Malam itu hujan mengguyur deras, seperti ikut menangis bersama luka yang makin dalam di hati Auryn. Di kamar kecil yang hanya diterangi lampu temaram, ia terduduk di lantai dengan tubuh menggigil. Bukan karena dingin semata, tapi karena kebenaran yang baru saja terungkap. Lucien—satu-satunya tempatnya berpulang—ternyata menyimpan rahasia besar.Pesan suara dari ponsel itu berulang kali diputar Auryn. Suara perempuan lain, menyebut nama Lucien dengan nada manja dan memohon agar dia tidak meninggalkan rumah mereka yang telah mereka bangun bersama. Suara tangis itu membuat Auryn merasa seolah seluruh dunia menjatuhkan beban di dadanya. 'Rumah mereka?' kalimat itu berputar-putar di kepala Auryn.Lucien tidak ada di apartemen saat itu. Entah ke mana dia pergi. Tapi yang jelas, Auryn tidak bisa tinggal diam. Dia butuh jawaban.Dengan langkah berat, Auryn keluar ke jalan. Hujan membasahi tubuhnya, tapi ia tak peduli. Ia mencari Lucien, mengunjungi semua tempat yang pernah mereka datangi bers
Malam itu, kota masih dibalut dingin yang menusuk tulang. Di balik jendela apartemen mewah yang lampunya sengaja diredupkan, Auryn berdiri memandangi kerlip lampu kota dengan mata kosong. Kepalanya dipenuhi suara-suara dari masa lalu, teriakan-teriakan yang terkubur di ingatan, dan wajah-wajah yang pernah menyakitinya. Semua itu kembali muncul saat dia tak sengaja menemukan foto lama di laci meja kerja Lucien.Foto itu... bukan sembarang foto. Itu adalah foto ibunya, jauh sebelum tragedi yang menimpa keluarganya. Tapi yang membuat Auryn terpaku bukan hanya wajah ibunya—melainkan sosok pria di sebelahnya. Pria itu bukan ayah kandungnya."Kenapa foto ini ada di sini?" gumamnya pelan.Tak butuh waktu lama bagi Auryn untuk menghubungi kontak yang tersimpan dalam ingatannya: Kairo. Seseorang dari masa lalu yang dulu sempat mengawasi keluarganya diam-diam. Seorang informan bayaran yang tahu lebih banyak dari yang seharusnya."Kita perlu bicara," ujar Auryn melalui sambungan telepon. Suarany
Lucien berdiri di ambang pintu rumah tua itu, tubuhnya kaku dan matanya menatap lurus ke dalam. Napasnya tertahan ketika suara-suara dari masa lalu seakan bergaung di setiap sudut ruangan. Tempat itu adalah kenangan, luka, dan rahasia. Auryn menyentuh lengannya pelan, menyadarkannya dari kekosongan sesaat yang menyergap."Kamu siap?" suara Auryn lembut, namun penuh ketegasan.Lucien mengangguk perlahan. "Kita harus tahu apa yang sebenarnya terjadi."Mereka melangkah masuk, dan lantai kayu berderit di bawah kaki mereka. Udara di dalam rumah begitu lembap dan bau debu menyengat. Di ruang tamu, masih tergantung sebuah lukisan keluarga tua yang retak bagian kacanya. Di bawah lukisan itu, sebuah piano tua tertutup kain lusuh. Lucien menyibak kain itu dan membuka tutup piano. Jemarinya menyentuh tuts piano, lalu memainkan satu nada lirih.Suara itu menggema, dan dari lantai atas terdengar suara langkah kaki. Spontan keduanya menegang."Itu bukan hantu, kan?" bisik Auryn, setengah bercanda n
