Ini hari ketiga Malika berada di Banyuwangi. Rasa sakit dan pegal-pegal di tubuhnya mulai berkurang. Luka gores di kaki dan tersandung bebatuan saat berlari menyisakan sedikit nyeri.
Namun, pikiran Malika masih kacau, ditambah lagi kepikiran pada sosok yang mengintipnya kemarin. Malika benar-benar susah. Gelisah tak menentu.
"Siapa orang itu? Jika benar ia memotretku diam-diam tanpa baju, bisa gila aku. Duh, Ya Allah. Apa dosa dan salahku hingga mengalami nasib apes seperti ini?!"
Niatnya ke Banyuwangi untuk menenangkan diri, justru hak buruk dan ketakutan yang didapat. Malika tidak mau bercerita pada Bik Atmi. Baginya ini aib yang harus disimpannya rapat-rapat.
Malika menghampiri Bik Atmi yang sibuk menimbang buah naga di teras. Kesibukan yang dipilih Bik Atmi untuk mengisi waktu luang sejak 5 tahun lalu.
“Bulek, saya mau ke rumah Darsih dulu. “
Bik Atmi sontak menghentikan sejenak kesibukannya, mencatat harga yang harus dibayar ke petani buah naga.“Eh, tunggu dulu. Tadi Bulek ketemu emaknya Darsih di warung. Dia bilang, si Darsih sekarang ada di Jember. Ke rumah saudaranya yang sakit. Kemarin sore dia berangkat,” terang Bik Atmi beruntun.
Malika tertegun sejenak, kemudian manggut-manggut. Desisnya tanpa ekspresi, “Ooh pantas… Darsih nggak sempat ke sini.”
“Iya Nduk. Emaknya bilang, si Darsih hanya dua hari di rumah, terus pamit ke Jember. Padahal kakinya masih sakit lho,” imbuh Bik Atmi memperjelas.“Inggih Bulek. Saya mau minta nomor baru sama emaknya, siapa tahu dia ganti nomor. Sejak datang sampai saat ini, ponselnya nggak bisa dihubungi.”
Setelah diiyakan sama Buleknya, Malika bergegas ke rumah Darsih. Sampai di sana emaknya Darsih memberi nomor yang lama. Malika sudah punya dan masih menyimpannya.
Setelah itu buru-buru pamit pergi dengan tujuan ke arah barat. Entah kemana. Langkah lebarnya terhalang oleh sempitnya kain jarit. Bokong bulatnya jenthat-jenthit menggemaskan dan bikin geli.
“Emm, buah jatuh tak jauh dari pohonnya,” desis Malika menahan tawa. Wajah dan fisik Darsih mirip sekali dengan emaknya. Gaya berjalannya juga.
Malika dibuat bingung dengan ibu dan anak itu. Tidak banyak kata yang keluar dari emaknya Darsih barusan. Sikapnya yang gugup dan mata yang terus berputar ke segala arah menunjukkan kegelisahan dan rasa was-was.
Dengan langkah gontai Malika kembali ke rumah Bik Atmi.
“Ada apa kamu Sih, kenapa main petak umpet begini,” keluh Malika jengkel. Pertanyaan yang mengendap di hatinya harus tersimpan lebih lama lagi.Yang bikin senewen, selama empat hari Malika di sini, Darsih sama sekali tidak mau ke rumah Bik Atmi untuk menengoknya meskipun barang sebentar. Walaupun kakinya sakit, yah buat pantas-pantas saja. Apalagi rumah mereka berdekatan.
Pulang dari rumah Darsih, Malika menghampiri Bik Atmi yang masih menata buah naga di dalam keranjang plastic besar. Dua pria paroh baya bantu mengepak dan menaikkan ke dalam mobil pik up. Seorang pemuda lagi sibuk mengotak-atik mesin mobil pik up yang terbuka kapnya.
“Nduk. Jadi ikut Nono ke Bali nggak?”
“Inggih Bulek, jadi.”“Jam dua siang nanti berangkat.”“Inggih, Bulek. Kayaknya saya akan lama di sana...”“Lho, kok gitu? Baru aja Bulek senang kamu datang. Ada teman di sini,” Bik Atmi menatap ponakannya dipenuhi tanya. Wajah Malika yang tiba-tiba tertunduk sedih membuatnya maklum.Kemarin Malika sudah bercerita sedikit soal hubungannya dengan sang suami. Namun, ia sama sekali tidak menyinggung soal preman yang menyerang rumahnya. Malika tidak ingin Bik Atmi ikut cemas dan kepikiran.
