"Ya Tuhan,kenapa gue apes banget ya!"
Naura memegangi kepalanya dengan dua tangan terlihat begitu frustasi sementara sahabatnya, Fransiska, pemilik apartemen yang dia tinggali sementara selama mengajar di Paud sedang duduk santai menikmati kue blackforest sambil bertopang dagu. Mendengarkan saja Naura menumpahkan kekesalannya. "Di sana penuh dengan anak-anak yang terlihat susah diatur." "Yaiyalah anak-anak. Kalau nenek-nenek ya namanya panti jompo!" Naura melotot. "Ih serius. Elo tahu kan apa yang gue maksud?!" "Lebay." Siska mengunyah blackforestnya. "Cuma elo aja yang menganggap kalau anak-anak itu menyebalkan padahal ya mereka itu lucu dan ngegemesin.” Naura menopangkan dagu, menghela napas panjang. "Keponakan-keponakan gue yang biang onar itu. Setiap mereka datang ke rumah atau pas gue lagi main ke rumah mereka, pokoknya hanya ada keributan aja di sana. Bikin pusing dan sumpek. Belum lagi kalau kakak-kakak gue lagi ngomelin mereka." Siska tertawa membuat Naura keki dan dengan gerak cepat memasukkan sendok kecil ke dalam mulutnya yang terbuka. "Hmmpp—" Siska mendelik. "Sialan!!" umpatnya seraya mengeluarkan sendok dari mulutnya. "Elo Tante paling payah yang pernah gue temuin." "Terserah!" Naura menarik gelas kristalnya, mengambil botol anggur merah yang sudah dia buka, menuangkannya dan menegaknya sampai habis. "Gue bahkan ketemu dengan lelaki mesum itu di sana!" Naura masih tidak menyangka kalau bumi itu sesempit ini. Bisa-bisanya mereka bertemu lagi di tempat seperti itu hingga dia terpaksa meninggalkan mobilnya dan harus merayu Siska untuk mengambilnya tapi sayangnya mobilnya terkunci dan catatan yang ditinggalkan di kaca depan membuatnya ingin mengumpat. Laki-laki itu meninggalkan catatan yang mengatakan kalau dia membawa kunci mobilnya sampai dia mau bertatap muka dengannya. "Gila ya tuh laki!" decaknya kesal. “Wah, elo benar-benar apes,” Siska tertawa. "Kayaknya elo nggak bisa mengelak lagi dari dia kalau mau ambil mobil lo." Naura mengacak rambutnya,tidak mau memikirkannya. Biar saja mobilnya ada di sana, Naura tidak peduli dari pada dia harus berhadapan dengan laki-laki itu lagi. “Erghh, kira-kira gue bakalan sanggup bertahan sampai berapa lama ya di sana?" "Palingan juga besok lo kabur," cibir Siska. "Ohh tentu tidak!" Naura menggelengkan kepala. "Gue harus bisa bertahan." "Harus lah supaya elo bisa cepat-cepat nikah dan gak jadi perawan tua hanya karena para lelaki kabur dengan pemikiran konyol lo itu." "Sialan!!" umpatnya. "Gue gak akan jadi perawan tua!" "Makanya, rubah itu pola pikir dan sikap lo ke anak-anak supaya hal itu gak kejadian. Dengar ya—" Siska memutar sendok kecil di tangannya yang dihadapkan ke Naura. "Semua laki-laki menginginkan keluarga bahagia. Punya istri cantik yang hot di ranjang, punya anak-anak lucu yang wajahnya mirip dengannya, punya julukan kekinian yang bangga disanding mereka—" "Apa tuh?" "Hot Daddy," dengus Siska. "Ohhh," Naura manggut-manggut. "Coba aja lo lihat itu lelaki macho pecinta keluarga yang ada di i*******m. Mereka bangga dengan julukan itu." "Gue gak pernah sih kepoin i*******m mereka kayak elo yang ujung-ujungnya bakalan mupeng