Share

9. PERHATIAN DARI BANG FADLAN

“Tidak, kamu saja yang panggil. Kalau dia tidak mau, baru saya yang akan ke sana,” jelas wanita itu.

Mau tidak mau, dari pada harus menambah masalah, akhirnya Aiza pun meninggalkan wanita itu. 

Aiza memberanikan diri untuk masuk ke gedung bagian yayasan. 

Tampak pintu ruangan  khusus Pak Riyan itu terbuka lebar. 

Namun sepertinya, ada tamu yang sedang dilayani oleh pria itu. Aiza menunggu sesaat. 

Tidak berapa lama, Pak Riyan pun keluar dan Aiza mencegatnya membuat berpasang mata yang ada di sana memandangi Aiza yang tempak mendekati Pak Riyan.

“Maaf, Pak. Di luar ada wanita bernama Cintya mau ketemu sama, Bapak…” Aiza pun mnyampaikan.

“Kamu bilang kalau saya di sini…?” tanya pak Riyan.

“I… iya Pak, sahut Aiza yang mulai ragu dengan mimik wajah pria itu.

“Sial…” terdengar umpatan lirih dari mulut pria itu, membuat Aiza semakin tidak enak hati mendengarnya.

Riyan langsung merogoh kantong meraih ponselnya. 

Melihat itu, Aiza pun langsung permisi untuk meninggalkan pria yang masih memandangi ponselnya itu.

Sambil terus melangkah, Riyan juga ternyata berjalan seiring langkah Aiza di depannya, seolah ia sedang mengejar gadis itu. 

“Lain kali kalau wanita itu datang, bilang saja kalau saya tidak ada…” gerutunya melewati Aiza.

Aiza hanya bisa membatin dengan sikap 2 orang itu.

“Iiiisssss… nggak yang laki-laki nggak yang perempuan, sama aja sombongnya. 

Bikin orang serba salah. 

Huuuhhh, kalian itu memang cocok. Semoga langgeng…” rungutnya dengan kesal. 

Ia pun membalikkan tubuhnya seiring dengan dering ponsel dari dalam kantong jas almamaternya. 

Tampak nama Fadlan terpampang di layar gawainya. Sekilas ia lupa akan rasa kesal berubah menjadi senyum di bibirnya.

“Assalamu alaikum bang Fadlan?” sapanya dengan suara yang lembut.

“Wa’ alaikum salam, Za. Apa bang Fadlan mengganggu?” balas pemuda itu darii seberang sana.

“Nggak kok. Kebetulan sekali, Aiza lagi free less. Sesuai dengan jadwal pamong Aiza. Bang Fadlan sendiri? Memangnya nggak ke sekolah?” tanya Aiza.

“Kebetulan juga bang Fadlan lagi nggak ada les. Menunggu les berikutnya…” jelas Fadlan.

“Tumben bang Fadlan nelpon di jam kerja hehehe…”

“Iya, habisnya. Bang Fadlan kangen sama adik. Udah berjauhan begini, kamu malah makin jarang hubungi bang Fadlan. 

Kamu nggak ketemu sama cowok yang bisa ngalahin perhatian bang Fadlan kan?” tanya Fadlan dengan nada curiga.

“Ahaha, nggaklah. Bang Fadlan masih ada di urutan pertama sebagai cowok yang paling perhatian buat aku…” balas Aiza.

“Kamu bisa aja bikin bang Fadlan tambah kangen. Oh iya, ternyata di tempat PKL bang Fadlan ini, ada teman akrab kamu lho. Namanya Yunita…” ujar Fadlan.

“Ah iya, anak Bahasa Indonesia yah, bang?” Aiza memastikan.

“Yah, dia anak bahasa Indonesia…” jawab Fadlan.

“Iya, bang Fadlan. Dia teman baik aku. Teman curhat aku malah. Tapi aku kok nggak tahu ya kalau dia juga PKL ke Panyabungan sama kayak abang?” tanya Aiza heran.

“Iya, kemarin katanya dia dialihkan, karena di sekolah yang ia pilih itu terlalu banyak peserta PKLnya…” jelas Fadlan.

“Ooohhh, aku kok nggak tahu yah, hehehe…”

“Yah, mungkin lupa ngasi tahu karena terlalu sibuk…” jawab Fadlan.

“Iya juga sih. Dia itu anaknya baik…” jelas Aiza.

“Iya, enak diajak ngobrol… sama kayak kamu… 

Jadi pengen cepat selesai PKL biar langsung ketemu. 

Kalau aja bisa, bang Fadlan pengen peluk… ahahaha…” canda Fadlan dari kejauhan.

“Bisa aja, gombalnya…” sanggah Aiza dengan manja.

“Abang nggak gombal, Dik. Tapi yah sudah lah kalau nggak percaya. 

Yang penting di sana kamu baik-baik. 

Jangan sampai bang Fadlan punya saingan yang lebih perhatian sama kamu hhhmmm…” suara Fadlan tampak memelas.

“Bang Fadlan sangat tahu aku. Aiza juga nggak terlalu mudah jatuh hati sama laki-laki. 

Yah udah kalau begiitu, nanti kita sambung lagi ngombrolnya. 

