"Kemana kamu, Mario. Ayo angkat. Tolonglah,” gusar Malika tak sabar.
Sudah tiga hari ini ia terus menghubungi nomor adiknya, tapi tidak juga diangkat. Hanya terdengar suara operator nomor berada di luar area. Chat yang dikirim sejak tiga hari lalu belum juga dibaca. Bahkan masih centang satu.
“Apa Mario ganti nomor ya? Kalau bener, kenapa nggak mau ngirim nomor barunya sama aku,” keluh Malika sambil mondar-mandir di depan televise dengan hati mendongkol.
"Anak muda nggak ada aklaq. Bikin orang tua sewot aja."
Mendadak langkah Malika terhenti, tiba-tiba terselip rasa khawatir. "Jangan-jangan Mario kenapa-kenapa. Nggak biasanya ia seperti ini. Selama ini ia selalu nurut sama aku. Selalu gercep jika kumintai pertolongan."
Malika kembali mondar-mandir. Tanpa sadar jemarinya meremas-remas ujung handuk yang tersampir di lehernya. Takut terjadi apa-apa dengan adiknya.
"Ya Allah, lindungilah dimanapun Mario berada. Juga diri kami semua. Kami hanya melakoni apa yang telah menjadi ketetapanmu. Jalan yang telah engkau gariskan. Saya hanya minta kesabaran dan kekuatan iman untuk menjalaninya."
Malika mengakhiri keluh kesahnya dengan doa "Laa haula walaaquwwata illaa billah... Tiada daya dan kekuatan selain dari Allah. Aamiin."
Malika menghembuskan nafas panjang. Perasaannya berangsur tenang. "Kalo gitu aku mandi dulu aja. Nurunin hawa panas di kepala," Malika menaruh ponselnya di atas meja, lantas bergegas ke kamar mandi.
Di daerah berhawa dingin ini Malika memilih mandi tengah hari. Jam 11 siang atau satu jam sebelum tiba waktu dhuhur. Sekalian wudhu untuk melaksanakan salat Dhuha, dilanjut dengan salat Dhuhur.
Meskipun shower listrik untuk menghangatkan air, Malika lebih memilih mandi dengan air dingin. Disamping lebih segar, air dingin juga baik untuk kesehatan.
Baru saja Malika menuang sampo pada kepalanya, terdengar bunyi ring tone lagu Dahlia Hitam dari ponselnya. “Pasti Mario. Sabaarr. Sabaaarrr…!”
Gebyur. Gebyur. Malika mengguyur tubuhnya dengan tergesa. Tidak perlu terlalu bersih. Handuk dililitkan ala kadar ke tubuhnya, kemudian melesat keluar kamar mandi.
Malika langsung menyambar ponsel dan melihat history panggilan. Seketika binar mata Malika meredup. Ah, bukan Mario. “Nomor baru. Siapa yaa?”
Daripada penasaran, Malika langsung menelpon balik nomor tersebut. Meski sudah tiga kali dipanggil, tapi belum tersambung juga.
Sebelum menaruh kembali ponselnya ke meja lagi, Malika melihat ke profil Mario. Tetap seperti tadi. Chatnya yang dikirim masih centang satu.
Dengan menahan kecewa Malika masuk kamar. Tiba di kamar, Malika tidak segera mengambil baju ganti. Ia justru berdiri di depan cermin, mematut tubuhnya. Hal yang jarang dilakukan. Rambutnya yang basah meneteskan air ke lantai.
Sesekali Malika berputar melihat bodi bagian samping dan belakang sembari mengeringkan rambut sebahunya dengan handuk yang lebih kecil.
Yakin deh, semua wanita pasti hobi melakukan ini.
Tubuhnya hanya dililit handuk setinggi lutut. Tubuh sintal berbalut kulit kuning sawo matang. Masih singset, halus dan bersinar. Alami tanpa sutik botox atau pemutih.
Buah dadanya masih montok meskipun telah menyusui 2 orang anak. Tentu saja ada perubahan seiring bertambahnya usia. Namun tidak terlalu kentara.
“Eemm… nggak kalah sama yang usia tiga puluh tahunan,” Malika tersenyum puas.***“IIiihh… Mbak Darsih, segitunya lihat aku,” seru Malika risih.
Lewat pantulan cermin di kamarnya, Malika bisa melihat Darsih tak berkedip memperhatikannya.Wanita yang sudah 5 tahun bekerja di rumah Malika menyandarkan punggung pada daun pintu yang sedikit terbuka.
Dari mulai Malika memakai be-ha, celana dalam hingga memakai gamis biru laut yang baru dibawakan Darsih. Tentu saja masih dalam balutan handuk.
