Share

7. Virus Merah Jambu

last update Last Updated: 2024-02-14 19:00:05

Setelah resmi berkenalan dengan Fikri di stan pasar malam waktu itu, kami jadi lebih akrab. Perlengkapan fotokopi yang mulai menipis lebih sering Mas Faisal order lewat dirinya. Otomatis, dia yang mengantarnya ke toko.

Nomor ponsel yang kala itu disimpan oleh Kirana, tiba-tiba saja terpampang di layar membentuk sebuah panggilan masuk lengkap dengan namanya, Danial Fikri, begitu Kirana menamai nomornya di ponselku. Iya, pas insiden buku terbalik waktu itu. Ada debar tak biasa sebelum aku mengangkat panggilannya.

'Assalamualaikum,' sapanya dari ujung sana.

"Wa'alaikumus-salam." Aku menjawab dengan menekan rasa agar tak meledak sebagai bentuk ekspresi bahagia.

'Faza, ini Fikri.'

Aku memejam dan menggigit bibir bawah.  

“Iya,” jawabku singkat.

'Pesanan Mas Faisal kayaknya agak sorean, ya, aku antar. Sekalian otewe pulang.'

"Oh, iya, Mas. Enggak pa-pa."

'Hasil fotokopi masih jelas, enggak? Takutnya aku telat nyampe sana.'

"Masih jelas, kok. Mas Isal order tinta, ya?"

'Iya, dua bungkus.'

Aku menengok etalase bagian bawah. Eh, iya, stok tinta mesin sudah habis.

"Kalau enggak banyak garapan, insyaallah hasil masih baik sampai beberapa minggu ke depan, Mas. Baru diisi beberapa hari yang lalu kayaknya."

Untuk pengisian tinta mesin, biasanya dilakukan sendiri oleh Mas Faisal. Selain ribet karena bentuknya yang serbuk, aku juga belum bisa memasangnya.

'Oh, oke kalau gitu. Berarti masih aman, ya?'

“Insya Allah masih.”

'Ya sudah, gitu dulu, ya, Za. Nanti sore aku antar. Assalamu'alaikum.'

"Iya, wa'alaikumus-salam."

Aku tersenyum sangat lebar kala sambungan terputus. Ribuan kupu-kupu seolah tengah mengelilingiku. Kalau bukan Kirana, pasti Mas Faisal yang memberikan nomor ponselku kepadanya. Ah, terserahlah. Yang terpenting one step closer. Uhuy! 

Selain di dunia nyata, kami juga berteman di dunia maya. Beberapa hari setelah insiden aku membaca buku dengan posisi terbalik yang sempat ditegurnya kala itu, ada notifikasi pemberitahuan di laman fac3book-ku.

Terpampang sebuah info yang memberitahukan permintaan pertemanan dari banyak akun. Kucoba mengeklik ikon pertemanan. Barisan nama paling atas sama persis dengan nama di kartu kependudukannya yang waktu itu aku fotokopi.

Muhammad Danial Fikri

Permintaan dikirim tiga hari yang lalu.

Sembilan orang teman yang sama.

Konfirmasi. Hapus.

Ya jelas dikonfirmasilah, masa dihapus? Pucuk dicinta ulam pun tiba. Kesempatan emas menanti di depan mata. Eh? 

“Hayo ngapain ...?”

Aku berjingkat kaget dan segera menoleh ke belakang.

“Ish, koyo demit, reti-reti njedul!” sungutku dengan dada sedikit naik turun. Sumpah kaget.

(Ish, kaya hantu, tahu-tahu muncul!)

Mas Faisal tergelak dan menaruh sesuatu yang dibungkus plastik bening di atas meja.

“Fac3book-an wae,” sindirnya sembari mencomot gorengan dari plastik tersebut.

“Enggak pa-pa, dong. Mumpung lagi sepi.” Aku pun ikut mencomot satu tahu susur beserta cabai lalap.

“Garapan buku anak-anak SMP udah selesai dijilid, Dek?”

“Dikit lagi, Mas. Paling entar sebelum toko tutup udah kelar. Diambilnya juga masih besok, kan?” Aku menoleh pada kertas-kertas note yang ditempel.

