Share

Masakan asin

Penulis: Rafasya
last update Terakhir Diperbarui: 2023-12-23 10:45:39

Aku menutup kamarku, kemudian berjalan ke arah ranjang, aku duduk dan segera mengambil surat dari rumah sakit dalam tasku. Kemudian mulai membukanya perlahan. Jantungku semakin berdegup tak karuan. Perlahan aku membaca dengan seksama setiap kata. Dan... Hasilnya sangat mengejutkanku. Aku membekap mulut tak percaya. Di keterangan tertulis bahwa Mas Hendra tidak bisa mempunyai keturunan, itu artinya dia.... Mandul.

Aku menggeleng kuat. "Tidak, tidak. Mas Hendra tidak boleh tahu tentang ini. Jika dia tahu, dia pasti akan sedih."

Aku segera menyembunyikan kertas itu di dalam lemari, menyimpannya rapat-rapat.

Banyak orang-orang diluar sana yang diagnosa mandul, tapi tetap bisa punya anak.

Aku segera pergi ke dapur, memasak untuk makan malam Mas Hendra dan juga Firman.

Saat sedang masak pikiranku melambung pada kertas diagnosa Mas Hendra yang tidak bisa memiliki keturunan. Entah sampai kapan aku akan menyembunyikannya. Yang jelas aku tidak ingin Mas Hendra merasa sedih.

Sebenarnya aku juga sama seperti wanita yang lain, ingin memiliki anak apalagi usia pernikahanku sudah terbilang cukup lama. 4 tahun bukanlah waktu yang sebentar. meskipun terkadang Mas Hendra selalu menyalahkanku atas masalah ini.

Aku menautkan Ali saat mencium aroma sesuatu yang terbakar. Aku terkejut saat melihat masakanku sudah menjadi hitam.

"Ah... Gosong!" gumamku lirih. Ini pasti karena aku yang terus melamun sejak tadi, tidak fokus pada masakanku.

Aku segera membuang makanan yang telah gosong. Kemudian membuatnya dengan yang baru. Lagi-lagi pikiranku terus melambung pada kertas diagnosa rumah sakit, sehingga membuatku benar-benar tidak fokus.

Malam pun tiba.

Malam ini Mas Hendra pulang lebih cepat, dan firman belum pulang hingga kami menjelang makan malam. Di meja makan hanya ada aku dan Mas Hendra saja.

Aku menyiapkan makan malam Mas Hendra dengan senyum yang dipaksakan.

"Kemana saja kamu hari ini Win?" Seperti biasa, Mas Hendra selalu menanyakan apa saja aktivitasku di rumah. Gerakan tanganku yang semula sibuk menyiapkan makanan terhenti. Kemudian menetap Mas Hendra dengan ragu-ragu.

"Aku.... Aku siang tadi ke rumah sakit untuk mengambil, hasil pemeriksaan kita tempo lalu."

"Lalu apa hasilnya? Pasti kamu kan yang bermasalah! Di keluargaku itu semuanya subur-subur bahkan bibiku saja punya anak lebih dari 5."

Aku menghembuskan napas perlahan.

"Tidak ada yang bermasalah Mas, semuanya baik-baik saja. Mungkin saja memang kita harus berusaha lebih keras lagi."

Cih! Terdengar suara Mas Hendra berdecih.

"Sepertinya rumah sakit itu yang salah. Nanti jika aku ada waktu, periksa lagi ke rumah sakit yang lebih bagus."

Aku mengangguk samar.

Aku menggigit bibir saat melihat Mas Hendra mulai menyuapkan makanan ke mulutnya. Dia mengunyahnya perlahan kemudian terdiam.

HOEK!

"Makanan macam apa ini Winda! kenapa rasanya macam k o t o r a n?! Kamu ini nggak becus banget jadi istri."

"Ma—masa sih Mas?"

"Coba saja, kalo kamu nggak percaya!"

Dengan tangan bergetar aku mengambil sedikit makanan itu kemudian memasukkannya dalam mulutku.

Aku langsung mengernyit, sepertinya aku terlalu banyak menaruh garam pada masakanku. Ini pasti karena tadi siang aku terus saja melamun.

