Share

BAB 04

Malika sudah tiga hari ini berada di Bali. Tepatnya di Kintamani. Daerah pegunungan berhawa sangat dingin. Sebagian besar warganya menanan buah jeruk dan kopi.

Panorama yang sangat indah menjadikannya tujuan wisata. Yang paling banyak dikunjungi adalah Danau Batur dengan 3 gunung yang berjajar mengellilingi danau. Ada gunung Batur, Gunung Abang dan Gunung Agung.

Sore itu usai bersih-bersih rumah dan mandi, Malika menelpon Mario. Ia Ingin tahu keadaan ayah dan kedua anaknya.

Mario menjawab santai dan enteng.

“Jangan khawatir, Mbak. Papa baik-baik saja. Aman di rumah ibu. Pulang kantor ini aku akan pulang ke sana. Papa nitip rujak cingur langganan kita.”

“Syukurlah kalo gitu. Dari dulu Papa jarang nelpon kalau nggak penting banget. Ditelpon juga jarang mau jawab,” keluh Malika. 

“Begitulah Papa. Apalagi sejak penyakit asam uratnya sering kambuh. Tapi sejak bersama ibu nggak pernah kumat. Ibu terus memperhatikan makanan Papa.”

“Iya, Alhamdulillah. Mbak senang ada yang merawat papa dengan tulus dan perhatian. Oh iya, terus gimana dengan anakku, Diana dan Rona?”

“Haha...Mereka bahkan lebih dari aman, Mbak. Siapa yang berani berbuat onar di pondok pesantren? Preman itu hanya 3 orang, digertak sama satpam pondok langsung terkencing-kencing, ha ha…!”

“Iya juga sih,“ Malika nyengir sambil mengukur kepala.

“Kemarin sudah kutengok mereka, Mbak. Kukasih uang dan makanan juga. Nanti kukirimi videonya deh.”

“Makasih banget Dik, aku sudah nggak sabar pingin melihat anakku. Oh iya, kamu sudah lapor polisi kan?”

“Sudah Mbak, kemarin. InsyaaAllah langsung ditindaklanjuti. “

“Syukurlah. Aku nggak sabar pingin tahu, siapa yang menyerang rumahku. Mario, menurutmu siapa pelakunya?”

“Emm… kurang tahu Mbak. Menurutku sih, mungkin orang yang nggak senang dengan Mbak Lika atau Papa. Nggak ada barang yang hilang kan?”

“Tapi laptopku untuk kerja hilang. Sama iphone dan ATMku juga.”

“Emm… gitu ya. Bisa jadi mereka mengambil barang-barang itu untuk mengecoh polisi. Dikira pencurian biasa, padahal ada unsur balas dendam,” Mario kembali berargumen.

Malika terdiam dan berpikir keras, siapa yang tidak suka dengannya. Seingatnya, selama ini dirinya tidak pernah punya masalah sama orang lain. Tidak pernah bertengkar, apalagi sampai menipu atau menyakiti.

Ah, namanya saja manusia. Bisa jadi ada yang iri dan dengki melihat kehidupan keluarganya yang selama ini berkecukupan dan harmonis.

“Mario, tolong kirimin video Papa dan anak-anak ya. Aku kangen sekali.”

“Siap, Mbak. Aku tutup dulu ya telponnya.” 

KLIK

Malika merebahkan tubuhnya di kasur beralas sprei ungu sambil terus menggenggam ponselnya. Tubuhnya begitu lelah setelah membersihkan seluruh bagian rumah ini. Membersihkan sarang laba-laba, menyapu lalu mengepel. Malika butuh waktu dua hari untuk membuat rumah ini benar-benar bersih. 

Rumah bergaya modern minimalis 2 lantai ini dibiarkan kosong selama 3 tahun. Letaknya bersebelahan dengan kantor perhutani. Ada jalan kecil yang menjadi pembatas rumahnya dengan kantor.

Terus ke belakang menuju hutan kecil yang ditumbuhi pohon pinus. Jalan kecil itu menjadi pembatas antara tanah milik Negara/Dinas Kehutanan dan lahan milik warga, termasuk rumah Budhe Sun.

Enam bulan lalu Malika datang ke rumah ini dan tinggal selama seminggu. Liburan bersama suami, Darsih dan anak-anak. Mario juga ikut. Malika datang lagi dan menginao di sini usau mengikuti seminar dan launching produk kecantikan di kota Denpasar. 

"Ngapain aja Mario?  Lama sekali? Menus satu ini suka nunda-nunda pekerjaan."