Setelah tubuhnya tertutup sempurna oleh gamis, barulah ia melepaskan handuk lewat bawah.
“Nanti ngiler lho, Mbak,” cetus Malika lagi sambil mengaitkan kancing depan gamisnya.Darsih tertawa penuh arti. "Tidaklah Bu, saya masih normal kok. Penggemar pisang juga... seperti ibu he he..."
"Ha ha ha... mbak Sih, sore-sore gini bikin bulu kuduk merinding," Malika mengerling manis. "Mana Pak Suami lagi dapat proyek di luar kota."
Darsih ikut tertawa.
Kedatangannya ke kamar Malika untuk membawakan gamis yang baru disetrikanya. Hari ini Malika akan pergi ke tempat hajatan salah seorang temannya.
“Tapi merinding juga lihat bodi Bu Lika. Apalagi dua benda bulat itu,” selorohnya tak bisa menutupi rasa kagum.
“Punyamu juga besar, Mbak Sih. Apalagi masih utuh, belum pernah kasih asi sama anak,” tukas Malika begitu melihat sorot iri pada mata Darsih.
Malika duduk di kursi rias. Menyisir rambut legamnya yang mengurai di bawah bahu, lantas diikat menjadi satu.
Selanjutnya ia meraih alas bedak. Meskipun Malika seorang wanita pengusaha dan berduit, alat-alat kecantikan yang dimiliki Malika harganya standar saja. Semua hasil produksi dalam negeri.
Beberapa kali Malika pernah ikutan beli produk kosmetik import yang harganya jutaan, tapi tidak cocok sama kulitnya.
“Tapi punya bu Lika kuning, mulus dan kinclong..."
"Mba Sih kan tahu sendiri. Buat menjaga kulit tetap sehat dan kinclong, aku lebih banyak mengonsumsi buah, sayur dan minum air putih yang banyak. Ditambah asupan suplemen vitamin E dan C."
Darsih manggut-manggut karena memang dirinya yang belanja buah dan sayur untuk keluarga Malika.
"Eh, meskipun sudah ditutup pakai gamis dan jilbab besar, Bu Lika masih kelihatan seksi dan menggoda. Apalagi kalo pake daster belahan dada rendah itu. Nggak heran kalau Mas Heru tergila-gila sama Bu Lika…”
“Mas Heru…?!” gumam Malika tercekat.
Malika yang mulai menyapukan alas bedak ke wajahnya seketika tercekat. Untuk beberapa saat ia terdiam. Teringat pada sopir pribadinya Pramono yang belum lama ini mengundurkan diri setelah bekerja di rumahnya selama 3 tahun.“Oh ya, saya heran Bu. Kayaknya ada yang janggal dari keluarnya Mas Heru.”
“Emm… apa yang kamu tahu?” pancing Malika penasaran. Tidak puas hanya lewat cermin, Malika memutar tubuhnya langsung menghadap Darsih.
ARTnya ini seperti paranormal saja. Tahu aja masalah banyak orang. Maklumlah, sering ngrumpi di pasar atau warung ketika belanja.
“Mas Heru itu sering bilang sama saya, betah sekali kerja di sini. Punya majikan yang baik, ramah dan tidak pelit. Waktu Bu Lika memberi uang tiga juta untuk biaya sekolah anaknya, Mas Heru langsung menemui saya sambil nangis. Eehh… dua hari kemudian malah keluar. Mendadak pula,” Darsih mengisahkan panjang lebar. Mimik penasaran dan prihatin menggayuti wajahnya.
“Lha, waktu Mbak Sih ke rumahnya buat ngantar uang pesangon, sempat tanya nggak, apa alasannya dia keluar?”
“Iya sih Bu, Mas Heru bilang mau bikin usaha gitu. Jualan buah atau martabak. Tapi kok raut mukanya kayak sedih sama menahan kesal” Darsih menirukan ekspresi wajah lelaki yang pernah menjadi teman curhatnya itu.
Malika menarik nafas panjang dan menghembuskannya pelan-pelan.
“Eemm... mbak Sih. Sebenarnya Mas Pram tahu aku memberi uang sama Heru. Dia cemburu. Padahal aku sama sekali nggak menaruh hati sama dia. Hanya kasihan. Bahkan aku risih dan takut dengan tatapannya. Aku rasa, Mas Pramono yang menyuruh Heru keluar. Istilah kasarnya diusir gitu…”“Saya juga sempat berpikir begitu, Bu. Tapi takut ngomong sama Ibu,” timpal Darsih cengar-cengir.
