Home / Rumah Tangga / TERGODA IPAR / Tukang servis

Share

Tukang servis

Author: Rafasya
last update Huling Na-update: 2024-03-13 08:58:20

Aku masuk kembali ke dalam rumah melanjutkan aktifitas memasakku. Aku harap tidak ada gangguan lagi seperti tadi.

Setelah selesai memasak menu kesukaan Mas Hendra dan juga Firman, aku langsung mengambil sendok kemudian mencicipinya. "Mmh, rasanya sangat pas." Aku sangat tidak sabar menyajikannya pada suami dan adik iparku.

Sore hari,

Terdengar suara gemericik air, yang artinya di luar sedang hujan deras. Aku menonton televisi dengan serius, melihat berita maling masuk saat penghuni rumah sedang tertidur. Mendadak aku takut. Karena di rumah hanya sendiri, Mas Hendra biasa pulang malam. aku yang fokus menonton televisi terkejut saat mendengar langkah kaki mendekat. Segala pikiran buruk memenuhi isi kepalaku. Aku langsung mengambil sapu, kemudian menjadi waspada, takut jika itu adalah maling atau penjahat yang ini mencuri di rumahku.

Aku bangkit dari sofa, berjalan menuju ruang tengah di sana ada seorang pria yang sedang membelakangiku. Dia menggunakan Hoodie berwarna hitam. Aku merasa asing dengan pakaian tersebut.

Aku segera mengambil ancang-ancang untuk memukulkan gagang sapu padanya.

Aku menghitung mundur dalam hati. "Tiga... Dua.... Satu!"

BUGH! BUGH! "Rasakan ini, kamu pasti mau maling kan hem." seruku gemas. Memukul pria itu bertubi-tubi.

"Aw ah... Sakit Mbak!"

"Mbak!" pekiku. Suara itu seperti aku kenal. Aku segera berhenti memukulnya. Pria itu berbalik, aku langsung terbelalak.

"Firman!" seruku.

"Sakit Mbak, kenapa Mbak memukuliku?"

Aku kebingungan, menjadi gelagapan sendiri. "Em maaf Firman, mbak kira kamu maling tadi, habis gak biasanya kamu pakai Hoodie begitu." Aku nyengir ke arahnya, menggaruk tengkuk yang tidak gatal.

Firman manggut-manggut, di wajahnya terlihat sedikit kesal. "Oalah,"

"Maaf ya?" lirihku.

"Iya Mbak, gakpapa aku paham. Di luar hujan Mbak, aku tidak bawa jas hujan. Jadi aku pinjam Hoodie teman agar tidak terlalu basah, tapi ternyata hujannya semakin deras."

Firman terlihat menggigil.

"Kamu kehujanan?"

"Iya Mbak. Dingin." jawabnya sambil memeluk lengannya sendiri.

"Yasudah, kamu masuk gih. Ganti bajumu, mbak siapkan air hangat untukmu mandi, biar gak masuk angin."

Firman menurut kemudian masuk ke dalam kamarnya. Aku segera pergi ke dapur menyiapkan air hangat untuk adik iparku itu.

***

Aku duduk di sofa menonton sinetron azab kesukaanku. Sambil memakan camilan. Aku ikut terbawa suasana dengan kisah yang berada di dalamnya.

Tiba-tiba saja Firman datang dan duduk di sebelahku, aku tersentak. Apalagi dia merebut camilan di tanganku tanpa aba-aba.

"Lagi nonton apaan sih Mbak, serius amat?" tanya Firman sambil memakan camilan milikku.

"Em itu.... Azab tukang pengutil semv@k." kataku. Aku sedikit gugup saat berdekatan seperti ini dengan Firman. Jarak kami hanya beberapa senti saja.

"Mbak suka nonton?"

Aku menggeleng. "Baru kali ini." kilahku.

"Mari kita nonton bersama, sepertinya seru."

Aku mengangguk, akhirnya kami menonton bersama. Aku sangat takut saat may4t itu berubah menjadi hantu. Aku mendekat ke arah Firman bersembunyi di balik lengannya.

"Mbak takut sama hantu?"

