihat getir.

"Wah, Cantika sekarang cantik sekali." ucap Alex kagum seraya menunduk agar bisa bersitatap dengan manik mata gadis kecil itu.

"Boleh Om salam Cantika?" tanya Alex sambil mengulurkan tangannya ke gadis mungil yang wajah cantiknya bisa menghipnotis siapapun yang menatapnya.

Tangan kecil Cantika menyambut uluran tangan Alex. Ketika ingin mencium tangannya, pria itu malah menarik lembut tangan mungil Cantika dan mengecupnya singkat seraya tersenyum. Andien yang melihat adegan haru tersebut dari jarak yang sangat dekat spontan ikut tersenyum.

"Andien." sapa lembut seorang pria yang entah sejak kapan berdiri di samping Alex.

"Ya?"

Pria itu bergeming, terpana melihat Andien dengan tatapan yang sulit diartikan. Entah mengapa Andien merasakan perasaan yang aneh di hatinya, seperti ada perasaan pilu sekaligus nyaman saat melihat pria yang tidak dikenalinya itu. Jantungnya pun berdetak lebih cepat.

"Papa?"

Andien kembali terhenyak mendengar suara putri kecilnya. Tangan mungil itu menggapai-gapai ke arah pria asing itu.

Anehnya, pria itu tersenyum, sama sekali tak terganggu dengan sapaan yang Cantika lontarkan.

"Hai cantik." sapanya kembali.

"Maafkan puteri saya, dia —"

"It's ok!" potong pria itu seraya menyambut tangan kecil Cantika. Ia lalu melirik pada Andien "Apa kabar?" tanyanya. Ramah.

"Hmm, as you can see, baik inshaaAllah!"

Pria itu mengangguk.

"Maaf, Anda? Apa kita pernah saling mengenal?"

Pria itu terdiam, berusaha mencari jawaban yang tepat.

'Gimana caranya ya biar dia inget gue? Jangan-jangan dia emang gak pernah ngenalin gue.'

Masih menunggu jawaban, dari balik punggungnya seorang wanita datang mendekat, lalu menggandeng siku pria itu.

"Hai Bang... Kok lo di sini?" Sapa perempuan itu seraya mengulurkan tangannya pada Adrian "Selamat ya udah ngunduh mantu".

"Thanks, Nis. Ari mana?" tanya Adrian.

"Ada tindakan cito tadi, jadi ga bisa datang. Maaf ya." jawab perempuan itu.

"It's ok."

Perempuan itu mengalihkan pandangannya pada Cantika yang malah asik mengacak-acak es krim - yang tadi akhirnya diambilkan oleh Andrian - di genggaman salah satu tangan Andien.

"Jadi, kenapa lo di sini, Bang? Bukannya di pelaminan." ucapnya seraya mengusap lembut kepala Cantika, Andien tersenyum ramah pada perempuan itu.

"Cape neng!"

Wanita itu membalas senyum Andien. Memandang Andien lekat, merasa penasaran karena pria di sampingnya begitu terpana pada perempuan di hadapannya. Ia lalu melirik Andrian seolah mengirim kode ingin tau siapa gerangan Andien.

"Andien, adik sepupu gue. Single mother with three georgeous kids. Dan ini yang masih baby." ucap Andrian sambil mengecup kepala Cantika.

"Oh ya? Banyak yang single lho di sini." canda Nisa.

Andien terkekeh.

"Ngomong apaan sih!" ketus pria yang digandeng Nisa.

Nisa mengatupkan bibirnya, menatap heran pada pria itu. Andien, Adrian dan Alex pun ikut menatapnya ganjil.

Lagi-lagi Cantika melakukan aksinya. Bocah kecil itu mengulurkan tangannya yang menggenggam sendok kayu ke arah pria yang sedari tadi tak beranjak di hadapannya.

"Papaaa... aaa!"

Tanpa diduga pria itu menggenggam pergelangan tangan mungil Cantika dan mengarahkan suapan ke mulutnya.

"Hmm, enaaak! Terima kasih sayang!" ucapnya sumringah sambil mengusap kepala Cantika. Bayi itu pun tak kalah berseri-seri.

Semua yang berdiri di titik itu terdiam memandang keduanya, terutama Andien yang bahkan tak sadar sampai menggulirkan buliran bening dari kedua matanya dalam diam. Saat yang sama, Sanah kembali mendekati Andien setelah selesai dengan makan malamnya.