"A—asin."

"Tidak enak kan? Tau kan kesalahan kamu dimana? Lain kali di coba, jangan makanan tidak enak seperti ini kamu berikan pada suami!"

"Ma—maaf, Mas. Kalo begitu biar aku masakin lagi ya."

"Tidak perlu! Nafsu makanku sudah hilang."

BRAK!

Mas Hendra menggebrak meja membuatku tersentak.

Aku menatap punggung Mas Hendra yang berjalan penuh emosi, dengan mata yang mengembun.

Kemudian melihat ke arah makanan yang kubuat.

"Makanannya memang asin, tapi masih bisa dinikmati, setidaknya bicara baik-baik."

Air mataku menetes di pipi.

Tak berselang lama terdengar suara dari luar. Aku segera menghapus air mataku. Kemudian mulai merapikan piring.

"Selamat malam Mbak Winda." Firman mendekat ke arahku.

"Wah sedang makan malam rupanya, kebetulan aku sudah lapar." Firman duduk di kursi, kemudian mengambil piring. Aku mencegahnya.

"Jangan Firman, masakan ini tidak enak. Nanti Mbak masakin lagi ya, kamu bisa tunggu sebentar."

"Nggak usah Mbak, aku bisa makan yang ini. Lagi pula Mbak Winda kan sudah berkerja keras membuatnya, pasti capek."

Firman tak mendengarkan ucapanku, dia mulai menggendong makanan buatanku kemudian memasukkannya pada mulutnya.

Aku meringis, apa yang akan dikatakan Firman setelah ini.

Firman menyendok kembali, kemudian melahapnya lagi.

"Bukankah rasanya tidak enak? Mas Hendra saja tidak mau memakannya." lirihku.

"Sedikit asin Mbak, tapi masih bisa di nikmati. Kalau di buang kan mubazir. Biar Firman yang makan." ucapnya kemudian lanjut dengan suapan berikutnya sampai habis.

Aku tersenyum samar. Firman ternyata lebih bisa menghargai seseorang daripada suamiku.

***

Tengah malam, takut terbangun saat mendengar suara seseorang yang sedang merintih.

Aku melirik ke sebelah ranjang, tidak ada Mas Hendra di sampingku. Aku teringat, Mas Hendra pergi saat aku masuk ke dalam kamar selesai makan malam. Dan sampai saat ini dia tak kunjung pulang.

Suara rintihan itu terdengar kembali. Aku segera turun dari ranjang dan mencari sumber suara. Saat berpapasan dengan Firman sambil memegangi perutnya.

"Firman—" sapaku. Firman malah berbalik dan berlari ke arah kamar mandi.

"Tunggu sebentar Mbak!" teriaknya.

Kemudian terdengar suara air yg mengalir. Tunggu Firman di ruang tengah. Tempat biasa aku menonton televisi.

Firman menghampiriku dengan wajah sedikit pucat. Lalu duduk di sebelahku.

"Akhh!" desahnya.

Aku melirik ke arahnya. "Firman kamu—" belum sempat melanjutkan ucapanku Firman menjawabnya lebih dulu.

"Diare Mbak! Tapi gakpapa mencret dikit gak ngaruh." ucapnya.

Aku sedikit merasa bersalah. "Ini pasti karena kamu makan makanan Mbak tadi, Mbak kan udah bilang, kalo makanan itu lebih baik di bu—"

Sttt! Firman menempelkan jari telunjuknya pada bibirku.

"Aku gakpapa kok Mbak, mbak gak usah khawatir. " ucapnya kemudian tersenyum. Namun senyum itu pudar berganti menjadi meringis.

"Tuh kan, gakpapa bagaimana?! Tunggu sebentar ya, Mbak mau ngambil minyak tawon dulu."

"Loh kok minyak tawon Mbak? Nggak sekalian minyak urut?"

"Ah, maksud mbak... Minyak angin. Tunggu sebentar ya."

Aku segera mengambil minyak angin di kamarku, kemudian kembali menghampiri Firman di ruang tengah.

"Berbaringlah." Aku menyuruh Firman berbaring di sofa panjang. Dengan wajah yang masih meringis Firman menuruti apa kataku.