sendiri dan menghayal, kapan sekiranya calon suami masa depan elo yang wujudnya serupawan mereka lengkap dengan roti sobeknya datang dan ngawinin elo supaya bisa beranak pinak sekaligus memperbaiki keturunan." Naura menggelengkan kepala. "Bukan gue banget." "Resek!” umpat Siska. “Wanita di luaran sana sekarang hobinya gitu. Bukannya nyimpan foto kekasihnya malah diam-diam ngumpulin foto topless mereka, melototin i***a story mereka dan sok iya komen-komen berharap di notice. Banyak tuh." "Termasuk elo kan?" tuduh Naura. Siska memonyongkan bibirnya. "Hanya satu orang aja sih yang hobi gue intip roti sobeknya." "Siapa?" "Nick Batman." Siska nyengir membuat tawa Naura menyebur. "Yailah. Lelaki brewokan itu?" Naura menggelengkan kepala. "Lelaki hayalan banyak wanita kesepian di luar sana." "Eh, gak hanya wanita kesepian tapi ibu-ibu muda masa kini juga banyak loh!!" Siska menopangkan dagu. "Soalnya ya, dia itu makin tua, udah punya buntut satu makin gak nahan hotnya." Naura memutar bola mata. "Ya elo aja itu. Gue sih kagak!" Siska mendengus. "Pokoknya ya intinya, lelaki itu pasti ingin memiliki keluarga utuh. Ngapain coba nganggurin istri yang gak mandul kecuali elo didiagnosa terkena penyakit ganas. Pastilah maunya blendungin istrinya supaya beranak pinak." "Ah tahulah. Bikin pusing!!" Naura jengah, menegak lagi anggurnya. "Hmm tapi setelah di pikir-pikir, kok ya gue kasihan sama anak-anak yang akan elo ajar itu. Mereka pasti takut punya guru modelan lo gini!" "Heh, mereka pasti bakalan ngelawan balik dengan wajah polos mereka itu nggak ada takutnya." "Kalau gue yang jadi kepala sekolahnya, gak bakalan gue kasih masuk lo di situ. Nanti anak-anak bukannya senang malah stress." "Woiiii! kenyataannya yang stress itu gue bukannya mereka." Siska merebut gelas Naura, menuangkan anggur merah untuknya sendiri. "Gue tanya, memangnya dulu elo gak pernah kecil apa? Emak lo ngelahirin lo langsung berjodol umur dua puluh delapan tahun?" Naura memonyongkan bibirnya. "Mikir dong ah. Elo juga pernah kecil dan lo pasti punya banyak kenangan kan tentang hal itu." "Tau ah gelap," Naura sok cuek. "Dikasih pencerahan malah begitu." Siska berdiri dari duduknya, membereskan bekas piring yang digunakannya. "Udahlah, kalau memang gak sanggup ya mengaku aja kalah." "NOOOOO!" pekik Naura, memutar tubuhnya mengikuti langkah Siska menuju ke dapur. "Ini masih pemanasan. Pokoknya ya, gue harus menang dan anak-anak itu harus nurut semua sama omongan gue." Siska berdecak. "Lo pikir mereka pekerja lo di kantor. Sinting!!" "Bodo amat!!" Naura memilih untuk berdiri, berjalan ke arah ruang tamu dan menjatuhkan pantatnya di sofa, tidur terlentang di sana. "Lebih baik ya elo pikirkan gimana caranya mengambil hati mereka pelan-pelan dan lo akan lihat kalau mereka itu menyenangkan," teriak Siska dari dapur. "Ngambil hati mereka?" Naura bertanya balik. "Ih sori mori dori aja ya. Memangnya mereka siapa? Ogah banget!" Naura menghidupkan televise, mengganti salurannya tanpa benar-benar dia tonton karena pikirannya penuh dengan kejadian yang akan dialaminya besok. "Keras kepala!! Pantas aja Wisnu lari," tambah Siska kemudian. "Berisik!!" Naura