Share

BAB 02

     Setelah menempuh perjalanan kereta api selama 5 jam, ditambah naik taksi dua jam, Malika dan Darsih tiba di tempat yang dituju. Kampung halaman ayahnya. Pukul 10 pagi.

    Malika langsung ke rumah neneknya yang sekarang dihuni Bik Atmi, adik bungsu papanya. Tanpa mandi terlebih dahulu Malika langsung tidur hingga tengah hari. 

    “Nduk, bangun dulu. sudah jam dua siang. Kamu belum makan sama salat Dhuhur.”

    Dengan malas Malika membuka mata. Menyapukan sekeliling bangunan yang luas tanpa sekat. Rumah kuno terbuat dari kayu jati dengan lantai ubin.

    Semilir angin masuk dari jendela yang terbuka lebar di samping ranjang, Langsung menghadap kebun pisang dan persawahan. 

    “Nduk, kamu kenapa tho kayak gini modelnya?” Bik Atmi yang sejak tadi penasaran langsung bertanya begitu Malika membuka mata.

    Wajah lelah dan murung, baju yang dikenakan ala kadarnya, seperti daster rumahan, tapi sedikit lebih modis. Tangan dan kakinya memar-memar.

    Jilbab yang dikenakan tadi tak karuwan bentuknya. Rambut apalagi, bentuknya yang bergelombang begitu berantakan seperti sarang burung onta.

    “Nggak biasanya kayak ondel-ondel gini,” gumamnya lagi berusaha mencairkan suasana yang kaku. 

    “Salah Bulek. Kayak ogoh-ogoh. Tinggal diarak pas malem Nyepi nanti,” clemong Malika sambil menggoyang-goyangkan tangan dan kepalanya. Menirukan gerakan ogoh-ogoh. 

    "Bocah sinting!" Bik Atmi langsung tergelak, tidak lupa memukul bahu ponakannya gemas. Jarak usia keduanya hanya 8 tahun membuat hubungan mereka seperti kakak dan adik saja.

    Melihat Malika lebih banyak diam dan tercenung dengan tatapan kosong, Bik Atmi tidak tega bertanya macam-macam. Jelas ia sedang diterpa masalah yang cukup gawat.

    Bik Atmi beranjak ke dapur mengambil nasi dan sayuran, lantas ditaruh di depan keponakan yang amat disayanginya itu. 

Malika langsung melahap sayur nangka olahan Bik Atmi. Ditambah lauk tempe goreng dan pindang kecil kesukaannya.

    “Maaf Bulek, makanku banyak kali ini. Laper banget sih.”

    “Bulek malah senang. Ayo ambil lagi sayurnya. Kemarin sore itu,  tiba-tiba Bulek pingin masak sayur nangka banyak. Kayaknya ada filing mau kedatangan tamu. Eh, ternyata kamu yang datang…” 

    “Pas deh. Penggemar sayur nangka,” timpal Malika senang. “Kalo papa yang datang, mubazir dong sayurnya.”

    Bik Atmi tersenyum mengiyakan. Kembali ke dapur lagi untuk mengambil air minum buat Malika.

     Wanita paroh baya berambut agak kriwul seperti abangnya itu sudah menjanda 10 tahun. KDRT yang dialami dalam rumah tangganya membuat Bik Atmi trauma menikah lagi. Nasib pernikahannya hampir mirip dengan Darsih. 

    Lha memang, mantan suami Bik Atmi itu juga mantan suaminya Darsih. Belum satu tahun bercerai dengan Bik Atmi, si Bambang menikah sama Darsih.

    Namun, pernikahan Darsih dan Bambang tidak menghasilkan anak. Sedangkan sama Bik Atmi punya satu anak laki. Sekarang menjadi ABRI dan bertugas di Kalimantan. 

    Kebiasaan si Bambang main pukul atau KDRT juga diturunkan pada si Darsih.  Siapa perempuan yang kuat dan tahan dijadikan boneka tinju, setiap hari dipukuli. Setelah melaporkan si Bambang ke polisi, Darsih pun mengurus cerai.

