Share

6. Pasar Beringharjo

"Dek, berangkatnya langsung sama Mas aja." Suara Mas Faisal memulai obrolan saat kami sedang sarapan.

 

"Tumben, Le? Mau ke mana?” Bude menyahut dengan pertanyaan.

 

"Ada janji sama Eri, Buk. Sekalian order barang toko yang kebetulan habis."

 

"Oh, yo wes ngati-ati. Adimu dipastikke sik tekan toko. Direwangi toto-toto utowo resik-resik sik, terus kowe gek mangkat. Ra kebiasaan ditinggal neng ngarep lawang."

 

(Oh, ya sudah hati-hati. Adikmu dipastikan dulu sampai toko. Dibantuin menata barang  atau bersih-bersih dulu, terus kamu berangkat. Jangan kebiasaan ditinggal di depan pintu.)

 

Aku tersenyum. Mas Faisal memang sering langsung bablas begitu aku sampai di depan tokonya, sedangkan bude selalu mewanti-wanti agar putranya itu membantuku dulu baru lanjut dengan urusannya. Bude salah satu alasanku betah jauh dari orang tua sendiri.

 

Mas Faisal hanya nyengir. "Nggih, Buk. Nanti tak bantuin Faza sebentar terus langsung ke Beringharjo."

 

"Mas Isal mau ke Pasar Beringharjo?” tanyaku setelah menelan beberapa suapan.

 

"Hm!" sahutnya.

 

"Aku melu, yo?"

 

"Melu nendi?" ( Ikut ke mana?)

 

"Ke Beringharjo, lah."

 

Mas Faisal tampak berpikir.

 

"Oke," jawabnya santai, tapi pasti.

 

"Tenan?"

 

"He'em, he'em ...."

 

"Toko tutup, dong?"

 

"Ra po-polah, pisan-pisan. Sisan weekend. Kan, engko Malam Minggu."

 

(Enggak pa-palah, sekali-sekali. Sekalian akhir pekan. Nanti kan, Malam Minggu.)

 

"Asyiiik!" Aku bersorak gembira layaknya balita dapat balon.

 

***

 

Toko fotokopi mendadak libur, jadi libur dua hari sekalian hari Minggu besok. Alhamdulillah, Pak Bos-nya lagi baik. Karena aku akan ikut serta bersama Mas Faisal ke toko perlengkapan fotokopi milik Mas Eri, akhirnya kami memutuskan untuk berangkat sekitar jam satu siang.

 

Toko Mas Eri biasanya tutup sampai malam. Tergantung mood si pemilik lapak. Itu enaknya punya usaha sendiri, begitu kata Mas Faisal. Bebas buka tutup semau kita, tetapi juga harus disiplin agar pelanggan tidak lari ke tempat lain. Khusus hari Sabtu dan Minggu lapak Mas Eri buka hanya sampai jam tiga sore.

 

Matahari mulai membentangkan teriknya. Jalanan menuju jantung kota Jogja sudah mulai padat oleh kendaraan. Mas Faisal bilang, Malioboro adalah jantung kota Jogja yang selalu bikin nagih. Pendatang yang kebanyakan adalah para penuntut ilmu dari berbagai daerah akan memadati emperan di Titik Nol Kilometer jika menjelang akhir pekan.

 

Aku sudah dua kali ke sana, dan ini akan menjadi kali ke tiga. Aku yang belum begitu mengenal jauh tentang Daerah Istimewa ini sudah merasa begitu nyaman dan damai.

 

Pribumi yang begitu santun dalam logat bahasanya. Adat yang masih dijunjung tinggi. Tempat wisata yang selalu ramai dikunjungi. Kota yang memiliki kebudayaan dan kesenian yang kental, serta hati yang mulai terpesona pada salah satu penduduknya. Uhuy!

 

Kami pergi mengendarai motor Sc0opy kesayangan Mas Faisal. Pakde menyarankan untuk memakai mobil saja agar tidak kepanasan dan tak terlalu menghirup banyak polusi, tetapi Mas Faisal bilang,

 

"Ah, ribet je, Pak. Enak ngagem pit motor. Saget nyalip. Nopo malih weekend ngeten. Bisa-bisa tua di jalan, kelamaan," ungkapnya.

