Share

TANTE MALIKA : MANISNYA DENDAM ADIK TERSAYANG
TANTE MALIKA : MANISNYA DENDAM ADIK TERSAYANG
Author: Rini Kristina

BAB 01

   “Genderuwo ucul...! Ya Allah, apa itu?!” Darsih yang baru keluar kamar mandi berseru kaget. Sekilas melihat kelebat sosok hitam gempal dari arah dapur menuju gudang. Dan darahnya terkesiap begitu mendapati pintu dapur terbuka separoh.

    “Tadi sudah kukunci. Masak Bu Lika yang membukanya? Buuu Likaaa...!”

    Darsih mendekati pintu. Tanpa ia sadari, sosok hitam bermasker yang sembunyi di balik kulkas berjingkat mendekatinya.  Dengan mudahnya menyergap Darsih dari belakang. Membungkam mulutnya kuat-kuat hingga Darsih merasakan ngilu dan sakit di area bibir. 

Reflek Darsih meronta-ronta.

    “Sekali teriak, hancur kepalamu!” bentaknya sadis.

    Darsih melihat bayangan pistol yang diletakkan ke dahinya. Dingin. Asisten rumah tangga itu langsung mengkeret.

Suara berisik itu membangunkan sang majikan yang tidur di kamar depan.

    “Ada apa Mbak Sih?” seru Malika membuka pintu kamarnya. Menatap nanar ke arah dapur yang gelap. Wanita yang sudah terlelap sejak dua jam lalu itu tidak menyadari kedatangan pria berpakaian hitam yang muncul dari ruang tamu. 

    Sementara di lantai atas terdengar suara gaduh. PRANG. GROBYAK. TAP.

    “Sontoloyo… Ngompol. Sana ganti baju. Lima menit. Kalau nggak, kubakar rumah ini.” lengkingan marah dari dapur membuat Malika terjengit. Dalam waktu bersamaan ia melihat di lantai, sebuah bayangan tinggi di belakangnya. Kedua tangan itu menjulur ke arahnya.

    Terlambat. Malika yang hendak kembali ke kamar berhasil disergap dari belakang.

    “Toloongg. Tooloonngg. Augh!” Malika sempat menjerit sebelum tangan kekar dan keras itu membekap mulutnya.  

Sosok hitam satu lagi turun dari lantai atas. Menenteng tas besar yang berat dan penuh isi.

“Tinggal kamar ini,” ujar si Pria saat melewati temannya yang mengunci tubuh Malika. Malika berontak, tidak terima kamarnya diobrak-abrik.

“Diam, Bu cantik!” bentak si preman mengencangkan pelukannya.

Bau bensin tiba-tiba merebak. Malika terkesiap.      “Apakah mereka akan membakar rumah ini? Kalau gitu, aku harus keluar dari sini.”

    Terdengar bunyi telpon dari  dalam kamar. Sesaat kemudian Preman yang mengacak-acak kamar Malika keluar dengan ponsel di tangan. “Si bos nyuruh cepetan. Aku mau periksa kamar anaknya dulu.”

    Saat itu malika merasakan cengkeraman si preman melonggar. “Bismillah Ya Allah.

Secepat kilat Malika memutar tubuh menghadap preman. Dengan sekuat tenaga mendaratkan lutut ke arah organ intim pria itu. BUAG.

    “Aauuwww…”  Si Preman melolong kesakitan. Melepaskan pelukannya dan berlutut menangisi adik kecilnya yang malang. Malika melompat masuk kamar dan menguncinya dari dalam.Preman yang mengawal Darsih berlari ke arah temannya yang kesakitan.

    PET. Lampu tiba-tiba padam. Seluruh ruangan rumah menjadi gelap gulita. Saat itu, Darsih sudah selesai ganti baju. Ia kabur lewat pintu dapur. Sempat menyambar tas belanja yang nyantol dekat pintu. 

     Bersamaan dengan Darsih tiba di luar, Malika juga muncul dari jendela kamarnya. Kedua wanita malang itu pun kabur menyelamatkan diri. Menerobos dinginnya malam. 

Stasiun Bangil-Pasuruan. Pukul 02.10 WIB.

     Malika menaiki teras ruang tunggu dan menjatuhkan tubuhnya yang lelah di kursi biru. Taksi yang disewanya segera meninggalkan stasiun setelah mendapat bayaran.