Langit senja membalut kota dengan warna keemasan yang temaram. Auryn Vale duduk di sudut ruangan sebuah pesta eksklusif, memandangi para tamu yang berdansa di tengah aula megah. Gaun hitamnya membalut tubuhnya dengan sempurna, menambah aura dingin dan misterius yang selalu dia bawa. Tapi di balik tatapannya yang tajam, dia tahu satu hal—malam ini tidak akan berakhir biasa.“Kenapa kau hanya diam di sini?” suara rendah seorang pria membuatnya menoleh.Auryn tidak langsung menjawab. Dia tahu siapa yang berbicara padanya tanpa harus melihat. Lucien Morant. Nama yang belakangan ini sering terdengar di telinganya, dan bukan dalam konteks yang menyenangkan.Pria itu bersandar di tiang marmer dengan santai, mengenakan setelan hitam yang terlihat terlalu sempurna di tubuhnya. Mata abu-abu gelapnya mengamati Auryn dengan ekspresi yang sulit ditebak. Seolah dia sedang menilai sesuatu… atau mungkin seseorang.“Apa urusanmu?” tanya Auryn, suaranya tetap tenang meskipun dalam hatinya dia menyadari
Auryn menghela napas, tangannya mencengkeram erat surat dari Lucien. Kata-kata pria itu terasa seperti belenggu yang melilitnya perlahan.Jangan buat aku menunggu terlalu lama.Dia memejamkan mata, mencoba menenangkan detak jantungnya yang berdegup lebih cepat dari biasanya. Seharusnya dia tidak terkejut. Lucien bukan tipe pria yang sekadar berbicara tanpa maksud. Jika dia menginginkan sesuatu, dia akan mendapatkannya, dan kini Auryn adalah targetnya.“Jangan panik,” gumamnya pada diri sendiri.Dia melipat surat itu dan menyimpannya di laci meja, tepat sebelum sekretarisnya masuk kembali.“Nona Vale, ada tamu yang ingin bertemu dengan Anda.”Auryn mengangkat wajahnya. “Siapa?”Sekretarisnya tampak sedikit ragu. “Dia tidak menyebutkan nama. Tapi dia mengatakan ini penting.”Auryn mengerutkan kening. Setelah pertemuannya dengan Lucien tadi malam, dia merasa waspada terhadap siapa pun yang datang tanpa pemberitahuan.“Suruh dia masuk.”Pintu terbuka, dan seseorang yang tidak ia duga berd
Auryn pikir, setelah malam itu, Lucien akan berhenti mengejarnya. Tapi pria itu bukan tipe yang mundur begitu saja.Keesokan harinya, saat dia tiba di kantornya, semua mata langsung tertuju padanya.Auryn mengerutkan kening. “Ada apa?”Rekan-rekannya berbisik-bisik, beberapa mencuri pandang ke arahnya.Begitu dia sampai di mejanya, matanya langsung membelalak.Di sana, tergeletak sebuah buket mawar merah gelap—begitu indah, begitu mewah, dengan aroma yang langsung menguasai ruangannya.Tapi itu bukan hal yang membuatnya tercengang.Di samping bunga itu, ada sebuah kotak kecil berwarna hitam dengan pita emas.Auryn mengambil kartu kecil yang terselip di antara kelopak mawar.Aku tidak pernah main-main dengan sesuatu yang kuinginkan. – LDarahnya berdesir.Tanpa sadar, jemarinya bergerak membuka kotak itu.Begitu melihat isinya, napasnya tertahan.Sebuah kalung emas putih dengan liontin kecil berbentuk kunci. Elegan. Mewah. Dan jelas bukan sesuatu yang murah.Auryn menggigit bibirnya.L
Malam itu, Auryn duduk di depan laptopnya dengan segelas anggur merah di tangan. Layar di depannya menampilkan serangkaian dokumen yang ia coba pahami, tapi pikirannya terus kembali ke satu hal.Lucien Morant.Pria itu terlalu tenang, terlalu percaya diri, seolah tahu bahwa pada akhirnya Auryn akan luluh.Dan yang lebih menyebalkan lagi?Bagian kecil dalam dirinya mulai mempertimbangkan tawaran itu.Bekerja untuk Lucien Morant.Sial.Dia meneguk anggurnya, menekan pelipisnya dengan jemarinya yang ramping.Dia tahu bahwa keputusan ini bukan sekadar soal pekerjaan. Jika dia menerima tawaran itu, maka dia juga masuk dalam permainan Lucien.Dan Lucien bukan tipe pria yang bermain tanpa memastikan dirinya menang.Aku harus mengalahkannya di permainannya sendiri.Auryn menarik napas panjang, lalu mengambil ponselnya. Jemarinya melayang di atas layar sebelum akhirnya mengetik pesan.Auryn: Kita perlu bicara.Dia menekan tombol kirim, lalu menunggu.Tak butuh waktu lama sebelum ponselnya berg
