Share

4. Ketemu Dia Lagi

Aku menoleh. “Eh? Kenapa, Mas?”

 

“Kamu itu yang kenapa? Kok, senyum-senyum?

 

“Oh, enggak, kok.” Sebisa mungkin aku menutupi rasa gerogi agar tak tertangkap oleh Mas Faisal. “Tadi Mas Isal bilang mau pesen ke tempat Mas Eri biar sekalian dibawain Fikri?”

 

Mas Faisal mengangguk. Isal adalah nama akrab panggilannya.

 

"Fikri siapa, Mas?" tanyaku. Takut salah orang.

 

"Itu, lho, yang sering makan di warungnya si Kiran. Dia bantu-bantu di toko temen Mas yang biasa Mas order barang. Yang kapan hari ke sini ngobrol rame-rame itu, lho. Bocahe nganggo pit motor Thunder. Wes rodo suwi, sih."

 

Tidak salah lagi, itu Fikri si pembuat onar hati. Huhu. "Eh, tapi ... bukannya dia lagi cari kerja, ya?"

 

“Siapa?”

 

“Ya si Fikri itu, Mas.”

 

Mas Faisal malah mengerutkan kening. "Kata siapa? Emang kamu tahu orangnya yang mana?”

 

Aku mengerjap.

 

"E-itu, tadi ada yang fotokopi beberapa berkas di sini. Iya, pake motor cowok, namanya Fikri. Dia sempet ngobrol sama Kirana juga, lagi mau cari kerja katanya,” jelasku setenang mungkin.

 

Namun, si owner toko ini masih menatapku lekat. Seolah-olah tak puas dengan jawabanku barusan.

“Enggak sengaja denger, Mas," tambahku.

 

"Alah, tenane?"

 

"Lah piye, to?"

 

"Enggak sengaja denger, tapi jelas banget infonya."

 

"Lah, mereka berdua ngobrolnya di sini. Yo aku krungu lah, Mas."

 

Mas Faisal malah tersenyum miring dengan mata sedikit memicing.

 

"Ish, malah senyum-senyum enggak jelas!” sungutku sedikit jengkel, takut ketahuan. Eh!

 

"Mukanya biasa aja kali, Dek. Kenapa berubah warna gitu?"

 

Aku memegang kedua pipi. Dengan cepat mencari kaca bedak di dalam tas. Lah? Kenapa kayak dilumuri blush on begini ini pipi? Pandanganku langsung beralih menatap Mas Faisal. Namun, yang ditatap malah menyemburkan tawa.

 

"Owalah, cah ... cah, Mas tahu sekarang. Berarti yang dari tadi dibahas berdua sama Kirana itu si Fikri?" Mas Faisal bertanya dengan menaik-turunkan alis hitamnya.

 

Aku cuma mengedikkan bahu. Pura-pura cuek sambil menatap layar ponsel. Padahal lagi menyembunyikan raut wajah agar tidak  kelihatan gerogi.

 

"Cieee ...."

 

"Mas Isal, ih!"  Aku pura-pura merajuk walau hati terasa bahagia. Padahal cuma dicie-ciein doang. Astaga ....

 

Mas Faisal berdehem dan duduk di kursi. "Si Fikri itu adik kelas Mas waktu SMK, sama kayak si Kiran. Di luar sekolah, dia juga temen Mas sholawatan ke sana-kemari, sesama pecinta Sholawat Habib Syaikh."

 

"Oh, ya?"

 

"Cie, mulai kepo, cieee ...."

 

Aku melempar bolpoin ke arah Mas Faisal. "Niat cerita apa godain, sih?"

 

Mas Faisal lagi-lagi tergelak sembari mendekatkan kursinya. Duduk menghadapku di seberang meja kecil di samping komputer.

 

“Sejak kapan naksir si Fikri? Hm, hm?” Lagi, alis hitamnya naik turun.

 

“Siapa yang naksir?”

 

“Kamulah, masa aku?”

 

“Ish, enggak!”

 

“Enggak salah?”

 

“Mas Isal apaan, sih ...? Aku bilangin Pakde entar!”

 

Dia mengusap-usap pucuk kepalaku yang tertutup kerudung. "Di lapangan Denggung ada pasar malem, lho. Mau ke sana, enggak?"

 

“Enggak!”

 

“Tumben? Biasanya paling semangat kalau ada pasar malam.”

 

“Mas Isal mau nyuap aku, kan? Biar enggak aku bilangin Pakde?”

 

"Idih, ngapain pake nyuap-nyuap segala? Allah Subhanahu wa ta'ala melaknat penyuap dan yang disuap, hadist riwayat Imam Ahmad," terangnya mantap. Lelaki agamis itu memang sering melontarkan hadist.

 

“Iyelah tuuu.”

 

"Mau ikut, enggak? Ibuk sama Bapak ntar malem mau ke sana. Mas juga mau ikutan, kamu di rumah sendirian berani?" lanjutnya.