    Wanita berusia 41 tahun itu duduk meringkuk memeluk tas lap top erat-erat. Satu-satunya barang berharga yang berhasil ia bawa dari rumahnya. 

    Paras bulat telur yang tersembunyi di balik jilbab krem tertunduk sendu dan murung. Tatapannya kosong dan sayu. Lelah, ngantuk dan nyeri di bagian kaki berbaur menjadi satu.

   Jaket tipis yang dikenakan tak mampu menahan tubuhnya dari terpaan angin malam yang bertiup cukup kencang.

    “Lupa tadi mengambil jaket tebal di gantungan pintu. Di dalamnya ada ATM pula. Brrr…!” Malika menggigil kedinginan di antara keluh kesahnya. Sedikit memperbaiki jilbab model pashmina yang tertiup angin. 

     Sementara itu, Asisten Rumah Tangganya yang bernama Darsih langsung menuju  loket peron untuk membeli tiket kereta api jurusan Banyuwangi.

   Suasana sangat lengang. Selain dirinya, hanya ada 3 orang penumpang duduk di dalam ruang tunggu. 

    RHEENNGGG… CIEETT.

Sebuah motor Kawasaki Ninja warna hitam garis merah memasuki halaman dan berhenti di depan teras stasiun.     

    Seorang pemuda jangkung melompat dari atas motor dan bergegas memasuki ruang tunggu. Tangannya cekatan melepas helm dari kepala dan menaruhnya begitu saja di kursi.

    “Mba Likaaa…!” lengkingnya parau sembari menghambur ke arah Malika. 

    Yang dipanggil menoleh dan sontak berdiri melihat siapa yang datang. Belum sempat Malika membuka mulut, Mario telah meraih kepala Malika dan menyusupkan ke dadanya.

     Pemilik tinggi 158 cm itu merasa kesulitan bernafas dalam rengkuhan adiknya. Namun ia tak mampu melepaskan diri dari pelukan pemuda yang memiliki lengan begitu kokoh. 

     Bibir Malika mengulas senyuman dan menyandarkan kepala dalam dada Mario yang bidang. Ia  merasakan tonjolan otot pada dada dan lengan adiknya. Juga nafasnya yang tersengal-sengal.

    Wajah belia perpaduan Jawa-Cina-India itu mengeras. Kulit kuningnya memerah. Kaget dan marah dengan kejadian buruk yang menimpa kakak tercintanya. 

    “Ooh, pengecut sekali mereka. Bedebah! Pantasnya pakai rok. Masak beraninya sama emak-emak lemah kayak gini,” geramnya dengan nafas tersengal. 

    “Mario adikku… Mbak baik-baik saja. Jangan khawatir,” sendat Malika sedikit menarik wajahnya agar leluasa menghirup udara. “Kamu, tahu darimana Mbak ada di sini?”

     “Mbak Darsih nelpon,” bisiknya.

     “Preman-preman itu pastinya sudah lama mengintai rumah kita, mbak. Mereka tahu kepergianku, papa dan Mas Pram. Begitu sepi, mereka langsung menyerang ke rumah,” Mario nyerocos menumpahkan kesal.

     Sempat terkejut dengan kedatangan adiknya yang tiba-tiba, kini Malika merasa senang dan nyaman. Matanya terpejam.   

   Jemari Malika membelai lembut rambut belah tengah adiknya ala Lee Min Ho. Selanjutnya turun ke punggung.

     Sikap lembut Malika membuat Mario begitu emosional. Diraihnya dagu Malika dan menarik kepalanya sendiri ke bawah. Kemudian tanpa ragu diciumnya dahi dan pipi Malika  yang cemong-cemong.

    Di rumahnya, Mario kerap melakukan ini pada Malika sebagai ungkapan terima kasih. Atau jika merasa gemas dengan tingkah kakaknya.

    “Mario, ini di tempat umum.” Malika risih dan menarik kepalanya menjauh. Mario tak peduli, ia menahan Kepala Malika. Air mata menggenang di pelupuk matanya yang merah. 

    Puas mencium, pemuda itu lantas menatap lekat ke manik mata Malika, seolah ingin memastikan kedalaman perasaan wanita itu.