mengambil bantal sofa dan menutup kepalanya yang pusing tapi sedetik kemudian dia bangkit lagi. "Ya ampun, gue telpon aja kali ya mobil derek langgannannya Mama buat bawa pulang mobil gue. Masalah kunci dipikirkan nanti ajalah." Siska menatapnya dengan pandangan frustasi, menghela napas lelah. "Serah lo lah. Tapi mau sampai kapan elo bakalan menghindar dari laki-laki itu. Elo kan berhutang budi, maaf sama ucapan terima kasih." "Tapi dia itu seram, SISKAAA!" teriak Naura, frustasi dan menjatuhkan diri lagi di sofa sembari mengacak rambutnya kesal. ***“Gak nyangka kalau Papa bisa melihat Naura seperti ini.” Arjuna yang sedang memeluk Alvaro yang namplok di dadanya menoleh ke samping, dimana Papa mertuanya Restu duduk, memandangi anak bungsunya yang saat ini sedang duduk di atas hamparan karpet di area kebun belakang rumah bersama para keponakannya. Minggu ini jadwalnya cucu-cucu keluarga Widjaja berkumpul untuk memeriahkan rumah yang biasanya hanya diisi oleh Papa Restu dan istrinya. Di sisi lain, kakak iparnya dan Mama mertuanya sedang memanggang daging juga ayam dan membiarkan Naura yang menjaga semua keponakannya. Arjuna yang duduk di kursi seraya meluruskan kakinya membiarkan Alvaro menarik-narik bajunya dengan mata yang mulai sipit kerena mengantuk sementara saudaranya masih asik bermain. Didekapnya erat pungung anaknya dan mengelusnya supaya anaknya itu bisa tidur. “Kalau bukan karena kamu, Papa speechless bisa melihat hal seperti ini mengingat begitu kerasnya Naura menghindari yang namanya anak-anak sampai dia be
Satu tahun kemudian,Rumah, menjadi tempat yang paling Arjuna rindukan saat berada jauh dari sana. Jadi, setelah semua urusannya di Vancouver beres, dia menolak ajakan kawan-kawannya bertahan sehari untuk mengelilingi kota sebelum kembali ke Indonesia. Dia hanya ingin cepat-cepat pulang dan berkumpul bersama keluarganya.Berada dua minggu di sana membuatnya tidak tenang, meskipun setiap ada kesempatan, Arjuna selalu melakukan panggilan video call untuk menyalurkan rindu pada keluarganya tercinta.Arjuna memandangi layar ponsel, di mana ada senyuman Naura juga si kembar di sana. Seketika perasaan rindu itu seperti tidak bisa dibendung lagi, berharap kalau saat dia sampai nanti, mereka semua masih terjaga untuk menyambutnya.Arjuna mencoba untuk melakukan panggilan ke istrinya tapi suara deringnya hanya berlalu begitu saja.“Apa dia sudah tidur?” gumamnya.Dilihatnya jam tangannya dan menghela napas panjang seraya menyandarkan punggung di kursi mobil taksi yang dinaikinya. Pantas s
Setelah mengalami proses hukum dan sidang yang panjang, Wisnu dijatuhi hukuman karena bersalah telah melakukan tindakan kriminal dan dijatuhi hukuman selama lima belas tahun penjara. Suaminya nampak belum puas tapi setidaknya dia sudah mendapatkan keadilan seperti yang dia inginkan.Minggu sore ini, mereka hanya berdua di rumah, duduk di sofa panjang menoton film Filipina romantis. Naura memeluk popcorn jagung di tangannya sementara Arjuna memeluknya dari belakang, melingkupi perutnya yang besar.“Fransisca sedang menjalani rehabilitasi akibat kecanduannya akan obat-obatan.”Naura menoleh, “Aku gak nyangka dia wanita yang seperti itu.”“Selama aku mengenalnya dulu, dia tidak pernah menunjukkan gejala pecandu obat jadi aku pikir, kalau dia baru-baru saja memakainya.” Naura mengangguk, sibuk memandangi wajah tampan James Reid di film This Time yang sudah dia tonton ratusan kali. “Aku harap dia dapat ganjarannya karena berniat menabrakmu hari itu.”“Dia mabuk.” Naura menoleh. “Dia s