Sehari setelah Heru mengundurkan diri, Malika menyuruh Darsih memberikan pesangon sebanyak 5 juta. Malika tahu suaminya sudah memberikan pesangon sebanyak 3 kali gaji. Malika yang dasarnya dermawan dan kasihan juga memberinya.
Malika berharap, uang itu bisa dipakai modal usaha dan memenuhi hidup selama enam bulan ke depan.
Bayangan Darsih perlahan menghilang berganti sosok Heru, pria 2 putra berusia hampir kepala empat. Malika yang teringat rumahnya diobrak-abrik preman lantas mengaitkannya dengan pemecatan Heru oleh Pramono.
“Bisa jadi Heru sakit hati dan menyuruh preman menyerang rumahku.”
Sesaat kemudian Malika menepis dugaannya. "Ah, tapi Heru nggak punya banyak uang untuk membayar tiga preman sekaligus."Tak lama kemudian Malika kembali berasumsi. "Namun, seseorang bisa berbuat nekat dan melakukan apa saja untuk melampiaskan dendamnya. Bisa jadi uang pesangon yang jumlah totalnya dua belas juta dipakai Heru untuk membayar tiga preman itu."
Seperti peristiwa yang banyak diulas di koran atau televisi. Di mana ada pembunuh bayaran yang rela dibayar dua juta untuk menghilangkan nyawa orang lain. Bahkan ada pula yang hanya dibayar satu juta atau lima ratus ribu ribu saja.".
"Astogfirullohaladziem. Jika sudah kepepet ekonomi, manusia bisa melakukan apa saja untuk bisa bertahan hidup.”
Jadi tidak mustahil, Heru bisa melakukan hal yang sama untuk melampiaskan kekecewaan dan sakit hatinya terhadap keluarganya.
***Dalam perjalanan Darsih mengungkapkan ueg-unegnya tentang preman yang mengobrak-abrik rumah Malika. Heru masih menekuri layar ponsel, membaca chat yang masuk hanya manggut-manggut.“Mas Heru, masak sampeyan nggak tahu sih?” seru Darsih agak keras. Sewot karena merasa diacuhkan sama Heru.Lelaki itu tergagap. “Eh iya, Mbak. Aku tahu dari Mas Mario...”“Soalnya peristiwa itu telah mengubah hidupku, jadi gembel kayak gini. Menurut sampeyan, siapa kira-kira pelakunya? Sumpah, aku masih penasaran sampai sekarang,” Darsih belum puas bicara, masih berkeluh kesah. Heru mematikan ponselnya dan menggeleng perlahan. “Namanya saja kejahatan, Mbak.Lama-lama juga akan ketahuan.”Pulang dari counter, Darsih melihat mobil hitam berhenti di depan gang. Di samping kantor polisi. Tulisan ‘DUA Putri’ di kaca depan bagian atas membuat langkah Darsih terhenti. Dahinya mengeryit. Sontak menuju belakang mobil dan nampaklah gambar buah jeruk. Darsih terkesiap kaget.“Ya Allah...! Mobil iniiii...
Darsih pulang dari warung sebelah untuk membeli makan. Kalau siang dan ramai begini Darsih berani keluar. Hanya sekitar kosan saja, tidak berani jauh-jauh. Syukurlah banyak penjual makanan dan kebutuhan sehari-hari.Jika pingin sesuatu yang tidak ada di sini, baru minta tolong sama si Bombom. Darsih membuka nasi bungkus dan menikmati pelan-pelan. Hanya lauk tempe sama oseng teri. Ia harus berhemat karena uangnya tidak banyak.Pas ke sini sempat menjual cincin seharga satu juta. Buat bayar kos, beli majic jar dan makan sehari-hari. Kini tinggal 300 ribu.POnselnya berdering. Darsih mengangkat dengan malas. Nama yang tak asing lagi.“Mbak, ini Mario. Tolong emasnya itu kasih temanku. Nanti jam tiga sore ditunggu di depan pasar. Dia sopir truk. Malam ini mau berangkat ke Mojokerto, biar nanti dikasihkan kepada Mas Pram.”Darsih tertegun sejenak. Enak sekali Mario ngomong. Ia segera teringat sama Malika yang kekurangan uang saat ini.“Gimana Mbak, bisa kan?” “Eemm... jauh Mas. Kutung