Setelah malam yang panjang, Auryn menyadari satu hal—ia telah melangkah ke dalam permainan Lucien, dan pria itu tidak akan membiarkannya keluar dengan mudah.Mobil mereka melaju pelan di jalanan kota yang sepi. Lampu-lampu neon berpendar di luar jendela, menciptakan bayangan samar di wajah Lucien yang sedang mengamati Auryn."Apa yang kau pikirkan?" tanyanya tiba-tiba.Auryn menoleh, menyandarkan tubuhnya ke jok mobil dengan santai. "Aku hanya bertanya-tanya… apa kau selalu membawa wanita ke tempat seperti itu?"Lucien tersenyum kecil, tapi ada sesuatu di matanya yang tidak sepenuhnya hangat. "Tidak. Kau satu-satunya."Auryn menahan tawanya. "Kedengarannya seperti gombalan murahan.""Tidak juga. Aku tidak pernah membawa seseorang ke dalam duniaku jika aku tidak yakin mereka bisa bertahan."Auryn diam. Itu bukan sekadar ucapan biasa. Ada makna yang lebih dalam di balik kata-kata Lucien."Dan menurutmu aku bisa bertahan?" tantangnya.Lucien memiringkan kepala, menatapnya seolah sedang m
Lucien berdiri di ambang pintu rumah tua itu, tubuhnya kaku dan matanya menatap lurus ke dalam. Napasnya tertahan ketika suara-suara dari masa lalu seakan bergaung di setiap sudut ruangan. Tempat itu adalah kenangan, luka, dan rahasia. Auryn menyentuh lengannya pelan, menyadarkannya dari kekosongan sesaat yang menyergap."Kamu siap?" suara Auryn lembut, namun penuh ketegasan.Lucien mengangguk perlahan. "Kita harus tahu apa yang sebenarnya terjadi."Mereka melangkah masuk, dan lantai kayu berderit di bawah kaki mereka. Udara di dalam rumah begitu lembap dan bau debu menyengat. Di ruang tamu, masih tergantung sebuah lukisan keluarga tua yang retak bagian kacanya. Di bawah lukisan itu, sebuah piano tua tertutup kain lusuh. Lucien menyibak kain itu dan membuka tutup piano. Jemarinya menyentuh tuts piano, lalu memainkan satu nada lirih.Suara itu menggema, dan dari lantai atas terdengar suara langkah kaki. Spontan keduanya menegang."Itu bukan hantu, kan?" bisik Auryn, setengah bercanda n
Malam itu, kota masih dibalut dingin yang menusuk tulang. Di balik jendela apartemen mewah yang lampunya sengaja diredupkan, Auryn berdiri memandangi kerlip lampu kota dengan mata kosong. Kepalanya dipenuhi suara-suara dari masa lalu, teriakan-teriakan yang terkubur di ingatan, dan wajah-wajah yang pernah menyakitinya. Semua itu kembali muncul saat dia tak sengaja menemukan foto lama di laci meja kerja Lucien.Foto itu... bukan sembarang foto. Itu adalah foto ibunya, jauh sebelum tragedi yang menimpa keluarganya. Tapi yang membuat Auryn terpaku bukan hanya wajah ibunya—melainkan sosok pria di sebelahnya. Pria itu bukan ayah kandungnya."Kenapa foto ini ada di sini?" gumamnya pelan.Tak butuh waktu lama bagi Auryn untuk menghubungi kontak yang tersimpan dalam ingatannya: Kairo. Seseorang dari masa lalu yang dulu sempat mengawasi keluarganya diam-diam. Seorang informan bayaran yang tahu lebih banyak dari yang seharusnya."Kita perlu bicara," ujar Auryn melalui sambungan telepon. Suarany
