Share

BAB 04

last update Dernière mise à jour: 2022-07-27 09:08:05

Malika sudah tiga hari ini berada di Bali. Tepatnya di Kintamani. Daerah pegunungan berhawa sangat dingin. Sebagian besar warganya menanan buah jeruk dan kopi.

Panorama yang sangat indah menjadikannya tujuan wisata. Yang paling banyak dikunjungi adalah Danau Batur dengan 3 gunung yang berjajar mengellilingi danau. Ada gunung Batur, Gunung Abang dan Gunung Agung.

Sore itu usai bersih-bersih rumah dan mandi, Malika menelpon Mario. Ia Ingin tahu keadaan ayah dan kedua anaknya.

Mario menjawab santai dan enteng.

“Jangan khawatir, Mbak. Papa baik-baik saja. Aman di rumah ibu. Pulang kantor ini aku akan pulang ke sana. Papa nitip rujak cingur langganan kita.”

“Syukurlah kalo gitu. Dari dulu Papa jarang nelpon kalau nggak penting banget. Ditelpon juga jarang mau jawab,” keluh Malika. 

“Begitulah Papa. Apalagi sejak penyakit asam uratnya sering kambuh. Tapi sejak bersama ibu nggak pernah kumat. Ibu terus memperhatikan makanan Papa.”

“Iya, Alhamdulillah. Mbak senang ada yang merawat papa dengan tulus dan perhatian. Oh iya, terus gimana dengan anakku, Diana dan Rona?”

“Haha...Mereka bahkan lebih dari aman, Mbak. Siapa yang berani berbuat onar di pondok pesantren? Preman itu hanya 3 orang, digertak sama satpam pondok langsung terkencing-kencing, ha ha…!”

“Iya juga sih,“ Malika nyengir sambil mengukur kepala.

“Kemarin sudah kutengok mereka, Mbak. Kukasih uang dan makanan juga. Nanti kukirimi videonya deh.”

“Makasih banget Dik, aku sudah nggak sabar pingin melihat anakku. Oh iya, kamu sudah lapor polisi kan?”

“Sudah Mbak, kemarin. InsyaaAllah langsung ditindaklanjuti. “

“Syukurlah. Aku nggak sabar pingin tahu, siapa yang menyerang rumahku. Mario, menurutmu siapa pelakunya?”

“Emm… kurang tahu Mbak. Menurutku sih, mungkin orang yang nggak senang dengan Mbak Lika atau Papa. Nggak ada barang yang hilang kan?”

“Tapi laptopku untuk kerja hilang. Sama iphone dan ATMku juga.”

“Emm… gitu ya. Bisa jadi mereka mengambil barang-barang itu untuk mengecoh polisi. Dikira pencurian biasa, padahal ada unsur balas dendam,” Mario kembali berargumen.

Malika terdiam dan berpikir keras, siapa yang tidak suka dengannya. Seingatnya, selama ini dirinya tidak pernah punya masalah sama orang lain. Tidak pernah bertengkar, apalagi sampai menipu atau menyakiti.

Ah, namanya saja manusia. Bisa jadi ada yang iri dan dengki melihat kehidupan keluarganya yang selama ini berkecukupan dan harmonis.

“Mario, tolong kirimin video Papa dan anak-anak ya. Aku kangen sekali.”

“Siap, Mbak. Aku tutup dulu ya telponnya.” 

KLIK

Malika merebahkan tubuhnya di kasur beralas sprei ungu sambil terus menggenggam ponselnya. Tubuhnya begitu lelah setelah membersihkan seluruh bagian rumah ini. Membersihkan sarang laba-laba, menyapu lalu mengepel. Malika butuh waktu dua hari untuk membuat rumah ini benar-benar bersih. 

Rumah bergaya modern minimalis 2 lantai ini dibiarkan kosong selama 3 tahun. Letaknya bersebelahan dengan kantor perhutani. Ada jalan kecil yang menjadi pembatas rumahnya dengan kantor.

Terus ke belakang menuju hutan kecil yang ditumbuhi pohon pinus. Jalan kecil itu menjadi pembatas antara tanah milik Negara/Dinas Kehutanan dan lahan milik warga, termasuk rumah Budhe Sun.

Enam bulan lalu Malika datang ke rumah ini dan tinggal selama seminggu. Liburan bersama suami, Darsih dan anak-anak. Mario juga ikut. Malika datang lagi dan menginao di sini usau mengikuti seminar dan launching produk kecantikan di kota Denpasar. 