Hal pertama yang dirasakannya saat dia sadar hanyalah kepalanya yang terasa sakit. Naura mengerjapkan mata, menatap langit-langit yang putih bersih, aroma rumah sakit kembali tercium. Merasa heran kenapa dia yang hanya pingsan malah kembali berakhir tergeletak di sini. Kalau dipikir-pikir, akhir-akhir ini dia sering sekali terbangun di rumah sakit. “Ini sebenarnya kenapa?” Samar-samar Naura mendengar suara suaminya di tempat yang agak jauh. “Aku yang dioperasi kenapa malah Naura yang gak sadar-sadar?” “Kami juga tidak tahu Pak Arjuna. Bu Naura tidak mengalami luka serius, kondisinya stabil dan kami hanya memberikan dia obat tidur dosis kecil untuk mengistirahatkan tubuhnya selama bapak di operasi.” “Tapi sudah tiga hari dia belum sadar? Apa dia koma?” “Tidak. Sepertinya ada sesuatu yang membuatnya belum bangun. Kami akan segera memeriksanya lagi.” “Sebaiknya begitu karena aku tidak mau dia kenapa-napa—“ Nada suara suaminya tegas. “Juga anak-anakku di sana.” N
Makan malam keluarga kali ini lengkap dan ramai. Diadakan di salah satu restoran milik keluarganya di area outdoor dengan angin yang berhembus sepoi-sepoi. Naura duduk memperhatikan keponakan-keponakannya yang bermain disekitarnya sambil mengaduk-aduk nasi di piring untuk mereka. Masih aja lebih suka minta disuapin terutama si kembar dan juga Keylan. “Tan-tan, kata Mama, kita mau jalan-jalan ke Disneyland nanti.” “Oh ya—“ Naura menyuapi para bocil yang dulu sering dia sebut troublemakers. “Asyik dong. Tante gak diajak?” “Tante kan sudah besar jadi gak boleh main ke tempat mainan anak kecil.” Naura pura-pura merengut, “Ih kalau gitu nanti Tante nangis aja deh.” “IHH JANGANNN—“ teriak si kembar bersamaan. “Nanti minta diajak sama Mama aja ya.” Lalu mereka berlari mendekati Arabella dan menariknya untuk mendekatinya dengan wajah mengeryit. “Apaan sih ini?” “Tan-Tan mau ikut kita ke Disneyland Ma,” ucap Kesha. “Ajak Tan-Tan ya biar dia gak nangis terus,” tambah Kaisar. N
Mungkin ini karma yang harus dia tanggung karena di awal-awal dulu, dia tidak mensyukuri berkah yang Tuhan berikan untuknya berupa kedatangan bayi kembar di dalam rahimnya. Terkesan tidak menginginkan meskipun pada akhirnya pelan-pelan, dia malah menikmati momen-momennya sebagai seorang calon Ibu.Tapi sekarang dia seperti merasakan kosong. Seminggu sejak keluar dari rumah sakit, Naura terus memegangi perutnya berharap kalau mereka masih ada di sana, bertumbuh dan menunggu momen untuk lahir ke dunia.Naura berusaha keras mencoba untuk mengikhlaskan tapi yang tertinggal hanyalah sebuah penyesalan yang tidak tahu kapan akan bisa dia lepaskan.Orang-orang disekelilingnya terutama keluarganya tidak lagi menyinggung tentang kehamilannya yang dulu, begitu juga dengan suaminya. Ada perbedaan yang begitu nyata dia rasakan, bahkan sikap suaminya yang terlihat begitu hati-hati saat berbicara dengannya.Satu hal yang tidak tertahankan harus dia lihat setiap hari hanyalah, tatapan suaminya ya
