Perlahan sepasang mata yang terpejam mengerjap perlahan, hingga akhirnya terbuka.
Tubuh Adelia mematung menatap sekeliling ruangan yang begitu asing. Ruangan yang terlihat begitu mewah, tapi entah kenapa membuat Adelia takut.‘A-aku ada di mana? I-ini bukan kamarku.’ Batin Adelia. Bulir keringat dingin mulai terlihat membasahi kening gadis itu, hingga suara berisik cukup mengusik telinganya saat ia mengerakkan kakinya.Kedua mata Adelia terbelalak menatap rantai besi yang melingkar sempurna di pergelangan kakinya, rantai yang terikat pada kaki ranjang mewah berukuran king size dalam ruangan itu.Adelia berusaha untuk melepaskan rantai itu, tetapi tak bisa. Tiba-tiba bayangan akan kejadian sebelum ia kehilangan kesadaran melintas di benaknya.Adelia ingat jelas, saat itu ia tengah keluar untuk membeli bahan makanan. Karena bahan makanan di kosnya sudah habis. Namun, saat dirinya berniat untuk kembali ke kosnya. Tiba-tiba sebuah tangan membekap mulutnya, hingga Adelia kehilangan kesadaran.“A-aku diculik?” bibir Adelia bergetar kala mengatakan hal itu.Di benaknya terlintas berjuta pertanyaan. Kenapa dia diculik? Keuntungan apa yang penculik itu dapatkan? Dia hanya ada yatim piatu, jadi tidak akan ada yang membayar uang tebusan untuk membebaskannya.Lalu, kenapa? Apa mungkin penculik itu bukan ingin meminta tebusan, tapi ingin menjualnya?Adelia bergidik ngeri membayangkannya. Dia berharap bukan kemungkinan yang itu.Suara pintu terbuka terdengar masuk ke dalam Indra pendengaran Adelia, membuat wanita itu sontak menoleh ke pintu.“Tuan...” lirih Adelia. Sesaat hatinya merasa lega melihat sosok itu, tapi sedetik kemudian takut saat sosok tersebut menampilkan tatapan tak suka.Tatapan yang seolah berkata jijik melihat Adelia.“Aku pikir kau masih terlelap karena pengaruh obat bius.” Ucap tajam Kaisar dengan wajah tanpa ekspresi.Adelia menelan kasar ludahnya mendengar ucapan itu. Apa pagi tadi suara dan tatapan pria di hadapannya itu seperti ini?Mendadak peringatan bahaya seolah berbunyi di kepala Adelia. Seakan memberitahu Adelia untuk menjauh saat Kaisar perlahan melangkah semakin dekat.Kaisar menghentikan langkahnya tepat di depan Adelia yang duduk di lantai dengan kaki terantai. Seringai kecil terbit di bibir Kaisar melihat tubuh gemetar Adelia, lalu berjongkok menyejajarkan tingginya dengan Adelia kemudian menarik kasar rambut wanita yang terpojok itu.“ARGH!” Adelia berteriak merasakan sakit saat rambutnya ditarik kasar oleh Kaisar. Tanpa perasaan pria itu menyeret tubuh Adelia sedikit menjauh dari tempat tidur tak peduli akan teriakan kesakitan wanita itu.Kaisar menghempaskan kepala Adelia hingga terbentur pada lantai yang dingin.Belum selesai dengan rasa sakit di kepalanya, Adelia kembali tersentak saat Kaisar mencengkeram kuat kedua pipinya dengan satu tangan.“Sudah puas hidup bebas di luar sana setelah kejahatan yang kau lakukan?” desis Kaisar tajam. Kilatan kemarahan terlihat jelas di wajah pria itu, tapi dia mencoba untuk menahan diri agar tak langsung melenyapkan wanita di hadapannya.Kejahatan? Kejahatan apa yang telah dia lakukan?Adelia tak tahu arah pembicaraan Kaisar. Bahkan dia tak tahu kejahatan apa yang telah dirinya lakukan, hingga membuat pria itu memperlakukannya seperti ini.“Sa-sakit. To-tolong lepaskan,” lirih Adelia bersusah payah untuk mengutarakan hal yang ia rasakan.Sungguh itu sangat menyakitkan. Kepalanya berdenyut, rahangnya terasa akan hancur jika semakin ditekan oleh pria di hadapannya itu.