Tidak kunjung mendapat kiriman video dari Mario, akhirnya Malika melakukan video call dengan Budhe Sun, pemilik rumah ini. Ia bangkit dari tempat tidur dan mengedarkan kamera ponsel ke seluruh penjuru rumah untuk diperlihatkan kepada budhenya.  

“Lihat Budhe, rumahnya sudah bersih.”

 “Ya Allah, jadi kangen ke Bali. Tapi belum berani ninggalin kakakmu. Takutnya nanti mereka pake lagi. Dua bulan lagi mereka juga ujian semester.”

Wanita bertubuh mungil paroh baya itu sangat senang dan menangis haru. Kakak sepupu almarhum ibunya itu sekarang tinggal di Yogya. 

“Inggih Budhe. Itulah kenapa anak-anak saya sekolahkan di pondok pesantren. Bukannya saya lepas tangan sebagai ibu, namun untuk masa depannya. Di pesantren semua ilmu sudah diajarkan. Kita orang tua jadinya tenang dalam bekerja dan tinggal kirim uang.”

“Iya Nduk. Budhe juga menyesal, kenapa dulu nggak ngikuti omongan ayahmu buat naruh anak-anak di pesantren. Pakdhemu yang nggak mau, katanya nggak mau jauh dari anak-anak. Eh, begitu pakdhe meninggal, anak-anak malah salah pergaulan.”

“Inggih Budhe, saya doakan Mas Deri sama Mas Anam lekas sembuh dan tobat selamanya.”

“Aamiin. Makasih doanya, Nduk. Selamat istirahat. Oh ya, Nduk, kalau butuh baju buat sehari-hari cari saja di lemariku, pilihlah yang kau suka. Nggak usah beli.”

Setelah mengucapkan terima kasih, Malika mematikan ponsel. “Kasihan Budhe, kedua anaknya terseret dalam pergaulan bebas dan pakai narkoba. Untunglah, hanya direhabilitasi, tidak dipenjara. Sekarang Budhe harus mendampingi mereka terus.”

Ada lima belas menit Malika dan budhenya mengobrol lewat vedo call. Dari lantai atas Malika pun kembali ke bawah.

Baru beberapa menit Malika mematikan hand phone. Budhe Sun nelpon. “Malika, apa kamu ke sini sama suamimu?”

“Sendirian saja, Budhe.”

“Ooohh, tadi waktu kamu naik tangga ke atas. Budhe kayak lihat ada laki-laki berdiri di samping pintu keluar. Kukira itu Pramono.”

Dahi Malika seketika mengeryit. Ketika menaiki tangga tadi, tatapan Malika memang focus ke lantai, sementara kamera hand phone terus mengarah ke atas.

“Mas Pram lagi ada proyek di Malang, Budhe.”

“Budhe juga nggak yakin itu Pram. Memang mirip, tapi yang kulihat tadi lebih muda.”

Setelah menutup telpon, Malika bergegas ke lantai atas. Dengan rasa penasaran dan sedikit takut, Malika kembali mengecek kamar yang ada dua ruang, toilet dan ruang keluarga.

Semua kosong dan tidak ada tanda-tanda habis didatangi orang. Pintunya yang langsung menghadap hutan dan danau sudah dikunci sejak tadi, usai video call dengan budhenya.

“Mirip Pramono tapi lebih muda,” desis Malika menirukan ucapan Budhe Sun.

Malika masih berdiri di depan jendela kaca memperhatikan keluar. Di samping balkon ada tangga ke bawah yang tersambung ke dapur. Tidak ada pagar atau kunci pengaman. Jadi siapa saja bisa naik tangga menuju balkon. Ini yang membuat Malika agak miris dan takut.

“Kalau gitu, nggak usah kubuka pintu ini jika nggak ada hal penting. Takutnya ada orang jahat menyelinap masuk rumah lewat tangga itu.”  

Setelah memastikan semua aman, Malika kembali ke bawah. Krucuk. Krucuk. Perut Malika tiba-tiba berkokok. Ia baru makan sekali siang tadi. 

Malika harus benar-benar berhemat. Perhiasan yang nempel di badan hanya 2 cincin, anting-anting dan seuntai kalung. Semuanya berat 8 gram. Jika dijual paling laku 5 juta.

Tapi saat ini Malika belum ingin menjualnya. Ia akan menggunakan uang yang ada, meskipun tidak banyak. Toh, kebutuhannya saat ini tidak banyak. Paling untuk beli makan, pulsa atau alat-alat mandi. 

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status