 

"Tumben Pakde sama Bude mau ke pasar malem?"

 

Yang ditanya cuma mengedikkan bahu. "Mungkin mau mengenang masa pacaran."

 

"Mas belum ada pacar lagi emang?"

 

"Males, ah! Takut ketikung Alphard rentalan."

 

Kini ganti aku yang menyemburkan tawa mendengar curcol-nya.

 

"Tikung baliklah, Mas," ujarku seraya membenahi ujung kerudung yang tertiup kipas angin. "Tapi, bales nikungnya yang keren."

 

"Nikung yang keren itu kayak gimana, Dek?" Alis tebalnya bertaut.

 

"Tikung di sepertiga malam."

 

***

 

Aku yang awalnya malas ikut ke pasar malam, jadi terpaksa mengiakan ajakan Bude. Sampai lokasi, suasana cukup ramai.

 

Pakde dan Bude malah seperti ABG lagi pacaran. Gandengan terus, Gaes. Lengan mereka saling bertaut. Seolah-olah sengaja tidak mau dilepas dan melepaskan. Huh! Hareudang aing, mah!

 

Mas Faisal berjalan di sebelahku. Di belakang kedua orang tuanya. Kami sudah seperti pengawal saja.

 

"Le, Ibuk ro Bapak arep nge-ronde. Kamu sama adikmu muter-muter dulu ndak pa-pa. Awas lho, adik'e ora ditinggal," pesan bude saat berhenti di depan stand penjual wedang ronde.

 

"Sendiko dawuh, Buk'e."

 

Bude tersenyum dan langsung memukul pelan lengan anak semata wayangnya itu tatkala Mas Faisal menjawab sembari sedikit membungkukkan punggung.

 

"Nduk, nek arep njajan jaluk'o Mas-mu, yo?" cetus pakde.

 

(Nduk, kalau mau beli jajan minta sama Mas-mu, ya)

 

"Faza ada uang kok, Pakde, kalo cuma buat jajan bakso tusuk."

 

Pakde malah tertawa mendengar jawabanku.

 

"Yowes, terserah kamu. Le, dijogo adine!" pungkas paman the best-ku itu.

 

"Siap, Pak!"

 

Aku dan Mas Faisal pergi berkeliling meninggalkan lansia yang masih tampak mesra itu. Pandanganku menyapu sekeliling. Suasana tempat hiburan ini semakin ramai. Wahana permainan didominasi ibu-ibu dan batita, bahkan balitanya.

 

Indera penciumanku mencium berbagai macam wangi jajanan khas pasar malam. Sosis bakar, pepes otak-otak, crepes, martabak, terang bulan, arum manis, kerak telur, donat, telur gulung, pukis, jagung bakar,  dan .... eh, sebentar!

 

Pandanganku menangkap sosok yang tidak asing di depan sana. Ia sedang mengipasi deretan jagung di atas bara arang. Dan ... tentu saja mataku membulat saat ia melambaikan tangannya ke arahku seolah-olah mengundang. Saat tangan refleks ingin membalas lambaian itu, Mas Faisal sudah mendahului.

 

'Owalah, nyopo Mas-ku to? Hais!' Aku membatin.

 

"Dek, ayo ke sana!" Mas Faisal menarik tanganku membelah kerumunan manusia.

 

"Wah, wah, wah, rajin bener anak muda satu ini," celetuk Mas Faisal saat sampai di satu lapak.

 

"Bantu temen ini, Mas," sahutnya semringah.

 

'Allohu Akbar, itu senyum apa gulali, sih? Manis bener. Eh!'

 

"Loh? Mbak ini bukannya yang jaga toko fotokopimu, ya, Mas?" Lelaki berkaus hijau lumut itu lanjut bertanya sembari beralih menatapku.

 

"Iya, ini adikku, adik sepupu,” sahut Mas Faisal sembari melingkarkan satu tangannya ke bahuku. “Jauh ... dari Jawa Timur.”

 

"Oh, gitu,” balasnya sembari mengangguk kecil. “Tadinya aku kira temennya si Kirana, Mas. Tapi, kok, belum pernah lihat sebelumnya. Aku sempat mikir gitu, sih."

 

"Gitu aja sampe dipikirin. Langsung diajak kenalan lak beres wingi-wingi, to? Sing sat-set ngunu lho, Fik! Gerak cepat. Jadi belum kenalan, nih?”

 

Aku mencium gelagat resek Mas Faisal lewat pertanyaan terselubung dengan alisnya yang naik-turun saat melirikku.

 

"Dereng je, Mas," sahutnya santun dengan seulas senyum.

 

(Belum, Mas)

 

Mas Faisal menyenggol lenganku pelan.

 

"Apa, sih?" ujarku lirih hampir tak terdengar.

(*)

 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status