Clara terbangun karena mendengar sebuah pekikan Dipta di pagi buta seperti ini, bahkan suara barang pecah juga sangat mengganggu tidurnya. Clara merapatkan cardigan yang ia pakai karena semilir angin dari jendela terbuka membuatnya kedinginan. Gadis berperawakan kurus ini menemukan Dipta meringkuk di antara pintu kulkas yang terbuka, tangan lelaki yang ia cintai tengah menyibak udara kosong.”Jangan bunuh aku! Jangan!” Clara segera menghambur untuk memeluk Dipta yang bergetar ketakutan. Akhir-akhir ini kekasihnya itu kurang tidur dan kerap kali bermimpi buruk. Bahkan beberapa kali Dipta tidur sambil berjalan hampir menjatuhkan diri dari balkon.”Melisa! Melisa ada di sini, dia mau bu-bunuh aku,” racau Dipta.”Nggak ada, Dipta. Gue di sini.” Clara berbisik, mencoba memberi Dipta ketenangan dengan pelukan.Clara pun pernah bersitatap dengan Melisa di halaman belakang setelah pemakaman masal itu selesai. Wajahnya yang mengerikan dan tentu saja, hanya kalimat kematian yang muncul dari mu
Terasa bebannya terangkat, Dipta bersenandung mengelilingi rumah berniat untuk membuat api unggun sambil memanggang daging. Kayu-kayu kecil ia kumpulkan, ditemani Clara dan 7 anak buahnya. Sepulangnya dari rumah mbah Lanang, Dipta dan yang lain tidak mendapat semacam gangguan, bahkan wajah mengerikan Melisa sama sekali tak terlihat di sekeliling rumah. Dipta mengambil alih capitan daging dari tangan Clara yang tersenyum manis, Dipta mengecup pipinya yang merah karena blush on.”Bos, kenapa nggak dari awal aja kita ketemu mbah Lanang? Pasti Ijul dan yang lain nggak mati mengenaskan,” ujar Panji.”Gue juga nggak kepikiran,” sahut Clara.Semua tertawa terbahak-bahak menikmati senja yang menenangkan tanpa ada teror seperti yang sudah-sudah. Daging yang matang mulai dilahap oleh semuanya diganti lagi dengan potongan paprika dan udang yang sudah disusun sedemikian rupa dengan tusuk sate. ”Air dari mbah Lanang udah lu siram ke sekeliling rumah, Wo?” Panji bertanya pada rekannya. Jarwo berp
Mata Clara membesar mendengar usul ngawur Dipta. Menurutnya tidak mungkin, karena keamanan di rumah Rena pun bukan main-main. Bahkan, sudah lama Clara mencari moment untuk menemui Rena seorang diri untuk meminta maaf. Akan tetapi, tidak bisa. Clara mendengkus, menatap remeh lelaki di sampingnya yang masih tersenyum bangga.”Nggak ada perampokan atau pembunuhan. Gue udah cukup merasa bersalah selama ini. Pembicaraan ditutup.” Clara berdiri dan menuju ranjang untuk merebahkan badan yang penat. Tapi saat akan menjatuhkan diri, tangan Dipta sudah menahan bagian pinggangnya dan membuat Clara berdiri. ”Kita sandera anaknya.” Rupanya Dipta masih belum ingin menyerah. Lelaki ini benar-benar tergiur akan kekayaan Rena Theresia yang sudah tersohor di mana-mana.Clara menatap lekat lelaki berwajah oriental yang tengah mendekap bagian pinggang. Tak ada ekspresi spesial yang ditampilkan Clara, bahkan hatinya sama sekali tak tergiur akan ajakan Dipta.”Stop, Dip! Gue nggak mau lagi bunuh atau ng
Tidak ada lagi liburan yang indah pelepas penat. Hati Alina justru semakin penat karena diabaikan oleh ibu kandungnya yang hidup lebih bahagia dengan seorang lelaki berperawakan gagah, berbeda dengan ayahnya yang lumpuh. Ia merutuk di dalam hati, tangisnya belum berhenti sejak diteriaki oleh Masayu untuk pergi dari hadapannya. ”Alin nyari Ibu dari lama, kenapa Ibu usir Alina? Ayah udah nggak ada, Bu.” Air mata yang terlanjur merebak membasahi wajah mulus Alina. Masayu bergeming, tatapannya pun tak ia arahkan pada putrinya. Sedangkan lelaki berkulit sawo matang ini hanya menghela napas sambil mengambil ranting kecil yang sudah diikat.”Ini bukan saat yang tepat, sebaiknya kamu pergi dari sini.” Dengan ketusnya, Masayu mengusir Alina agar pergi dari hadapannya. Alina hanya semakin mengeraskan tangis hingga napasnya tersenggal, Masayu justru berlari hingga tubuh kecil wanita itu lenyap.”Banyak yang terjadi di masa lalu.” Lelaki ini berbicara sambil mengangkat ranting yang sudah diikat