Malika terpaksa bercerita karena bibinya terus bertanya tentang kondisinya yang super memprihatinkan ketika datang ke sini. Dan kekesalannya terhadap Pram yang tidak mau mengangkat telpon membuat Malika menjadikannya sebagai alasan kepergiannya dari rumah.
“Oh iya, Bulek lupa. Kamu dulu kan pernah tinggal di sana.”
“Inggih Bulek. Hanya dua tahun sih, tapi sangat membekas di hati. Kenalan saya banyak di sana. Rumah Budhe Sun juga masih ada. Dua bulan yang lalu saya sudah ke sana…”“Pasti urusan duit,” potong Bik Atmi penuh arti.“Tidak kok Bulek. Ada seminar kecantikan,” jawab Malika singkat. “Masker kecantikan? Waah… pantas saja kamu awet muda dan ayu. Lha sering pake masker.”Malika terkekeh mendengarnya. Sambil berkata begitu, tangan Bik Atmi mengusap pipinya sendiri yang mulai dipenuhi flek dan garis-garis halus sekitar mata. Lucunya, Bik Atmi yang diketawain ikut cengengesan.“Pakai masker juga nggak boleh terlalu sering, Bulek. Seminggu sekali sudah cukup…”
“Kok gitu, Nduk?” potong Bik Atmi penasaran.“Pemakaian masker terlalu sering dengan jarak berdekatan bisa membuat kulit kering. Masker akan menyerap minyak di wajah secara terus menerus, termasuk minyak alami di wajah. Untuk seusia kita, lebih baik minum vitamin E, sama rajin makan buah dan sayuran.”Bik Atmi hanya manggut-manggut seolah mengerti, padahal tidak. Buleknya tidak paham urusan bisnis dan perusahaan, jadi ya tidak ada gunanya juga menjelaskan panjang lebar.
Bulek Atmi pribadi yang sederhana. Yang penting buah kirimannya laku dan dapat untung. Itu saja ia sudah sangat bersyukur.
“Baiklah kalo gitu. Bulek tenang mendengarnya. Makan dulu, tadi Bulek masak sayur asem kesukaanmu sama sambal trasi.”
“Inggih Bulek, bentar lagi,” Malika mengipasi wajahnya yang berkeringat dengan koran. Ia duduk di tepi teras dan mengambil dua buah naga berukuran kecil yang tak masuk dalam pengiriman.“Masih tiga jam lagi. Santai dulu,” batin Malika. Sambil menikmati buah naga, Malika memperhatikan pemandangan gunung Tumpang Pitu yang berada di sisi selatan. Di balik jajaran gunung kecil itu ada pantai Pulau Merah dan Pancer yang menjadi ikon wisata daerah Pesanggaran.
Malika tahu, pemuda jangkung bernama Nono yang mengepak buah naga di sampingnya sering kali cur-curi pandang ke arahnya.Tetangga depan rumah itu juga menjadi sopir tetap Bik Atmi yang bertugas mengirim buah ke Pulau Bali. Seminggu sekali ia ke sana. Kali ini yang dibawa buah naga dan sedikit pisang.
Malika sempat berpikir kalau orang yang mengintipnya mandi kemarin adalah Nono. Apalagi pemuda berusia 27 tahun itu agak gugup ketika pandangannya bersirobok dengan Malika.
Satu lagi, kaos warna hitam yang dikenakan Nono mengingatkannya pada warna benda yang bergerak ke samping kamar mandi.
“Ya Allah, jangan-jangan anak itu? Dia juga sering ke sini. Bebas keluar masuk rumah bulek. Emm, kalo gitu kapan-kapan saja ke Bali. Naik bus atau pinjam motor Bulek.”Berpikir negative tentang Nono, Malika berniat membatalkan rencananya ikut ke Bali. Malika takut terjadi apa-apa di jalan nanti. Laki-laki yang nafsunya besar sangat menakutkan. Ia bisa berbuat nekat untuk melampiaskan hasratnya. Tidak jarang berakhir dengan hilangnya nyawa si korban perkosaan.
“Assalamualaikum!” sapaan ramah dan ringan khas gadis belia memangkas lamunan Malika. Wanita itu menoleh ke arah halaman.