"Ngapain aja Mario?  Lama sekali? Menus satu ini suka nunda-nunda pekerjaan."

Tidak kunjung mendapat kiriman video dari Mario, akhirnya Malika melakukan video call dengan Budhe Sun, pemilik rumah ini. Ia bangkit dari tempat tidur dan mengedarkan kamera ponsel ke seluruh penjuru rumah untuk diperlihatkan kepada budhenya.  

“Lihat Budhe, rumahnya sudah bersih.”

 “Ya Allah, jadi kangen ke Bali. Tapi belum berani ninggalin kakakmu. Takutnya nanti mereka pake lagi. Dua bulan lagi mereka juga ujian semester.”

Wanita bertubuh mungil paroh baya itu sangat senang dan menangis haru. Kakak sepupu almarhum ibunya itu sekarang tinggal di Yogya. 

“Inggih Budhe. Itulah kenapa anak-anak saya sekolahkan di pondok pesantren. Bukannya saya lepas tangan sebagai ibu, namun untuk masa depannya. Di pesantren semua ilmu sudah diajarkan. Kita orang tua jadinya tenang dalam bekerja dan tinggal kirim uang.”

“Iya Nduk. Budhe juga menyesal, kenapa dulu nggak ngikuti omongan ayahmu buat naruh anak-anak di pesantren. Pakdhemu yang nggak mau, katanya nggak mau jauh dari anak-anak. Eh, begitu pakdhe meninggal, anak-anak malah salah pergaulan.”

“Inggih Budhe, saya doakan Mas Deri sama Mas Anam lekas sembuh dan tobat selamanya.”

“Aamiin. Makasih doanya, Nduk. Selamat istirahat. Oh ya, Nduk, kalau butuh baju buat sehari-hari cari saja di lemariku, pilihlah yang kau suka. Nggak usah beli.”

Setelah mengucapkan terima kasih, Malika mematikan ponsel. “Kasihan Budhe, kedua anaknya terseret dalam pergaulan bebas dan pakai narkoba. Untunglah, hanya direhabilitasi, tidak dipenjara. Sekarang Budhe harus mendampingi mereka terus.”

Ada lima belas menit Malika dan budhenya mengobrol lewat vedo call. Dari lantai atas Malika pun kembali ke bawah.

Baru beberapa menit Malika mematikan hand phone. Budhe Sun nelpon. “Malika, apa kamu ke sini sama suamimu?”

“Sendirian saja, Budhe.”

“Ooohh, tadi waktu kamu naik tangga ke atas. Budhe kayak lihat ada laki-laki berdiri di samping pintu keluar. Kukira itu Pramono.”

Dahi Malika seketika mengeryit. Ketika menaiki tangga tadi, tatapan Malika memang focus ke lantai, sementara kamera hand phone terus mengarah ke atas.

“Mas Pram lagi ada proyek di Malang, Budhe.”

“Budhe juga nggak yakin itu Pram. Memang mirip, tapi yang kulihat tadi lebih muda.”

Setelah menutup telpon, Malika bergegas ke lantai atas. Dengan rasa penasaran dan sedikit takut, Malika kembali mengecek kamar yang ada dua ruang, toilet dan ruang keluarga.

Semua kosong dan tidak ada tanda-tanda habis didatangi orang. Pintunya yang langsung menghadap hutan dan danau sudah dikunci sejak tadi, usai video call dengan budhenya.

“Mirip Pramono tapi lebih muda,” desis Malika menirukan ucapan Budhe Sun.

Malika masih berdiri di depan jendela kaca memperhatikan keluar. Di samping balkon ada tangga ke bawah yang tersambung ke dapur. Tidak ada pagar atau kunci pengaman. Jadi siapa saja bisa naik tangga menuju balkon. Ini yang membuat Malika agak miris dan takut.

“Kalau gitu, nggak usah kubuka pintu ini jika nggak ada hal penting. Takutnya ada orang jahat menyelinap masuk rumah lewat tangga itu.”  

Setelah memastikan semua aman, Malika kembali ke bawah. Krucuk. Krucuk. Perut Malika tiba-tiba berkokok. Ia baru makan sekali siang tadi. 

Malika harus benar-benar berhemat. Perhiasan yang nempel di badan hanya 2 cincin, anting-anting dan seuntai kalung. Semuanya berat 8 gram. Jika dijual paling laku 5 juta.

