Share

7. Virus Merah Jambu

Setelah resmi berkenalan dengan Fikri di stan pasar malam waktu itu, kami jadi lebih akrab. Perlengkapan fotokopi yang mulai menipis lebih sering Mas Faisal order lewat dirinya. Otomatis, dia yang mengantarnya ke toko.

Nomor ponsel yang kala itu disimpan oleh Kirana, tiba-tiba saja terpampang di layar membentuk sebuah panggilan masuk lengkap dengan namanya, Danial Fikri, begitu Kirana menamai nomornya di ponselku. Iya, pas insiden buku terbalik waktu itu. Ada debar tak biasa sebelum aku mengangkat panggilannya.

'Assalamualaikum,' sapanya dari ujung sana.

"Wa'alaikumus-salam." Aku menjawab dengan menekan rasa agar tak meledak sebagai bentuk ekspresi bahagia.

'Faza, ini Fikri.'

Aku memejam dan menggigit bibir bawah.  

“Iya,” jawabku singkat.

'Pesanan Mas Faisal kayaknya agak sorean, ya, aku antar. Sekalian otewe pulang.'

"Oh, iya, Mas. Enggak pa-pa."

'Hasil fotokopi masih jelas, enggak? Takutnya aku telat nyampe sana.'

"Masih jelas, kok. Mas Isal order tinta, ya?"

'Iya, dua bungkus.'

Aku menengok etalase bagian bawah. Eh, iya, stok tinta mesin sudah habis.

"Kalau enggak banyak garapan, insyaallah hasil masih baik sampai beberapa minggu ke depan, Mas. Baru diisi beberapa hari yang lalu kayaknya."

Untuk pengisian tinta mesin, biasanya dilakukan sendiri oleh Mas Faisal. Selain ribet karena bentuknya yang serbuk, aku juga belum bisa memasangnya.

'Oh, oke kalau gitu. Berarti masih aman, ya?'

“Insya Allah masih.”

'Ya sudah, gitu dulu, ya, Za. Nanti sore aku antar. Assalamu'alaikum.'

"Iya, wa'alaikumus-salam."

Aku tersenyum sangat lebar kala sambungan terputus. Ribuan kupu-kupu seolah tengah mengelilingiku. Kalau bukan Kirana, pasti Mas Faisal yang memberikan nomor ponselku kepadanya. Ah, terserahlah. Yang terpenting one step closer. Uhuy! 

Selain di dunia nyata, kami juga berteman di dunia maya. Beberapa hari setelah insiden aku membaca buku dengan posisi terbalik yang sempat ditegurnya kala itu, ada notifikasi pemberitahuan di laman fac3book-ku.

Terpampang sebuah info yang memberitahukan permintaan pertemanan dari banyak akun. Kucoba mengeklik ikon pertemanan. Barisan nama paling atas sama persis dengan nama di kartu kependudukannya yang waktu itu aku fotokopi.

Muhammad Danial Fikri

Permintaan dikirim tiga hari yang lalu.

Sembilan orang teman yang sama.

Konfirmasi. Hapus.

Ya jelas dikonfirmasilah, masa dihapus? Pucuk dicinta ulam pun tiba. Kesempatan emas menanti di depan mata. Eh? 

“Hayo ngapain ...?”

Aku berjingkat kaget dan segera menoleh ke belakang.

“Ish, koyo demit, reti-reti njedul!” sungutku dengan dada sedikit naik turun. Sumpah kaget.

(Ish, kaya hantu, tahu-tahu muncul!)

Mas Faisal tergelak dan menaruh sesuatu yang dibungkus plastik bening di atas meja.

“Fac3book-an wae,” sindirnya sembari mencomot gorengan dari plastik tersebut.

“Enggak pa-pa, dong. Mumpung lagi sepi.” Aku pun ikut mencomot satu tahu susur beserta cabai lalap.

“Garapan buku anak-anak SMP udah selesai dijilid, Dek?”

“Dikit lagi, Mas. Paling entar sebelum toko tutup udah kelar. Diambilnya juga masih besok, kan?” Aku menoleh pada kertas-kertas note yang ditempel.

Mas Faisal hanya mengangguk dengan wajah yang mulai memerah merasakan pedas. Segera ia menuju tabung galon air mineral. Bude bilang, anaknya itu enggak tahan pedas, tetapi suka makan pedas. Aku hanya terkikik melihatnya.