Malam itu hujan mengguyur deras, seperti ikut menangis bersama luka yang makin dalam di hati Auryn. Di kamar kecil yang hanya diterangi lampu temaram, ia terduduk di lantai dengan tubuh menggigil. Bukan karena dingin semata, tapi karena kebenaran yang baru saja terungkap. Lucien—satu-satunya tempatnya berpulang—ternyata menyimpan rahasia besar.Pesan suara dari ponsel itu berulang kali diputar Auryn. Suara perempuan lain, menyebut nama Lucien dengan nada manja dan memohon agar dia tidak meninggalkan rumah mereka yang telah mereka bangun bersama. Suara tangis itu membuat Auryn merasa seolah seluruh dunia menjatuhkan beban di dadanya. 'Rumah mereka?' kalimat itu berputar-putar di kepala Auryn.Lucien tidak ada di apartemen saat itu. Entah ke mana dia pergi. Tapi yang jelas, Auryn tidak bisa tinggal diam. Dia butuh jawaban.Dengan langkah berat, Auryn keluar ke jalan. Hujan membasahi tubuhnya, tapi ia tak peduli. Ia mencari Lucien, mengunjungi semua tempat yang pernah mereka datangi bers
Malam itu, hutan di sekitar rumah tua terasa lebih dingin dari biasanya. Angin berbisik di antara ranting, membawa aroma tanah basah dan bahaya yang mengintai. Auryn berjongkok di sudut gelap, matanya tajam mengawasi pintu depan. Tangan kanannya memegang pistol dengan erat, sementara tangan kirinya terus menggenggam liontin kecil yang selalu dia pakai—sebuah pengingat kecil tentang alasan kenapa dia harus bertahan. Lucien tak jauh darinya, berdiri di belakang tembok retak dengan senjata siap tembak. Napas mereka tenang, penuh konsentrasi. Mereka sudah menyiapkan segala kemungkinan. Semuanya. Tiba-tiba, ada suara derit pelan dari jendela samping. Auryn menahan napas. Dia menoleh sekilas ke arah Lucien, yang mengangguk kecil sebagai sinyal: musuh sudah datang. Langkah kaki mendekat. Perlahan. Hati Auryn berdebar kencang, bukan karena takut—tapi karena adrenalin. Ini saatnya. Ini akhir dari semua pengejaran dan ketakutan itu. Bayangan hitam muncul di jendela. Sesosok pria bertop
Auryn terjaga dengan nafas terengah-engah. Tubuhnya berkeringat dingin meski AC di kamar hotel mewah itu menyala penuh. Dalam mimpi barusan, dia kembali melihat sosok itu—sosok dari masa lalu yang seharusnya sudah hancur bersama waktu. Tapi tidak. Kenyataannya, bayangan itu hidup, bernapas, dan kini mengejarnya tanpa ampun.Lucien yang tidur di sofa segera bangkit begitu mendengar suara resah Auryn. Dia langsung menghampiri, duduk di tepi ranjang, wajahnya cemas."Auryn... mimpi buruk lagi?" bisiknya, jemarinya menyentuh lembut pipi Auryn.Auryn mengangguk lemah. Dia menatap Lucien seolah mencari sandaran, dan tanpa banyak bicara, Lucien langsung menariknya ke dalam pelukan hangatnya."Aku di sini, nggak akan kemana-mana," gumamnya, mengecup puncak kepala Auryn.Sekuat apa pun Auryn mencoba tampak kuat, malam-malam seperti ini mengingatkannya bahwa dia tetap manusia biasa. Bahwa ada luka yang bahkan waktu pun tak sanggup sembuhkan."Aku benci ini," lirih Auryn, suaranya nyaris tenggel
Ketika malam mulai turun, hujan mengguyur pelataran apartemen tempat Auryn tinggal. Rintik-rintiknya seperti melodi pahit yang berbisik pada jendela, menciptakan suasana muram yang kontras dengan kecemasan yang membakar di dalam dadanya. Ia duduk di dekat jendela, memeluk lututnya sambil menatap kilat yang sesekali menyambar langit gelap. Kata-kata terakhir Lucien terus terngiang—tentang perlindungan, tentang bahaya yang akan datang, dan tentang seseorang dari masa lalu yang kembali mengintai mereka.Ponselnya berdering.“Hallo?”“Ry, ini aku, Rara.”Suara sahabatnya terdengar tergesa-gesa, penuh napas tercekat. “Kamu harus keluar dari sana sekarang juga.”Auryn mengernyit. “Kenapa? Apa yang terjadi?”“Ada yang membuntuti kamu. Aku enggak tahu siapa, tapi sejak kamu meninggalkan cafe siang tadi, ada orang yang ngikutin kamu. Dia juga mampir ke tempat aku. Aku takut, Ry. Dia tanya-tanya tentang kamu.”Auryn langsung berdiri, mengambil tas kecil dan menyalakan semua lampu ruangan. Dadan