“Aku besok harus ngapain Mas?”Naura merasa khawatir karena besok siang dia harus datang ke persidangan sebagai saksi dan bertemu lagi dengan Mirza. Suaminya yang tidur di sebelahnya mengelus kepalanya. “Jangan hiraukan keberadaan Mirza di sana. Kamu hanya harus menceritakan kejadian saat kamu mendengar Mirza menelepon preman-preman suruhannya itu dan juga saat dia mengancammu di swalayan.”Naura mengigit ujung kukunya. “Apa bukti rekaman ancamannya yang aku rekam diam-diam itu belum cukup?”“Kamu harus tetap bersaksi sayang. Ini salah satu prosedur persidangan yang harus dilakukan agar bukti-bukti semakin kuat.”“Aku bukan saksi utamanya kan?” Naura menatap suaminya. “Secara tidak langsung semua ini bermula karena hubungan kami yang hancur. Seperti yang dikatakan oleh Tante Marina.”“Andai saja aku ada di sana saat dia datang.”“Sikapnya itu menunjukkan siapa mereka sebenarnya,” ucap Naura. “Dulu, aku bertemu dengannya hanya beberapa kali dan itu juga bukan pertemuan yang men
“Event kuliner Asia ya?” Tanya Naura, memperhatikan proposal di tangannya yang baru saja diserahkan oleh Marketing Head untuk mendapatkan persetujuannya. “Iya Bu. Tahun ini kita memenuhi kualifikasi untuk ikut pagelaran kuliner yang diadakan di hotel Armani Dubai.”“Ini kesempatan langka.” Naura membaca baik-baik proposalnya, sementara Amel yang duduk di depan mejanya memperhatikan. “Mereka melakukan sistem seleksi—“ Naura mengangkat pandangannya. “Orang kita harus benar-benar menyiapkan banyak hal itu event ini.”Amel mengangguk, “Pak Dani sudah mempersiapkannya sejak jauh-jauh hari. Meeting akan dilakukan lusa untuk membahas event ini dan saya sudah mengirim semua bahan meetingnya ke email Bu Naura.”Naura mengangguk, mengelus perutnya yang terasa lapar membuat Amel langsung berdiri siaga. “Ibu Naura mau makan apa? Biar Amel pesankan.”Naura memerengkan bibirnya, “Tumben kamu perhatian banget.”“Nanti saya disemprot sama Pak Arjuna Bu,” kekeh Amel, Naura memutar bola mata. “
Tiga bulan kemudian, "Deg..Deg…Deg..Deg” Naura merasakan matanya berkaca-kaca saat mendengar detak jantung kedua anaknya yang saling bersahutan saat mereka cek kandungan ketika kehamilannya memasuki trimester kedua. Suaranya begitu menenangkan dan Naura tidak bisa berhenti mendengarnya. “Semuanya sehat, Ibu dan bayi sehat dan berkembang dengan baik. Detak jantungnya bisa kalian dengar sendiri.” Arjuna menghembuskan napas lega. “Syukurlah. Mual-mualnya juga sudah mulai berkurang dok.” Dokter Melani mengangguk. “Itu artinya, setelah ini semuanya akan baik-baik saja. Ibu bisa beraktifitas lebih banyak karena masa mabuknya sudah berkurang tapi tetap harus hati-hati karena kehamilan kembar lebih membuat cepat lelah dari pada kehamilan tunggal.” “Rasanya perut pasti bakalan sesak ya dok," Tanya Naura. “Iya begitulah. Semakin besar mereka akan semakin memenuhi dinding Rahim, saling bersinggungan sesama saudara dan berbagi makanan. Ibu Naura harus banyak-banyak mengonsumsi makan