Share

5. Mulai Tak Karuan

Fikri melepas sarung tangan plastik yang dipakainya.

"Fikri, Mbak." Tangannya terulur ke depan.

"Faza." Kuangkat tangan menyambut uluran tangannya. "Panggil Faza aja, Mas. Enggak usah pake tambahan 'mbak', usiaku di bawah Kirana satu tahun."

Fikri mengangguk dan tangan kami langsung saling melepas.

"Ok, Faza." Ia berucap kembali dengan tambahan senyum.

'Ya ampun, senyum lagi. Diabetes nih, aku lama-lama.'

"Aku buatin dua, ya, Fik!" sela Mas Faisal.

"Siap, Mas! Duduk dulu, ya. Ini masih ada pesanan beberapa lagi.”

Suara Fikri mendominasi aktivitas jantungku yang mulai dag dig dug melulu ....

“Oke, siap. Ditungguin, kok,” sahut Mas Faisal.

Aku dan Mas Faisal duduk lesehan di atas tikar yang disediakan untuk penikmat jagung bakar di lapak teman Mas Fikri ini. Ia hanya membantu, katanya. Tiga gadis remaja kisaran usia anak SMA yang kuduga pemesan jagung bakar terlihat saling berbisik-bisik dan sesekali tersenyum menatap Fikri. Ada yang panas, tapi bukan debat capres dan cawapres.

“Ish, ganjen!” sungutku dengan suara lirih.

“Kenapa, Dek?” Mas Faisal menoleh.

“Eh? E-enggak pa-pa, kok, Mas.”

“Kamu sakit perut?”

Aku langsung menggeleng.

“Tadi kayaknya bilang ‘ngeden’.”

Aku memukul lengannya agak keras.

“Aow! Apa, sih?”

“Abisnya, omonganmu ngawur, Mas.”

“Lah?”

Fikri sempat menoleh padaku dan Mas Faisal yang terlibat cekcok kecil. Aku bilang ‘ganjen’, eh, Mas Faisal nangkapnya ‘ngeden’. Tapi, ada untungnya juga, sih, pendengarannya agak kongslet. Kalau dia dengar aku bilang ganjen sama gadis-gadis itu bisa berabe. Mas Faisal akan semakin yakin kalau aku naksir si Fikri. Padahal memang iya. Huwaaa ....

Sesekali lelaki bergaya rambut short and spiked itu bercakap-cakap dengan beberapa pembeli yang mampir di lapak jagung bakar ini. Model rambutnya terlihat funky. Namun, tetap terkesan rapi dan elegan.

Satu-dua bulir keringat yang jatuh dari pelipis Fikri menunjukkan betapa ia begitu sibuk bersama satu rekannya. Mungkin lelaki berkaus hitam itu pemilik lapak ini. Namun, terlihat lebih dewasa dari si Fikri.

Aku mengeluarkan ponsel dan menatapnya. Ya, hanya kutatap. Sebab, sesekali mata ini naik-turun memperhatikan kegiatan Fikri mengipasi jagung-jagung yang berderet rapi.

Aku tersenyum.

'Hatiku dong, dikipas juga. Udah mulai gerah, nih!' Ihiiir ....

***

Awalnya ku tak mengerti apa yang sedang aku rasakan~

Segalanya berubah dan rasa rindu itu pun ada~

Sejak kau hadir di setiap malam dalam tidurku~

Aku tahu sesuatu sedang terjadi padaku~

Seakan-akan mewakili hati yang tengah bertaman-taman. Eh, salah! Berbunga-bunga maksudnya. Alunan musik dan nyanyian merdu mengalun sempurna dari dalam kamar Mas Faisal yang pintunya tak tertutup rapat. Penghuninya sedang ke kamar mandi.

Aku menikmati kata demi kata yang terangkai indah dalam syair lagu band Roulatte itu. Sembari menyapu lantai, bibir ini pun ikut bersenandung lirih mengikuti alunan suara sang vokalis.

Sudah sekian lama aku alami pedih putus cinta~

Dan mulai terbiasa hidup sendiri tanpa asmara~

Dan hadirmu membawa cinta sembuhkan lukaku~

Kau berbeda dari yang kukira~

Lagi-lagi bibirku tersenyum memutar memori indah beberapa malam yang lalu. Sebenarnya, tidak ada peristiwa penting yang perlu dimuseumkan dalam hati ini. Hanya pertemuan tak disengaja yang terhias percakapan ringan dan sedikit candaan. Namun, senyumannya seakan menyulap percakapan itu menjadi sesuatu yang ... ah, sulit dijelaskan. Kurasa ... virus merah jambu sedang menyerang hati dan pikiran. Uhuk!

