Share

TERIMA KASIH MEMINTAKU BEKERJA, MAS
TERIMA KASIH MEMINTAKU BEKERJA, MAS
Penulis: Rita Febriyeni

Part 1 Suami Menyuruhku Cari Kerja

 

 

"Mas, uang LKS Tia belum dibayar, besok ia terima rapor dan harus lunas."

 

"Berapa?" tanya mas Arga sambil memasang sepatu.

 

"Sembilan puluh enam ribu, Mas. Ditambah uang seragam lima ratus ribu."

 

"Kok banyak kali? Bukankah uang seragam sudah dibayar waktu itu?" Alisnya bertaut menatapku.

 

"Tapi itu cuma empat ratus ribu, Mas. Mana cukup. Totalnya sembilan ratus ribu."

 

"Waduh! Aku nggak punya uang sebanyak itu. Kamu kan tau gajiku kecil. Makanya kamu bantuin aku cari uang, ini malah duduk di rumah, buat apa sarjana ujung-ujungnya jadi ibu rumah tangga."

 

Ini perkataan yang sering aku dengar dari mulut mas Arga. Semenjak aku berhenti kerja karena keguguran. Padahal anak kami hanya seorang dan sekarang baru kelas satu SMP. Tujuanku agar bisa punya keturunan lagi, dan ini juga keinginan ibu mertua. Namun kenyataanya dengan berhenti kerja, perekonomianku susah. Dan sampai sekarang juga tak kunjung hamil, padahal aku tidak KB. 

 

Dulu saat memutuskan berhenti kerja, itu karena ucapan ibu mertua. Ia janji akan memberikan biaya dapur tiga juta perbulan. Aku percaya karena ia terima pensiunan perbulannya, ditambah ada tiga petak rumah kontrakkan di samping rumah ini. Namun hingga sekarang, ucapan ibu mertua tidak terbukti. 

 

"Aku juga udah cari kerja, bahkan sudah beberapa kali tes, tapi belum juga ada hasilnya, Mas," lirihku menahan hati.

 

"Makanya jangan berhenti kerja. Ini malah sok banyak duit kayak orang kaya aja. Lihat istri teman-temanku banyak jadi wanita karir, bahkan sudah punya rumah dan mobil." 

 

"Tapi ini juga keinginan Ibu, Mas."

 

"Emang yang biayain hidupmu Ibuku? Mikir pakek otak, bukan pake dengkul." Lalu ia berlalu keluar kamar.

 

"Jangan menangis, Sarah. Kamu udah biasa mendengarnya," bathinku mensugesti diri agar tidak meneteskan air mata.

 

Aku sudah tak punya tabungan lagi. Dulu sebagian uang jamsostek hasilku bekerja sudah terpakai buat membangun kamar baru di rumah ini. Tak mungkin Tia masih tidur denganku dan mas Arga. Lagian biaya keseharian hanya dari uang dua juta yang diberikan mas Arga. Padahal di rumah ini ada ibu mertua dan adik iparku yang sudah bekerja. 

 

Pernah aku mengeluh biaya dapur, ibu mertua mengabaikannya. Bahkan ia bicara sumbing dengan mengatakan jika aku istri yang tidak bisa berhemat. Menjawab, tetap saja aku yang disalahkan. Bahkan Andi--adik iparku tak segan-segan berdebat seperti mulut perempu*n. Ya, Andi lelaki kem*yu.

 

Aku keluar kamar, tapi tak melihat mas Arga. Terlihat motor masih ada di teras karena pintu terbuka lebar. Lalu aku ke ruang tengah ingin memastikan keberadaanya. Bagaimanapun juga, aku harus mencium punggung tangannya sebelum ia berangkat kerja.

 

"Itulah, Bu. Sarah tak bisa berhemat. Padahal gajiku sudah sepenuhnya ia yang pegang."

 

Deg!

 

Langkahku terhenti saat melewati pintu kamar ibu mertua. Terdengar suara mas Arga mengeluh tentang diriku. 

 

"Kok Sarah gitu? Bukankah Ibu sudah kasih tiga juta tiap bulan agar sebagian gajimu bisa untuk kebutuhan lain. Toh yang bayar listrik dan air, Andi kok," kata ibu mertua.

 

Darahku berdesir mendengar perkataan ibu mertua. Aku tak pernah menerima uang tiga juta darinya, apalagi setiap bulan. Kenapa ia bicara dengan mas Arga seolah aku sudah sering menerimanya. Bahkan aku hanya menerima uang dua juta setiap bulan dari gaji mas Arga. Dan yang aku tahu gaji suamiku itu hanya dua juta lima ratus ribu perbulan.

 

"Itulah, Bu. Aku tu capek dengar keluhannya. Ini uang seragam sekolah Tia masih utang, belum lagi uang LKS."

