Share

6. KESUKSESAN ITU DIMULAI DARI MIMPI

“Kamu ini anak PKL ‘kan?” tanya pria itu pada Aiza.

Dengan sangat yakin, Aiza pun mengangguk mengiyakan.

“Iya, saya anak PKL. Memangnya kenapa, Pak?” Aiza membenarkan.

“Kamu nggak mau bertanya saya siapa?” tanya pria itu membuat Aiza merasa geli dengan pertanyaan tersebut. 

Namun, sebagai orang baru, tentu saja Aiza tetap bersikap rendah hati menanggapinya.

“Maaf Pak. Saya memang belum tahu Bapak ini siapa, tapi yang saya tahu tadi Bapak mengantarkan Pak Rakib Salim, yah ‘kan?” dengan penuh keyakinan, Aiza pun melayani pertanyaan pria itu.

“Iya, benar. Kamu… baru sehari di sini, udah 2x membuat saya kesal. Apa kamu tahu itu?” singgung pria itu lagi, memancing reaksi Aiza yang sebenarnya mulai kesal dengan pertanyaan itu.

Aiza pun menggerutu dalam hatinya. 

“Ini orang kenapa yah? Aneh. Supir tapi sok bicara seperti ini?” batinnya.

“Kamu dengar saya tanya apa?” suara pria itu kembali membuyarkan suara hatinya.

“Eh iya, saya dengar, Pak. Maaf…” ujarnya spontan. Sebenarnya ia sangat ingin menangkap jantungnya yang hampir terlepas dari tempatnya itu.

“Bagus. Lain kali, kamu kalau jalan lihat ke depan. Saya nggak mau lagi jadi korban untuk tempat kamu berpegangan kalau kamu nabrak lagi,” ujar pria itu dengan nada yang lebih bersahabat.

“Eh, iya, Pak. Baik. Kalau begitu saya izin dulu yah, Pak…” pamitnya. 

Pria itu hanya mengangguk dengan pelan. 

Aiza pun segera meninggalkan pria itu yang masih berdiri di pinggir lapangan untuk melihat anak-anak di sana yang sedang bermain bola, sedang Aiza kemudian masuk ke ruang guru yang tak jauh dari lapangan.

Baru saja Aiza masuk ke ruangan tersebut, seseorang pun menyapanya. Beliau adalah guru Agama di sekolah itu. Bu Raudah.

“Kenapa kamu di panggil Pak Riyan, dek?” sapa Bu Rau, begitu kebanyakan orang menyebutnya.

“Nggak tahu, Bu. Saya juga heran. Supir aja pertanyaannya banyak…” ujar Aiza dengan nada perlahan, di hadapan beberapa teman PKL-nya yang justru membuat Bu Rau itu terheran dengan jawaban Aiza.

“Apa? Kamu bilang Riyan itu supir? Supir gimana?” tanya Bu Rau mendekati Aiza yang duduk di meja Bu Ayda.

“Iya kan Bu? Laki-laki itu supirnya Pak Rakib Salim 'kan?” Aiza pun menekankan kesimpulannya itu.

“Astaga, Dik. Bukan. Riyan itu, anak Pak Rakib Salim, yang sebentar lagi akan menggantikan posisi ayahnya sebagai pemilik yayasan karena Pak Rakib Salim itu seharusnya memang sudah pensiun. Sudah seharusnya untuk beristirahat,” jelas Bu Rau yang membuat Aiza ternganga mendengarnya begitu juga dengan Ainy di dekatnya.

“Ada apa sih? Kok tegang begitu?” tanya Rosni yang juga baru saja memasuki ruangan itu. 

Karena mereka sebagai anak PKL, dan tempat mereka juga belum tersedia di ruangan tersebut, membuat mereka duduk apa adanya di kursi guru yang mana saja, selama si pemiliknya belum duduk di tempatnya.

“Mampuslah…” lirih suara Aiza.

“Kenapa sih?” tanya Ria yang juga turut penasaran. 

“Untung tadi, saya juga nggak keceplosan yah, Bu? 

Sebagai warga baru, tadi saya masih menanggapinya seperti sedang berhadapan dengan orang yang lebih dewasa dari saya.

Kalau tadi saya bicara kasar, bagaimana yah?” Aiza masih merasa beruntung dengan sikapnya terhadap pria yang ia ketahui bernama Riyan itu.

“Kenapa ini?” tanya Bu Ayda pada mereka yang ada di situ. 

Mendengar Bu Ayda menyapa, Bu Raudah pun tertawa, dan dengan suara yang pelan ia pun menceritakan apa yang baru saja dialami oleh Aiza.

“Oh My God? I saw. He was calling you. But I didn’t care,” ujarnya pada Aiza.

“Yeah. I’m so nervous to heard that…” balas Aiza.

“Makanya, Dek. Dari sekarang memang harus hati-hati, kalau nanti Riyan menggantikan Pak Rakib sepertinya, kita akan harus lebih kerja keras…” Bu Ayda pun meluahkan opininya.

“Mangapo?” tanya Bu Rau dengan bahasa pesisir Sibolga.

“Baitulah. Inyo ‘kan selain tegas, kareutak juo lai. Labih ramah ayahnyo,” sambung Bu Ayda.