    Kakak beradik beda usia 18 tahun itu saling bersitatap cukup lama. Orang sering mengiranya hubungan mereka sebagai ibu dan anak. Atau keponakan dan tante.

     Malika dan Mario tidak menyadari kedatangan Darsih. Kaki telanjangnya menapaki lantai tanpa suara dan berhenti 3 meter dari posisi berdiri mereka. Dua lembar karcis kereta terselip di antara jari tangannya. 

     Perempuan bertubuh agak bulat dengan paras Njawani (khas Jawa) itu terhenti dan menatap Mario lekat. Ada keryit keheranan mengukir di dahinya melihat keberadaan pemuda berusia 23 tahun itu.

"Lho, Mas Mario? Cepat sekali sampai?!” seru Darsih tertahan.

     "Baru sepuluh menit kutelpon, sekarang sudah di sini. Dari Sidoarjo ke sini paling tidak butuh waktu empat puluh menit !” 

     Darsih menatap aneh dan bingung keintiman kedua majikannya itu. Dua pasang mata saling bertaut. Masing-masing memancarkan kasih sayang yang besar. 

     “Ck ck ck… Mirip adegan film India. Oohh, semoga aja nggak ada yang memulai menggoyang pinggulnya. Ginal-ginul sambil geleng-geleng kepala,” seloroh Darsih pada dirinya sendiri. Justru kini kepalanya sendiri yang bergeleng-geleng lucu

     Selanjutnya Darsih memutar bola mata ke samping dengan wajah jengah, memandangi warung kopi di pojok halaman yang dikerubuti bapak-bapak. Dahinya masih mengeryit memikirkan sesuatu.

     "Bu Lika dan Mas Mario biasa seperti itu. Tapi sekarang aku lihatnya kok aneh ya? Apa karena di tempat umum gini?" batin Darsih melirik ke arah keduanya.

    Mario menarik nafas panjang. Ia melihat kedatangan Darsih yang berhenti di sampingnya. Tepat di belakang Malika. Mario hanya melirik sekilas. Ia masih sibuk menenangkan perasaan Malika dan ingin menunjukkan kepedulianya.

    “Mbak ingin pergi jauh dari sini. Mungkin ke Banyuwangi ikut Mbak Darsih. Mbak ingin menenangkan diri,” desis Malika perih setelah beberapa saat saling berdiam diri.

     “Ke rumah Sidoarjo aja, Mbak.” 

     “Papa aja mengungsi dari sana. Jika pelaku yang menyuruh preman-preman itu terkait dengan urusan kerjaan, pastinya akan mencariku ke sana juga.”

     Mario mengangguk getir. Kali ini menoleh ke arah Darsih yang sekarang berjalan menghampirinya. Pemuda itu menganggukkan kepala disertai senyuman kikuk.

     Mario menarik nafas panjang ketika tatapannya bertumpu pada kaki telanjang Darsih yang memar dan lecet-lecet. 

    “Mbak Sih, maaf ya,” ujarnya dipenuhi perasaan bersalah. “Mbak Sih ikutan terkena imbasnya.”

    “Nggak pa-pa, Mas. Masa senangnya saja ikut. Sesekali bermasalah sama preman perlu juga. Tambah pengalaman. Seru. Biar nanti ada bahan cerita ke anak cucu, he he…” jawab Darsih enteng, dibarengi tawa tipis. 

     Mario ikut tertawa. Sumbang. “Mbak Sih ini masih bisa guyon, padahal dalam kondisi bertaruh nyawa.” 

     Mario tahu dari sorot matanya, Darsih menyimpan keheranan dan banyak pertanyaan dengan peristiwa yang baru saja dialaminya, namun tidak berani mengungkapkan. 

     Sama seperti Malika, Darsih juga shock dan takut dengan peristiwa yang tak pernah disangka akan mengalaminya. Apalagi salah satu preman sempat menodongkan pistol ke kepalanya.

     Meskipun sekarang sudah tenang, tapi rasa dingin dan kerasnya ujung pelatuk pistol serasa masih menempel di dahinya. 

     Konyolnya, Darsih tidak sadar telah memakai daster dengan kondisi terbalik setelah menukar bajunya yang terkena air kencingnya sendiri.