“Sakit?” tanya Kaisar seakan tak tahu.Air mata Adelia mulai jatuh membasahi pipinya tanpa bisa dia hentikan.“Ini bahkan belum seberapa dibandingkan hal yang telah kau lakukan!” teriak Kaisar murka, lalu menghempaskan kasar wajah Adelia.Tiba-tiba suara dering ponsel Kaisar terdengar memenuhi ruangan, membuat pria yang telah diselimuti oleh kemarahan itu merogoh saku celananya dengan perasaan kesal.Sesaat kening Kaisar mengerut melihat nama yang tertera di layar ponselnya.“Ada apa, Bram?” tanya Kaisar to the point sembari melangkah mendekati wanita yang kini terbaring di lantai dengan cairan merah terlihat mengalir membasahi marmer putih itu.“Tuan, segera ke rumah sakit. Keadaan Nona Raila tiba-tiba memburuk.”Seketika Kaisar menghentikan langkahnya. Tubuhnya mematung dengan wajah terkejut. Sontak Kaisar segera berbalik keluar dari ruangan itu, bergegas ke rumah sakit tanpa peduli dengan sosok di dalam kamar tersebut.Suara decitan ban terdengar memenuhi bandara pribadi keluarga Salvatore saat sosok putra kedua di keluarga itu mengerem dadakan mobilnya.Devian segera membuka pintu. Berlari dengan tergesa-gesa mendekati jet pribadi miliknya yang siap lepas landas menuju La Spezia. Tepat saat tiba di samping pintu jet, Devian menoleh ke belakang. Menatap sepupunya yang masih berada dan diam dalam mobil."CEPATLAH, KAISAR! KAMU INGIN BERDIAM DI SINI LEBIH LAMA, HAH!" teriak Devian frustasi.Kaisar mengerjap mendengar teriakan itu. Teriakan yang seolah menyatakan jika sepupunya tengah melampiaskan amarah padanya.Apa salahnya? Sejak tadi Kaisar hanya diam, bahkan saat Devian menambah kecepatan mobil itu Kaisar tetap tak membuka suara dan hanya menggenggam erat sabuk pengaman.Sedang Devian mengusap kasar wajahnya. Hatinya sedang tidak tenang setelah menerima telepon bawahannya tadi. Telepon yang mengatakan jika terjadi sesuatu tak terduga di depan mansion Kakaknya. Kehadiran beberapa orang yang terliha
“Terima kasih atas kerja kerasnya, Nona. Sampai ketemu di esok hari.”Perlahan pintu tertutup rapat, meninggalkan Adelia sendiri di dalam kamarnya dengan bulir keringat dingin yang terlihat jelas membasahi keningnya. Adelia menghela napas lega dengan tubuh mendadak lemas. Kegugupan itu mampu membuat Adelia sulit untuk berkonsentrasi.‘Rasanya lelah sekali,’ Adelia membatin sambil menggigit bibir bawahnya, ‘tapi aku tidak boleh mengeluh. Pasti Tuan Demian sudah mengeluarkan uang yang banyak hanya untuk membayar guru privat untukku. Aku harus bekerja keras agar bisa membayar semua kebaikan yang Tuan Demian berikan.’Adelia menyentuh dadanya. Di dalam sana jantungnya berdetak dua kali lebih cepat. Dia sungguh berterima kasih, tapi juga merasa terbebani. Dan lagi, sisi hatinya terus saja merindukan sosok yang telah menyiksanya dahulu.Apakah dia mengalami kelainan hingga merindukan sosok kejam itu? Segera Adelia menggelengkan kepala mengusir segala pemikiran aneh dalam benaknya. Semakin k
Sosok pemillik dari perusahaan KR Group itu kini terlihat duduk melamun dalam ruang tamu apartemen adiknya. Kaisar menghela napas pelan sambil mengusap kasar wajahnya. Lagi-lagi dia melamun membayangkan kehadiran Adelia di sisinya. Nyatanya semua hanya angan sahaja.Penampilan Kaisar sudah sedikit berubah hari ini. Begitu berbeda dari pertama kali dia menginjakkan kakinya di Milan. Raila sungguh mengurus kakaknya dengan baik.Wanita cantik itu terus saja mengingatkan kakaknya untuk makan tepat waktu, bahkan saat Raila tak berada di apartemen tersebut, dia selalu menyempatkan diri menelepon Kaisar meski hanya beberapa menit.“Kakak, tadi malam aku mimpi indah. Aku melihat kakak tersenyum begitu manis pada seorang wanita di sebuah taman yang penuh dengan bunga bermekaran.” Raila bercerita begitu antusias mengenai mimpinya, membuat Kaisar tersenyum kecil menanggapi hal itu sebelum akhirnya Raila berpamitan untuk pergi ke Universitas.“Adelia…” Kaisar bergumam lirih dengan punggung bersan
