Share

BAB 06

     "Malikaaa… kebiasaan buruk. Apa susahnya bawa baju ganti ke kamar mandi. Nggak hanya pakai handuk begini. Kamu mau diperkosa orang?!” hardik Pramono geram melihat istrinya keluar kamar mandi hanya mengenakan handuk. Tubuhnya yang tertutupi dari batas dada hingga pertengahan paha. Persis bayi pakai grito.

     Saat itu Pramono benar-benar murka. Begitu Malika telah masuk kamar. Ia mendorong tubuh istrinya ke tembok, lalu menudingi muka Malika dengan wajah merah penuh emosi. Sementara tangan kirinya berkacak pinggang.

     “Di kamar kita ini sudah ada kamar mandi. Masih saja mandi dekat dapur. Kamu sengaja ya buat menggoda Heru sama Mario! Kamu ingin mancing nafsu mereka untuk memperkosamu. Kalau begitu, percuma kamu pakai gamis dan jilbab!” 

     Malika benar-benar sangat takut. Ia sampai menangis tersedu-sedu. Sakit hati dan raga. Ucapan kasar dan pedas Pramono meruntuhkan kekerasan hati Malika. Seketika bakat ngeyelnya runtuh.   

   Yang ada hanya rasa pilu dan terkoyak. Merasa sangat terhina dan rendah mendengar semburan kata-kata pedas suaminya. 

    Malika menyadari itu salahnya sendiri.  Sudah tahu banyak mata lelaki di rumahnya, tetap saja ia mengenakan baju terbuka. 

    “Bukannya apa aku suka kamar mandi luar. Ruangannya luas, dinding dan lantainya terbuat dari batu alam. Pancuran bambunya bikin kembali ke masa lampau. Duuh…, Mas Pram aja yang berlebihan banget.” 

     Saking takutnya sama suami. Mulai saat itu Malika terpaksa mandi di dalam kamar. Mewah dan modern memang, tapi sempit. Malika merasa pengap berada di dalamnya. 

    Malika juga mulai mengenakan daster yang agak panjang dan sopan. Intinya tidak menonjolkan paha dan buah dada. 

    Tapi bukan Malika kalau tidak ngeyel. Apabila Pramono pamit menginap di luar kota, Malika curi-curi kesempatan mengenakan daster kesayangannya yang ia titipkan di lemarinya Darsih.

    Habis kangen sih. Gerah lagi di rumah. Padahal waktu itu Malika mengaku kapok setengah mati. Dasar Malika ndableg.

     “Sekali lagi kamu begini. Kutelanjangin sekalian di depan mereka!”

     Kali ini Malika terperangah. Kaget setengah mati. Suara suaminya tiba-tiba kembali terngiang. Tajam dan  menusuk bagai hunusan pedang yang merobek telinga dan tembus hingga ke jantungnya. 

     Malika tersipu menatap cermin. Menyadari dirinya masih berdiri di depan cermin seperti kue lemper. Apalagi jendela kamar yang menghadap jalan setapak terbuka lebar. Begitu pula dengan pintu kamar yang tidak ditutup. 

    “Kalau ada Mas Pram bisa digantung aku. Hiih,” Malika tergidik. Tergesa-gesa ia mengenakan baju. Setelah itu mengerjakan salat Dhuha enam rokaat dilanjut dengan salat Dhuhur.

    Hingga selesai salat dhuhur, balasan dari Mario belum juga ada. Malika pun mengisi waktu dengan mengaji Al Quran

    Semenjak kedua anaknya sekolah di pesantren, Malika ikut mengimbangi dengan lebih rajin beribadah. Jika dahulu hanya mengerjakan ibadah wajib saja, sekarang hampir semua ibadah sunah anjuran Rosulullah Muhammad ia kerjakan.

     Dari salat sunah yang mengiringi salat wajib, salat Dhuha, mengaji AlQur-an, terkadang puasa Senin-Kamis juga. 

     Pramono juga melakukan hal yang sama, meskipun tidak serajin istrinya. Alhamdulillah, perasaanya lebih tenang.

    Ketika membuka AlQuran pada lembar ketiga, Malika dikejutkan bunyi ring tone lagu Dahlia Hitam dari ponselnya. Tertera nama Mak Kriwul, panggilan lain Malika untuk Bik Atmi.

     “Assalamualaikum. Bulek!” 

     “Waalaikum salam. Nduk, kemarin sore Darsih ke rumahku…”

     “Oh iya? Mbak Darsih bilang apa saja, Bulek? Apakah dia baik-baik saja? Sehat?” tanpa basa-basi Malika melontarkan banyak pertanyaan.