    Preman yang menodongkan pistol berbaik hati memberi waktu 5 menit Darsih untuk ganti baju. Tentu saja Darsih panik dan tergesa-gesa. Menyambar baju seadanya.

     Suasana gelap cukup menguntungkan bagi Malika dan Darsih. Keduanya menggunakan kesempatan itu untuk kabur dari rumah. 

    “Eh, Bu Lika. Siapa tadi yang matiin sekring listrik?” cetus Darsih tiba-tiba.

    “Tentu saja dhanyange rumah. Jin penunggu…” jawab Malika asal. 

     “Serius nih, Bu…” protes Darsih. 

 Malika bercerita sedikit tentang upayanya meloloskan diri.

     “Apaa…? Preman-preman itu berani menyentuh Mbak Lika?” sentak Mario gusar.

     “Ya, kayak gini nih posisinya,” jawab Malika apa adanya, telunjuknya menunjuk dada Mario dan dirinya.

     Wajah Mario yang sempat luruh dan tenang kembali mengeras. Kedua tanganya mengepal geram, “Nggak ada yang boleh menyentuh kakakku.” 

     Disaat Mario tengah diamuk kesal. Darsih malah bersorak sambil mengacungkan jempol kanannya, “Wooww… Bu Lika hebat juga. Gesit banget. Kok nggak bilang-bilang kalo pintar silat. Kan bisa ngajarin saya…”  

     “Nanti di Banyuwangi kuajari. Biar kalau ketemu preman lagi bisa melawan..."

     “Sudah telat, Bu. Sumpah. Saya nggak berharap ketemu sama preman lagi. Ngeriiii..." 

     Mario yang menyimak obrolan kedua wanita itu akhirnya menyela. “Ada sekring juga di kamar Mbak Lika? Baru tahu aku…”

     “Iya, ada. Terhubung sama sekring yang ada di luar. Belum lama di pasang. Mas Pram yang punya ide memasang. Buat jaga-jaga kalau ada apa-apa. Ternyata benar juga insting Mas Pram. Jika saja listrik nggak mati, mungkin aku masih terkurung di rumah. Nggak bisa kabur.”

     Mario manggut-manggut. Tatapannya kosong jauh ke depan. Seolah ada yang mengganggu pikirannya.

     “Mario, tolong jaga Papa,” ucapan Malika memaksa Mario kembali berpaling ke wajah keibuan yang kelabu dalam rengkuhannya.

    “Ya Mbak. InsyaAllah Papa aman sama aku,” bisik Mario lembut.

     Tangannya merogoh saku jaket dan mengeluarkan Iphone model terbaru. 

     Mario memperlihatkan video seorang lelaki tua tengah duduk santai di sebuah ruangan sederhana. Tatapannya tertuju ke arah televise.

    Gambar kemudian beralih ke dapur, di mana seorang perempuan paroh baya bertubuh semampai dan masih gesit sedang menyeduh kopi. Sesekali ibu     

     Mario tersenyum kea rah kamera. 

Video berakhir saat ibu Mario memberikan kopi kepada Pak Atmo dan keduanya saling menatap dengan senyuman manis.

    “Video ini kuambil dua hari lalu. Lihatlah, Papa begitu sehat dan bersemangat.” 

    “Papa, syukurlah. Ibumu juga sehat dan ceria…” bisik Malika lega melihat ayahnya nampak tenang dan sumringah.

     Senyum sumringah ayahnya mampu mengikis beban dan kesedihan Malika. Apalagi mengingat kedua anaknya juga aman di pondok pesantren.   

    Sedangkan Pramono suaminya, tidak ada yang perlu dikhawatirkan darinya. Pramono adalah laki-laki dewasa dan matang. InsyaAllah baik-baik saja. 

     Ting tong ting tung. Ting tong ting tung. Mohon perhatian. Kepada para penumpang Kereta api Sri Tanjung jurusan Banyuwangi…

     Suara khas yang membahana seantero stasiun itu menyentakkan Mario, seketika ia menarik ponselnya dari hadapan Malika. Pemuda itu mulai panik.

    Kini perhatian Mario beralih pada Darsih. Ia menyalami wanita berkulit hitam manis itu dan menatap lekat bola matanya. Berdampingan dengan Mario seperti ini, pemilik tinggi 150 cm itu terlihat begitu mungil. 