Aku yang merasa takut hanya mengangguk, dengan kepala yang masih bersembunyi di lengan Firman. Semakin erat memegangi lengannya. Aroma maskulin Firman membuat pikiranku melayang. Memikirkan hal-hal yang tidak-tidak.

"Baiklah, aku ganti saja."

"Sudah Mbak." sambungnya.

Aku mengintip dengan sebelah mata. Ternyata benar Firman telah mengganti Chanel tersebutlah. Syukurlah.

Aku kembali melihat ke arah layar. Merubah posisi seperti semula. Disana ada menayangkan film Asia—Romansa, aku dan firman menontonnya dengan seksama.

Diluar hujan semakin deras, membuat suasana sore menjadi dingin. Aku sedikit merapat ke arah Firman. Suasana menjadi hening, kami larut dalam layar televisi. Sial! Adegan di sana sedang berci*man, tokoh dalam cerita itu sedang bercumb* dengan panas. Aku langsung membuang pandangan ke arah lain. Aku sedikit melirik ke arah Firman yang masih menonton dengan serius.

"Lama sekali adegannya." Kataku mulai gelisah.

Terdengar Firman menghela napas. Tangannya bergerak menyentuh pundakku. Merapatkan duduknya padaku.

"Mbak!" panggilnya.

Aku menoleh, Firman juga menoleh ke arahku. Tatapan kami terpaku. Suasana yang dingin dan sepi membuat pikiranku tidak waras.

Dari dekat wajah Firman begitu tampan dan menggoda. Wangi parfum bercampur sabun membuat pikiranku kacau.

"Jangan Winda, dia adik iparmu." ucapku dalam hati. Aku mencoba mengingatkan diriku sendiri.

"Mbak... " panggilnya sekali lagi.

"Hem ya." jawabku. Jarak wajah kami begitu dekat. Firman mengangkat tangannya mengusap pipiku. "Mbak Winda cantik sekali."

"Kak Hendra sangat beruntung bisa memilikimu." sambungnya.

Mataku mengerjap, aku berusaha untuk tidak tersenyum akan pujiannya.

Suasana semakin dingin hingga menembus pori-pori kulit, hujan di luar semakin deras saja.

Dalam lampu yang sedikit temaram, Firman mencondongkan wajahnya mendekat ke arahku. Aku menatapnya dengan tatapan sayu. Entah siapa yang mulai lebih dulu akhirnya kami berciu—man.

Napasku terengah-engah, Firman menyeka air liur di sudut bibirnya. "Mbak, maafkan aku. Aku terbawa suasana lagi."

"Tidak apa-apa, M-mbak juga terbawa suasana." Aku merasa gugup sekaligus canggung.

"Kalau begitu Mbak permisi dulu mau ke dapur sebentar."

"Oh iya Mbak, aku juga mau masuk ke kamar, ada pekerjaan yang belum aku selesaikan."

Kami sama-sama canggung dan salah tingkah. "Maafkan soal tadi." ucapnya sambil menggaruk kepalanya.

Aku mengangguk, kemudian langsung pergi ke dapur. Sesampai di sana aku berpegangan pada sisi meja dapur. Menetralkan perasaan dan juga pernapasanku.

Aku mengulum senyum. Debar-debar tak biasa itu semakin terasa.

***

Pukul 8 malam, deru mobil berhenti di halaman. Aku yang mendengarnya sumringah itu pasti suamiku yang datang. Aku segera keluar dari kamar lalu menghampirinya.

"Di luar masih hujan, Mas?" sapaku.

"Iya,"

"Yasudah, ayo masuk." Aku membawa tas kerja suamiku, lalu mengekorinya dari belakang.

Mas Hendra menaruh jam tangan dan juga Handphonenya di atas nakas, kemudian mencopot kemeja kerjanya. Aku membantu melepaskannya.

"Aku sudah memasak kesukaanmu Mas." ujarku.

"Baiklah, tolong hangatkan lagi. Aku mau mandi dulu sebentar."

"Apa perlu aku masakan air hangat?" tawarku.

"Tidak perlu." jawabnya.

Setelah Mas Hendra keluar kamar untuk mandi, tak lama kemudian. Dering ponselnya berbunyi, aku segera mengambil dan mengangkatnya, takut jika itu dari kantornya dan sangat penting.

