Pagi itu di meja makan terasa lebih dingin daripada biasanya. Secangkir kopi mengepul di depan Lucas, tapi dia tidak menyentuhnya. Grace duduk tepat di seberangnya, tangannya gelisah meremas ujung lengan bajunya sendiri. Di sampingnya, Alex hanya diam, sesekali mengaduk serealnya yang sudah lembek, menciptakan bunyi basah yang mengisi kekosongan.Tak ada yang berbicara.Suara garpu yang menyentuh piring terdengar seperti peluru. Grace terlonjak sedikit, lalu buru-buru mencoba menenangkan dirinya dengan menyesap teh. Tapi tangannya bergetar, dan beberapa tetes tumpah ke taplak meja.Lucas akhirnya bicara."Nikmati sarapannya dengan santai, Atau jangan-jangan kau takut dipinta Malaikat Maut ya?" ucapnya pelan, nadanya datar, hampir sarkastis. Matanya tidak berpaling.Grace menelan ludah, tidak yakin harus menjawab dengan permintaan maaf atau menganggapnya sebagai sapaan biasa.Grace hanya bisa menelan tawanya masuk kembali ke dalam perut. Alex mendongak. Tatapannya berpindah dari Grac
“Lalu kau mau bagaimana, apa ada recana untuk menanganinya?” tanya Olivia.Grace memijit-mijit pelipisnya, sedikit menghela napas. “Biarkan aku pikir dulu!” katanya seraya menutup sambungan ponsel.Menghela napas lagi, lalu dia memeluk dirinya sendiri, menenangkan diri sendiri. Tubuh Grace sedikit gemetar. Alex menangkap hal ini dia pun mendekat, “Jika merasa sakit, sebaiknya kita pulang saja!”“Eum.., ya ayo kita pulang!” kata Grace dengan nada sedikit terbata.Pada saat ini, Lucas dan Sienna sedang berada di Rumah sakit. Mereka duduk di kursi tunggu. “Toleransi terbesarku adalah memberi kalian jaminan tidak akan kekurangan apa pun. Tentang pernikahan jangan pernah sebut itu lagi!”Lucas berdiri, seraya berkata lagi, “Jika aku lihat kau menindas Grace lagi, maka jangan salahkan aku jika bersikap kasar kepadamu!”Lucas berdiri, lalu meninggalkan Sienna yang masih duduk tertegun sembari menatapi punggung pria itu sampai hilang dari pandangannya. Kemarahan langsung membuncah di dada wan
“Kerja bagus!” puji Lucas seraya berlalu pergi.“Eh tadi itu, Si Malaikat Maut sedang memujiku ya!” pikir Grace.“Aku tidak butuh pujian, berikan aku bonus saja!” katanya setengah berteriak kepada Lucas.Melihat lucas mengabaikannya, “Dasar pelit!” rutuknya dalam hati, seraya memasukan laptopnya ke dalam tas.Baru berjalan beberapa langkah, ponselnya berdering, Itu adalah panggilan dari Rumah sakit. “Apa sesuatu terjadi dengan Ayahku!”“Tidak perlu khawatir Nona, kami hanya ingin memberitahu jika saat ini kamar rawat inap Tuan Williams, akan kami pindahkan di kamar rawat inap VVIP!”“Hah! VVIP!” ulang kata Grace, masih belum menerima infomasi itu dengan jelas di otaknya.“Ya, baru saja!” kata staf administrasi yang menghubungi Grace.Layar ponsel menggelap, sambil berpikir. Lalu mata Grace terbelalak. “Bonus… apa ini adalah bonus untuk-ku!” pikir Grace hampir-hampir tidak percaya. Karena, Si Malaikat Maut baru saja melakukan Kebajikan.Grace langsung mempercepat langkahnya, mengejar S
Pagi menyelinap masuk melalui celah tirai jendela kamar hotel. Cahaya matahari membias lembut di permukaan dinding marmer dan seprai putih yang sedikit kusut. Jam digital di nakas menunjukkan pukul 06.00. Alarm tidak berbunyi, tapi tubuh Grace sudah lebih dari cukup beristirahat.Dia membuka mata perlahan, menyesuaikan diri dengan cahaya alami yang hangat. Suara samar kota Boston mulai terdengar dari kejauhan. Klakson pelan, suara denyut kesibukan tandas sebuah hari telah dimulai. Tidak ada hujan. Tidak ada angin kencang. Hari itu terasa... bersih. Baru.Grace menggeliat malas di atas ranjang, meregangkan lengan dan punggungnya, sebelum duduk dan mengusap wajah. Saat kakinya menyentuh karpet empuk, Dia sempat melirik sepatunya yang kemarin malam diletakkan rapi di pojok kamar, yang satu masih berdiri anggun, yang lain pincang karena tumitnya patah. Dia menggeleng sambil tersenyum geli."Selamat pagi, kamu si korban medan tempur," katanya pada sepatunya sendiri, sambil bersimpuh di dep
Pada saat ini, Grace yang tengah terlihat berantakan berpapasan dengan Lucas dan Sienna di lobi. Sambil mencoba menyeimbangkan langkahnya, dia memasang wajah cemberut serta mencoba mengabaikan Direkturnya itu.Lucas menaikan satu alisnya. “Grace!” panggilnya.Grace menghela napas, menoleh lalu bertelak pinggang di depan Lucas. Memberi tatapan yang seakan bicara, “Kau mau buat aku sengsara seperti apa sih baru puas!”Namun, hati dan mulut berbeda. “Ya Tuan!” jawabnya sambil mengatupkan bibirnya.“Apa kau baru memulung sampah?” Kata Lucas sedikit memberikan tatapan sinis kepada Lucas.Rasanya Grace sudah mau memaki Lucas. Dia menunjuk-nunjuk pria itu dengan ekspresi yang terlihat akan meledak. Namun, Sienna langsung menggandeng lengan Lucas. “Apa kau baik-baik saja, aku mendapat kabar mobil yang menjemputmu mengalami kerusakan ya. Mengapa tidak segera menghubungi kami!”Grace menurunkan tangannya, dia baru paham kalau dari awal sepertinya segala kesialannya hari ini, adalah ulah Sienna
Grace melangkah mantap keluar dari lorong pesawat dan memasuki terminal kedatangan Logan International Airport, Boston. Lampu-lampu putih terang menyambutnya, membuat matanya sedikit menyipit. Di sekelilingnya, lautan manusia bergerak dengan ritme cepat, penumpang yang baru tiba, petugas bandara yang berjalan cepat sambil menenteng radio, dan para penjemput yang berdiri berjajar di balik pagar besi, beberapa membawa papan nama.Grae menggenggam gagang koper kecilnya dan menariknya menyusuri lantai terminal. Bunyi roda kopernya berdetak pelan, sesekali terganggu oleh sambungan lantai. Langkahnya teratur, meskipun pikirannya belum sepenuhnya tenang.Punggungnya masih pegal, bukan hanya karena kursi sempit dan sandaran yang tak bisa digunakan dengan layak, tapi juga karena kesabaran yang terkuras dalam penerbangan tadi.Di salah satu sisi terminal, dia berhenti sejenak. dIa mengeluarkan ponselnya dan membuka pesan terakhir yang masuk:“Jemputannya di pintu keluar D.” isi pesan dari supir