Langit sore menggantung rendah, kelabu seperti kapas basah yang enggan turun hujan. Jalan menuju rumah Nek Nian terasa lebih panjang dari biasanya, padahal aku hafal setiap retakan di aspal itu. Mungkin karena hatiku kosong atau karena hari ini benar-benar mengakhiri satu hal yang dulu kusebut rumah.Bunda berjalan di depan. Langkahnya pelan, seperti menyeret beban yang tak terlihat. Di tangannya cuma ada map cokelat dan tas kecil sisa dari pengadilan. Tak ada genggaman, tak ada pelukan, bahkan ucapan pun nihil. Kami pulang seperti dua orang asing yang kebetulan pernah hidup bersama.Langkahku terhenti saat melihat sosok berdiri di depan pagar. Perempuan dengan blouse putih bersih, rambut panjang disisir rapi ke samping, dan sepatu hak pendek yang memijak tanah merah seperti tamu penting yang salah alamat.Tante Nanda.Tubuhku refleks menegang. Udara sore yang dingin terasa menukik sampai ke tulang. Tenggorokanku mengering, jantung berdetak keras, dan entah kenapa tanganku gatal ingin
PoV MayAku sudah tak tahu lagi kabar Ayah. Nomornya terblokir dari semua media sosialku termasuk WhatsApp. Setiap kali pesan datang dari nomor baru dan ternyata darinya, Bunda akan buru-buru memblokir lagi. Tak mau ada komunikasi di antara kami, setidaknya untuk sementara.Mungkin nanti, kalau semuanya sudah reda. Untuk sekarang, katanya harus berdamai dulu dengan dirinya sendiri. Meski begitu, Bunda tidak memblokir Ayah sepenuhnya. Dia masih perlu mengabari soal urusan perceraian, untuk hal-hal formal.Hari-hari terus berlalu. Kami masih tinggal di rumah Nenek. Bunda bilang rumah lama harus dijual. Terlalu banyak kenangan tentang Ayah di sana. Berat, tapi melepaskan adalah satu-satunya cara untuk bertahan.Akhir-akhir ini, Bunda mulai mengabaikan komentar para pembaca yang menunggu kelanjutan novelnya. Dia memintaku membalas sesekali, menjelaskan bahwa ada urusan mendesak, sambil memohon doa agar segalanya lancar. Bunda tak ingin mereka tahu kalau dia sedang mengurus perceraian. Bag
"Kiara, kamu tahu siapa mereka?"Gadis itu berdiri pelan, menoleh ke arah kami. "Mama, mereka Ayah sama Tante, kan?"Tiara langsung menatapku. Sorot matanya menusuk. Ada luka lama yang tampaknya belum kering dan kini menganga lagi. Pandangan itu bukan sekadar marah, tapi kecewa, juga penuh getir. Aku ingin bicara, menjelaskan, tapi lidahku kelu. Seluruh tubuhku terasa dikuliti oleh kenyataan yang selama ini kututupi. Malu. Sangat malu. Bukan hanya pada Tiara, tapi pada anakku sendiri.Semua kenangan lama bermunculan begitu saja. Dosa yang dulu kukubur dalam-dalam kini muncul di hadapan anak yang bahkan tak pernah kumanja. Ingin rasanya berlari pergi, menghilang dari pandangan Kiara. Namun aku tahu, aku sudah terlalu banyak kabur. Kali ini, aku harus diam di sini dan menghadapi semuanya dengan kepala tertunduk dan dada sesak.Aku melirik Hanen, berharap dia akan membantuku berbicara. Sejujurnya, tak ada yang bisa menyelamatkanku dari luka yang kutorehkan sendiri. Rasanya seperti berjal
"Mbak, aku mau langsung aja. Gimana ceritanya Mbak Nanda bisa hamil, sementara Mas Hanan bilang nggak pernah nyentuh? Itu anaknya Mas Hanan beneran atau Mbak Nanda sebenarnya hamil sama pria lain dan maksa Mas Hanan tanggung jawab atas sesuatu yang bukan dia lakukan?""Lancang kamu, Nen!" Sorot mata Nanda tajam, menusuk. "Kamu nggak akan pernah ngerti rasanya karena kamu nggak ngalamin sendiri.""Kita memang beda, Mbak. Aku istri yang setia, yang sayang anak dan suami. Sementara Mbak, kelihatannya memang suka main pria. Sampai-sampai hamil anak orang lain, terus malah minta Mas Hanan tanggung jawab.""Mana buktinya kalau ini anak pria lain?""Dan mana buktinya kalau itu anak Mas Hanan?"Nanda terdiam. Tidak membalas. Diam yang menyisakan ruang untuk kecurigaan. Apa benar dia sembunyikan sesuatu? Apa benar dia hanya memanfaatkan aku sebagai pelarian? Sebagai jalan keluar dari kebohongan yang dia bangun sendiri?Kalau itu anak Adam, bukankah dia akan bilang sejak awal? Atau setidaknya,
PoV HananSudah dua pekan aku hidup seperti gelandangan. Malam-malam kulewati di dalam mobil, makan seadanya di warung kaki lima, dan untuk mandi pun harus menumpang di masjid.Aku tak pernah menyangka hari seperti ini akan datang. Dulu, semuanya terasa rapi. Ida selalu bisa mengurus segalanya. Dia bukan tipe istri yang boros, malah sering mengalah saat aku ingin sesuatu. Bahkan pernah, aku yang memaksa dia membeli tas dan sepatu hanya agar dia terlihat senang.Aku mengembuskan napas panjang. Uang di dompet tinggal beberapa lembar. Itu pun hasil menjual tablet dan cincin kawin kami.Nanda tinggal di kost. Tiara? Malah menolak mentah-mentah saat aku memohon untuk sekadar menumpang semalam, padahal dulu, dia yang bersumpah cinta mati. Dan Ida ... jangan ditanya. Tak perlu teriak-teriak seperti Tiara. Cukup satu kalimat dan rasanya seperti jantungku diremas.Kantuk mendadak menyerang. Aku rebahkan badan ke kursi belakang. Kaki harus dilipat, dan rasanya nyeri luar biasa. Mungkin besok ak
“Berani juga, ya, dia datang ke sini.” Tante Ira menyeringai kecut. Tubuhnya terangkat dari lantai yang beralas karpet tanpa ragu, melangkah tegas ke arah pintu utama.Aku tidak bisa melihat apa yang terjadi di luar, tapi dari caranya membuka pintu dengan hentakan, aku tahu, badai akan segera meledak. Bunda tetap duduk diam. Tak ada gerakan, tak ada kata. Matanya menatap kosong ke depan, seolah sedang menghitung langkah-langkah berikutnya. Mungkinkah dia tengah menyusun ulang skenario agar tidak kalah di ronde terakhir?Syukurlah Risa sudah terlelap. Kalau tidak, dia pasti akan merengek minta Ayah menginap, tanpa tahu betapa kusut dan kotornya situasi yang sedang kami hadapi. Untuk apa Ayah datang ke sini? Tidak punya tempat pulang? Atau sekadar ingin menunjukkan bahwa dia masih punya nyali?“Heh, Mas. Kamu itu harusnya punya malu. Udah selingkuhin Mbak Ida, sekarang ngapain berdiri sok tak berdosa di sini?” Suara Tante Ira mengguncang rumah seperti dentuman petir.Bunda langsung berd