 

"Ya udah, ini satu juta, cepat bayarin, jangan sampai istrimu malah makek untuk yang lain. Gimanapun juga pendidikan anakmu penting."

 

Aku segera berlari ke kamar sebelum mas Arga tahu aku menguping. Terduduk di tepi ranjang, dada ini terasa sesak. Kenapa mereka bicara seolah aku yang menghabiskan uang buat berfoya-foya. Apa ibu mertua tak lihat keseharianku hingga ucapan itu tak ragu dilontarkan. Dan mas Arga? Kenapa ia mengeluh ke ibunya seolah aku istri tak becus mengolah keuangan. Bukankah ia tahu berapa banyak uang yang aku pegang.

 

"Sarah, ini uang buat sekolah Tia. Itu aku lebihin sedikit agar bisa beli ayam buat masak." Tiba-tiba mas Arga masuk kamar, lalu memberikan uang padaku.

 

"Ya, Mas," jawabku menerima uang itu.

 

"Aku berangkat kerja dulu, hari ini aku pulang larut karna harus lembur. Kamu nggak usah tunggu karna aku bawa kunci cadangan."

 

Setelah mencium punggung tangan mas Arga, ia berlalu pergi dengan motor. Motor sport itu hasil dari keringatku dulu bekerja. Sementara motor bebek milik mas Arga sudah dijual dan dibelikan perhiasan. Namun perhiasan itu akhirnya habis buat memenuhi kebutuhan sehari-hari.

 

Kuhitung uang yang diberikan mas Arga. Semua uang lembaran lima puluh ribu. Tapi, hanya berjumlah delapan ratus ribu. Bukankah tadi aku dengar ibu mertua memberi uang satu juta?

 

Aku kembali ke kamar. Memikirkan tentang komunikasi mas Arga dengan ibunya. Dan yang kutangkap, ada sebuah kebohongan menjadikanku kambing hitam. Tapi siapa yang berbohong? Ibu mertua atau suamiku? Tapi apa tujuannya? Bukankah aku menantu di rumah ini.

 

Tiba-tiba lamunanku terhenti mendengar ponsel berdering. Kulihat layar ponsel, nomor yang pernah menghubungiku beberapa kali. Segera aku terima.

 

"Halo," ucapku di ponsel.

 

Alhamdulillah, ternyata ini panggilan keempat. Panggilan buat wawancara akhir. Ini perusahaan besar yang pernah bekerja sama dengan perusahaanku dulu bekerja. Bahkan aku kenal pimpinannya karena sering menghubunginya untuk masalah proyek. Tadinya aku tak yakin karena banyak saingan yang lebih muda. Tepatnya gadis-gadis baru tamat sarjana. 

 

"Mau ke mana, Sar?" tanya ibu mertua. Mungkin melihat aku sudah rapi, dan sedang memasang sepatu hak tinggi yang biasa kupakai dulunya waktu kerja.

 

"Aku mau pergi tes kerja, Bu," jawabku.

 

"Kamu tu udah dapat senang mau-maunya cari uang di luar. Sebaiknya minum rebusan kacang ijo biar rahimmu subur. Berapa umurmu sekarang? Nanti nggak bisa punya anak lagi loh."

 

Ibu mertua tak suka aku bekerja. Tapi suamiku justru ingin aku bekerja. Dua pendapat bertentangan namun tetap saja menyudutkanku. Aku bisa maklum kenapa ibu mertua ingin aku hamil lagi. Andi tak pernah bawa perempuan ke rumah. Padahal ia sudah mapan, kerja PNS. Mungkinkah ada pengaruh dengan sikap kemayunya? Entahlah.

 

***

 

"Alhamdulillah, benar aku diterima, Pak?"

 

"Iya, aku harap kamu tak lupa cara menangani proyek. Dan selama kita kerja sama dulu, sudah cukup aku tau kinerjamu, Sarah," jawab pak Ismail terdengar santai. Kami sering bercanda dulunya hingga suasana tidak kaku. Bahkan aku juga kenal baik dengan istrinya.

 

Aku meneteskan air mata. Tak menyangka jika kesempatan itu masih ada. Kini aku bisa kerja seperti dulu dengan jabatan manajer.  Alhamdulillahirabil'alamiin.

 

"Mas Arga, aku sudah dapatkan kerja, akan kuperlihatkan seperti apa seorang istri, wanita karir sebenarnya. Terima kasih memintaku agar bekerja lagi," bathinku.

 

---

 

Komen (2)
goodnovel comment avatar
Arif Zaif
yes bisa kerja lagi .....biarkan mertua nyinyir
goodnovel comment avatar
Sri Wahyuni
Suami gila, mertuanya disebut apa ya,?
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status