Mas Faisal hanya mengangguk dengan wajah yang mulai memerah merasakan pedas. Segera ia menuju tabung galon air mineral. Bude bilang, anaknya itu enggak tahan pedas, tetapi suka makan pedas. Aku hanya terkikik melihatnya.

“Eh, iya. Mas udah order tinta buat stok. Belum datang, ya?”

“Belum, Mas. Kata Mas Fikri entar sore baru diantar.”

“Cie ... udah manggil ‘mas’ aja, nih!” godanya.

“E ... ya kan dia lebih tua sedikit, Mas, ketimbang aku. Enggak salah, kan, aku panggil dia ‘mas’ sama kek kamu?”

Mas Faisal masih betah menggoda. Tentu saja aku pura-pura merajuk, padahal dalam hati bahagia sekali rasanya. Sekitar satu jam Mas Faisal menemaniku di toko sembari menggarap beberapa pesanan.

“Dek, Mas pulang dulu. Ada janji sama teman.”

“Oke.” Kuacungkan jempol dengan satu tangan memegang mouse komputer.

“Sebelum toko tutup, Mas udah balik, kok, buat jemput kamu.”

“Siap!”

“Eh, tapi entar Mas Fikri, kan, ke sini, ya? Apa kamu mau minta antar dia buat pulang?” Mas Faisal masih saja menggodaku sampai menyebut Fikri dengan tambahan ‘mas’ juga.

“Mas Isal apaan, sih!”

Dia mendekat dengan menggendong ranselnya. “Entar kalau dia ke sini jangan lupa diajak ngobrol. Bilang, ditunggu Mas Isal sama Pakde Abdul di rumahnya.”

“Emang iya?” Keningku berkerut. “Beneran Pakde nyuruh dia ke rumah?”

“Iyalah. Biar kalian pedekatenya makin gini.” Ditautkannya telunjuk kanan dan kiri membentuk simpul rantai.

“Ish, siapa yang pedekate?” elakku dengan menahan gejolak aneh.

“Cie ... wajahnya merah, cie ....”

Mas Faisal langsung ngacir menuju motornya yang diparkir, sebelum buku tebal di samping komputer mendarat karena kulempar ke arahnya. Dia terus tergelak hingga hilang dari pandangan dengan si kuda besi berbodi semok itu.

Aku tersenyum sangat lebar usai kepergian Mas Faisal. Tampaknya, sosok abang itu tahu jika hatiku benar-benar tertawan oleh pesona Fikri. Dan sepertinya, ia pun tak keberatan. Itu artinya, Fikri memang pria baik. Semoga saja.

“Oh, iya!” Aku teringat sesuatu.

Segera kuraih ponsel dan meneruskan aktivitas scroll kepo-in sosial media milik Fikri. Aku mulai mengintip profilnya. Foto-foto yang diunggah lebih banyak saat ia menghadiri majelis sholawat dengan beberapa rekannya. Ada foto bareng Mas Faisal dan Mas Eri juga.

Ada pula foto-foto perpisahan sekolah dan saat piknik ke Pulau Dewata bersama teman-teman seragam putih abu-abunya. Ada foto bareng Kirana juga di sana.

Ada sebuah foto saat ia seorang diri menatap laut lepas. Posisinya di atas bebatuan. View yang terlihat tampak seperti di Tanah Lot. Lelaki itu memakai kaus putih dan celana jeans panjang. Gambar itu pula yang ia jadikan foto profil akun fac3book-nya.

Kugeser lagi beberapa foto lainnya. Ada yang seakan menghipnotisku walau hanya lewat tatapan matanya dalam tangkapan kamera. Kedua sudut bibirku tertarik ke samping melihat senyumnya dalam foto itu.

Ia seorang diri dengan tetap mengenakan kaus yang sama. Akan tetapi, kali ini kepalanya dilengkapi dengan kain udeng khas Bali. Perpaduan udeng warna putih dengan kombinasi gold membuat foto yang terpampang nyaris sempurna. Kusimpan foto itu dalam perangkat. Aku pun terkikik geli dengan aksi konyol ini.

