Share

BAB 05

     "Kemana kamu, Mario. Ayo angkat. Tolonglah,” gusar Malika tak sabar.

     Sudah tiga hari ini ia terus menghubungi nomor adiknya, tapi tidak juga diangkat. Hanya terdengar suara operator nomor berada di luar area. Chat yang dikirim sejak tiga hari lalu belum juga dibaca. Bahkan masih centang satu. 

     “Apa Mario ganti nomor ya? Kalau bener, kenapa nggak mau ngirim nomor barunya sama aku,” keluh Malika sambil mondar-mandir di depan televise dengan hati mendongkol.

     "Anak muda nggak ada aklaq. Bikin orang tua sewot aja."

      Mendadak langkah Malika terhenti, tiba-tiba terselip rasa khawatir. "Jangan-jangan Mario kenapa-kenapa. Nggak biasanya ia seperti ini. Selama ini ia selalu nurut sama aku. Selalu gercep jika kumintai pertolongan."

     Malika kembali mondar-mandir. Tanpa sadar jemarinya meremas-remas ujung handuk yang tersampir di lehernya. Takut terjadi apa-apa dengan adiknya.

    "Ya Allah, lindungilah dimanapun Mario berada. Juga diri kami semua. Kami hanya melakoni apa yang telah menjadi ketetapanmu. Jalan yang telah engkau gariskan. Saya hanya minta kesabaran dan kekuatan iman untuk menjalaninya."

    Malika mengakhiri keluh kesahnya dengan doa "Laa haula walaaquwwata illaa billah... Tiada daya dan kekuatan selain dari Allah. Aamiin."

    Malika menghembuskan nafas panjang. Perasaannya berangsur tenang. "Kalo gitu aku mandi dulu aja. Nurunin hawa panas di kepala," Malika menaruh ponselnya di atas meja, lantas bergegas ke kamar mandi. 

     Di daerah berhawa dingin ini Malika memilih mandi tengah hari. Jam 11 siang atau satu jam sebelum tiba waktu dhuhur. Sekalian wudhu untuk melaksanakan salat Dhuha, dilanjut dengan salat Dhuhur.

    Meskipun shower listrik untuk menghangatkan air, Malika lebih memilih mandi dengan air dingin. Disamping lebih segar, air dingin juga baik untuk kesehatan.

    Baru saja Malika menuang sampo pada kepalanya, terdengar bunyi ring tone lagu Dahlia Hitam dari ponselnya. “Pasti Mario. Sabaarr. Sabaaarrr…!”

    Gebyur. Gebyur. Malika mengguyur tubuhnya dengan tergesa. Tidak perlu terlalu bersih. Handuk dililitkan ala kadar ke tubuhnya, kemudian melesat keluar kamar mandi. 

    Malika langsung menyambar ponsel dan melihat history panggilan. Seketika binar mata Malika meredup. Ah, bukan Mario. “Nomor baru. Siapa yaa?”

    Daripada penasaran, Malika langsung menelpon balik nomor tersebut. Meski sudah tiga kali dipanggil, tapi belum tersambung juga.

    Sebelum menaruh kembali ponselnya ke meja lagi, Malika melihat ke profil Mario. Tetap seperti tadi. Chatnya yang dikirim masih centang satu. 

    Dengan menahan kecewa Malika masuk kamar. Tiba di kamar, Malika tidak segera mengambil baju ganti. Ia justru berdiri di depan cermin, mematut tubuhnya. Hal yang jarang dilakukan. Rambutnya yang basah meneteskan air ke lantai. 

     Sesekali Malika berputar melihat bodi bagian samping dan belakang sembari mengeringkan rambut sebahunya dengan handuk yang lebih kecil.

    Yakin deh, semua wanita pasti hobi melakukan ini.

    Tubuhnya hanya dililit handuk setinggi lutut. Tubuh sintal berbalut kulit kuning sawo matang. Masih singset, halus dan bersinar. Alami tanpa sutik botox atau pemutih.

     Buah dadanya masih montok meskipun telah menyusui 2 orang anak. Tentu saja ada perubahan seiring bertambahnya usia. Namun tidak terlalu kentara.

     “Eemm… nggak kalah sama yang usia tiga puluh tahunan,” Malika tersenyum puas.

***

    “IIiihh… Mbak Darsih, segitunya lihat aku,” seru Malika risih. 

     Lewat pantulan cermin di kamarnya, Malika bisa melihat Darsih tak berkedip memperhatikannya.

     Wanita yang sudah 5 tahun bekerja di rumah Malika menyandarkan punggung pada daun pintu yang sedikit terbuka.     

     Dari mulai Malika memakai be-ha, celana dalam hingga memakai gamis biru laut yang baru dibawakan Darsih. Tentu saja masih dalam balutan handuk.

    Setelah tubuhnya tertutup sempurna oleh gamis, barulah ia melepaskan handuk lewat bawah.

     “Nanti ngiler lho, Mbak,” cetus Malika lagi sambil mengaitkan kancing depan gamisnya.

     Darsih tertawa penuh arti. "Tidaklah Bu, saya masih normal kok. Penggemar pisang juga... seperti ibu he he..."

     "Ha ha ha... mbak Sih, sore-sore gini bikin bulu kuduk merinding," Malika mengerling manis. "Mana Pak Suami lagi dapat proyek di luar kota."

    Darsih ikut tertawa. 

    Kedatangannya ke kamar Malika untuk membawakan gamis yang baru disetrikanya. Hari ini Malika akan pergi ke tempat hajatan salah seorang temannya.

