POV 3“Kenapa pulang-pulang dengan marah nggak jelas begitu, San? Habis ketemu setan di mana?” Mumun menegur anaknya yang membanting tas dengan kasar.Mumun menatap anak sulungnya yang jarang pulang ke rumah itu dengan seksama. “Sudah berhari-hari nggak pulang, sekalinya pulang manyun, banting-banting tas nggak jelas banting-banting tas seperti itu. Ada apa sih?” “Sebel aku tuh, Bu. Barusan di toko baju ketemu Amira. Perempuan itu berhasil membuatku malu, Bu.” Santi mengingat bagaimana pertemuan mereka di Toko baju. Niat hati ingin mempermalukan Amira yang sedang belanja bersama Nana, tapi justru Santi sendiri yang dipermalukan oleh mantan adik iparnya tersebut. Senjata makan tuan, istilahnya yang tepat untuk Santi sewaktu di toko baju tersebut. “Memangnya apa yang telah dilakukan Amira padamu, Mbak?” Tama yang baru selesai mandi ikut nimbrung di ruang tengah.“Mantan istrimu itu memang benar-benar belagu sekarang, Tam. Sok kecantikan. Sombong.” Santi meremas tas yang ada di dek
“De, kemarin waktu lewat depan kontrakan Lilik, kok, rame orang. Kira-kira ada apa, ya? Ada dia melahirkan? Atau malah nikahan?” tanya Mbak Mayang yang baru saja datang dan menjatuhkan bobot tubuhnya di atas sofa. Aku yang sedang mengupas buah mangga pun mendongak, menatapnya dengan serius.“Ya, ndak tahu. Kok, nanya saya.” Aku menjawab sembari cengengesan. Ada-ada saja pertanyaan Mbak Mayang. Memangnya aku seperhatian itu dengan mantan ipar? Sehingga tahu apa yang terjadi di sana.“Eh, kira-kira untuk kebutuhan sehari-hari Lilik itu dari mana, ya, De? Apa dia kerja dalam kondisi hamil tua?” Lagi, Mbak Mayang melontarkan pertanyaan yang tidak bisa aku jawab. Aku hanya bisa menggendikan bahu. “Kenapa Mbak Mayang segitu perhatiannya pada Lilik, sih?” Aku menyodorkan piring yang sudah penuh dengan irisan daging mangga tersebut.Mbak Mayang mengambil garpu lalu mengambil daging buah berwarna kuning tersebut. Tapi, belum sampai mulut ia kembali bersuara. “Ya, heran saja dari mana ia men
“Na, aku mau turun di toserba Sepada. Kamu mau beli sesuatu nggak?” tanyaku pada Nana setelah pulang dari pabrik, mengantarkan pesanan teman-teman kerjaku dahulu. Tujuh puluh bok nasi kami antarkan hari ini. Bekerja sama dengan beberapa tetangga jam setengah sebelas pesanan sudah siap untuk diantarkan. “Nggak, Mbak. Aku mau jus buah yang ada di seberangnya aja. Aku tunggu Mbak Amira di sana.” Nana menjawab dari balik kemudi.“Oke. Kamu jangan kabur duluan. Soalnya aku bakal belanja banyak. Semua barang kebutuhan di rumah sudah habis.” Mumpung keluar sekalian belanja bulanan. Toserba Sepada salah satu toko retail milik warga pribumi yang cukup lengkap dan terbilang murah dibandingkan dengan toko biru yang berjamur di mana-mana itu.Nana menghentikan laju motornya tepat di depan toko Sepada, menurunkan aku yang hari ini menjadi penumpangnya.“Hati-hati, Mbak. Kalau jatuh bangun sendiri.” Nana berwasiat sebelum pergi meninggalkan aku sendiri.Ucapan selamat datang dari pramuniaga kus
POV LilikPlaak!Satu tamparan sukses mendarat di pipiku. Mataku memanas seketika, lebih panas dari bekas tangan laki-laki itu. Dengan pandangan kabur, aku menatap tajam Mas Tama. Sampai hati menamparku di depan umum! “Mir, aku minta maaf telah membuatmu tidak nyaman. Sekali lagi maafkan aku.” Hatiku perih mendengar suara Mas Tama yang justru meminta maaf kepada Amira. Padahal, di sini aku yang dilukai. “Didik istrimu dengan benar! Ajari etika! Ingatkan kepadanya, aku tidak serendah dirinya yang mau sama suami orang. Yakin kepadanya kalau aku tidak akan pernah mengambil barang bekas yang telah aku buang. Suruh menikmati hidup agar bahagia. Eh, tapi aku lupa kalau perebut milik orang lain itu tidak akan pernah bahagia! Ya, kan, Lik?” Amira menyeringai, seakan puas melihat aku telah dipermalukan di depan umum oleh suami sendiri. “Kurang ajar! Puas kamu melihat aku dipermalukan oleh suami sendiri?” Aku menatap tajam ke arah Amira setelah menyusut air mata. “Minta maaf sama Amira sek