Pembicaraan penting masih berlanjut di ruang keluarga kediaman Salvatore. Namun, ada hal yang terasa berbeda di ruangan itu, hingga membuat Kaisar sesekali melirik penuh tanya pada sepupunya yang mendadak menjadi pendiam setelah ia kembali dari dalam kamar mengambil beberepa dokumen penting.“Masih ada beberapa hal penting yang kurang bagiku dalam kontrak kerja sama ini.” Devian meletakkan dokumen yang ia baca ke atas meja, menatap fokus pada Kaisar yang tak mengalihkan pandangan darinya sejak tadi, “kamu tidak keberatan jika aku menambahkan beberapa hal penting ‘kan?”Kaisar segera menggeleng, “bukankah itu hal wajar? Lagi pula aku masih akan melihatnya sebelum menyetujuinya.”“Baiklah. Tapi, sepertinya itu akan membutuhkan waktu sedikit lebih lama. Kamu akan tinggal berapa hari lagi di Negara ini?” ucap Devian mengalihkan pandangan ke arah lain. Tak ingin membalas tatapan mata sepupunya yang terlihat menyipitkan mata curiga.Sejenak keheningan mencekam menguasai. Kaisar tak kunjung
‘Akhirnya tiba juga.’Kaisar menatap sekeliling bandara dengan tatapan datar. Ia menghela napas pelan, menaikkan sebelah alisnya menatap sosok pria yang tengah melambaikan tangan ke arahnya sambil tersenyum.Perlahan Kaisar melangkah mendekati sosok itu. Menarik pelan koper kecilnya dengan wajah datar yang senang tiasa terlihat.“Apa yang kamu lakukan di sini?” Kaisar menaikkan sebelah alisnya bertanya.Kekehan pelan terdengar keluar dari bibir Devian, sosok kembaran dari Demian.“Menjemputmu,” balas Devian santai. Tak terlalu peduli dengan ekpresi yang terlihat di wajah sepupunya itu. Karena Devian cukup mengenal seperti apa sifat seorang Kaisar Argantara.“Seharusnya tidak perlu.” Keduanya mulai melangkah keluar, “seharusnya kamu tidur saja. Aku bisa ke hotel terdekat menggunakan taksi,” lanjut Kaisar yang terlihat tak dipedulikan oleh Devian.Tanpa mengeluarkan sepatah kata, Devian memasuki mobilnya. Kaisar hanya bisa menggeleng pelan melihat hal tersebut. Segera masuk setelah mel
Keheningan masih menguasai di dalam ruang tamu sebuah mansion. Sosok wanita yang duduk di sofa panjang itu hanya menunduk dengan meremas kuat tangannya. Ia takut untuk mendongak, menatap pria yang terlihat seperti orang lain saat ini.“Sepertinya sudah saatnya aku untuk pergi.” Ucap Devian tiba-tiba, melihat arloji yang melingkar di tangannya.Adelia menoleh ke sumber suara. Mengerjap menatap sosok yang kini beranjak dari duduknya, bersiap untuk pergi meninggalkan mansion itu. Padahal sosok itu baru saja tiba tiga puluh menit yang lalu.Devian tersenyum simpul pada wanita yang kini menatapnya bingung, “kalau begitu, aku pamit undur diri. Masih ada hal yang harus aku lakukan, jika ada kesempatan aku aka mengunjungimu lain kali. Dan lain kali aku membawa buah tangan, sampai jumpa.”Devian melambaikan tangannya pada Adelia, berjalan begitu santai sambil bersiul riah hingga menghilang di balik pintu.Kedua mata Adelia mengerjap beberapa kali. Namun, ia segera mencoba untuk menstabilkan pe