Aku menekan tombol hijau kemudian mendekatkannya ke telinga.

"Halo sayang, aku kangen. Kapan kita bertemu?"

Sayang? Aku langsung segera mengecek nama yang tertera. Dan kembali mendekatkan ponsel itu ke telinga.

"Halo, ini siapa? Kenapa memanggil suamiku dengan sebutan sayang?" tanyaku menggebu dengan tangan bergetar.

TUT! panggilan itu di tutup sepihak, tanpa ku tahu siapa yang menelpon suamiku barusan dengan nama kontak 'tukang servis'.

Patuloy na basahin ang aklat na ito nang libre
I-scan ang code upang i-download ang App
Mga Comments (5)
goodnovel comment avatar
Ahmad Usamah
mantap ceritanya
goodnovel comment avatar
El Er El Er
seru crita ny
goodnovel comment avatar
Shaiful Anwar
ok sangat seru
Tignan lahat ng Komento

Pinakabagong kabanata

  • TERGODA IPAR   —SELESAI—

    Hari demi hari, bulan demi bulan berlalu ... Aku dan anak-anak terus mencoba untuk menghibur Winda. Jangan sampai dia sedih dan terus memikirkan Farah. Ternyata, tidak ada usaha yang menghianati hasil. Winda yang tadinya menangisi Farah setiap malam. Kini sedikit berkurang. Hari ini adalah hari jadi pernikahan kami yg ke 6 tahun, tak terasa waktu berjalan begitu cepat. Aku berencana mengajaknya liburan di bali sekaligus merayakan anniversary kami. Anak-anak sengaja kutitipkan pada Kak Santi selama aku liburan di bali.Kami sampai di resort Bali setelah sebelumnya naik pesawat selama 2 jam. Winda langsung merebahkan diri di kamar hotel. Aku tau dia pasti kelelahan.Setelah memasukan isi koper ke dalam lemari, aku langsung membuka tirai jendela. Terlihat deburan ombak yang sangat kencang di sertai dengan pemandangan yang sangat cantik. Aku sengaja memilih resort yang menghadap langsung dengan laut. Jadi, saat berdiri di jendela seperti yang kulakukan i

  • TERGODA IPAR   Mencoba Ikhlas

    “Bagaimana? Apa ada perkembangan?” itu suara Kak Santi. Aku segera menoleh ke arah nya. Kemudian menggeleng, “Belum, Winda masih belum sadar.” jawabku. Aku menatap ke arah ranjang di mana ada Winda yang tengah berbaring dengan luka perban di kepalanya. Kejadian dua hari yang lalu membuatnya tak berdaya di rumah sakit ini. “Anak-anak bagaimana, mereka sama siapa?” Aku menghela napas sejenak, “Bersama asisten rumah tangga kami.” “Kakak ke rumahmu ya, kasian keponakanku. Dua kali ibu mereka masuk rumah sakit.” Aku mengangguk,“Terima kasih, Kak.” “Ya sudah. Kakak pamit ingin menemui mereka. kamu jangan terus bersedih, doakan saja istrimu cepat pulih.“ “Oh iya, bagaimana dengan pelaku yang menyebabkan Winda begini?” “Aku sudah melaporkannya kepada pihak berwajib, biarkan mereka yang mengurusnya.” Kak Santi tersenyum, “Aku tau, adikku tau apa yang harus di lakukan.”

  • TERGODA IPAR   Tolong, panggilkan ambulans!

    POV Firman Aku baru saja sampai di kantor. Berbarengan dengan aku masuk ke dalam loby, tiba-tiba saja ponselku berbunyi. Aku segera mengangkatnya karena itu berasa dari rumah. Aku sangat takut terjadi sesuatu di rumah. Apalagi itu menyangkut Winda. Kondisi nya masih belum stabil. “Halo, Bibik. Ada apa?” “Halo, Pak. Ibu ... Ibu ....” “Ada apa? Bicara yang jelas?! Winda kenapa?” bertubi-tubi pertanyaan kulontarkan, aku benar-benar merasa khawatir. “Ada apa dengan Winda?” “Tadi Ibu pamit keluar sebentar katanya, dia membawa tas.” Ah, aku meraup wajah kasar. “Sudah kuduga, dia pasti akan berpergian. Harusnya aku tetap di rumah.” Aku menyesal. Kupikir memang benar Winda hanya per