Setelah Firman berbaring, aku mendekat. Kemudian membuka kaos yang dia kenakan. Firman menatapku dengan lekat. Tanpa ragu Aku mengoleskan minyak angin pada permukaan perutnya. Sedikit mengurutnya, agar bisa mengurangi rasa sakit.

Firman memejamkan mata seolah menikmati sentuhan tanganku pada perutnya. Aku terus melakukannya, sampai Firman berhenti meringis. Namun aku merasa aneh, saat ringisan itu malah berubah menjadi suara d e s a h a n. Meskipun samar, tapi telingaku masih bisa mendengarnya.

"Mbak, bisa lebih sedikit di tekan lagi." pintanya.

Aku mengangguk. Kemudian mulai menekan lebih keras.

Firman memejamkan mata kembali saat jari lentik tuh mengelus-elus perutnya.

"Kebawahan dikit Mbak."

Aku mengangguk kembali. Kemudian mulai mengelus perut bagian bawahnya.

"Kebawahan lagi Mbak."

"Minyaknya tambahin dikit lagi."

Lagi-lagi aku menurut, mengikuti setiap yang di katakan Firman. Namun tak lama kemudian gerakan tanganku terhenti, saat tak sengaja menyentuh benda kenyal yang menegak keras.

Aku melirik ke arah Firman yang ternyata sedang menatapku dengan tatapan sayu.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • TERGODA IPAR   —SELESAI—

    Hari demi hari, bulan demi bulan berlalu ... Aku dan anak-anak terus mencoba untuk menghibur Winda. Jangan sampai dia sedih dan terus memikirkan Farah. Ternyata, tidak ada usaha yang menghianati hasil. Winda yang tadinya menangisi Farah setiap malam. Kini sedikit berkurang. Hari ini adalah hari jadi pernikahan kami yg ke 6 tahun, tak terasa waktu berjalan begitu cepat. Aku berencana mengajaknya liburan di bali sekaligus merayakan anniversary kami. Anak-anak sengaja kutitipkan pada Kak Santi selama aku liburan di bali.Kami sampai di resort Bali setelah sebelumnya naik pesawat selama 2 jam. Winda langsung merebahkan diri di kamar hotel. Aku tau dia pasti kelelahan.Setelah memasukan isi koper ke dalam lemari, aku langsung membuka tirai jendela. Terlihat deburan ombak yang sangat kencang di sertai dengan pemandangan yang sangat cantik. Aku sengaja memilih resort yang menghadap langsung dengan laut. Jadi, saat berdiri di jendela seperti yang kulakukan i

  • TERGODA IPAR   Mencoba Ikhlas

    “Bagaimana? Apa ada perkembangan?” itu suara Kak Santi. Aku segera menoleh ke arah nya. Kemudian menggeleng, “Belum, Winda masih belum sadar.” jawabku. Aku menatap ke arah ranjang di mana ada Winda yang tengah berbaring dengan luka perban di kepalanya. Kejadian dua hari yang lalu membuatnya tak berdaya di rumah sakit ini. “Anak-anak bagaimana, mereka sama siapa?” Aku menghela napas sejenak, “Bersama asisten rumah tangga kami.” “Kakak ke rumahmu ya, kasian keponakanku. Dua kali ibu mereka masuk rumah sakit.” Aku mengangguk,“Terima kasih, Kak.” “Ya sudah. Kakak pamit ingin menemui mereka. kamu jangan terus bersedih, doakan saja istrimu cepat pulih.“ “Oh iya, bagaimana dengan pelaku yang menyebabkan Winda begini?” “Aku sudah melaporkannya kepada pihak berwajib, biarkan mereka yang mengurusnya.” Kak Santi tersenyum, “Aku tau, adikku tau apa yang harus di lakukan.”

  • TERGODA IPAR   Tolong, panggilkan ambulans!