Siang itu, seorang perempuan berjilbab keluar dari minimarket menenteng dua tas belanjaan. Tiba di tempar parkir celingukan mencari seseorang. Akhirnya ia duduk di bawah pohon. Membuka ponsel dan memencet nama Pramono.“Oohh iya... dia kan tidak pegang ha-pe. Ternyata pelupa juga Mas Pram ini,” gumamnya dan menaruh lagi dalam tas kecilnya.Tak lama kemudian Pramono datang dari pertokoan di depan mini market. Tangannya membawa kresek hitam dan kotak ponsel. Wajahnya yang kuning berseri-seri. Dilihat sekilas Pramono seperti memiliki darah Jepang. Rambutnya lurus dengan hidung tinggi. Namun matanya lebar.Dahi Nana berkerut melihat benda di tangan Pramono, “Lho... Beli ha-pe baru?" “Oohh... zaman sekarang Dik, tidak ada ha-pe seperti hidup di zaman purba. Tidak bisa menghubungi rekan bisnis untuk bertukar info kerjaan. Tidak bisa menerima telpon dari anak-anakku. Tapi ada baiknya juga. Tiga hari tanpa ha-pe bisa baca buku dan majalah sepuasnya, he he he...” “Hobi yang bermanf
Tidak ada jawaban. Terdengar suara berisik di seberang telpon. “Marioo... dengar aku kan?” Malika mengeraskan suaranya.“Maa-aaf... aku masih ada pertemuan dengan seseorang. Iii-ya mbak. Pokoknya special buat kakakku. “ “Barusan aku telponan sama Papa?”“Ooohh... baguslah kalau begitu. Kemarin kusuruh Papa meluangkan waktu untuk menghubungi Mbak Lika. Papa sekarang sibuk di kebun, mengurusi kayu sengon.” “Iya. Tadi Papa bercerita banyak tentang pohon sengon yang ditanamnya. Sudah berumur delapan tahun. Harus dikurangi pohonnya biar yang lain bisa tumbuh besar. ““Tanahnya papa ada di mana saja sih, Mbak?” “Di Mojokerto ada dua hektar. Sama di Pasuruan juga dua hektar. Yang di Pasuruan satu hektar ditanami pohon jati. Tapi masih muda, baru umur lima belas tahun…”“Jati umur segitu masih muda?” potong Mario heran. “Iyalah. Buruh waktu tiga puluh tahun ke atas untuk mendapatkan jati yang besar dan bagus. Kalau sengon umur sepuluh tahun sudah bisa dipanen...”“Dua tah
Siang itu Adam dan kru film pendek bersiap pergi ke tempat sooting. Malika mengajak Putu Astari. Wanita berbodi semlohai itu senang sekali bakalan mendapat pengalaman baru. Bahkan ia rela libur jualan dua hari ke depan. Dengan semangat 2022, Putu Astari membantu menaikkan semua properti dan perlengkapan ke dalam truk kecil yang dipinjam Anton dari temannya. Anton bagian menata di dalam truk. “Tangkap Maass...!” seru Putu Astari mengangkat kardus ukuran sedang ke arah Anton. “Jangan dilempar, Mbak. Itu isinya lap top sama lensa!” Anton berseru mencegahnya.“He he, bercanda kok.” Sedangkan Malika masih sibuk menyiapkan bahan makanan yang akan dibawa. Dipastikan cukup selama tiga hari dua malam di tempat sooting. Wajahnya berbinar-binar. Merasa diri kembali muda. Teman-temannya Adam yang lain sudah berada di lokasi sooting sejak kemarin. Kali ini Malika mengenakan celana dan hem panjang. Lokasi soting berada di pedesaan dan tepi hutan. Kurang bebas gerakny
Darsih tidak mau meratapi nasib. Ia tahu apa yang dialami sudah menjadi suratan takdir dari Yang Maha Kuasa. Dirinya tinggal menjalani. Ia bersyukur masih hidup, masih ada makanan yang disediakan oleh penculik. Waktu senggang yang melimpah digunakan untuk menambah ibadah salatnya. Ngajinya meskipun hanya lewat Juzama kecil. Air cukup banyak meskipun kamar mandinya tanpa pintu. Setiap hari Darsih masak, dan bersih-bersih. Darsih baru menyadari ponselnya tidak ada ketika mengambil baju ganti di dalam tasnya. Mereka telah menyitanya. Selama tiga hari mereka tidak pernah datang. Sepanjang hari itu pula Darsih terus memasak singkong. Dibakar, direbus. Digoreng. “Tiap hari makan singkong, bisa meletus perutku.” Benar saja. Tiap saat suara letusan keluar. Mengeluarkan gas dari area pembuangan. Untunglah lampu bisa menyala. Jika tidak, Darsih sudah mati ketakutan di dalam gudang. Apalagi pernah malam-malam pintu diketuk orang. Terus suara langkah berat di luar menge