"Neng cantik sama Bibi ya. Kita ganti baju, lalu bobo. Oke?"

"Oke!"

Cantika menyambut uluran tangan Sanah dan membiarkan perempuan itu menggendongnya. Sanah sudah melihat kejadian tadi saat berjalan ke arah mereka, dan tentu saja ia bisa membayangkan betapa terenyuhnya hati majikan cantiknya itu melihat tingkah bayinya. Bayinya yang hanya sebentar merasakan hangatnya sang Ayah. Bayinya yang sebenarnya rindu pada sang Ayah. Rindu yang bahkan sang anak belum mengerti maknanya dan belum bisa menyuarakannya.

Sanah membawa Cantika pergi berjalan melewati Andien seraya mengusap lengan Andien dan menatapnya untuk menguatkan hati majikannya. Andien menjawab dengan anggukan lemah.

"Maaf, anak saya lagi dalam fase manggil bapak-bapak dengan sebutan papa, duh saya jadi malu!" ucap Andien lesu pada pria itu. Pria itu hanya tersenyum kaku, paham bahwa kejadian tadi membuka kembali luka Andien.

Tak ingin terlalu lama ditatap pria yang membuatnya tak enak hati, Andien memilih undur diri dari kerumunan itu.

"Saya permisi dulu, sudah mulai ada yang demo di perut." ucap Andien disambut senyuman dari mereka yang ada di sekitarnya.

Adrian meraih lengan Andien, menahannya sesaat.

"Are you ok?"

"I'm ok, Bang! Don't worry." jawab Andien sambil tersenyum.

"Makan di VIP aja ya?"

"Ga usah Bang, sekalian muter-muter kayanya seru."

Andien pun mulai melangkahkan kakinya meninggalkan kerumunan itu.

"Kei..." Alex memanggilnya sebelum Andien melangkah jauh.

"Ya Dok?"

"Just Alex, please... Aku temenin makan boleh?"

"I'm sorry. Aku butuh waktu untuk sendiri." jujur Andien seraya melirik ke pria yang bahkan belum ia tau namanya tadi. Malu, sedih, getir semua rasa itu seketika menyerang relung emosinya.

Andien memang bukan tipe wanita yang suka berbasa-basi. Ditambah jantungnya yang masih berpacu terlalu cepat akibat ocehan Cantika dan ingatan pada almarhum suaminya yang tiba-tiba muncul tak terbendung, tentu saja ia sangat membutuhkan waktu untuk sendiri.

"It's ok. May I have your

number? Atau aku bisa cari dari Medical Record kamu?" tanya Alex sambil terseyum jahil.

Andien tersenyum, mengeluarkan secarik kartu dari tas kecilnya, "Ini Bang!" ucapnya sambil menyerahkan kartu nama itu ke Alex.

"Bang?"

"Hmm... Sayangnya kita masih di Indonesia. Yang agak sensitif dengan embel-embel panggilan bahkan gelar. Dan juga mengingat tuaan Abang dari aku." jelas Andien sambil memiringkan kepalanya.

"Kok kamu tau tuaan aku? Keliatan banget ya aku menua?"

Andien terkekeh, lalu menggeleng pelan.

"Saya pasien Abang kalau Abang lupa. Dan saya punya kasus yang lumayan horor bagi perempuan. Jadi sepertinya wajar kalau saat saya memutuskan konsul ke Abang saya mencari tau beberapa hal tentang Abang".

Andien tak sadar menunjukan ketidaknyamanannya dengan menyapu pandangannya kesana kemari. Alex yang menyadari hal itu pun mencoba memahami Andien. Ditambah tatapan pria asing yang sedari tadi seperti terpaku menatap Andien, ikut membuat dokter kandungan itu merasa tak nyaman.

"Well, it's really really really nice to talk with you. Dan banyak yang masih pengen aku tau, tapi sepertinya ga tepat sekarang. Iya kan Kei?" sindir Alex pada pria asing itu.

"Sorry." lirih Andien.

"It's ok. Aku punya nomor kamu, kita bisa ketemuan di lain waktu."

"Next

timeSure!"

"OkEnjoy

your

dinner, Kei" ucap Alex seraya memberikan senyum terbaiknya.

"ThanksBang!"

Komen (2)
goodnovel comment avatar
carsun18106
andra anaknya bang adrian ini, andra nara bukan ya?
goodnovel comment avatar
Gemar Be
Kak... adrian ini bukan Dokter Adrian di Mas Ryu kan ya?
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status