Karena Aiza harus pencet bel untuk istirahat dulu,” ujar Aiza melihat jarum jam di tangannya.

Tak berapa lama, telepon itu pun ditutup. Betapa terkejutnya ia, saat akan berbalik, ia melihat Pak Riyan ada di sebelahnya.

“Eehhh,” 

“Kenapa?” tanya Pak Riyan.

“Bapak kenapa berdiri di samping saya?” tanya Aiza gugup.

“Saya nungguin kamu selesai nelpon. 

Apa tadi kamu bilang? Kamu tidak mudah jatuh hati sama laki-laki?” Pak Riyan mengulang kalimat Aiza untuk Fadlan di telpon tadi.

Ingin rasanya Aiza mengumpat di depan pria itu.

“Apa-apaan orang ini? Peduli amat sama pembicaraan orang? Apa ada yah orang yayasan yang suka nguping pembicaraan orang lain?” batin Aiza.

“Kenapa? Kamu nggak suka saya bicara seperti itu?” tanya Riyan.

“Langsung saja, Bapak tadi mau bilang apa sama saya?” tanya Aiza. 

Riyan bisa menebak kekesal di hati gadis itu karenanya.

“Saya mau bilang, lain kali kalau perempuan tadi nyari saya, bilang nggak ada. 

Saya nggak suka kalau dia datang ke sini cuma akan mengganggu pekerjaan saya dan merusak mood saya,” papar Riyan yang langsung saja pergi meninggalkan Aiza.

Gadis itu masih terbengong di tempatnya berpijak.

“Mereka yang punya masalah, tapi nyampeinnya ke aku. 

Yang tadi katanya caalon istri? 

Ini reaksinya seperti ini? 

Hahaha… terserah lah. Mau kalian jungkir balik pun aku nggak perduli. Yang satu keras kepala yang satunya sombong amat… Hhuuuuhhhh…” Aiza pun melepaskan nafasnya dengan lega, dan segera menekan bel istirahat.

***

“Kamu kok kelihatannya kesal sekali? Kenapa?” tanya Kiran pada Aiza ketika kelimanya akan pulang ke rumah.

“Nggak tahu. Tiap ketemu sama Pak Riyan, bawaannya pengen angkat batu dan lempar ke mukanya…” jawab Aiza dengan ketus membuat teman-temanya yang mendengar itu saling pandang.

“Sadis amat? Kamu ingatkan kalau dia itu orang yayasan?” tanya Rosni.

“Iya kak Ros. Aku nggak mungkin lupa. Kalian nggak lihat gimana tadi aku hampir lompat dari gerbang karena mobilnya mau lewat?” ujar Aiza kesal mengingat kejadian beberapa menit sebelum mereka meninggalkan gerbang sekolah.

“Mencintalah sekedarnya, kelak ada waktunya kau aakan membenci. 

Dan membencilah seadanya, karena kelak, kau juga akan mencintai…” sindir Ria.

“Memangnya kenapa sampai sekesal itu?” tanya Ainy.

Aiza pun menceritakan kejadian hari ini pada tema-temannya sambil berjalan menuju rumah kontrakan mereka. Sesekali ada yang tertawa menanggapi apa yang diceritakan oleh Aiza.

“Tapi, kok sama aku Pak Riyan nggak pernah seperti itu yah?” tanya Rosni.

“Iya, aku juga, setidaknya ada kesan berdua walau hanya 1 menit untuk diingat2 yah kan?” sambung Ria dengan wajah penuh harap.

“Jangan-jangan, Pak Riyan memang nggak suka sama perempuan yang kamu certain tadi…” Kiran piun menggapi.

“Bagaimana nggak suka? Jelas sekali kakak itu bilang, kalau dia adalah calon istrinya Pak Riyan,” jelas Aiza.

“Yah, bisa jadi kan itu memang perjodohan. 

Orang kaya suka begitu lah. 

Terus pas dijodohin malah nggak cocok,” Ria pun menyetujui.

“Bodo amat. Tapi yang jelas aku beneran kesal,” gerutu Aiza.

“Jangan gitu. Mereka kan belum menikah, bisa aja nggak jadi nikah. 

Nah mana tahu kan jodoh sebenarnya Pak Riyan itu kamu Za…” goda Rosni hingga teman-temannya yang lain pun tertawa menanggapi ejekan itu.

“Nggak. Dia buka tipe aku. Lagian aku juga udah ada bang Fadlan yang karakternya bertolak belakang dengan Pak Riyan yang keras kepala itu…” papar Aiza hingga membawa nama Fadlan agar teman-temannya tahu kalau ia justru punya hubungan dengan seseorang.

“Tapi kan, kamu sama Fadlan itu nggak pacaran? Kalau pun pacaran belum tentu juga berjodoh? Sudahlah, kamu nikmati saja perhatian si Fadlan dan kamu bayangin saja, siapa tahu Pak Riyan memang punya hati sama kamu ahahahaha,” sambung Ria ketika mereka juga sudah sampai di depan pintu rumah mereka yang sudah di kontark itu. 

Aiza hanya bisa merengut menanggapi ejekan teman-temannya yang masih tertawa karenanya.

***

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status