  • TERGODA IPAR   Tas biru

    Pagi hari .... Firman membuka matanya perlahan. Kepala yang semalam terasa berat, kini menghilang perlahan. Meskipun dia demam tinggi semalam, tapi dia ingat semalam Winda mengompres dirinya. Firman pikir Winda percaya pada ucapan seseorang yang mengatakan dirinya adalah penyebab kematian Hendra—kakaknya sendiri. Ternyata wanita itu masih perduli padanya. Firman mengulum senyum. Dia menoleh ke samping. Kosong! Winda tidak ada di sana. Entah semalam istrinya itu tidur di mana dia tidak tau. Sebab, setelah minum obat matanya terasa berat. Dia tertidur dan baru bangun sekarang. Firman menyibak selimut yang menutupi tubuhnya. Dia harus segera pergi ke kantor. Hari ini ada jadwal meeting pagi. Sebagai manager yang disiplin tentu saja Firman tidak ingin telat. Meskipun tubunya masih terasa tidak enak. Namun, semangatnya tidak berkurang sedikitpun. Ada wajah Fira dan Farhan, yang menjadi semangatnya ketika rasa malas itu datang. D

  • TERGODA IPAR   Merasa Khawatir

    Setelah itu Winda mendekat ke arah Firman duduk di sampingnya, dia menatap muka wajah yang tengah terlelap. Wajah yang sangat teduh, tiba-tiba saja jantungnya berdetak kencang saat menatapnya. Winda menyentuh dadanya sendiri. Deg Deg Deg!Benar, jantungnya berdebar-debar. Padahal Firman Tengah tertidur.“Perasaan apa ini? Apakah aku jatuh cinta pada Firman?”“Ah, sudahlah. Jika memang iya, bukankah tidak apa-apa. Toh, dia suamiku.” Winda mengulum senyum.Senyum di wajah Winda pudar saat melihat bibir Firman bergetar.“A—aku tidak melakukan apapun, Win. Tidak ...” gumam Firman dengan mata yang masih terpejam.Winda langsung menyentuh keningnya.“Sshh, panas!”“Ternyata Firman demam, pantas saja dia tidak turun untuk makan malam.”Winda segera bangun dari ranjang. Kemudian keluar dari kamar. Dia mengambil sesuatu kemudian kembali lagi ke dalam kamar. Sambil membawa bak berisi air hangat dan juga

  • TERGODA IPAR   Berdebat

    Firman pulang setengah jam kemudian. Setelah menyelesaikan permasalahannya di kantor. Dia segera memarkirkan mobilnya ke garasi. Sebelumnya, dia sudah mendapatkan kabar dari asisten rumah tangganya bahwa Winda sudah pulang.Dengan tergesa dia segera masuk ke dalam rumah. Terlihat Winda tengah duduk di sofa, dengan tangan bersedekap dada. Pandangannya tajam lurus ke depan.Firman tersenyum kemudian berjalan perlahan ke arah nya.“Sayang kamu dari mana saja,” ujarnya saat sudah dekat. Firman duduk di samping Winda. Jarak di antara mereka hanya satu jengkal saja.Winda melirik tajam ke arah Firman. Pria di sampingnya tanpa aba-aba langsung merangkul pundak nya.“Sejak tadi aku mencarimu. Kamu membuatku khawatir, tapi syukurlah kamu sudah pulang.”“Sayang ...”“Berhenti memanggilku dengan sebutan sayang, Firman!” Winda menepis kasar tangan Firman.“Ka—kamu kenapa?”“Aku sudah tau apa yang telah kamu lakukan

Higit pang Kabanata
Galugarin at basahin ang magagandang nobela
Libreng basahin ang magagandang nobela sa GoodNovel app. I-download ang mga librong gusto mo at basahin kahit saan at anumang oras.
Libreng basahin ang mga aklat sa app
I-scan ang code para mabasa sa App
DMCA.com Protection Status