“Kak Ayda bilang apa? Hehehehe,” Aiza pun kurang begitu mengerti dengan bahasa daerah yang ia baru dengar. 

Begitu juga dengan temannya yang memang berasal dari luar daerah Tapanuli Tengah.

“Riyan itu, selain tegas, katanya juga keras kepala. Masih lebih ramah ayahnya, Pak Rakib. 

Kalian bisa nilai sendiri bagaimana Pak Rakib yang usianya juga sudah, yah… seharusnya memang beristirahat di rumah. 

Tapi sangat ramah kalau menyapa kita…” jelas Bu Ayda pada mereka.

“Yah, namanya juga masih anak mudah. Wajarlah masih keras kepala. 

Apa lagi, dia juga belum menikah, jadi tingkat sensitifnya itu juga berbeda dengan orang yang sudah punya pendamping dan juga berpengalaman seperti Pak Rakib,” ujar Bu Rau menimpali.

“Benar, Bu Rau… sama seperti saya…” akui Bu Ayda  dengan wajah yang pura-pura sedih, membuat yang mendengar itu hanya bisa tersenyum.

“Eh, maaf… ambo ndak baniat menyinggung ang, Dik Ayda ahahahahaa…(Eh, maaf… saya tidak ingin menyinggung kamu yah, Dek Ayda…),” ujar Bu Rau yang sadar akan ucapannya, melihat Bu Ayda yang menunjukkan kesedihannya dengan candaan membuat yang lain pun menggeleng-gelengkan kepalanya karena tingkah Bu Ayda yang lucu.

“Nggak apa-apa, Bu Rau… itu benar sekaleeee… uhuhuhuh…” canda Bu Ayda.

“Sudahlah, yang penting kita berharap ke depannya semua baik-baik saja,” harap Bu Rau sambil menepuk bahu Bu Ayda.

***

Pukul 4 sore, secara bersamaan, kelimanya pun pulang ke rumah kontrakan mereka. Seperti yang sudah di sepakati, setiap mereka punya tugas masing-masing. 

Dan pekerjaan itu dilakukan bersama dan secara acak.

“Sumpah, aku grogi sekali bertemu dengan Pak Riyan. Aku fikir dia hanay seorang supir. Nggak tahunya, anak pemilik yayasan. 

Untung, sikap jutekku nggak keluar menanggapinya,” lirih suara Aiza ketika ia membaringkan tubuhnya di kamar bersama Ria.

“Iya, aku juga kaget dengarnya. 

Tapi… kalau dilihat-lihat, Pak Riyan itu ganteng juga yah?” komentar Ria, sekilas Aiza menoleh pada temannya.

“Iya sih, hganteng. Tapi jutek. Pantas saja udah umur segitu masih aja belum nikah,” umpat Aiza.

“Eh, kamu nggak boleh bilang gitu. Kamu ‘kan juga belum nikah,” tegas Ria mengingatkan.

“Uuppsss, iya juga hehhehee… Abisnya… bicaranya pedas. 

Dia kan laki-laki…” ujar Aiza.

“Yah… aku rasa sih, wajar kalau dia bersikap seperti itu. Mungkin karena dia akan jadi pemimpin. 

Jadi harus tegas. Kalau dia lembek, tentu orang lain pun akan mudah menebak sikap dan cara berfikirnya…” balas Ria menanggapi komentar Aiza.

“Benar juga sih. Yah tapi bagaimana pun, seharusnya dengan umur segitu, bukannya sudah cukup bagi seorang pria untuk menikah?” tanya Aiza.

“Cara berfikir setiap orang kan berbeda-beda. Mungkin dia masih ingin berkarir sambil menikmati usia mudanya. 

Walaupun begitu, orang seperti Pak Riyan… nggak mungkin kalau nggak punya tambatan hati. Seseorang yang sudah ia persiapkan untuk masa depannya. Dia kan tampan? Kaya lagi. 

Kalau memang nggak ada, aku juga mau jadi bagian dari hidupnya, hehehhehe…” Ria pun mulai menghayal.

“Ria… sadar dong. Aku nggak mau satu kamar dengan orang kesurupan,” ledek Aiza menanggapi sikap temannya yang kocak itu.

“Aku masih sadar kok, Za…” sahutnya.

“Iya, tapi kamu juga harus ingat. Kita PKL baru 1 hari, khayalanmu sudah ketinggian. 

Kalau kamu jatuh, badan kamu bakalan hancur semua. 

Kita di sini sedang berjuang demi masa depan,” ujar Aiza mengingatkan temannya itu.

“Aiza… kamu benar. Tapi kamu juga harus ingat. Keberhasilan itu juga dimulai dari mimpi. 

Wajar kalau aku bermimpi untuk masa depan. Siapa tahu… Pak Riyan adalah masa depanku uwahahahahahaha…” ujar Ria terbahak-bahak, diikuti Aiza yang juga turut tertawa hingga mengundang perhatian teman mereka di kamar sebelah.

“Ahadei jou? (Ada apa itu?)” terdengar suara Ainy menyapa.

“Adong parbagian, di amu do? 

(Ada pembagian, kalian mau?)” sahut Ria menyambar masih dengan nada tertawa.

***

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status