Malika sudah tiga hari ini berada di Bali. Tepatnya di Kintamani. Daerah pegunungan berhawa sangat dingin. Sebagian besar warganya menanan buah jeruk dan kopi.
Panorama yang sangat indah menjadikannya tujuan wisata. Yang paling banyak dikunjungi adalah Danau Batur dengan 3 gunung yang berjajar mengellilingi danau. Ada gunung Batur, Gunung Abang dan Gunung Agung.
Sore itu usai bersih-bersih rumah dan mandi, Malika menelpon Mario. Ia Ingin tahu keadaan ayah dan kedua anaknya.
Mario menjawab santai dan enteng.“Jangan khawatir, Mbak. Papa baik-baik saja. Aman di rumah ibu. Pulang kantor ini aku akan pulang ke sana. Papa nitip rujak cingur langganan kita.”
“Syukurlah kalo gitu. Dari dulu Papa jarang nelpon kalau nggak penting banget. Ditelpon juga jarang mau jawab,” keluh Malika.
“Begitulah Papa. Apalagi sejak penyakit asam uratnya sering kambuh. Tapi sejak bersama ibu nggak pernah kumat. Ibu terus memperhatikan makanan Papa.”
“Iya, Alhamdulillah. Mbak senang ada yang merawat papa dengan tulus dan perhatian. Oh iya, terus gimana dengan anakku, Diana dan Rona?”
“Haha...Mereka bahkan lebih dari aman, Mbak. Siapa yang berani berbuat onar di pondok pesantren? Preman itu hanya 3 orang, digertak sama satpam pondok langsung terkencing-kencing, ha ha…!”
“Iya juga sih,“ Malika nyengir sambil mengukur kepala.
“Kemarin sudah kutengok mereka, Mbak. Kukasih uang dan makanan juga. Nanti kukirimi videonya deh.”“Makasih banget Dik, aku sudah nggak sabar pingin melihat anakku. Oh iya, kamu sudah lapor polisi kan?”
“Sudah Mbak, kemarin. InsyaaAllah langsung ditindaklanjuti. ““Syukurlah. Aku nggak sabar pingin tahu, siapa yang menyerang rumahku. Mario, menurutmu siapa pelakunya?”“Emm… kurang tahu Mbak. Menurutku sih, mungkin orang yang nggak senang dengan Mbak Lika atau Papa. Nggak ada barang yang hilang kan?”
“Tapi laptopku untuk kerja hilang. Sama iphone dan ATMku juga.”
“Emm… gitu ya. Bisa jadi mereka mengambil barang-barang itu untuk mengecoh polisi. Dikira pencurian biasa, padahal ada unsur balas dendam,” Mario kembali berargumen.
Malika terdiam dan berpikir keras, siapa yang tidak suka dengannya. Seingatnya, selama ini dirinya tidak pernah punya masalah sama orang lain. Tidak pernah bertengkar, apalagi sampai menipu atau menyakiti.
Ah, namanya saja manusia. Bisa jadi ada yang iri dan dengki melihat kehidupan keluarganya yang selama ini berkecukupan dan harmonis.
“Mario, tolong kirimin video Papa dan anak-anak ya. Aku kangen sekali.”
“Siap, Mbak. Aku tutup dulu ya telponnya.”KLIK
Malika merebahkan tubuhnya di kasur beralas sprei ungu sambil terus menggenggam ponselnya. Tubuhnya begitu lelah setelah membersihkan seluruh bagian rumah ini. Membersihkan sarang laba-laba, menyapu lalu mengepel. Malika butuh waktu dua hari untuk membuat rumah ini benar-benar bersih.
Rumah bergaya modern minimalis 2 lantai ini dibiarkan kosong selama 3 tahun. Letaknya bersebelahan dengan kantor perhutani. Ada jalan kecil yang menjadi pembatas rumahnya dengan kantor.
Terus ke belakang menuju hutan kecil yang ditumbuhi pohon pinus. Jalan kecil itu menjadi pembatas antara tanah milik Negara/Dinas Kehutanan dan lahan milik warga, termasuk rumah Budhe Sun.
Enam bulan lalu Malika datang ke rumah ini dan tinggal selama seminggu. Liburan bersama suami, Darsih dan anak-anak. Mario juga ikut. Malika datang lagi dan menginao di sini usau mengikuti seminar dan launching produk kecantikan di kota Denpasar.
"Ngapain aja Mario? Lama sekali? Menus satu ini suka nunda-nunda pekerjaan."