Tapi saat ini Malika belum ingin menjualnya. Ia akan menggunakan uang yang ada, meskipun tidak banyak. Toh, kebutuhannya saat ini tidak banyak. Paling untuk beli makan, pulsa atau alat-alat mandi. 

***

Continuez à lire ce livre gratuitement
Scanner le code pour télécharger l'application

Latest chapter

  • TANTE MALIKA : MANISNYA DENDAM ADIK TERSAYANG   BAB 46

    Dalam perjalanan Darsih mengungkapkan ueg-unegnya tentang preman yang mengobrak-abrik rumah Malika. Heru masih menekuri layar ponsel, membaca chat yang masuk hanya manggut-manggut.“Mas Heru, masak sampeyan nggak tahu sih?” seru Darsih agak keras. Sewot karena merasa diacuhkan sama Heru.Lelaki itu tergagap. “Eh iya, Mbak. Aku tahu dari Mas Mario...”“Soalnya peristiwa itu telah mengubah hidupku, jadi gembel kayak gini. Menurut sampeyan, siapa kira-kira pelakunya? Sumpah, aku masih penasaran sampai sekarang,” Darsih belum puas bicara, masih berkeluh kesah. Heru mematikan ponselnya dan menggeleng perlahan. “Namanya saja kejahatan, Mbak.Lama-lama juga akan ketahuan.”Pulang dari counter, Darsih melihat mobil hitam berhenti di depan gang. Di samping kantor polisi. Tulisan ‘DUA Putri’ di kaca depan bagian atas membuat langkah Darsih terhenti. Dahinya mengeryit. Sontak menuju belakang mobil dan nampaklah gambar buah jeruk. Darsih terkesiap kaget.“Ya Allah...! Mobil iniiii...

  • TANTE MALIKA : MANISNYA DENDAM ADIK TERSAYANG   BAB 45

    Darsih pulang dari warung sebelah untuk membeli makan. Kalau siang dan ramai begini Darsih berani keluar. Hanya sekitar kosan saja, tidak berani jauh-jauh. Syukurlah banyak penjual makanan dan kebutuhan sehari-hari.Jika pingin sesuatu yang tidak ada di sini, baru minta tolong sama si Bombom. Darsih membuka nasi bungkus dan menikmati pelan-pelan. Hanya lauk tempe sama oseng teri. Ia harus berhemat karena uangnya tidak banyak.Pas ke sini sempat menjual cincin seharga satu juta. Buat bayar kos, beli majic jar dan makan sehari-hari. Kini tinggal 300 ribu.POnselnya berdering. Darsih mengangkat dengan malas. Nama yang tak asing lagi.“Mbak, ini Mario. Tolong emasnya itu kasih temanku. Nanti jam tiga sore ditunggu di depan pasar. Dia sopir truk. Malam ini mau berangkat ke Mojokerto, biar nanti dikasihkan kepada Mas Pram.”Darsih tertegun sejenak. Enak sekali Mario ngomong. Ia segera teringat sama Malika yang kekurangan uang saat ini.“Gimana Mbak, bisa kan?” “Eemm... jauh Mas. Kutung

  • TANTE MALIKA : MANISNYA DENDAM ADIK TERSAYANG   BAB 44

    Siang itu, seorang perempuan berjilbab keluar dari minimarket menenteng dua tas belanjaan. Tiba di tempar parkir celingukan mencari seseorang. Akhirnya ia duduk di bawah pohon. Membuka ponsel dan memencet nama Pramono.“Oohh iya... dia kan tidak pegang ha-pe. Ternyata pelupa juga Mas Pram ini,” gumamnya dan menaruh lagi dalam tas kecilnya.Tak lama kemudian Pramono datang dari pertokoan di depan mini market. Tangannya membawa kresek hitam dan kotak ponsel. Wajahnya yang kuning berseri-seri. Dilihat sekilas Pramono seperti memiliki darah Jepang. Rambutnya lurus dengan hidung tinggi. Namun matanya lebar.Dahi Nana berkerut melihat benda di tangan Pramono, “Lho... Beli ha-pe baru?" “Oohh... zaman sekarang Dik, tidak ada ha-pe seperti hidup di zaman purba. Tidak bisa menghubungi rekan bisnis untuk bertukar info kerjaan. Tidak bisa menerima telpon dari anak-anakku. Tapi ada baiknya juga. Tiga hari tanpa ha-pe bisa baca buku dan majalah sepuasnya, he he he...” “Hobi yang bermanf