     “Dia minta nomormu? Sama bilang kalau mau nyusul kamu ke Bali. Katanya hari ini  berangkatnya…”

     “Benarkah itu, Bulek? Bulek nggak bohong kan?” sahut Malika tercengang.

     “Ngapain Bulek bohong, Malika? Sudah dosa, nggak ada manfaatnya juga!” ketus Bik Atmi dengan nada kesal. 

     “He he… maaf Bulek. Alhamdulillah, syukur kalo Mbak Darsih sudah insyaf. Nggak main kucing-kucingan lagi,” gumam Malika lirih diiringi tawa kecil.     

    Malika sangat senang mendengarnya, tapi masih belum mempercayai kabar itu sepenuhnya.

     “Dia belum nelpon sama kamu?”

     “Belum, Bulek. Eh… tadi ada orang tak dikenal nelpon. Apa itu Mbak Darsih.”

     “Iya, pasti itu Darsih. Oh, iya kemarin dia ke rumah sama Heru…”

     “Ha-ah. Sama Heruuu… !” Malika memotong kaget. Pikiran buruk seketika melintas di otaknya.

     “Ke-kenapa sama Heru? Kenapa Heru ada di Banyuwangi?” Setelah terdiam agak lama, terlontar pertanyaan konyol dari bibir Malika. 

     “Lho, kamu ini yang kenapa-kenapa? Aneh sekali pertanyaanmu. Istrinya Heru itu kan dari desa sini. Masih saudara jauh sama Darsih. Yang mencarikan Heru kerja di rumahmu kan Darsih juga.”

    Malika melongo. Sumpah ia tidak ingat hal itu. Banyaknya masalah yang timbul membuat otaknya benar-benar blank.   

    “Apakah Heru sudah lama di Banyuwangi, Bulek ?”

     “Katanya sih hampir sebulan. Dia sekarang bantu-bantu mertuanya mengurusi buah naga. Kemarin itu ke rumah mau menawarkan buah naga yang sebentar lagi panen.”

     Malika terduduk lemas di tepi ranjang. Matanya seketika berkunang-kunang. “Iya Bulek, makasih banyak infonya. “

     “Malika..., kamu kenapa tho? Kayak prajurit kalah perang. Tiba-tiba lemes gitu,” lengking Bik Atmi bingung campur khawatir. 

     “Iya, Bulek. Kalah perang… melawan hawa nafsu he he he…” celetuk Malika lesu. Begitulah, bakat humor Malika selalu muncul jika berhadapan dengan Bik Atmi, bahkan dalam suasana genting sekalipun. 

    “Bulek nggak usah cemas. Hanya sedikit pusing. Ini mau minum obat. Sudah dulu ya Bulek, terima kasih infonya. Assalamualaikum.” Malika menutup telpon dan menjatuhkan tubuhnya di kasur.

    Terlentang tak bergerak, menatap langit-langit rumah dengan nafas tersengal.

“Sekarang aku yakin, yang mengintip aku itu si Heru,” geram Malika mengepalkan kedua tangannya.

     Untuk beberapa saat ia larut dalam emosi. Siapapun orangnya, dalam hal ini adalah wanita yang baik-baik, pasti akan terkoyak harga dirinya apabila mengalami hal seperti itu. Kelakuan mengintip orang saat mandi itu sudah termasuk kategori pelecehan sexual.

     "Ya Allah, nggak ada gunanya terus meratapi diri atau menyalahkan orang lain. Aku juga salah. Mulai sekarang aku harus hati-hati kalo pake baju," pupus Malika jeri. Perlahan ia bangun dan mengambil ponsel yang terlempar di sudut ranjang.

     Malika mengirim pesan pada nomor baru yang diyakini milik Darsih. 

(Mbak, langsung ke rumah Budhe Sun aja kalo sudah di Bali. Smoga perjalananya lancar dan selamat sampai sini. Aamiin)

    KLING. Tak lama kemudian ada balasan masuk. 

( Inggih Buk. Aamiin. Ini dah sampai Negara. Sebentar lagi masuk  Singaraja )

    Malika sangat senang . Ternyata kabar dari Bik Atmi benar adanya. Ia kirim emot jempol dan love. “Kira-kira dua atau tiga jam lagi sampai. Alhamdulillah ya Kariim. Semoga saja Mbak Darsih membawa kabar baik.”

     Malika terdiam beberapa saat. Celingak-celinguk bingung mau menyiapkan apa untuk menyambut kedatangan Darsih.

    "Jika biasanya Mba Darsih yang melayani diriu, kali ini aku yang akan melayaninya."

     Darsih akan menjadi tamunya. Ia harus menyambut dengan baik dan menjamunya seperti yang dianjurkan oleh Nabi Muhammad.

