Share

7. DANA UNTUK TAMAN

Hari-hari pun berlalu begitu saja, hingga tidak terasa seminggu sudah berlalu. 

Semua proses yang mereka lewati di SMP swasta Almuslimin itu berjalan dengan sangat baik. 

Dan dalam seminggu saja, ada banyak kesan baik dan bermanfaat yang bisa mereka ambil dari sana. 

Mulai dari bimbingan cara membuat Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) yang baik, cara menarik minat belajar siswa dengan strategi menarik, dan juga sikap sosial dari orang-orang di dalamnya. 

Memang, terasa begitu melelahkan. 

Namun semua itu terbayarkan dengan ilmu yang sudah mereka dapatkan.

Hari itu, didampingi ibu Hj. Siti Mahanum, Riyan Qalbun Salim, begitu namanya terngiang di telinga kelima para mahasiswi yang sedang mengabdi di sekolah itu. 

Pria itu memanggil mereka berlima untuk segera menghadap ke ruangannya. 

Tentu saja, kelimanya pun memenuhi panggilan tersebut.

“Adik-adik mahasiswi semua, Bapak Riyan memanggil kalian ke ruangan ini, tentu karena ada pesan yang ingin disampaikan…” ujar wanita paruh baya itu dengan penuh wibawa. 

Aiza dan teman-temannya pun hanya bisa mengangguk mengerti.

“Langsung saja, saya kataakan… Kalau kami sangat senang, menerima kehadiran kalian di sini. Oh ya, kalian sudah berapa lama bergabung dengan keluarga Almuslimin?” tanya pria itu yang baru terlihat setelah beberapa hari tidak kelihatan.

“Seminggu, Pak…” jawab mereka hampir serentak.

“Yah, saya senang karena kalian memilih Almuslimin sebagai tempat penelitian. 

Baiklah, Ibu Kepala Sekolah, tentunya… adik-adik ini juga butuh penilaian hasil kerja mereka selama berada di sini. 

Untuk nilai akademik mereka bagaimana, Bu?” tanya pria itu pada pemimpin sekolah tersebut.

“Yah, untuk penilaian akademik. 

Masing-masing dari mereka sudah ada pamongnya yang akan selalu memandu mereka sesuai dengan jurusannya masing-masing…” jelas wanita itu.

“Okey, good. Dan tentu adik-adik mahasiswi juga tahu, kalau bukan hanya nilai akademik yang akan kalian bawa dari sini, begitu ‘kan?” tanya pria itu pada Aiza dan temannya. 

Lagi-lagi kelimanya mengangguk membenarkan.

“Baiklah, untuk nilai pengabdian kalian di sekolah ini, saya terus terang saja meminta kalian secara langsung untuk membangun sebuah taman kecil di bagian pintu gerbang,” ujar Pak Riyan.

“Terserah kalian mau membangunnya dengan cara apa. Kalau kalian mau, nanti Ibu Kepala Sekolah bisa mmerintahkan kepada guru laki-laki untuk membantu mereka. 

Tapi kalian mengertikan dengan maksud saya?” sambungnya.

“Iya, mengerti, Pak…” sahut mereka.

“Baik, kalau adik-adik punya pertanyaan dipersilahkan untuk bertanya,” ujar Ibu Kepala Sekolah memberi waktu.

Mendengar itu, Rosni dari Pendidikan Matematika yang duduk di antara rekannya yang lain, mengacungkan tangan untuk bertanya.

“Yah, silahkan…” ujar Pak Riyan pada gadis itu.

“Tadi untuk taman kecil yang Bapak maksud, ukurannya berapa dikali berapa yah, Pak?” tanyanya.

“Oh iya, saya minta nggak terlalu luas, hanya sekitar panjang 7 meter dengan lebar 70 centimeter saja. 

Saya rasa itu sudah cukup. Bagaimana?” papar pria itu lagi. 

Seketika kelima mahasiswa itu pun terdiam. Masing-masing mereka menggambarkan ukuran yang tadi disebutkan oleh pemilik yayasan itu.

Tampak wajah Aiza seperti sedang menanggung beban mendengar itu. 

Dan langsung saja, hal itu mengundang reaksi anak si pemilik yayasan.

“Hei, kamu? Kenapa? Apa kamu I gin menyampaikan sesuatu?” tanyanya pada Aiza. Seketika gadis itu terkejut.

“Eh, nggak, Pak. Saya… saya hanya sedang membayangkan ukuran taman yang Bapak sebutkan tadi,” tanggapnya.

“Okey, kalau nggak ada yang mau disampaikan lagi, kita bisa akhiri perundingan ini. 

Kenapa saya terkesan mempercepat membahas ini, yah… agar adik-adik bisa mempersiapkan segala sesuatunya. 

Agar nanti kesannya tidak tergesa-gesa. 

Mengerti kan maksud saya?” ujarnya.

“Ya, Pak…”terima mereka dengan serentak.

“Baiklah kalau begitu. Adik-adik bisa kembali melanjutkan pekerjaannya masing-masing. Harapan saya, semoga adik-adik bisa memberikan yang terbaik untuk sekolah ini…” ujar pria itu menutup pembahasan mereka.

“Aamiin...” ujar mereka.

Beberapa saat setelah itu,

“Na mangua doho Aiza? Asi sip sajo ho? (kamu kenapa Aiza? Kok diam saja?)” tanya Ainy. 

Mendengar temannya menyapa, Aiza pun menoleh pada rekannya itu.