Muncul seorang gadis remaja berjilbab membawa tas ransel penuh isi. Berjalan pelan menghampiri Bik Atmi dengan senyum merekah. Malika dibuat terpana melihatnya. Usianya ditaksir sekitar 14-15 tahun. Sebaya dengan Diana.
“Ya Allah, jadi ingat anakku Diana,” batin Malika yang tiba-tiba sesak dihempas rindu. Seketika kedua matanya terasa panas dan menggenang air. Tak berkedip ditelusurinya sosok semampai berkulit putih bening itu. Sepasang matanya berbinar-binar lembut.Ooh, darah Malika berdesir melihatnya. Bayangan gadis sulungnya yang menimba ilmu di pesantren terus berkelebat di pelupuk mata.
“Saya mau numpang, Budhe. Pingin jalan-jalan ke Begudul,“ ucapnya ceria namun tetap santun.
“Sudah selesai ujiannya, Nduk?”“Sudah Budhe. Terakhir kemarin hari Jumat…”“Lha iyo tho Nduk. Mumpung libur sekolah. Ya sana dipuasin mainnya," jaeab Bik Atmi lembut.“Inggih Budhe, terima kasih banyak,” Si gadis remaja menuju teras. Membungkukkan badan dengan hormat kepada Malika, lantas duduk tak jauh dari tempat Malika.Malika membalas dengan senyuman lembut. Masih tak berkedip menatap si gadis. Diusapnya air mata yang sempat menitik. Ia menarik nafas lega. “Alhamdulillah, Ya Allah. Ada teman.”
Jam dua lebih sepuluh menit, mobil pik up yang membawa buah naga bergerak meninggalkan rumah Bik Atmi. Malika duduk paling kiri dekat jendela. Sesekali berbincang dengan adiknya Nono.
Kira-kira dapat sepuluh menit perjalanan atau 5 km, Nono membelokkan mobil ke SPBU untuk mengisi bahan bakar.
"Mas, aku mau beli jajan!"
"Ayo turun. Beli sendiri. Mas nggak tahu keinginamu."
"Ibu mau nitip apa?" tanya si gadis ramah.
Malika menggeleng. "Terima kasih, Dik. Sudah dibawain jajan sama Bulek Atmi."
Si gadis tersenyum. Baru saja Malika beringsut hendak memberi jalan, si gadis sudah turun lewat bangku sopir.
Malika menyapukan mata ke sekeliling SPBU yang berada di tengah sawah. Di samping SPBU berjajar warung yang menawarkan menu berbeda. Warung bakso, kacang ijo, kopi dan jajanan, juga warung nasi. Warung kacang ijo yang paling ramai.
UPS. Malika sedikit tersentak dan kembali mengarahkan pandangan ke warung kacang ijo yang sempat dilewatinya. Di sela-sela pembeli yang berjubel, ia mendapati sosok pria muda mengenakan jaket hitam duduk menikmati kacang ijo.
Sebuah kacamata hitam nangkring di atas kepalanya. Sosoknya terlihat dari samping. Begitu jangkung dan menawan.
“Mario… Benarkah itu Mario? Ah, tapi mana mungkin ia di sini.”Saking fokusnya memperhatikan pemuda berkaca mata, Malika tidak menyadari kalau Nono sudah masuk mobil dan mulai menjalankannya pelan-pelan.
Pria mirip adiknya yang berada di dalam warung itu terlihat semakin mengecil dan akhirnya hilang ketika pik up berbelok ke arah kiri.