    Bik Atmi muncul dari dapur membawa kendi dan sebuah cangkir seng kembang-kembang hijau. Perabot kuno kesukaan Malika.

    Bik Atmi menuang air ke dalam cangkir lantas diulurkan pada Malika. Sedangkan kendinya ditaruh di meja samping ranjang. "Makasih Bulek. Maaf merepotkan."

    "Halah, gini aja kok. Bulek seneng banget kamu datang. Sudah setahun kan nggak ke sini?"

     Malika manggut. "Maaf Bulek. Kami sibuk banget."

    “Bapakmu sehat kan, nduk? Sudah ada delapan bulan nggak pulang sini. Biasanya jedal-jedul. Tiga atau empat bulan sekali datang."

     Bik Atmi duduk di samping Malika dan memperlihatkan 3 potong daster yang diambil dari dalam lemari. Daster milik Malika yang tersimpan sejak 5 tahun lalu. Malika menggunakan jika pulang kampung saja.

    “Alhamdulillah sehat, Bulek. Papa sekarang jarang tinggal di Mojokerto. Paling dua minggu sekali datang.” 

    “Tinggal di rumah Sidoarjo pastinya. Biar dekat sama kantor.” 

    “Tidak juga, Bulek. Papa lebih sering di tempatnya Buk Ratna…”

     “Ratnawati? Yang diaku sebagai istri mudanya itu?” potong Bik Atmi jengah. Bibirnya yang membentuk huruf M itu menjap-menjep sinis. 

     “Heran aku sama Mas Atmo itu, bisa-bisanya menyimpan rahasia busuk sampai puluhan tahun,” omelnya gusar. 

     “Gitu kok sering nasehatin aku. Jadi istri yang penurut ya, setia. Eeh, dia sendiri gitu. PREETT…” Bik Atmi menyebikkan bibirnya.

     Saking kesalnya, tanpa sadar daster dalam pegangannya dihempaskan ke ranjang. Apes. Bagian leher daster nyemplung ke dalam kuah sayur nangka.

     Malika hanya terlongong melihat ekspresi konyol Bik Atmi yang menumpahkan kekesalannya. Namun seketika berubah panik melihat dasternya telah ternoda.

     “Buleekk. Daster ini nggak salah lho. Kasihan nih, kepedesan!” pekik Malika sewot. Sontak menarik ke atas daster kembang-kembang warna hijau itu. 

     Dari ketiga daster yang diperlihatkan Bik Atmi, Malika paling menyukai yang warna hijau ini. Kainnya paling lembut dan adem. Yang lebih penting lagi masih utuh alias tidak bolong seperti dua rekannya.

     “Ya Allah, orang emosi selalu saja merugikan orang lain,”  keluh Malika menatap bibinya dengan wajah masam.

     “He he he… maaf ya daster.” Bik Atmi terkekeh. Memandang daster yang kotor dengan perasaan bersalah. “Pake yang warna merah aja. Dijamin lebih adem dan semriwing.”

     “Lha iya, banyak jendelanya. Di bagian ketiak, perut. Sama di bokong juga. Bulek sih nggak mau ngasih makan Mbak Siti. Saking laparnya sampai makan baju.”

    Jawaban Malika membuat Bik Atmi terpingkal-pingkal sampai memegang perutnya yang kaku. Memang tobat bicara sama Malika.  

     “Bulek, insyaAllah nanti saya cerita kalo udah selesai mandi,” pungkas Malika menepuk bahu Bik Atmi yang masih terguncang oleh tawa. Mengusap juga mukanya seperti gaya Mbah dukun mengobati pasien yang kesurupan.

    “Haduh. Mbak Siti kesukaan si meong,“ Bik Atmi kemudian menarik nafas panjang dua kali untuk menghentikan tawanya. 