Malam itu, hujan turun deras membasahi kota. Suara rintik-rintik air yang menabrak jendela terdengar seperti denting waktu yang terus menyeret kenangan-kenangan lama ke permukaan. Auryn berdiri di balik tirai kamar, menatap kosong ke arah luar. Pikirannya kacau. Sejak kejadian di kantor kemarin, segalanya terasa makin runyam.Lucien tidak menghubunginya. Tidak sepatah kata pun. Padahal mereka baru saja saling membuka diri. Baru saja mencoba jujur tentang apa yang mereka rasakan.Auryn mengepalkan tangannya. "Kalau kamu cuma main-main, kenapa harus sejauh ini, Lucien?"Suara notifikasi ponsel memecah keheningan. Pesan masuk dari nomor tak dikenal."Kamu pikir Lucien benar-benar mencintaimu? Dia cuma menjalankan misi."Tubuh Auryn langsung tegang. Siapa ini? Jantungnya berdegup kencang. Ia balas pesan itu dengan tangan gemetar."Siapa kamu?"Tidak ada balasan.Ponselnya berdering. Masih dari nomor yang sama. Auryn menjawabnya dengan hati-hati.“Halo?”“Halo, Yura kecil…” suara berat dan
Di malam yang sama, auryn nggak bisa tidur. Dia duduk di depan jendela penginapan, menatap bintang-bintang yang seolah ikut mengamati segala kekacauan hidupnya. Lucien menghampiri, duduk di lantai, lalu menyandarkan kepala ke pahanya.“Lo tahu, Ry… lo boleh ngerasa lelah,” gumam lucien pelan. “Gue tahu semua ini berat banget buat lo.”Auryn mengusap rambutnya pelan. “Gue cuma… ngerasa kayak dunia lagi ngejatuhin semua beban ke pundak gue.”Lucien menggenggam jemarinya. “Lo kuat. Lo lebih kuat dari siapa pun yang pernah gue kenal. Tapi bahkan prajurit terkuat pun butuh istirahat, kan?”Auryn tersenyum kecil. “Gue bersyukur ada lo.”Lucien menatapnya. “Dan gue akan ada di sini, sampai dunia selesai, kalau lo izinin.”Untuk pertama kalinya setelah sekian lama, auryn menunduk dan mencium kening lucien dengan lembut. Satu isyarat, satu pengakuan, bahwa rasa itu tumbuh diam-diam, di antara luka, darah, dan rahasia masa lalu.Tapi mereka nggak sadar… malam itu, sebuah pesan terkirim ke email
Malam itu, setelah pulang dari rumah ibunya, Auryn duduk di sofa apartemennya, menatap selembar akta lahir itu tanpa berkedip. Lampu ruangan sengaja dibiarkan remang. Suasana redup seolah lebih cocok menggambarkan pikirannya yang remuk redam. Tangannya yang menggenggam surat itu perlahan bergetar. Bukan karena takut, tapi karena terlalu banyak rasa yang bercampur jadi satu dan membentuk badai dalam dadanya.Lucien hanya memperhatikan dari jauh. Dia ingin mendekat, tapi tahu kapan harus memberi ruang."Kenapa harus sekarang?" gumam Auryn pelan. "Kenapa saat semuanya baru mulai berjalan?"Lucien akhirnya duduk di sampingnya, memegang tangan Auryn dengan lembut. “Karena rahasia nggak pernah tidur, Ry. Dia cuma nunggu waktu buat muncul ke permukaan.”Auryn menghela napas panjang. “Gue nggak pernah minta dilahirkan, apalagi ditukar. Tapi semua orang seperti sepakat buat terus menyalahkan gue.”“Karena mereka takut sama lo.”Auryn menoleh, menatap mata Lucien yang begitu tenang, begitu yaki