“Lagipula kalau Mario ke sini, sudah pasti akan menemuiku. Dia bukan Mario,” batin Malika memangkas rasa penasarannya.***Malika sudah tiga hari ini berada di Bali. Tepatnya di Kintamani. Daerah pegunungan berhawa sangat dingin. Sebagian besar warganya menanan buah jeruk dan kopi.Panorama yang sangat indah menjadikannya tujuan wisata. Yang paling banyak dikunjungi adalah Danau Batur dengan 3 gunung yang berjajar mengellilingi danau. Ada gunung Batur, Gunung Abang dan Gunung Agung.Sore itu usai bersih-bersih rumah dan mandi, Malika menelpon Mario. Ia Ingin tahu keadaan ayah dan kedua anaknya.Mario menjawab santai dan enteng.“Jangan khawatir, Mbak. Papa baik-baik saja. Aman di rumah ibu. Pulang kantor ini aku akan pulang ke sana. Papa nitip rujak cingur langganan kita.”“Syukurlah kalo gitu. Dari dulu Papa jarang nelpon kalau nggak penting banget. Ditelpon juga jarang mau jawab,” keluh Malika. “Begitulah Papa. Apalagi sejak penyakit asam uratnya sering kambuh. Tapi sejak bersama ibu nggak pernah kumat. Ibu terus memperhatikan makanan Papa.”“Iya, Alhamdulillah. Mbak senang ada yang merawat papa dengan
"Kemana kamu, Mario. Ayo angkat. Tolonglah,” gusar Malika tak sabar. Sudah tiga hari ini ia terus menghubungi nomor adiknya, tapi tidak juga diangkat. Hanya terdengar suara operator nomor berada di luar area. Chat yang dikirim sejak tiga hari lalu belum juga dibaca. Bahkan masih centang satu. “Apa Mario ganti nomor ya? Kalau bener, kenapa nggak mau ngirim nomor barunya sama aku,” keluh Malika sambil mondar-mandir di depan televise dengan hati mendongkol. "Anak muda nggak ada aklaq. Bikin orang tua sewot aja." Mendadak langkah Malika terhenti, tiba-tiba terselip rasa khawatir. "Jangan-jangan Mario kenapa-kenapa. Nggak biasanya ia seperti ini. Selama ini ia selalu nurut sama aku. Selalu gercep jika kumintai pertolongan." Malika kembali mondar-mandir. Tanpa sadar jemarinya meremas-remas ujung handuk yang tersampir di lehernya. Takut terjadi apa-apa dengan adiknya. "Ya Allah, lindungilah dimanapun Mario berada. Juga diri kami semua. Kami hanya melakoni
"Malikaaa… kebiasaan buruk. Apa susahnya bawa baju ganti ke kamar mandi. Nggak hanya pakai handuk begini. Kamu mau diperkosa orang?!” hardik Pramono geram melihat istrinya keluar kamar mandi hanya mengenakan handuk. Tubuhnya yang tertutupi dari batas dada hingga pertengahan paha. Persis bayi pakai grito. Saat itu Pramono benar-benar murka. Begitu Malika telah masuk kamar. Ia mendorong tubuh istrinya ke tembok, lalu menudingi muka Malika dengan wajah merah penuh emosi. Sementara tangan kirinya berkacak pinggang. “Di kamar kita ini sudah ada kamar mandi. Masih saja mandi dekat dapur. Kamu sengaja ya buat menggoda Heru sama Mario! Kamu ingin mancing nafsu mereka untuk memperkosamu. Kalau begitu, percuma kamu pakai gamis dan jilbab!” Malika benar-benar sangat takut. Ia sampai menangis tersedu-sedu. Sakit hati dan raga. Ucapan kasar dan pedas Pramono meruntuhkan kekerasan hati Malika. Seketika bakat ngeyelnya runtuh. Yang ada hanya rasa pilu dan terkoyak. Merasa sa
Sepasang mata khas lelaki Timor yang membulat itu memaku pada wajah Malika, lantas turun menelusuri tubuh bagian bawah hingga ke kaki. Namun hanya sebentar, kemudian kembali lagi ke atas. “Be-benarkah ini Bu Malikaaa…?!” desis Anton hampir tak terdengar. Ingatan Malika tentang si pemuda segera terajut.“Lho, kamu yang dulu ngekos dekat rumah Budhe Sun itu kan? Sekarang kok ada di sini?” seru Malika kembali teringat peristiwa enam bulan lalu. “Eh ibu. Iya Bu. Hanya sebulan. Sementara aja di sana. Sekarang kami tinggal kerja di sini,” jawab pemuda yang diperkirakan berusia 25-an tahun itu gugup. Malika hanya manggut-manggut, terpaku pada tahi lalat di dagunya. Semakin menambah manis saat ia tersenyum. Giginya berderet rapi dan putih. Sangat kontras dengan kulit tembaganya. “Le, Anton. Diajak masuk tamunya. Kasihan kedinginan di luar!” suara lelaki bernada berat terdengar dari dalam. “Inggih, Pak.” Anton mengiyakan. Dengan sigap kedua tangannya membuka leb