Tidak kunjung mendapat kiriman video dari Mario, akhirnya Malika melakukan video call dengan Budhe Sun, pemilik rumah ini. Ia bangkit dari tempat tidur dan mengedarkan kamera ponsel ke seluruh penjuru rumah untuk diperlihatkan kepada budhenya.
“Lihat Budhe, rumahnya sudah bersih.”
“Ya Allah, jadi kangen ke Bali. Tapi belum berani ninggalin kakakmu. Takutnya nanti mereka pake lagi. Dua bulan lagi mereka juga ujian semester.”Wanita bertubuh mungil paroh baya itu sangat senang dan menangis haru. Kakak sepupu almarhum ibunya itu sekarang tinggal di Yogya.
“Inggih Budhe. Itulah kenapa anak-anak saya sekolahkan di pondok pesantren. Bukannya saya lepas tangan sebagai ibu, namun untuk masa depannya. Di pesantren semua ilmu sudah diajarkan. Kita orang tua jadinya tenang dalam bekerja dan tinggal kirim uang.”
“Iya Nduk. Budhe juga menyesal, kenapa dulu nggak ngikuti omongan ayahmu buat naruh anak-anak di pesantren. Pakdhemu yang nggak mau, katanya nggak mau jauh dari anak-anak. Eh, begitu pakdhe meninggal, anak-anak malah salah pergaulan.”
“Inggih Budhe, saya doakan Mas Deri sama Mas Anam lekas sembuh dan tobat selamanya.”
“Aamiin. Makasih doanya, Nduk. Selamat istirahat. Oh ya, Nduk, kalau butuh baju buat sehari-hari cari saja di lemariku, pilihlah yang kau suka. Nggak usah beli.”Setelah mengucapkan terima kasih, Malika mematikan ponsel. “Kasihan Budhe, kedua anaknya terseret dalam pergaulan bebas dan pakai narkoba. Untunglah, hanya direhabilitasi, tidak dipenjara. Sekarang Budhe harus mendampingi mereka terus.”
Ada lima belas menit Malika dan budhenya mengobrol lewat vedo call. Dari lantai atas Malika pun kembali ke bawah.
Baru beberapa menit Malika mematikan hand phone. Budhe Sun nelpon. “Malika, apa kamu ke sini sama suamimu?”
“Sendirian saja, Budhe.”“Ooohh, tadi waktu kamu naik tangga ke atas. Budhe kayak lihat ada laki-laki berdiri di samping pintu keluar. Kukira itu Pramono.”Dahi Malika seketika mengeryit. Ketika menaiki tangga tadi, tatapan Malika memang focus ke lantai, sementara kamera hand phone terus mengarah ke atas.
“Mas Pram lagi ada proyek di Malang, Budhe.”“Budhe juga nggak yakin itu Pram. Memang mirip, tapi yang kulihat tadi lebih muda.”
Setelah menutup telpon, Malika bergegas ke lantai atas. Dengan rasa penasaran dan sedikit takut, Malika kembali mengecek kamar yang ada dua ruang, toilet dan ruang keluarga.
Semua kosong dan tidak ada tanda-tanda habis didatangi orang. Pintunya yang langsung menghadap hutan dan danau sudah dikunci sejak tadi, usai video call dengan budhenya.
“Mirip Pramono tapi lebih muda,” desis Malika menirukan ucapan Budhe Sun.
Malika masih berdiri di depan jendela kaca memperhatikan keluar. Di samping balkon ada tangga ke bawah yang tersambung ke dapur. Tidak ada pagar atau kunci pengaman. Jadi siapa saja bisa naik tangga menuju balkon. Ini yang membuat Malika agak miris dan takut.
“Kalau gitu, nggak usah kubuka pintu ini jika nggak ada hal penting. Takutnya ada orang jahat menyelinap masuk rumah lewat tangga itu.”
Setelah memastikan semua aman, Malika kembali ke bawah. Krucuk. Krucuk. Perut Malika tiba-tiba berkokok. Ia baru makan sekali siang tadi.
Malika harus benar-benar berhemat. Perhiasan yang nempel di badan hanya 2 cincin, anting-anting dan seuntai kalung. Semuanya berat 8 gram. Jika dijual paling laku 5 juta.
Tapi saat ini Malika belum ingin menjualnya. Ia akan menggunakan uang yang ada, meskipun tidak banyak. Toh, kebutuhannya saat ini tidak banyak. Paling untuk beli makan, pulsa atau alat-alat mandi.