     “Tentu saja kamu harus cerita, Nduk. Siapa tahu Bulek bisa bantu. Nah, sekarang mandilah dulu biar segar. Nanti Bulek obatin lukamu.” Wanita penggemar film komedi horor itu menyentuh pelan kulit tangan Malika yang memar-memar.

    Satu pertanyaan yang hendak terlontar keluar kembali ditahan begitu melihat Malika bangkit dengan tergesa-gesa.

     “Kebelet kencing, Bulek. Maaf ya, belum bisa bantu beres-beres rumah.”

     Tanpa menunggu jawaban bibinya, Malika menyambar handuk di tepi ranjang dan berjalan tergesa menuju kamar mandi yang berada di luar rumah, tepatnya di samping dapur. 

     Kamar mandi model kuno tanpa atap. Dindingnya terbuat dari anyaman daun kelapa. Begitu pula dengan pintunya.     

     Sebuah gentong besar dari tanah liat menjadi penampung air. Air itu dialirkan dari sumur yang ditarik dengan mesin sanyo.

    Hmm… suasana tempo dulu ini sangat menyejukkan hati. Malika bagai kembali ke masa anak-anak dan remajanya dahulu. 

     “Lhah, kok mandi situ. Di dalam kan ada kamar mandi tho Nduk…!” teriakan bernada khawatir melengking dari arah dapur. Menghentikan langkah Malika yang telah tiba di depan pintu jeding.

    Bik Atmi berdiri di depan pintu dengan kedua mata membeliak. 

     Malika tersenyum mengangkat kedua bahu. Di dalam rumah telah tersedia kamar mandi bergaya modern bak di hotel yang dibangun papanya, tapi Malika lebih memilih di sini.

     “Pingin yang alami-alami, Bulek. Menyatu dengan alam. Biar pikiran seger. Nggak ada ular kan?” jawab Malika enteng.

     “Nggak ada sih, tapi yo hati-hati aja. Takutnya nanti ada ular berkepala manusia. Wong dindingnya kayak gitu.  Bulek mau ke warung dulu, cari param kocok buat mijit tubuhmu.”

    “Inggih Bulek.” Malika segera memasuki jeding seluas 2x2 meter itu dan menutup pintunya. Ketinggiannya hanya sebatas telinga Malika. 

     Setelah melucuti semua bajunya, Malika duduk di atas batu besar dan mulai mengguyurkan air dari dalam gentong. Kaki dan tangannya yang penuh luka gores terasa perih ketika tersapu dinginnya air.

    "Eh, apa itu tadi?" seru Malika tertahan. Sontak berhenti mengguyurkan air ke tubuhnya. Ia merasa ada kilatan cahaya masuk dan menimpa tubuhnya lewat celah dinding, di bagian samping.

     Wanita itu tertegun. Dengan nanar memperhatikan celah anyaman daun kelapa. Di sekeliling jeding tradisional ini ditumbuhi pohon kelapa dan rimbunan pohon pisang besar-besar membuat suasana sekitar jeding menjadi agak gelap. 

     Malika mendongakkan kepala ke atas, sinar matahari dari arah barat memantul. Pijarnya menerpa tubuh Malika. 

    “Hah, kukira kilatan blits kamera. Emm...Lagipula di zaman modern gini mana ada orang ngintip. Wanita seksi dan bugil banyak di internet. Kalo pingin lihat, tinggal buka gambar atau linknya,” batin Malika bergumam konyol, mengenyahkan pikiran buruknya.

    Segarnya air yang menyesap masuk ke dalam pori-pori kepala seolah membuka pikiran Malika tentang sesuatu. 

     “MBak Darsih. Aku harus segera ke rumahnya untuk mengambil tas belanjaku. Di dalam tas itu ada ponsel dan uang. Meskipun jumlahnya tidak banyak, tapi lumayan buat makan sehari-hari.

     Ponselnya itu yang penting. Malika sudah tak sabar ingin menelpon suaminya, Pramono.

