Share

Bab 03. Menemukan Alat Pengaman

Plak! plak!

Dua kali Mas Azzam menampar wajahku. Selama ini, Mas Azzam jika marah hanya sekedar membentak. Tetapi, kali ini. Dia sudah berani main fisik. Oke, suamiku ini sudah menabuh gendrang perang.

"Maksud kamu apa? menemukan alat pengaman." Tanya Mas Azzam terlihat panik.

"Aku menemukan ko**om di saku celana kamu," dengan tegas aku menjawab.

Si gundik pun berlari keluar. Setelah aku berkata demikian. Sungguh, sepertinya banyak sekali rahasia yang Mas Azzam sembunyikan.

"Kayla ... puas kau?" teriak Mas Azzam murka. Aku hanya menyunggingkan senyuman penuh dengan kebencian seraya memegangi pipi yang terasa panas karena tamparan kuat Mas Azzam.

Aku melangkahkan kaki masuk kedalam kamar. Untuk melihat Daffa yang tadi sempat terlihat tidur di lantai karena kelehan bermain sendirian.

Cukup lama aku terdiam di kamar. Aku memandangi wajah tampan bocah itu. Wajah yang sangat mirip sekali dengan Mas Azzam.

Menjalani biduk rumah tangga dengan Mas Azzam rasanya banyak sekali cobaan. Ada rasa lelah dan ingin menyerah saja.

'Ayah, apa benar yang ayah katakan dulu, jika Mas Azzam hanyalah jodoh singgahan untukku?' Batinku bergumam.

Mengingat almarhum ayah pernah berkata. Aku harus sabar menjalani pernikahan dengan Mas Azzam karena ayah melihat gelagat Mas Azzam berbeda dari Mas Yusuf mantan kekasihku.

Saat aku masih terlena dalam lamunan. Sayup-sayup aku dengar suara isak tangis perempuan. Lekas aku keluar kamar setelah memastikan Daffa tidur dengan aman.

Sesampainya di luar rumah. Aku melihat pemandangan yang sangat-sangat, ah ... entah lah. Aku harus berkata apa? Hatiku merasa luluh lantah, hancur sehancur-hancurnya. Bagaikan kaca terjatuh pecah berkeping-keping.

Mataku sangat jelas melihat Mas Azzam tangah memeluk, mendekap wanita itu begitu erat. Dan ... mirisnya, ada ayah mertua pula dihadapan mereka.

Sumpah, aku bingung harus berbuat apa. Haruskah aku melabrak keduanya? Ataukah aku memaki keluarga suami yang aku curigai tahu semua rahasia yang di sembunyikan Mas Azzam selama ini.

Aku terus berdiri terpaku di tempat. Mataku terus mengawasi kedua insan yang bagaikan sedang dimabuk cinta. Seakan tak perduli banyak orang lewat menyaksikan percumbuan keduanya. Ayah mertua pun hanya diam membisu.

"Mas! Aku tak mau jadi yang kedua. Hiks .... " ucap wanita itu sangat jelas di pendengaranku.

"Tia! Tolong mengertilah! Mas harus mempertanggung jawabkan status Mas untuk anak dan istri pertama Mas," ujar Mas Azzam.

Aku terus menguping sembari memperhatikan keduanya tanpa tahu harus berbuat apa? Andai aku memilih pisah dengan Mas Azzam. Lalu, bagaimana kelanjutan hidupku juga Daffa. Aku ingin bekerja. Tetapi, dengan siapa anak itu tinggal? Berbagai macam pertimbangan terus aku pikirkan. Bukan kali ini saja Mas Azzam berkhianat.

Saat aku hamil Daffa di bulan ke enam. Aku memergoki Mas Azzam menggandeng wanita lain. Dan, ketika aku bertanya. Jawaban yang didapat hanyalah ketidak tahuan.

Namun kali ini, mungkin sudah saatnya Tuhan menggerakan hati aku untuk memikirkan langkah apa yang harus aku ambil. Hidup dengan keluarga toxic serasa hidup tak berpijak di bumi.

"Kay, kamu kenapa diam saja? Lawan mereka! Bila perlu, jambak rambut dan siksa saja pelakor gatal kaya gitu!" bisik tetangga yang tiba-tiba hadir di belakangku.

Aku pun tersenyum kecut meanggapinya. Merasa miris saja dengan nasibku sendiri. Bukan takut melakukan perlawanan, aku merasa percuma memperjuangkan lelaki yang sudah semakin banyak menyimpan rahasia dariku.

"Biarkan saja, Teh. Mungkin Mas Azzam mau cari yang lebih dari aku." Berpura-pura tegar meski faktanya hati serasa hancur lebur.

"Ya Allah, Kay. Kamu sabar banget jadi orang. Asal kamu tahu, sewaktu Azzam belum menikah dengan kamu, sudah banyak perempuan yang meminta pertanggung jawaban Azzam. Tapi, Azzam itu pandai bersilat lidah. Ia tak mengakui apa yang dia lakukan," tutur tetanggaku itu.

"Apa Teteh juga tahu waktu kami baru menikah dan aku mengajak Mas Azzam ke kampungku. Lalu, Ayah Dody bilang ada tamu mencari Mas Azzam?" selidikku ingin tahu.

"Ya, Kay. Teteh tahu itu. Ceweknya orang kampung sebelah. Sekarang udah lahiran dia. Anaknya cewek, udah besar. Beda berapa tahun lah sama Daffa," jawabnya lagi.

Hatiku mencleos mendengar itu. Rupanya Mas Azzam mafia kelamin. Miris sekali dengan nasibku yang mendapatkan jodoh lelaki petualang seks.

'Astaghfirullah Al'adziim,' ucapku dalam hati.

"Kay, Teteh pulang dulu ya. Kamu yang sabar. Ingat! Ada Daffa yang harus kamu pikirkan." Katanya lagi. Aku hanya mengangguk lemah.

Kembali aku fokus dengan dua manusia durjana yang semakin gila menunjukan kemesraan di depan umum. Ayah yang sedang membetulkan sepeda anak ke tiganya seolah tak perduli melihat apa yang dilakukan anak pertamanya.

"Kamu pulang dulu ya, Sayang! Maaf, Mas nggak bisa anterin. Mas ada janji sama teman Mas soal bisnis barunya Mas," kata Mas Azzam yang masih aku dengar.

"Apa kamu akan menceraikan istri pertamamu itu, Mas? Aku nggak mau kalau terus-terusan jadi yang kedua. Aku pengen kamu sama aku selamannya," kata Tia.

"Nanti Mas pikirkan lagi ya, Sayang. Sekarang kamu pulang dulu!" kata Mas Azzam lagi.

Bibirku tersenyum kecut mendengar pertanyaan maduku dan juga jawaban Mas Azzam. Dia yang hadir dalam rumah tanggaku. Dia pula yang menginginkan di posisi pertama. Sungguh, aku mungkin wanita terbodoh.

Tiga tahun menjalani rumah tangga dengan Mas Azzam. Bukan sebuah kebahagiaan yang aku dapatkan. Melainkan kepahitan yang tak berkesudahan. Mungkin, aku sendirilah yang harus menghentikan semua rasa sakit ini.

"Jangan pernah berharap aku akan melepaskanmu, Kayla!" ucap Mas Azzam tiba-tiba mengejutkan aku yang sudah melangkah pelan masuk ke dalam rumah.

Apa dia bilang?

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status