    “Ah, nanti saja kalau sudah sampai, kuajak makan di luar saja.”

     Malika melipat mukena dengan wajah sedikit berbinar.

     Ya, karena sebentar lagi pertanyaan yang sudah beberapa hari ini  mengendap di hatinya akan segera terjawab. Semoga saja. 

***

Nyari angle dari balkon rumah ini saja. Bagus. Pandangan luas dan merata. Kemarin sudah kucoba," suara serak-serak basah menyahut dari kejauhan.

     “Tapi danaunya terhalang pohon pinus itu. Kita kan butuh gambar danau yang utuh.” Yang lain tak mau kalah.

    Suara berisik anak muda terdengar samar dari luar kamar. Memecahkan konsentrasi Malika yang tengah menekuri novel online di ponselnya.

     Usai salat duhur tadi ia rebahan di atas tempat tidur, mencari inspirasi dengan membaca. Suara itu makin lama makin jelas. Saling bersahutan mengemukakan argumennya masing-masing.

    Malika melongok keluar jendela. Dari tiga kamar yang berada di lantai bawah, Malika memilih kamar paling depan. Jendelanya menghadap depan dan samping jalan setapak menuju hutan.  

   “Ini rumah terakhir. Di bawah sana hanya ada pondok dan kandang. Kalau malam pasti sepi sekali. Iih, menakutkan.”

Suara itu dibarengi dengan melintasnya empat pemuda di depan jendela samping kamar.

    Ada yang membawa kamera, tas dan tripod berukuran besar serta alat sooting lainnya. 

    Malika hanya bisa melihat muka dari samping. Meski begitu ia bisa menaksir usia mereka yang berkisar antara 22-25 tahun.

    Semuanya berambut gondrong. Bahkan ada yang panjangnya sampai pinggang. Dilihat dari belakang begini, persis anak gadis Pak Lurah he he…

     “Sepertinya mau soting film. Seru nih. Siapa tahu butuh pemeran emak-emak he he...”

    Malika menaruh ponselnya di atas ranjang. Ia menyambar jilbab dan dikenakan dengan buru-buru. Mengunci pintu ren, lantas berlari keluar mengikuti langkah anak-anak muda itu dari kejauhan.

    Meskipun matahari bersinar cukup terang, tapi udara di luar tetap dingin menusuk kulit.

    “Ooohh… itu Mas Edi. Syukurlah ada dia,” Malika bergumam lega melihat pemuda bertubuh tinggi kurus itu ada di antara mereka.

     Edi Purnomo sudah berusia 30 tahun, tapi belum menikah alias masih jomblo. Ia bekerja di kantor perhutani. Malika mengenalnya enam bulan lalu saat menginap di sini bersama keluarganya.

      Di saat rombongan pemuda itu menyusuri tebing jurang dan berhenti di tepi jurang menghadap danau Batur, Malika pilih berhenti. Tidak enak terus mengikuti mereka. Dikiranya nanti tante-tante lagi berburu brondong he he… 

    Malika tidak melihat seorang pun di kebun jeruk. Buah jeruk masih berwarna hijau dan sebagian menyemburat kuning, tapi ukurannya sudah besar. Diperkirakan sebulan lagi siap untuk dipanen.     

     “Tumben nggak ada orang di kebun. Ooh iya, sekarang kan bulan purnama sama Buda kliwon. Mungkin mereka sembahyang di Pura.”  

      Tanpa mendung tanpa angin, tiba-tiba hujan turun cukup deras.

     Malika yang berada di tengah area kebun jeruk berlari pontang-panting menuju bangunan memanjang seperti gudang. 

    Begitu tiba di depan pintu  gudang yan terbuka separoh, Malika menjulurkan kepala melongok ke dalam. 

     Di saat yang bersamaan, muncul seorang pemuda dengan langkah buru-buru keluar dari dalam gudang.

    Wajah Malika dan si pemuda hampir bersitumbuk. Keduanya sama-sama terkejut dan saling membelalakkan mata.

    “Ya Allah... Siapa iniii…?!” lengking Malika keras saking kagetnya. 

    Sedangkan si pemuda buru-buru menarik kepalanya ke belakang. Raut kaget dan tak percaya tergambar pada wajah manisnya.

    Sepasang mata khas lelaki Timor yang membulat itu memaku pada wajah Malika, lantas turun menelusuri tubuh bagian bawah hingga ke kaki. Namun hanya sebentar, kemudian kembali lagi ke atas.

    “Be-benarkah ini Bu Malikaaa…?!” desisnya hampir tak terdengar. 

***

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status