    “Maafin aku Mbak Sih, nggak bisa mendampingi kalian melewati ini. Aku harus menjaga papa. Makasih udah menemani Mbak Lika.”

    “Santai aja Mas. Apapun akan kulakukan untuk membalas budi baik Bu Lika. Dia orang baik. Tidak seharusnya mendapat perlakuan buruk seperti ini,” sahut Darsih menandaskan.  

    Mario sedikit terperangah mendengar ucapan itu. Apalagi sorot mata Darsih yang langsung menghujam ke matanya. Seketika perasaan Mario bagai tersentil. Ia seolah tahu kemana arah ucapan Darsih.

     “Maafin aku Mbak. Jika saja Papa tidak dalam kondisi terancam, sudah kuantar kalian ke Banyuwangi atau kemanapun kalian mau pergi. Bukannya aku lepas tanggung jawab,” kilah Mario agak ketus dengan wajah memerah.

     Gantian kini Darsih yang terperangah. Sontak menatap Malika. Bingung juga kenapa Mario tiba-tiba menjadi kesal. 

     “Ma-maaf Mas. Orang-orang itu yang kumaksud. Mereka tidak tahu betapa baiknya Bu Lika,” Darsih segera meralat, disambung dengan keluhan, “Saya masih nggak percaya mengalami lakon seperti ini. Apalagi hampir pecah kepalaku terkena dor …”

     “Mbak Darsih, Mario, sudahlah…” Malika segera melerai melihat keduanya berdebat dan masing-masing mulai menunjukkan ekspresi tegang.

    Mario yang masih belia kurang mampu menguasai emosi. Jiwanya masih labil. Sementara Darsih ceplas-ceplos apa adanya. Terkadang bicaranya asal tidak dipikir akibatnya bagi orang lain.

     “Mbak Darsih, mungkin Mario merasa bersalah karena nggak bisa melindungi kita,” bisik Malika pada Darsih.

    Berkata begitu sambil mendongakkan kepala menatap wajah Mario lembut. Ia tidak mau Mario emosi yang bisa memunculkan masalah baru di atas masalah yang telah terjadi. 

     Malika memerlukan Mario dan Darsih untuk membantunya mencari jalan keluar dari masalah ini.  

     Darsih manggut diiringi senyuman getir. Mengabaikan Mario yang masih memperhatikannya dengan perasaan bersalah. Perasaan bingung dan campur aduk membuat Darsih tak bisa berpikir jernih.

    Ia duduk di kursi dan memeluk tas kecil. Menekuri lantai sambil terkantuk-kantuk.  

     Seruan petugas melalui pengeras suara kembali terdengar. Disusul bunyi lengkingan kereta api yang datang dari jauh. Dari arah Surabaya.

     Darsih menatap Mario sekilas dan menganggukkan kepala tanda pamit. Ia berjalan terlebih dulu ke arah petugas untuk menyerahkan tiket. 

     Langkah Darsih sedikit pincang. Kedua telapak kakinya sakit berdarah usai dipaksa berlari melewati semak belukar dan bebatuan sepanjang 500 meter. Lupa mengenakan sandal. 

     “Mbak pergi dulu, Dik. Assalamualaikum,” bisik Malika sambil mengusap bahu adiknya lembut. Mario tergagap.

    Malika segera membuntuti langkah Darsih yang menunggu di depan pintu masuk keberangkatan.    

     Mario tiba-tiba terkesiap kaget ketika Malika mengulurkan tiket. Ia melihat telapak tangan Malika memar dan berdarah.

      Reflek tatapan Mario turun ke bawah, kaki Malika yang telanjang juga dipenuhi luka memar dan goresan.

     Mario menatap sendu kakaknya hingga sosoknya memasuki gerbong kereta. 

     Malam itu pukul 02.30 dini hari, kereta api yang ditumpangi Malika dan Darsih bertolak ke Banyuwangi.  

      Malika memilih pergi ke Banyuwangi bukannya tanpa sebab. Di sana ada bibinya. Cocok untuk menenangkan diri.

     Namun, ada yang lebih penting dari itu semua. Ia ingin mengorek keterangan dari Darsih tentang peristiwa yang baru saja dialami.

     Tentang 3 preman yang menyerang rumahnya. Malika merasa yakin, Darsih mengetahuinya. 

    ***

itu.

     ***

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status