Pramono baru keluar dari lobi hotel, tempatnya meeting bersama pejabat Kementerian dari Jakarta. Usai meninjau loksi proyek gedung yang sedang digarapnya sekarang. Sebagai direktur pelaksana tugas Pramono berada di lapangan. Dan selama ini Pramono lebih sering di sini, mengawasi langsung proses pembangunan gedung serba guna dua lantai yang sudah dimulai empat bulan lalu. Kini memasuki tahap pemasangan atap. Usai pertemuan, para pejabat daerah membawa tamunya jalan-jalan ke daerah Batu dan Waduk Karangkates. Pramono mengantar sampai halaman hingga mobil dinas kabupaten itu meninggalkan hotel. Bergegas ia kembali ke lobi bagian samping. Menghampiri perempuan berjilbab yang duduk di pinggir balkon memandangi kolam renang. “Dik Dewii, eh Nana... maaf ya, sudah menunggu lama!" serunya beberapa langkah sebelum menggapai kursi yang diduduki si perempuan. Entah berapa kali ia salah menyebut nama. Perempuan itu menoleh, tersenyum tipis ke arah pria yang berhenti di sam
Pramono membantu menurunkan sayuran yang berjumlah tiga kresek dengan tergesa-gesa ke dalam mess. Tanpa banyak bicara. “Maaf ya Dik, sampeyan pulang ke kos jalan kaki atau ngojek saja ya. Saya harus segera pulang. Ada urusan penting.” “Ii-yaa... Mas.” Usai pamit, setengah berlari Pramono menuju mobilnya dan langsung masuk. Nana mengiringi kepergian mobil Pramono dengan perasaan tak menentu. Sejak di dalam mobil tadi Pramono nampak gelisah, bingung dan murung. Padahal waktu berangkatnya tadi terlihat tenang, ceria bahkan bersenandung kecil. Meskipun penasaran namun Nana tidak berani bertanya. Ah, apa haknya bertanya. Dirinya hanya tukang masak di sini. Hanya pembantu. Nana melangkah lunglai menuju kosnya sejauh dua ratus meter dari mess. Tidak terlalu jauh. Sampai di kamar langsung rebahan di kasur. Di luar gerimis kecil mulai menitis menyambut senja. Dalam galaunya, Nana memasang status gambar seorang pria yang yang melenggang pergi dengan sound t
“Alhamdulillah, sekarang aku ada kerjaan. Nggak mengganggur lagi. Yah, meskipun belum tahu akan hasilnya nanti, yang terpenting sekarang berusaha terlebih dulu," Malika melonjak senang ketika Data D yang dienter menampilkan deretan judul novel dan tulisannya. Ia mencoba klik beberapa judul dan menampilkan layar word yang lengkap dengan deretan kata. Ia makin girang. “Ini banyak sekali novelnya Ibu. Nggak dikirim ke penerbit aja, Bu. Atau flatform online. Saya juga berlangganan novel online.” “Iya, rencananya begitu. Ini cerita lama semua. Sudah dua tahun aku nggak nulis. Sibuk ngurusin bisnis kosmetik, tapi sampai saat ini belum ada hasilnya. Malik memalingkan muka menghadap Adam. Kedua matanya berkedip-kedip sayu. "Eemm... sedihnya, uangku dua milyar yang kupasok ke sana baru kembali tiga ratus juta. Itupun sudah habis buat modal menanam pohon sengon. Umurnya baru lima belas bulan. Perlu waktu sepuluh tahun lagi baru panen." Tanpa diminta Malika mengunkapka
Uai salat magrib Malika keluar rumah untuk membeli makan. Begitu membuka pintu, tatapan Malika segera menyapu ke halaman rumah. Kali pertama yang dituju adalah gerobak motor yang menjual kopi dan gorengan. Mangkal sebelum pintu masuk ke lorong, tepat di depan kantor perhutani. Jika pagi hari sampai sore mangkal di seberang jalan. Malamnya baru pindah ke sini. Tinggal mendorong gerobaknya. Bapak penjual kopi sibuk melayani pembeli yang berjubel, dibantu putri cantiknya yang menjadi daya pikat tersendiri bagi pembeli. Namun jika malam begini sang anak jarang ikut. Istrinya yang sering membantu. Tepat di sebelahnya ada penjual jagung bakar dan kacang rebus. Beberapa lelaki berselimut sarung duduk menikmati kopi dan jajanan. Mereka duduk lesehan di atas karpet yang digelar tidak jauh dari teras kantor perhutani. Penjual kopi yang menyediakan karpet itu. Seperti biasa dibarengi obrolan seru. Canda tawa sesekali terdengar membahana. Logat Surabaya dan Madura te