“Ganteng banget, ya ampun ...,” ucapku sembari tersenyum menatap seseorang yang berdiri di teras toko.

Aku menopang dagu dengan pandangan lurus ke depan. “Dalam bayangan aja rasanya kayak nyata,” lanjutku tak henti mengulas senyum memandangi objek yang berdiri di depan mata.

“Ehem! Assalamualaikum ....”

“Astagfirullah!” pekikku kaget.

(*) 

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • TERIMA KASIH TELAH MENCINTAIKU   31. Dilamar

    Setiap wanita mempunyai keinginan yang sama. Dicintai dan mencintai pria yang diinginkannya. Cintanya direspons baik dan tentu jangan sampai bertepuk sebelah tangan. Begitu pun dengan lelaki, tak ada pengecualian. Saat jatuh cinta, keduanya sama-sama ingin cintanya dibalas dan terbalas.Faza tersenyum memandangi sepasang benda mungil nan cantik yang terkurung dalam kotak cincin boks mika kristal. Fikri memintanya untuk menyimpan cincin mereka. Untuk hari baik, ia masih membicarakan dengan keluarga. Begitu pun dengan Faza. Fikri meminta kekasihnya itu untuk memberitahu niat baiknya pada kedua orang tuanya di Jawa Timur.Lagi-lagi senyumnya melengkung indah. Faza teringat akan keping demi keping potongan memori dari awal melihat senyum Fikri, berkenalan, jalan bersama, saling mengungkapkan rasa hingga kini keduanya akan berkomitmen dalam sebuah hubungan yang lebih serius.Tak berbeda dengan pasangan lain pada umumnya, Fikri dan Faza pun kerap terlibat pertengkaran kecil sampai berbeda p

  • TERIMA KASIH TELAH MENCINTAIKU   30. PoV Faisal (2)

    Saat ini, aku sedang berada dalam keramaian pasar malam. Tentunya aku sudah tahu kalau Fikri juga ada di sini. Dia sedang join dengan salah satu temannya membuka lapak jagung bakar. Fikri salah satu anak muda pekerja keras. Tidak hanya aku dan Eri, bapak dan ibuku pun menyukai lelaki itu. Sengaja kubujuk Faza agar mau ikut ke pasar malam. Selain agar tidak menjadi nyamuk di antara bapak dan ibuku, ada sedikit rencana yang harus aku pastikan sendiri. Tidak mau hanya mengira-ngira atau menerka-nerka saja.Tak lama setelah menemukan lapak milik Fikri dan temannya itu, aku pun langsung memesan dua jagung bakar, untukku dan Faza. Akhirnya, mereka resmi berkenalan sesaat setelah aku goda. Ngobrol ngalor-ngidul sampai akhirnya muncul sedikit ide pura-pura ada telepon masuk dari Eri. Aku pun sedikit tergesa agar terlihat meyakinkan dalam mendalami peran. Tak jauh dari keduanya, aku mengamati gerak-gerik Fikri dan Faza. Mereka tampak terlibat sebuah obrolan walau masih bisa dibilang wajar.Se

  • TERIMA KASIH TELAH MENCINTAIKU   29. PoV Faisal

    Namaku Faisal Abdurrahman. Anak pertama sekaligus terpaksa harus jadi yang terakhir. Anak semata wayang ibu dan bapak, Ibu Endang dan Pak Abdul. Kenapa terpaksa menjadi yang terakhir? Karena sebenarnya aku adalah calon seorang kakak dari dua adik kembarku.Dulu, saat usiaku delapan tahun, ibu pernah dinyatakan positif hamil lagi.“Isal mau punya adik?”“Iya, Le. Kamu seneng?”Aku mengangguk antusias. Tentu saja aku bahagia karena rumah kami akan bertambah penghuni. Percayalah, jadi anak tunggal itu enggak enak. Enggak ada ribut-ributnya di rumah.Semua yang terbaik selalu bapak usahakan untuk ibu dan juga calon adikku. Namun, entah di usia kandungan berapa minggu, ibu sering mengalami kram perut. Bapak selalu mengingatkan agar ibu jangan terlalu capek. Sebab, saat itu mereka berdua sedang merintis usaha oleh-oleh khas Kota Budaya ini.Waktu terus merangkak, tetapi kandungan ibuku semakin lemah. Sekali lagi, aku tak paham dengan keadaannya saat itu. Yang aku tahu dari cerita bapak, jan