POV LilikMenikahi Tama aku kira akan bahagia, tapi ternyata sebaliknya. Sudah tiga Minggu menjadi menantu satu-satunya di keluarga Bu Mumun, nyatanya tidak membuatku merasa di sayang. Tapi, sebaliknya. Aku hanya mereka jadikan babu yang membersihkan segala sesuatunya di rumah tersebut. Meskipun begitu, tidak ada seorangpun yang mau mengajak aku berbicara layaknya keluarga. Mereka terlalu sibuk dengan dunianya masing-masing. Ah, sebenarnya bukan sibuk yang menjadi alasan terkuatnya. Tapi, memang tidak ada yang menginginkan kehadiranku di rumah itu. Sejak ijab qobul diucap Mas Tama di depan saksi dan penghulu, tidak ada satu pun dari keluarganya yang bermuka ramah terhadapku. “Turun! Sudah sampai rumah! Kamu masuk. Aku mau main ke rumah teman.” Aku tersentak kaget, lamunanku buyar seketika saat menyadari ternyata kami sudah di depan rumah Bu Mumun.“Mas, tidak bisakah kamu di rumah malam ini. Aku capek banget, tolong bantuin jagain Zidane.” Aku memohon. Ini pertama kalinya aku memi
“Mbak, aku kemarin malam ketemu sama mantan suami Mbak di alun-alun.” Nana yang mengupas bawang memecahkan keheningan di antara kami. Aku yang baru selesai memblender bumbu untuk rica-rica bebek menoleh ke arahnya sekilas. “Ngapain dia ke sana?” Sebenarnya, aku tidak ingin peduli dengan Tama, tapi aku pun tidak tega jika mengabaikan Nana. Iseng mengajukan pertanyaan itu hanya untuk menyenangkan hati Nana, agar ia merasa diperhatikan. Tanganku mulai sibuk menuangkan bumbu yang tadi diblender ke atas wajan panas. Alun-alun memang selalu ramai kalau weekend. Tempat itu selalu penuh dengan orang-orang yang ingin mencari hiburan di malam Minggu atau sekedar mencari udara segar dengan teman-temannya. Berbagai wahana permainan anak-anak muncul di sana. Tidak hanya itu berbagai macam jajanan kuliner pun tersedia. Dulu, sewaktu masih gadis aku sering ke sana. “Kayaknya sedang curhat. Sebab, aku melihatnya sedang duduk dengan temannya, laki-laki. Tatapannya kayak yang kosong gitu, Mbak
“Mau cari siapa, ya, Mas?” tanyaku pada laki-laki yang berdiri tegak di hadapan. Pintu depan kubuka separuh. Aku masih berdiri di ambang pintu. Laki-laki yang sedang menghadap ke arah jalan itu spontan membalikkan badan, menghadap ke arahku. Dia tersenyum ramah. Aku membalas dengan sedikit anggukan kepala, bingung dan penasaran memenuhi isi kepala. “Saya mau bertemu dengan Mbak Amira.” Laki-laki berperawakan tinggi itu membuatku mengerutkan kening.Siapa dia? Untuk apa mencariku? Pertanyaan itu berputar-putar di dalam kepala. Karena merasa tidak mengenalnya sama sekali. “Saya sendiri, Ada perlu apa ya, Mas?” Aku menatapnya penuh selidik. Sedikit was-was. “Saya utusan dari Bu Sukma.” “Bu Sukma?” Aku mengulang nama tersebut dengan sangat pelan. Berusaha keras mengingatnya. Tapi, sayangnya aku tidak berhasil mengenali nama tersebut. Siapa beliau? Di mana mengenal aku? “Bu Sukma, wanita yang satu bulan lalu ditolong oleh Mbak Amira.” Laki-laki asing itu segera menjawab. Seolah paha
Seperti yang telah kami sepakati bersama kemarin. Jam tiga sore kami meluncur ke rumah Bu Sukma dengan mengendarai kendaraan masing-masing. Aku dijemput oleh urusan Buk Sukma. Cowok kemarin yang baru aku ketahui bernama Doni itu berhenti di sebuah rumah bergaya eropa klasik. Ia memarkirkan motornya di halaman yang penuh dengan rumput jepang. “Sudah rapi, kok. Masuk, yuk!” Doni menghampiri aku yang sedang sibuk merapikan jilbab di depan spion. Aku membetulkan letak bros sebelum meninggalkan kendaraan tersebut. Aku tersenyum, “Sebentar lagi. Masak mau bertemu dengan orang penting penampilan saya acak-acakan.” Aku tersenyum kecil, membalas tatapannya Doni. “Ayok, katanya mau ngajak saya masuk. Kok, malah melamun seperti itu?” tanyaku setelah selesai membetulkan jilbab, mendapati Doni yang sedang menatapku intens. “Perempuan muslim itu ribet, ya? Rambut yang indah malah ditutup dengan kain.” Aku tertegun mendengar ucapannya. Berarti dia non muslim? Baru tahu aku kalau dia b