***
"Kemana kamu, Mario. Ayo angkat. Tolonglah,” gusar Malika tak sabar. Sudah tiga hari ini ia terus menghubungi nomor adiknya, tapi tidak juga diangkat. Hanya terdengar suara operator nomor berada di luar area. Chat yang dikirim sejak tiga hari lalu belum juga dibaca. Bahkan masih centang satu. “Apa Mario ganti nomor ya? Kalau bener, kenapa nggak mau ngirim nomor barunya sama aku,” keluh Malika sambil mondar-mandir di depan televise dengan hati mendongkol. "Anak muda nggak ada aklaq. Bikin orang tua sewot aja." Mendadak langkah Malika terhenti, tiba-tiba terselip rasa khawatir. "Jangan-jangan Mario kenapa-kenapa. Nggak biasanya ia seperti ini. Selama ini ia selalu nurut sama aku. Selalu gercep jika kumintai pertolongan." Malika kembali mondar-mandir. Tanpa sadar jemarinya meremas-remas ujung handuk yang tersampir di lehernya. Takut terjadi apa-apa dengan adiknya. "Ya Allah, lindungilah dimanapun Mario berada. Juga diri kami semua. Kami hanya melakoni
"Malikaaa… kebiasaan buruk. Apa susahnya bawa baju ganti ke kamar mandi. Nggak hanya pakai handuk begini. Kamu mau diperkosa orang?!” hardik Pramono geram melihat istrinya keluar kamar mandi hanya mengenakan handuk. Tubuhnya yang tertutupi dari batas dada hingga pertengahan paha. Persis bayi pakai grito. Saat itu Pramono benar-benar murka. Begitu Malika telah masuk kamar. Ia mendorong tubuh istrinya ke tembok, lalu menudingi muka Malika dengan wajah merah penuh emosi. Sementara tangan kirinya berkacak pinggang. “Di kamar kita ini sudah ada kamar mandi. Masih saja mandi dekat dapur. Kamu sengaja ya buat menggoda Heru sama Mario! Kamu ingin mancing nafsu mereka untuk memperkosamu. Kalau begitu, percuma kamu pakai gamis dan jilbab!” Malika benar-benar sangat takut. Ia sampai menangis tersedu-sedu. Sakit hati dan raga. Ucapan kasar dan pedas Pramono meruntuhkan kekerasan hati Malika. Seketika bakat ngeyelnya runtuh. Yang ada hanya rasa pilu dan terkoyak. Merasa sa
Sepasang mata khas lelaki Timor yang membulat itu memaku pada wajah Malika, lantas turun menelusuri tubuh bagian bawah hingga ke kaki. Namun hanya sebentar, kemudian kembali lagi ke atas. “Be-benarkah ini Bu Malikaaa…?!” desis Anton hampir tak terdengar. Ingatan Malika tentang si pemuda segera terajut.“Lho, kamu yang dulu ngekos dekat rumah Budhe Sun itu kan? Sekarang kok ada di sini?” seru Malika kembali teringat peristiwa enam bulan lalu. “Eh ibu. Iya Bu. Hanya sebulan. Sementara aja di sana. Sekarang kami tinggal kerja di sini,” jawab pemuda yang diperkirakan berusia 25-an tahun itu gugup. Malika hanya manggut-manggut, terpaku pada tahi lalat di dagunya. Semakin menambah manis saat ia tersenyum. Giginya berderet rapi dan putih. Sangat kontras dengan kulit tembaganya. “Le, Anton. Diajak masuk tamunya. Kasihan kedinginan di luar!” suara lelaki bernada berat terdengar dari dalam. “Inggih, Pak.” Anton mengiyakan. Dengan sigap kedua tangannya membuka leb
Pramono baru keluar dari lobi hotel, tempatnya meeting bersama pejabat Kementerian dari Jakarta. Usai meninjau loksi proyek gedung yang sedang digarapnya sekarang. Sebagai direktur pelaksana tugas Pramono berada di lapangan. Dan selama ini Pramono lebih sering di sini, mengawasi langsung proses pembangunan gedung serba guna dua lantai yang sudah dimulai empat bulan lalu. Kini memasuki tahap pemasangan atap. Usai pertemuan, para pejabat daerah membawa tamunya jalan-jalan ke daerah Batu dan Waduk Karangkates. Pramono mengantar sampai halaman hingga mobil dinas kabupaten itu meninggalkan hotel. Bergegas ia kembali ke lobi bagian samping. Menghampiri perempuan berjilbab yang duduk di pinggir balkon memandangi kolam renang. “Dik Dewii, eh Nana... maaf ya, sudah menunggu lama!" serunya beberapa langkah sebelum menggapai kursi yang diduduki si perempuan. Entah berapa kali ia salah menyebut nama. Perempuan itu menoleh, tersenyum tipis ke arah pria yang berhenti di sam