“Marsak au mambege i…( Aku pusing mendengarnya…)” ujar Aiza.

“Memangnya kenapa? Kamu keberatan dengan usulan Pak Riyan tadi?” tanya Ria.

“Keberatan sih nggak. Pusing mikirin dananya. Kalian nggak dengar panjang taman itu 7 meter dikali 70 centimeter. 

Hayo, dan itu bukan dana yang sedikit…” jelas Aiza.

“Tapi kan itu memang sudah resiko kita meninggalkan jejak di sekolah yang kita singgahi, sebagai bentuk pengabdian kita selama di sini,” jelas Kiran menambahi.

“Iya, kalian benar. Aku udah bilang kalau aku nggak keberatan. 

Yang aku pusingkan sekarang ini. 

Bagaimana aku harus mendapatkan uangnya…” jelas Aiza.

“Kita di sini kan masih seminggu. Itu kan nanti, kamu masih bisa bernafas untuk memikirkannya,” Rosni pun menimpali.

“Iya, Za. Kamu tenang dulu. Kamu kan tadi dengar, kenapa kita lebih cepat dikasih tahu, yah biar kita bisa berfikir untuk menyusun rencana membuat usulan itu…” sambung Ria.

Mendengar teman-temannya, Aiza pun menjadi lebih semangat. 

“Iya yah. Kenapa aku langsung keberatan,” gumamnya.

“Nanti kita perhitungkan seperti apa pengeluaran kita untuk membuat taman itu,” ujar Rosni yang memang bagian Matematika.

“Iyaaaa kak Rooooos,” sahut Ria mencandai.

***

Sementara itu, di rumah Aiza.

“Inda pe na dong si Aiza manelpon? (Apa Aiza belum menelpon?)” sapa Pak Ardi pada istrinya.

“Inda pe. Rakku sibuk ia na PKL i… (Belum. Mungkin dia sibuk dengan PKLnya…)” sahut Bu Maya.

“On kan ma sidung Magrib. Ma mulak ma ia dabo i. Telpon ma jolo sanga ma bia kabarna? (Ini kan sudah selesai Magrib. Pasti dia ssudah di rumah. Coba telpon, dan tanyakan kabarnya?)” usul pak Ardi.

“Sofia… ohh… Sofia…” panggil sang ibu pada putrid bungsunya.

“Iya, Mak…” sahut adik Aiza itu.

“Ngapain kau, Nak? Sudah sholat?” tanyanya lagi.

“Sudah, Mak. Baru saja. Kenapa, Mak?” tanya Sofia.

“Telponkan dulu kakakmu itu. Udah gimana kabarnya?” titah wanita yang masih dalam balutan mukenahnya yang tampak lusuh itu.

“Iya, Mak…” ujar Sofia sambil membawakan ponselnya itu pada ayah dan ibunya.

“Video call atau Cuma nelpon aja?” tanya Sofia memastikan.

“Video call sajalah. Rindu mamak sama kakakmu,” ujarnya. Sofia pun langsung menghubungi kakaknya itu. 

Tak lama kemudian, panggilan video itu pun tersambungkan.

“Assalamu alaikum umakku tersayang…” sapa Aiza dari layar ponselnya.

“Wa ‘alaikum salam boruku. Sehatnya kau, Nak?” balas sang ibu. 

Tampak sang ayah pun turut melihat putrinya yang sudah seminggu ini tidak berada di antara mereka.

“Sehat, Mak. Orang mamak sehatnya?” tanya Aiza membalas.

“Sehat, Nak. Kenapa jarang kali nelpon mamak? Rindunya mamak dah…” tampak mata sang ibu berkaca-kaca.

“Aku juga rindunya, Mak. Gimanalah mau sering-sering pegang HP, Mak. 

Sekolahnya ketat. Seharian di sekolah. 

Pulang ke rumah udah capek, Mak. Beres-beres rumah lagi…” jelas Aiza yang matanya juga tidak kalah berkaca-kaca mendengar kepedulian sang ibu padanya yang jauh.

“Udah gimana PKL mu itu?” sambung sang ayah dari belakang  sang ibu.

“Alhamdulillah, lancar Ayah… Tapi, kami mau mempersiapkan dana mau membangun taman…” jelas Aiza dengan berat hati untuk mengatakannya.

“Ooohh iya, tahu Ayah itu. Karena kemarin udah dibilang sama kawan ayah, kalau anakanya yang PKL dulunya juga begitu…” ujar Pak Ardi dengan tenang.

“Iya, ayah. Tapi kan itu butuh biaya…” sungut Aiza tertekan karena ia berfikir, pastilah ayah dan ibunya akan memikirkan pinjaman lagi untuknya.

“Iyalah, Nak. Membangun tamannya berapa kali berapa?” tanya sang ayah.

“Katanya panjang 7 meter kali lebar sekitar 70 centimeter…” papar Aiza. Mendengar penjelasan putrinya. Tampak ayahnya sedang menerka-nerka.

“7 meter dikali 7 centimeter. Tingginya berapa?” tanyanya lagi.

“Nggak terlalu tinggi kok ayah, paling tingginya sekitar 30 centimeter,” jelas Aiza.

Tampak sang ayah pun berfikir, 

“Ooohhh paling habis sekitar 4 jutaanlah itu sudah termasuk upah tukang. Bagi 5 lah kalian. Kurang lebih 1 jutalah per orang…” terka sang ayah menjelaskan.

***

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status