    “Tapi merinding juga lihat bodi Bu Lika. Apalagi dua benda bulat itu,” selorohnya tak bisa menutupi rasa kagum.

     “Punyamu juga besar, Mbak Sih. Apalagi masih utuh, belum pernah kasih asi sama anak,” tukas Malika begitu melihat sorot iri pada mata Darsih.

    Malika duduk di kursi rias. Menyisir rambut legamnya yang mengurai di bawah bahu, lantas diikat menjadi satu.

     Selanjutnya ia meraih alas bedak. Meskipun Malika seorang wanita pengusaha dan berduit, alat-alat kecantikan yang dimiliki Malika harganya standar saja. Semua hasil produksi dalam negeri.

     Beberapa kali Malika pernah ikutan beli produk kosmetik  import yang harganya jutaan, tapi tidak cocok sama kulitnya.

     “Tapi punya bu Lika kuning, mulus dan kinclong..."

     "Mba Sih kan tahu sendiri. Buat menjaga kulit tetap sehat dan kinclong, aku lebih banyak mengonsumsi buah, sayur dan minum air putih yang banyak. Ditambah asupan suplemen vitamin E dan C."

    Darsih manggut-manggut karena memang dirinya yang belanja buah dan sayur untuk keluarga Malika.

     "Eh, meskipun sudah ditutup pakai gamis dan jilbab besar, Bu Lika masih kelihatan seksi dan menggoda. Apalagi kalo pake daster belahan dada rendah itu. Nggak heran kalau Mas Heru tergila-gila sama Bu Lika…”

    “Mas Heru…?!” gumam Malika tercekat.

Malika yang mulai menyapukan alas bedak ke wajahnya seketika tercekat. Untuk beberapa saat ia terdiam. Teringat pada sopir pribadinya Pramono yang belum lama ini mengundurkan diri setelah bekerja di rumahnya selama 3 tahun.

     “Oh ya, saya heran Bu. Kayaknya ada yang janggal dari keluarnya Mas Heru.”

     “Emm… apa yang kamu tahu?” pancing Malika penasaran. Tidak puas hanya lewat cermin, Malika memutar tubuhnya langsung menghadap Darsih.

    ARTnya ini seperti paranormal saja. Tahu aja masalah banyak orang. Maklumlah, sering ngrumpi di pasar atau warung ketika belanja. 

    “Mas Heru itu sering bilang sama saya, betah sekali kerja di sini. Punya majikan yang baik, ramah dan tidak pelit. Waktu Bu Lika memberi uang tiga juta untuk biaya sekolah anaknya, Mas Heru langsung menemui saya sambil nangis. Eehh… dua hari kemudian malah keluar. Mendadak pula,” Darsih mengisahkan panjang lebar. Mimik penasaran dan prihatin menggayuti wajahnya.

     “Lha, waktu Mbak Sih ke rumahnya buat ngantar uang pesangon, sempat tanya nggak, apa alasannya dia keluar?”

    “Iya sih Bu, Mas Heru bilang mau bikin usaha gitu. Jualan buah atau martabak. Tapi kok raut mukanya kayak sedih sama menahan kesal” Darsih menirukan ekspresi wajah lelaki yang pernah menjadi teman curhatnya itu.

    Malika menarik nafas panjang dan menghembuskannya pelan-pelan.

“Eemm... mbak Sih. Sebenarnya Mas Pram tahu aku memberi uang sama Heru. Dia cemburu. Padahal aku sama sekali nggak menaruh hati sama dia. Hanya kasihan. Bahkan aku risih dan takut dengan tatapannya. Aku rasa, Mas Pramono yang menyuruh Heru keluar. Istilah kasarnya diusir gitu…”

     “Saya juga sempat berpikir begitu, Bu. Tapi takut ngomong sama Ibu,” timpal Darsih cengar-cengir.

     Sehari setelah Heru mengundurkan diri, Malika menyuruh Darsih memberikan pesangon sebanyak 5 juta. Malika tahu suaminya sudah memberikan pesangon sebanyak 3 kali gaji. Malika yang dasarnya dermawan dan kasihan juga memberinya.  

    Malika berharap, uang itu bisa dipakai modal usaha dan memenuhi hidup selama enam bulan ke depan. 

     Bayangan Darsih perlahan menghilang berganti sosok Heru, pria 2 putra berusia hampir kepala empat. Malika yang teringat rumahnya  diobrak-abrik preman lantas mengaitkannya dengan pemecatan Heru oleh Pramono. 

    “Bisa jadi Heru sakit hati dan menyuruh preman menyerang rumahku.” 

Sesaat kemudian Malika menepis dugaannya. "Ah, tapi Heru nggak punya banyak uang untuk membayar tiga preman sekaligus."

    Tak lama kemudian Malika kembali berasumsi. "Namun, seseorang bisa berbuat nekat dan melakukan apa saja untuk melampiaskan dendamnya. Bisa jadi uang pesangon yang jumlah totalnya dua belas juta dipakai Heru untuk membayar tiga preman itu."

     Seperti peristiwa yang banyak diulas di koran atau televisi. Di mana ada pembunuh bayaran yang rela dibayar dua juta untuk menghilangkan nyawa orang lain. Bahkan ada pula yang hanya dibayar satu juta atau lima ratus ribu ribu saja.".

     "Astogfirullohaladziem. Jika sudah kepepet ekonomi, manusia bisa melakukan apa saja untuk bisa bertahan hidup.”

    Jadi tidak mustahil, Heru bisa melakukan hal yang sama untuk melampiaskan kekecewaan dan sakit hatinya terhadap keluarganya.

***

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status