  • TERIMA KASIH TELAH MENCINTAIKU   28. Musyawarah Keluarga

    Sore beranjak walau pikiran Fikri masih belum menemukan jawaban. Ia pun berusaha mengenyahkan segala gelisah yang mungkin akan menjadi ujiannya sebelum ia dan Faza akan lanjut ke tahap selanjutnya. Karena, konon, ujian orang mau menikah ada-ada saja.Tak mau terlihat murung karena pikirannya sendiri, usai menunaikan salat Asar, Faza dan Fikri segera menuju pantai ikonik yang selalu lekat dengan nama Yogyakarta itu. Pinggiran pantai terlihat begitu cantik dengan pemandangan payung warna-warni yang berbaris rapi. Dilengkapi hilir mudik kendaraan mobil jeep dan delman yang berlalu lalang.Faza langsung membuka alas kakinya dan berlari menuju bibir pantai. Ombak saling berkejaran, menyapu kastil-kastil pasir buatan ala kontraktor dadakan. Mulai dari anak-anak, remaja, bahkan para orang dewasa pun ikut bermain pasir dan mendirikan bangunan liliput. Setelahnya mereka akan berteriak girang dan juga kesal saat usahanya membangun istana pasir musnah

  • TERIMA KASIH TELAH MENCINTAIKU   27. Parangtritis Punya Cerita

    Bukan hanya Faza, tapi salah seorang pelayan toko perhiasan yang sedari tadi memandang keduanya juga ikut menahan napas dan tak bisa berkata-kata. Menyaksikan seorang pria yang sepertinya sedang memberi sebuah kejutan untuk wanitanya.“L-lamar aku?”“Hm. Kamu mau, kan?”Wajah Faza sedikit merona. “Kapan Mas mau lamar aku?”Bukan apa-apa. Bahkan Fikri tak pernah membicarakan hal ini sebelumnya. Faza juga belum pernah memberitahu kedua orang tuanya kalau ia terlibat urusan hati dengan salah satu pria di Yogyakarta.“Nanti kita obrolin lagi, ya. Sekarang, pilih cincinnya aja dulu.”Gadis berhijab itu pun mengangguk dan mengikuti arahan Fikri untuk memilih cincin terlebih dahulu. Faza kembali tersipu saat sadar jika sedari tadi seorang pelayan tampak memerhatikan keduanya, bahkan ikut tersenyum lebar lebih dari sekadar menyambut pelanggan.“Silakan, Mbak, Mas. Mau cari cincin yang model seperti apa?”Faza menunduk. Mulai memerhatikan perhiasan berbentuk bulat dengan berbagai model. Mungki

  • TERIMA KASIH TELAH MENCINTAIKU   26. Kejutan

    “Hai, Mas! Apa kabar?” tanya si gadis dengan nada ceria.Usia Disty memang lebih muda dari Fikri. Dia biasa memanggil sang pria dengan tambahan mas di depan nama. Mungkin tadi refleks hanya ingin memastikan.Fikri tersenyum. “Aku baik, Dis. Kamu apa kabar?”“Aku baik juga, Mas.”Fikri mengangguk.“Mas Fikri dari tokonya Mas Eri, ya? Mau pulang?”“Iya. Kamu lagi apa di sini?”“Aku bantuin ibunya Mbak Sasa jualan, Mas.”Sasa adalah teman sekelas Fikri saat masih berseragam putih abu-abu. Dia dan Disty memang saudara sepupu. Ibunya Sasa memiliki sebuah lapak oleh-oleh khas Jogja di emperan Malioboro.“Oh, Sasa-nya ke mana emang?”“Dia kuliah, Mas. Bentar lagi juga balik. Makanya aku mau pula

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status