  • TANTE MALIKA : MANISNYA DENDAM ADIK TERSAYANG   BAB 43

    Tidak ada jawaban. Terdengar suara berisik di seberang telpon. “Marioo... dengar aku kan?” Malika mengeraskan suaranya.“Maa-aaf... aku masih ada pertemuan dengan seseorang. Iii-ya mbak. Pokoknya special buat kakakku. “ “Barusan aku telponan sama Papa?”“Ooohh... baguslah kalau begitu. Kemarin kusuruh Papa meluangkan waktu untuk menghubungi Mbak Lika. Papa sekarang sibuk di kebun, mengurusi kayu sengon.” “Iya. Tadi Papa bercerita banyak tentang pohon sengon yang ditanamnya. Sudah berumur delapan tahun. Harus dikurangi pohonnya biar yang lain bisa tumbuh besar. ““Tanahnya papa ada di mana saja sih, Mbak?” “Di Mojokerto ada dua hektar. Sama di Pasuruan juga dua hektar. Yang di Pasuruan satu hektar ditanami pohon jati. Tapi masih muda, baru umur lima belas tahun…”“Jati umur segitu masih muda?” potong Mario heran. “Iyalah. Buruh waktu tiga puluh tahun ke atas untuk mendapatkan jati yang besar dan bagus. Kalau sengon umur sepuluh tahun sudah bisa dipanen...”“Dua tah

  • TANTE MALIKA : MANISNYA DENDAM ADIK TERSAYANG   BAB 42

    Siang itu Adam dan kru film pendek bersiap pergi ke tempat sooting. Malika mengajak Putu Astari. Wanita berbodi semlohai itu senang sekali bakalan mendapat pengalaman baru. Bahkan ia rela libur jualan dua hari ke depan. Dengan semangat 2022, Putu Astari membantu menaikkan semua properti dan perlengkapan ke dalam truk kecil yang dipinjam Anton dari temannya. Anton bagian menata di dalam truk. “Tangkap Maass...!” seru Putu Astari mengangkat kardus ukuran sedang ke arah Anton. “Jangan dilempar, Mbak. Itu isinya lap top sama lensa!” Anton berseru mencegahnya.“He he, bercanda kok.” Sedangkan Malika masih sibuk menyiapkan bahan makanan yang akan dibawa. Dipastikan cukup selama tiga hari dua malam di tempat sooting. Wajahnya berbinar-binar. Merasa diri kembali muda. Teman-temannya Adam yang lain sudah berada di lokasi sooting sejak kemarin. Kali ini Malika mengenakan celana dan hem panjang. Lokasi soting berada di pedesaan dan tepi hutan. Kurang bebas gerakny

  • TANTE MALIKA : MANISNYA DENDAM ADIK TERSAYANG   BAB 41

    Darsih tidak mau meratapi nasib. Ia tahu apa yang dialami sudah menjadi suratan takdir dari Yang Maha Kuasa. Dirinya tinggal menjalani. Ia bersyukur masih hidup, masih ada makanan yang disediakan oleh penculik. Waktu senggang yang melimpah digunakan untuk menambah ibadah salatnya. Ngajinya meskipun hanya lewat Juzama kecil. Air cukup banyak meskipun kamar mandinya tanpa pintu. Setiap hari Darsih masak, dan bersih-bersih. Darsih baru menyadari ponselnya tidak ada ketika mengambil baju ganti di dalam tasnya. Mereka telah menyitanya. Selama tiga hari mereka tidak pernah datang. Sepanjang hari itu pula Darsih terus memasak singkong. Dibakar, direbus. Digoreng. “Tiap hari makan singkong, bisa meletus perutku.” Benar saja. Tiap saat suara letusan keluar. Mengeluarkan gas dari area pembuangan. Untunglah lampu bisa menyala. Jika tidak, Darsih sudah mati ketakutan di dalam gudang. Apalagi pernah malam-malam pintu diketuk orang. Terus suara langkah berat di luar menge

Plus de chapitres
Découvrez et lisez de bons romans gratuitement
Accédez gratuitement à un grand nombre de bons romans sur GoodNovel. Téléchargez les livres que vous aimez et lisez où et quand vous voulez.
Lisez des livres gratuitement sur l'APP
Scanner le code pour lire sur l'application
DMCA.com Protection Status