     Begitu teringat sama ponsel dan tasnya, Malika segera mengakhiri mandinya. Setelah meremas-remas rambutnya yang basah, Malika bangkit untuk meraih handuk yang tersampir di atas papan pintu. 

    “Ya Allah…!” lengking Malika kaget. Tepat di celah pintu daun kelapa, ada sepasang mata menghujam ke arah tubuhnya. Tak lama setelah dirinya menjerit, benda berwarna gelap itu segera bergeser ke samping.

     Telinga Malika masih sempat mendengar hembusan nafasnya yang berat, disusul suara langkah kaki menjauh dengan buru-buru.

     Malika terkesiap. Kedua matanya nanar memperhatikan keluar pintu.

“Pria baju hitam. Astogfirullah…”

    Jantung Malika seketika berdebar sangat kencang dan kakinya gemetaran. Ia tak sanggup membayangkan pria itu telah melihat dirinya dalam kondisi tak pakai baju.

    Takut akan terjadi hal yang tak dinginkan, Malika segera membalut tubuhnya dengan handuk dan berlari masuk rumah. 

     Malika bersumpah. Ini kali terakhir dirinya mandi di kamar mandi belakang rumah. “Naudzubillah. Nggak usah nunggu sampai diapa-apain, hiii…”

    ***

    

     Usai salat Asar Malika ke rumah Darsih. Jaraknya hanya 100 meter dari rumah Bik Atmi. Antara Malika dan Darsih tidak ada hubungan darah sama sekali.

     Di waktu lampau, setiap kali pulang ke kampung halaman ayahnya itu, Malika sering bermain dengan Darsih dan anak-anak desa lainnya. 

    Yang paling terkesan adalah naik kerbau milik kakeknya Malika. Menuju sungai yang jauhnya 200 meter dari rumah. Satu kerbau bisa dinaiki tiga sampai empat anak. Lantas mandi bareng-bareng campur sama kerbau.

      “Darsih sedang keluar, Nduk. Belum ada setengah jam. Tadi ditelpon temannya, diajak ketemuan. Dengarnya di depan balai desa sana,” jelas emaknya Darsih setelah keduanya bersalaman dan tukar kabar.

     Tadi pagi Malika belum sempat ke sini. Langsung ke rumahnya masing-masing.

    “Teman lamanya Darsih ya budhe?”

    “Kurang tahu ya. Suara laki-laki. Logatnya seperti wong Suroboyo.”

     “Oh, begitu. Iya sih, temannya Darsih dari sini banyak yang kerja di Surabaya dan Sidoarjo. Bahkan banyak yang sudah menetao di sana,” timpal Malika tidak ada pikiran buruk. 

     Malika memperhatikan sekeliling rumah yang sepi. Bentuk rumah Darsih tidak jauh beda dengan rumah Bik Atmi. Rumah kuno yang dibangun tahun 1950-an. Hanya saja yang ini sudah dikeramik warna coklat muda. 

     Penampilan emaknya Darsih menambah aura tempo dulu semakin kental. Sebuah jarit kembang-kembang coklat dipadu dengan kebaya krem membalit tubuhnya yang pada berisi.

    Malika serasa masuk dalam kehidupan tahun 1970 sampai 80-an.  Begitu eksotik dan teduh.

    “Monggo Nduk, eh Bu Lika… masuk dulu!” perempuan seumuran dengan Pak Atmo ini nampak gugup dan bingung. Emaknya Darsih sudah menganggap Malika seperti anaknya sendiri.

    Namun, posisinya sebagai majikan dari anaknya membuat Emak Darsih bingung harus memanggil dengan sebutan apa.

    "Seperti biasa saja, Budhe. Panggil Nduk."

     Emaknya Darsih tersenyum simpul.

     “ASsalamualaikum,” Malika masuk rumah dengan santun. 

    “Waalaikumsalam warohmah,” Emaknya Darsih menjawab salam, lantas masuk ke dalam. Tidak lama kemudian keluar lagi membawa kresek dan menyerahkannya pada Malika. 