Clara menyeret tubuhnya karena kedua kaki yang tak lagi kuat untuk menopang badan. Wajahnya terasa panas, sedang dadanya kian sesak karena napas yang tak beraturan. Gadis ini merogoh kantong jaket dan mengambil ponsel. Tidak ada satu pun sinyal yang hinggap di ponselnya, dan ia memilih menyalakan senter. Clara mengusahakan diri agar tetap bisa berpikir, karena keadaan seakan mengintimidasi. Deretan pohon bambu ini berdiri angkuh, menimbulkan derit nyaring terkena angin. Clara kembali berlari, meninggalkan hewan melata itu yang terus menjulurkan lidah.Sinar senter mulai Clara arahkan ke jalan setapak yang ada di hadapannya. Gerimis perlahan mulai turun, semakin kepayahan gadis ini memulai perjalanan. Clara ingin menangis, tetapi ia tahu percuma. Menangis tidak akan menyelesaikan masalah dan keluar dari hutan perawan ini mudah. Deretan pohon bambu sudah ia lewati, kini ia tengah berjalan menyusuri pohon karet yang berjajar rapi. Seharusnya, pukul 16:12 masih memungkinkan ada petani kar
Truk yang ditumpangi semua orang tiba-tiba saja berhenti. Panji yang mengemudi berteriak, jika mesinnya tidak bisa menyala, sedangkan bensin masih dalam keadaan penuh. Clara masih menutupi wajah karena sosok berwajah hitam legam itu berdiri di atas kepala truk sambil terus tertawa.”Pergi setan g*blok!” Jerry berteriak, terus memaki sekitar. Dipta sudah lemas tak berdaya dan hanya berkata lirih meminta tolong. Mesin berangsur-angsur menyala, truk kembali berjalan di atas jalan bebatuan. Setengah jam dalam keadaan seperti ini, akhirnya mereka sampai di depan gubuk mbah Lanang.Panji, Riko dan Jerry saling memapah Dipta. Sedangkan anak buah yang lain menunggu di truk. Clara mengetuk pintu mbah Lanang sambil berteriak agar cepat dibuka. ”Buka aja pintunya, Clara.”Mereka semua menoleh, ternyata mbah Lanang menghampiri dari samping gubuknya sambil memegangi ayam berbulu hitam. Ayam itu ia letakkan, dan ikut masuk dengan yang lain. Dipta ditaruh di atas karpet tipis, Clara menerima kain
Rumini berteriak karena sedetik setelahnya tubuh Alina terpelanting menabrak lukisan besar hingga lukisan itu jatuh. Beruntung dalam bingkai lukisan itu tak terdapat kaca, sehingga tubuh Alina hanya terkena kayu lukisan. Hidung Alina berdarah karena begitu kerasnya menghantam lantai, sedangkan mulutnya dipenuhi darah karena hantaman keras dibagian belakang tubuhnya.Sosok yang mengaku Melisa ini hanya diam, melayang, hingga ujung gaun merahnya melayang di atas lantai. Matanya hitam, tak secuil pun memancarkan rasa kasih melihat kakaknya ia siksa. ”Tolong! Tolong! Pak Ardaaan!”Rumini melolong, berteriak, tetapi Ardan yang berada di kamar seakan tuli. Rumini berlari menuju Alina, memapahnya untuk berdiri dan berjalan keluar rumah. Tetapi, kekuatan yang bahkan sama sekali tak terlihat ini membuat Alina kembali jatuh telungkup dan tubuh Alina terseret hingga jatuh ke air kolam.”Pak Ardan! Pak Ardaaan!”Rumini kembali berteriak. Alina kepayahan menuju tangga kolam renang agar memudahkan
Dipta duduk termenung di halaman belakang, otaknya berkelana pada sore penuh gairah dengan Clara. Meski akhirnya, itu bukan kekasihnya yang sebenarnya. Dipta merutuki kebodohan karena dari gerakan sensual yang dibuat kekasihnya itu memang sangat berbeda. Kaku, dan wajahnya begitu dingin, bahkan seluruh kamarnya berbau kembang kamboja. Dipta yang terbuai gairah seakan lupa, otaknya membeku karena kenikmatan yang disuguhkan membuat akalnya tidak bisa berpikir.”Shit! Harusnya gue nggak setujuin tawaran Alina pas mau jual adeknya ke gue,” umpat Dipta. Meski tak ia pungkiri, kali pertama ia melihat wajah Melisa saat berkunjung ke rumah rekannya itu, Dipta langsung jatuh hati. Tergiur karena masih dalam keadaan virgin, Dipta menyetujui tanpa berpikir panjang dan itulah mengapa ia berani membayar mahal. Lelaki ini masih teringat kala pertama kali Melisa dibawa paksa ke rumahnya untuk diiming-imingi bekerja untuk membayar budi pada Alina, wajahnya tersenyum manis. Tetapi kenyataan yang mena