    POV Firman Aku baru saja sampai di kantor. Berbarengan dengan aku masuk ke dalam loby, tiba-tiba saja ponselku berbunyi. Aku segera mengangkatnya karena itu berasa dari rumah. Aku sangat takut terjadi sesuatu di rumah. Apalagi itu menyangkut Winda. Kondisi nya masih belum stabil. “Halo, Bibik. Ada apa?” “Halo, Pak. Ibu ... Ibu ....” “Ada apa? Bicara yang jelas?! Winda kenapa?” bertubi-tubi pertanyaan kulontarkan, aku benar-benar merasa khawatir. “Ada apa dengan Winda?” “Tadi Ibu pamit keluar sebentar katanya, dia membawa tas.” Ah, aku meraup wajah kasar. “Sudah kuduga, dia pasti akan berpergian. Harusnya aku tetap di rumah.” Aku menyesal. Kupikir memang benar Winda hanya per

  • TERGODA IPAR   Tas biru

    Pagi hari .... Firman membuka matanya perlahan. Kepala yang semalam terasa berat, kini menghilang perlahan. Meskipun dia demam tinggi semalam, tapi dia ingat semalam Winda mengompres dirinya. Firman pikir Winda percaya pada ucapan seseorang yang mengatakan dirinya adalah penyebab kematian Hendra—kakaknya sendiri. Ternyata wanita itu masih perduli padanya. Firman mengulum senyum. Dia menoleh ke samping. Kosong! Winda tidak ada di sana. Entah semalam istrinya itu tidur di mana dia tidak tau. Sebab, setelah minum obat matanya terasa berat. Dia tertidur dan baru bangun sekarang. Firman menyibak selimut yang menutupi tubuhnya. Dia harus segera pergi ke kantor. Hari ini ada jadwal meeting pagi. Sebagai manager yang disiplin tentu saja Firman tidak ingin telat. Meskipun tubunya masih terasa tidak enak. Namun, semangatnya tidak berkurang sedikitpun. Ada wajah Fira dan Farhan, yang menjadi semangatnya ketika rasa malas itu datang. D

  • TERGODA IPAR   Merasa Khawatir

    Setelah itu Winda mendekat ke arah Firman duduk di sampingnya, dia menatap muka wajah yang tengah terlelap. Wajah yang sangat teduh, tiba-tiba saja jantungnya berdetak kencang saat menatapnya. Winda menyentuh dadanya sendiri. Deg Deg Deg!Benar, jantungnya berdebar-debar. Padahal Firman Tengah tertidur.“Perasaan apa ini? Apakah aku jatuh cinta pada Firman?”“Ah, sudahlah. Jika memang iya, bukankah tidak apa-apa. Toh, dia suamiku.” Winda mengulum senyum.Senyum di wajah Winda pudar saat melihat bibir Firman bergetar.“A—aku tidak melakukan apapun, Win. Tidak ...” gumam Firman dengan mata yang masih terpejam.Winda langsung menyentuh keningnya.“Sshh, panas!”“Ternyata Firman demam, pantas saja dia tidak turun untuk makan malam.”Winda segera bangun dari ranjang. Kemudian keluar dari kamar. Dia mengambil sesuatu kemudian kembali lagi ke dalam kamar. Sambil membawa bak berisi air hangat dan juga

  • TERGODA IPAR   Berdebat

    Firman pulang setengah jam kemudian. Setelah menyelesaikan permasalahannya di kantor. Dia segera memarkirkan mobilnya ke garasi. Sebelumnya, dia sudah mendapatkan kabar dari asisten rumah tangganya bahwa Winda sudah pulang.Dengan tergesa dia segera masuk ke dalam rumah. Terlihat Winda tengah duduk di sofa, dengan tangan bersedekap dada. Pandangannya tajam lurus ke depan.Firman tersenyum kemudian berjalan perlahan ke arah nya.“Sayang kamu dari mana saja,” ujarnya saat sudah dekat. Firman duduk di samping Winda. Jarak di antara mereka hanya satu jengkal saja.Winda melirik tajam ke arah Firman. Pria di sampingnya tanpa aba-aba langsung merangkul pundak nya.“Sejak tadi aku mencarimu. Kamu membuatku khawatir, tapi syukurlah kamu sudah pulang.”“Sayang ...”“Berhenti memanggilku dengan sebutan sayang, Firman!” Winda menepis kasar tangan Firman.“Ka—kamu kenapa?”“Aku sudah tau apa yang telah kamu lakukan

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status