     “Darsih nitip ini buat Bu Lika…”

     “Ooh inggih. Makasih Budhe.”

     “Mau teh apa kopi? Atau coklat?”

     “Waaah, ada coklat tho? Kalau begitu coklat aja, Bulek.”

     “Iya. Bikinan sendiri. Panen dikit di kebun. Tunggu dulu ya?”

      Sepeninggalan emaknya Darsih, Malika langsung menelpon Darsih. Meskipun sudah berkali-kali dipanggil tetap tak ada jawaban. Ponselnya Darsih aktif dua jam lalu. Malika menghembuskan nafas kecewa. 

     “Minta tolong, Budhe. Kalau Darsih sudah pulang, suruh ke rumah Bik Atmi nggih.”

    “Iya, Nduk. Eh, Bu Lika,” jawab emak Darsih belepotan. Kemudian nyengir sambil menepukkan tangan ke mulutnya sendiri.

     Malika tersenyum geli melihat ekspresi lucu emaknya Darsih. Usai menghabiskan coklat panas dan ngincipi kripik pisang, Malika pamit pulang. 

     Begitu tiba di rumah, Malika langsung menelpon suaminya. Tidak ada jawaban meski sudah berulangkali ditelpon. Gagal menghubungi Darsih dan Pramono membuat Malika sangat kesal.

     “Keterlaluan sekali kamu Mas. Lima hari nggak pernah nelpon. Sekarang ditelpon malah nggak nyambung.” BUG. Malika melempar ponselnya di sudut ranjang. Mukanya cemberut dengan nafas sedikit tersengal.

     Wanita itu lantas menjatuhkan tubuhnya yang masih pegal-pegal di atas kasur. Tengkurap memeluk guling. Kaku.

    Bik Atmi yang sudah duduk di tepi ranjang manggut-manggut maklum.  Geli juga melihat wajah 41 tahun itu ngambek. Persis gadis ABG yang dilarang sang ayah menemui kekasihnya.

     “Ooohh… lagi perang sama suami tho, ceritanya ini. Perang dingin atau…”

     “Perang Dunia kelima, Bulek,” sahut Malika sekenanya. 

     “Wah, lumayan seru kalo gitu,” timpal Bik Atmi terkekeh. “Nggak usah teriak lho ya. Bulek akan mengurutmu pelan-pelan.” 

     Candaan dan sikap Bik Atmi yang santai selalu mampu membuat hati Malika luluh.  Malika tersenyum dan menaikkan rambutnya ke atas.

    Teringat pada kebiasaannya saat kecil, kalau diurut selalu berteriak-teriak histeris membuat sakit telinga yang memijatnya. Sakit bercampur geli.

     “Ayo dibalik tubuhnya. Terlentang dulu!” 

     Malika menurut, membetulkan posisi tubuhnya senyaman mungkin. Jari-jari Bik Atmi menyingkap rok Malika ke atas, kemudian dengan lembut dan pelan-pelan membalurkan param kocok ke sekujur paha.

     Malika pasrah, memejamkan mata. Semilir angin sore masuk lewat jendela yang terbuka lebar.

     Tanpa disadari oleh kedua perempuan itu, Kira-kira 5 meter dari jendela, sepasang mata mengintai dari balik pohon pisang, Menghujam tanpa sekat pada sosok Malika yang tergolek di atas kasur. Terlentang menantang dengan tubuh nyaris tanpa busana. 

     Ekspresi Malika yang berkedip-kedip sayu dan sesekali merintih sakit menikmati pijatan wanita paroh baya di sampingnya membuat darah lelakinya meluap-luap.

     “Aku harus bisa memilikimu. Apapun caranya,” desisnya di antara sengal nafasnya yang terus memburu dan jantung berdebar kencang. Hawa panas menguasai sekitar area intimnya hingga kemudian celananya terasa sempit.

     Lelaki berkaos hitam itu melenguh panjang, menikmati sensasi yang sangat menyenangkan. 

     “Malikaaa… Ugghh.”

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status