Waktu terus berputar, tapi pikiran May tetap terpaku di satu titik, yakni pesan itu dan ucapan sang bunda yang terus mengiang seperti mantra gelap.Bagaimana jika orang itu memang bukan ayahnya? Bagaimana jika dia datang hanya untuk melempar May ke dalam jurang yang lebih dalam dari luka yang pernah ia alami?Siapa dia?Satu-satunya nama yang muncul pertama kali adalah Nanda. Perempuan yang pernah menjadi badai dalam rumah tangga orang tuanya. Akan tetapi, Nanda sudah meninggal. Tragis. Kalau itu dendam, bukankah semestinya ikut terkubur bersama tubuhnya?Lalu siapa?Tiara? Tidak mungkin. Meskipun penuh luka, Tiara lebih suka menjauh daripada melawan.Kiara? Gadis lugu itu justru seperti versi muda Ida yang terlalu jujur untuk bisa menyembunyikan niat jahat.Entahlah. May menggigit bibir. Dadanya mulai terasa berat. Kenapa harus sekarang? Kenapa setelah semua luka mulai mengering, tiba-tiba datang pesan-pesan aneh dengan nama "Ayah" yang bahkan tak berani bicara lewat suara?Mungkinka
“Deketin aja dulu. Kadang, musuh baru bisa dijatuhin kalau dia lagi lengah.” “Bunda mau jebak Ayah lagi?” Ida tersenyum tipis lalu menggeleng pelan. “Bukan gitu maksud Bunda. Kalau kalian udah sama-sama simpan nomor, dia bisa lihat story kamu, kan?” “Terus, Bunda pengen aku ...?” “Buka celah, biar dia ngerasa aman, baru kita tahu niat sebenarnya.” May terdiam. Kata-kata itu seperti benang kusut yang satu per satu mulai masuk akal dan menyeramkan. Dia menatap layar ponsel yang masih menampilkan panggilan tak terjawab dari nomor asing itu. Tenggorokannya terasa kering. “Kalau dia benar Ayah, kenapa nggak langsung bilang dari awal?” “Kamu pikir semua orang berani jujur saat niatnya belum tentu bersih?” Ida berbalik menatap May, kali ini tatapannya tajam dan menusuk. “Atau justru karena dia tahu kamu masih punya rasa percaya itu, dia sengaja main di balik layar.” Mendengar itu, May menunduk dengan dada yang terasa sesak; antara takut, penasaran, dan terluka. "Jadi, aku harus terus
Kedua alis May bertaut pelan saat membuka aplikasi pesan berlogo hijau dengan ikon telepon. Di antara sekian notifikasi, ada satu pesan dari nomor tak dikenal yang langsung menarik perhatiannya. Rasa penasaran membuat jempolnya bergerak, membuka isi percakapan itu. +62 821-3333-xxxx: May, apa kabar? Kamu nggak kangen? Wanita muda itu memelototi layar ponselnya. Nickname pengguna hanya titik, tanpa foto profil, dan tanpa status. Kosong, seperti upaya untuk menyembunyikan identitas. May mengusap layar pelan, jempolnya berhenti di atas pesan itu. "May, apa kabar? Kamu nggak kangen?" Dia membaca ulang kalimat itu, kali ini dengan jantung yang sedikit berdebar. Suara dalam kepalanya mulai menebak-nebak. Siapa dia? Gaya bahasanya terlalu santai untuk orang asing, terlalu personal untuk sekadar iseng, bahkan terlalu familiar untuk dilupakan begitu saja. "Kenapa, May? Bunda perhatiin dari tadi kamu kayak bingung gitu?" Ida bertanya. Dia berdiri di beranda pintu kamar si anak, bar
"Bu Diah?" Kening Husna berkerut. Matanya menatap tajam pada sosok wanita paruh baya yang berdiri di balik tiang pagar. Dia adalah tetangga yang lebih sering mengaduk-aduk kabar ketimbang mengurus hidup sendiri. Sosok yang dikenal sebagai pusat semesta segala gosip, dengan mulut yang selalu siap menyulut bara di mana pun ada percikan."Kenapa? Terusin aja, aku dengerin, kok. Anggap aja aku tembok," jawab Bu Diah enteng, senyumnya lebar dan kedua tangannya kini bersilang di depan dada, seperti hakim yang siap menjatuhkan vonis.Husna menelan ludah. Ingin rasanya mengubur wajah ke tanah. Amarah dan malu campur aduk di dadanya. Perdebatan panas dengan Hanan baru saja berubah jadi tontonan umum dan yang menyaksikan adalah orang terakhir yang dia harap ada di sana.Sementara itu, rahang Hanan mengeras. Otot di pipi menegang, dan sorot matanya menyalak liar seperti bara yang hampir meledak jadi kobaran. Kedua tangannya mengepal di sisi tubuh, bergetar menahan dorongan naluriah untuk mengamu
Enam bulan berlalu sejak semuanya hancur. Di desa kecil tempat Hanan dilahirkan, dia kembali jadi nama biasa. Tak lagi dipanggil suami siapa, ayah siapa, atau pegawai teladan. Sekarang dia cuma laki-laki pengangguran yang tinggal bersama ibunya, Bu Siti, yang kini lebih sering batuk daripada berbicara. Setiap pagi dia bangun sebelum ayam jantan berkokok, berharap ada telepon masuk, ada kabar kerja, ada peluang. Namun, nihil. Baju-baju kerjanya yang dulu licin dan harum kini tergantung lusuh di balik pintu. Di balai desa, di warung kopi, di tepi sawah, namanya cuma dibisikkan orang-orang dengan nada sinis, dengan cemoohan yang tak pernah diucapkan langsung; terasa jelas menusuk. Siang itu, dia duduk sendirian di teras rumah. Kursi plastik reyot menopang tubuhnya yang mulai tirus. Di sampingnya, secangkir kopi hitam yang sudah dingin. Tatapan kosongnya menembus tanah kering di kejauhan. Hanan menarik napas dalam-dalam, kemudian mengembuskannya berat. Dia hidup dalam penyesalan. Berula
PoV MaySudah dua hari pesan dari Ayah tidak kugubris. Bukan karena benci, bukan juga karena dendam. Aku hanya belum tahu harus bagaimana dan rasanya bukan waktu yang tepat untuk bicara pada Bunda. Dia sedang fokus menyelesaikan bab terakhir novel yang terus ditagih pembaca. Aku tahu, kerja kerasnya bukan untuk dirinya sendiri, tapi untuk kami semua.Pesan itu masih ada di ponselku, belum kuhapus. Entah kenapa, bagian dariku merasa suatu hari nanti pesan itu akan penting. Mungkin bukan untuk dijawab, mungkin hanya untuk diingat. Nenek di kampung sedang sakit. Itu alasan Ayah pulang. Aku harap Nenek tetap diberi umur panjang biar suatu hari, kalau semua ini sudah reda, kami bisa bertemu lagi tanpa amarah yang menggantung di udara.Aku menghela napas panjang. Takdir memang seperti itu. Selalu punya cara sendiri untuk mengejutkan manusia.Malam menebarkan gelapnya. Aku masih duduk di teras, menunggu Tante Ira pulang. Ada hal yang harus kusampaikan, tapi aku juga tidak ingin menjadi pemic