Pramono membantu menurunkan sayuran yang berjumlah tiga kresek dengan tergesa-gesa ke dalam mess. Tanpa banyak bicara. “Maaf ya Dik, sampeyan pulang ke kos jalan kaki atau ngojek saja ya. Saya harus segera pulang. Ada urusan penting.” “Ii-yaa... Mas.” Usai pamit, setengah berlari Pramono menuju mobilnya dan langsung masuk. Nana mengiringi kepergian mobil Pramono dengan perasaan tak menentu. Sejak di dalam mobil tadi Pramono nampak gelisah, bingung dan murung. Padahal waktu berangkatnya tadi terlihat tenang, ceria bahkan bersenandung kecil. Meskipun penasaran namun Nana tidak berani bertanya. Ah, apa haknya bertanya. Dirinya hanya tukang masak di sini. Hanya pembantu. Nana melangkah lunglai menuju kosnya sejauh dua ratus meter dari mess. Tidak terlalu jauh. Sampai di kamar langsung rebahan di kasur. Di luar gerimis kecil mulai menitis menyambut senja. Dalam galaunya, Nana memasang status gambar seorang pria yang yang melenggang pergi dengan sound t
“Alhamdulillah, sekarang aku ada kerjaan. Nggak mengganggur lagi. Yah, meskipun belum tahu akan hasilnya nanti, yang terpenting sekarang berusaha terlebih dulu," Malika melonjak senang ketika Data D yang dienter menampilkan deretan judul novel dan tulisannya. Ia mencoba klik beberapa judul dan menampilkan layar word yang lengkap dengan deretan kata. Ia makin girang. “Ini banyak sekali novelnya Ibu. Nggak dikirim ke penerbit aja, Bu. Atau flatform online. Saya juga berlangganan novel online.” “Iya, rencananya begitu. Ini cerita lama semua. Sudah dua tahun aku nggak nulis. Sibuk ngurusin bisnis kosmetik, tapi sampai saat ini belum ada hasilnya. Malik memalingkan muka menghadap Adam. Kedua matanya berkedip-kedip sayu. "Eemm... sedihnya, uangku dua milyar yang kupasok ke sana baru kembali tiga ratus juta. Itupun sudah habis buat modal menanam pohon sengon. Umurnya baru lima belas bulan. Perlu waktu sepuluh tahun lagi baru panen." Tanpa diminta Malika mengunkapka
Uai salat magrib Malika keluar rumah untuk membeli makan. Begitu membuka pintu, tatapan Malika segera menyapu ke halaman rumah. Kali pertama yang dituju adalah gerobak motor yang menjual kopi dan gorengan. Mangkal sebelum pintu masuk ke lorong, tepat di depan kantor perhutani. Jika pagi hari sampai sore mangkal di seberang jalan. Malamnya baru pindah ke sini. Tinggal mendorong gerobaknya. Bapak penjual kopi sibuk melayani pembeli yang berjubel, dibantu putri cantiknya yang menjadi daya pikat tersendiri bagi pembeli. Namun jika malam begini sang anak jarang ikut. Istrinya yang sering membantu. Tepat di sebelahnya ada penjual jagung bakar dan kacang rebus. Beberapa lelaki berselimut sarung duduk menikmati kopi dan jajanan. Mereka duduk lesehan di atas karpet yang digelar tidak jauh dari teras kantor perhutani. Penjual kopi yang menyediakan karpet itu. Seperti biasa dibarengi obrolan seru. Canda tawa sesekali terdengar membahana. Logat Surabaya dan Madura te
Sementara itu di dalam rumah, Malika yang ketakutan langsung mengecek semua pintu dan jendela. Memastikan semua sudah terkunci rapat. Selesai di lantai bawah, Malika pun ke lantai atas. Mengintip keluar lewat celah kelambu. "Takutnya lelaki itu bersembunyi di balkon atas. Oohh, syukurlah..." Malika bernafas lega melihat kondisi balkon kosong dan sunyi. Dirasa telah aman, Malika berbalik untuk kembali ke bawah. Namun, langkahnya mendadak terhenti di depan kamar satu-satunya di lantai atas ini. Pijar lampu neon 20 watt terlihat di bawah pintu. Lampu kamar itu sengaja dibiarkan terus menyala untuk mengurangi kesuraman dan aroma seram rumah ini. Tahu sendiri jika rumah lama dibiarkan kosong. Makluk halus dengan senang hati akan menempatinya. Hanya sekali Malika masuk ke dalam kamar untuk membersihkannya. Ruangan yang cukup luas berukuran 4x5 meter dilengkapi kamar mandi dalam dan shower air panas. Ada kompor listrik dan alat-alat makan lainnya. Tidak