Aku jatuh cinta kepada dirinya~

Sungguh-sungguh cinta oh apa adanya~

Tak pernah kuragu namun tetap selalu menunggu~

Sungguh aku jatuh cinta kepadanya~

"Denger-denger, kamu lagi cari kerja ya, Fik?" tanya Mas Faisal saat kami menikmati jagung bakar, kala itu.

“Tahu dari siapa, Mas?”

“Kemarin ada yang enggak sengaja nguping katanya. Aow!”

Mas Faisal memekik di akhir kalimatnya. Iyalah! Soalnya aku tarik beberapa helai rambut kakinya yang bisa kuraih.

“Kamu kenapa, sih, Dek!” sungut Mas Isal terlihat kesal.

“Enggak pa-pa. Emang aku kenapa?” sahutku santai dan datar.

Aku terkikik dalam hati. Mas Faisal memberengut dengan mengusap salah satu betisnya, sementara Fikri hanya tersenyum melihat kami yang lagi-lagi ribut kecil.

"Iya, Mas. Mas Eriy, kan, udah selesai kuliah. Nah, dia mau jaga sendiri tokonya. Enggak langsung minta aku buat berhenti sih, sebenernya. Cuma ... kalo ada yang lebih baik, gajinya lebih gede, Mas Eriy ngebolehin aku kerja ke yang lain," jelas Fikri lumayan panjang.

"Kamu nyari gaji gede kayak yang udah mikir SPP anak aja, Fik!" timpal Mas Faisal yang ditanggapi tawa renyah oleh lawan bicaranya.

"Tak ada kenyamanan di hari tua untuk orang-orang yang malas di masa muda. Lak ngoten to, Mas?" (Bukan begitu, Mas?)

"Wah, super sekali kalimat Anda wahai Kisanak?"

Mas Fikri tergelak mendengar kalimat kakak kelas SMK-nya itu.

"Sampean salah satu inspirasiku, Mas."

"Weh, aku? Ho'o, po?" (Iya, kah?)

"Leres, Mas." (Benar, Mas.)

Lalu, mereka melakukan tos siku. Aku hanya melirik seraya tersenyum mendengar obrolan keduanya sembari menikmati jagung bakar dengan selai strawberry.

"Eh. Sik, sik!" Tiba-tiba Mas Faisal merogoh saku celananya. Mengeluarkan ponsel dan dahinya sedikit mengernyit membaca layar.

"Lha, ini bosmu baru diomongin malah nelpon. Tak nyari tempat yang agak sepi bentar, ya. Enggak denger di sini. Rame!" pungkas sepupuku itu sembari berlari kecil untuk menjauh.

"Sik ya, Dek. Tak ngangkat telpon, dilit!" imbuhnya lagi dengan menoel bahuku.

Aku hanya mengangguk dengan mulut yang masih fokus mengunyah.

‘Mas Faisal beneran angkat telepon, apa cuma pura-pura biar aku sama Fikri bisa ngobrol berdua? Ish, pengertian bener punya kakak.’ Aku bergumam dalam hati.

"Udah betah tinggal di Jogja?"

Eh?

Wajah dan pandangan yang memang sedikit kutundukkan segera mendongak. Fikri menatapku dengan wajah tampannya yang hampir membuatku tersihir. Aku mengangkat jari telunjuk tangan kanan dan menunjuk diri sendiri.

"Iya. Kamu, Faza. Betah enggak di Jogja?" ulang pria berkaus hijau itu sekali lagi.

'Aiiih ... doi mulai nanyain aku, Pemirsah.'

"Hm ... alhamdulillah betah, Mas," jawabku sekenanya. Padahal genderang dalam hati sudah bertabuh ribut.

"Syukurlah," ucapnya lagi dengan senyum yang rasanya tak pernah absen menghiasi wajah cute itu.

Aku jadi teringat ucapan Kirana tempo hari. “Fikri itu salah satu cowok yang murah senyum di sekolah, tapi enggak suka tebar pesona sama cewek-cewek. Justru sikapnya itu malah bikin para kaum hawa tertarik.”

Enggak salah, dong, aku naksir dia. Aku terkikik dan kembali mengelus-elus gagang sapu. Menelengkan kepala ke kiri dan ke kanan dengan senyum yang ... mbuhlah.

"Nduk?"

Aku menoleh dengan sedikit terperanjat.

"Eh, nggih, Pakde. Pripun?"

"Kowe ki lagi ngopo?"

"Lagi nyapu, Pakde," jawabku

"Nyapu kok, sing digujengi pel-pelan to, Nduk ... Nduk?"

Kepalaku menunduk. Weladalah! Kayaknya tadi lagi pegang gagang sapu. Kok, berubah? Apa memang dari tadi aku pegang pel-pelan, ya? Astagfirullahal’azim, fix, ini semue Fikri punya pasal!

(*)

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status