“Eh, iya. Mas udah order tinta buat stok. Belum datang, ya?”

“Belum, Mas. Kata Mas Fikri entar sore baru diantar.”

“Cie ... udah manggil ‘mas’ aja, nih!” godanya.

“E ... ya kan dia lebih tua sedikit, Mas, ketimbang aku. Enggak salah, kan, aku panggil dia ‘mas’ sama kek kamu?”

Mas Faisal masih betah menggoda. Tentu saja aku pura-pura merajuk, padahal dalam hati bahagia sekali rasanya. Sekitar satu jam Mas Faisal menemaniku di toko sembari menggarap beberapa pesanan.

“Dek, Mas pulang dulu. Ada janji sama teman.”

“Oke.” Kuacungkan jempol dengan satu tangan memegang mouse komputer.

“Sebelum toko tutup, Mas udah balik, kok, buat jemput kamu.”

“Siap!”

“Eh, tapi entar Mas Fikri, kan, ke sini, ya? Apa kamu mau minta antar dia buat pulang?” Mas Faisal masih saja menggodaku sampai menyebut Fikri dengan tambahan ‘mas’ juga.

“Mas Isal apaan, sih!”

Dia mendekat dengan menggendong ranselnya. “Entar kalau dia ke sini jangan lupa diajak ngobrol. Bilang, ditunggu Mas Isal sama Pakde Abdul di rumahnya.”

“Emang iya?” Keningku berkerut. “Beneran Pakde nyuruh dia ke rumah?”

“Iyalah. Biar kalian pedekatenya makin gini.” Ditautkannya telunjuk kanan dan kiri membentuk simpul rantai.

“Ish, siapa yang pedekate?” elakku dengan menahan gejolak aneh.

“Cie ... wajahnya merah, cie ....”

Mas Faisal langsung ngacir menuju motornya yang diparkir, sebelum buku tebal di samping komputer mendarat karena kulempar ke arahnya. Dia terus tergelak hingga hilang dari pandangan dengan si kuda besi berbodi semok itu.

Aku tersenyum sangat lebar usai kepergian Mas Faisal. Tampaknya, sosok abang itu tahu jika hatiku benar-benar tertawan oleh pesona Fikri. Dan sepertinya, ia pun tak keberatan. Itu artinya, Fikri memang pria baik. Semoga saja.

“Oh, iya!” Aku teringat sesuatu.

Segera kuraih ponsel dan meneruskan aktivitas scroll kepo-in sosial media milik Fikri. Aku mulai mengintip profilnya. Foto-foto yang diunggah lebih banyak saat ia menghadiri majelis sholawat dengan beberapa rekannya. Ada foto bareng Mas Faisal dan Mas Eri juga.

Ada pula foto-foto perpisahan sekolah dan saat piknik ke Pulau Dewata bersama teman-teman seragam putih abu-abunya. Ada foto bareng Kirana juga di sana.

Ada sebuah foto saat ia seorang diri menatap laut lepas. Posisinya di atas bebatuan. View yang terlihat tampak seperti di Tanah Lot. Lelaki itu memakai kaus putih dan celana jeans panjang. Gambar itu pula yang ia jadikan foto profil akun fac3book-nya.

Kugeser lagi beberapa foto lainnya. Ada yang seakan menghipnotisku walau hanya lewat tatapan matanya dalam tangkapan kamera. Kedua sudut bibirku tertarik ke samping melihat senyumnya dalam foto itu.

Ia seorang diri dengan tetap mengenakan kaus yang sama. Akan tetapi, kali ini kepalanya dilengkapi dengan kain udeng khas Bali. Perpaduan udeng warna putih dengan kombinasi gold membuat foto yang terpampang nyaris sempurna. Kusimpan foto itu dalam perangkat. Aku pun terkikik geli dengan aksi konyol ini.

“Ganteng banget, ya ampun ...,” ucapku sembari tersenyum menatap seseorang yang berdiri di teras toko.

Aku menopang dagu dengan pandangan lurus ke depan. “Dalam bayangan aja rasanya kayak nyata,” lanjutku tak henti mengulas senyum memandangi objek yang berdiri di depan mata.

“Ehem! Assalamualaikum ....”

“Astagfirullah!” pekikku kaget.

(*) 

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status