 

(Ah, ribet, Pak. Enak pakai sepeda motor. Bisa menyalip. Apalagi akhir pekan begini. Bisa-bisa tua di jalan, kelamaan.)

 

Masalah polusi, bisa pakai masker lalu lengkapi dengan helm, beres. Aku sih, manut-manut saja. Toh, pakai mobil atau motor, bukan aku driver-nya.

 

Walaupun jalanan sudah mulai padat oleh kendaraan, tetapi arus lalu lintas masih lancar walau memang laju kendaraan terbilang lambat. Masih bisa dibilang wajarlah. Namun, begitu hampir memasuki kawasan Malioboro, mendadak suara klakson mobil dan motor saling bersahutan.

 

Benar kata Mas Faisal, biarpun kepanasan, berakhir pekan di kota-kota besar memang lebih enak pakai motor. Setelah berhasil memarkirkan Scoopy kesayangan, kami langsung menuju lapak Mas Eri.

 

Pengunjung pasar Beringharjo tampak padat. Namun, hilir-mudik sepasang kaki yang keluar masuk pasar masih terbilang lancar. Tidak saling sikut dan berdesak-desakan. Lapak yang akan kami tuju ada di lantai tiga. Sentra penjualan barang antik juga terdapat di lantai ini, tepatnya di pasar bagian timur.

 

Sembari berjalan, Mas Faisal berbicara mengenai apa saja yang aku lihat. Dia bilang, “Berburu barang bekas, tapi masih berkualitas di lantai tiga ini tempatnya, Dek.”

 

“Ada apa aja, Mas?”

 

“Sepatu sama tas ada, bahkan pakaian impor juga dijual di sini. Harga dan kualitas boleh diadu, tapi yang namanya barang bekas harus jeli dan teliti dalam memilih.”

 

Aku hanya mengangguk-angguk mendengar penjelasannya sembari memindai sekeliling. Mas Faisal melambaikan tangan ke atas. Di ujung sana tampak laki-laki kurus agak tinggi dan berkacamata melakukan hal yang sama. Apa dia yang namanya Mas Eri?

 

"Assalamualaikum, Mamet."

 

"Wa'alaikumus-salam, Cah Bagus," jawab sang pemilik lapak dengan menjabat tangan Mas Faisal ramah.

 

Manusia species non-insecure itu tertawa penuh kemenangan dipanggil 'Cah Bagus' yang artinya anak baik atau bisa juga diartikan anak ganteng. Ish, ish, ish!

 

"Makin kurus aja, Er?"

 

"Ho'o ee, Sal. Mergo skripsi iki, untung lulus."

 

Mereka tertawa bersama.

 

"Eh, karo sopo? Mbok dikenalke!"

 

"Oh iyo, iki adik sepupuku seko Jawa Timur. Dek, iki sing jenenge Eri."

 

Aku tersenyum. "Faza, Mas."

 

"Eriy." Kami berjabat tangan sekilas.

 

"Kok, tumben cuma order kertas tok, Sal?"

 

"Persediaan lainnya masih aman, Er." Mas Faisal menjawab sembari berjalan masuk ke toko temannya itu.

 

Aku duduk di bangku panjang yang disediakan di depan toko dengan masih memandang sekeliling.

 

"Eh, Faza. Sama siapa?"

 

Sebuah pertanyaan membuatku menoleh. Wajah Fikri membuat kedua sudut bibir ini tertarik membentuk sebuah senyuman.

 

"E-ini Mas, diajak Mas Faisal order kertas," jawabku ringan.

 

"Piye-piye? Sopo sing ngajak? Wong mau arep melu dewe, kok." Suara Mas Faisal terdengar dari dalam, lalu orangnya menyusul keluar.

 

Aku hanya nyengir.

 

"Tahu aja Fik, aku pas haus!" Tanpa perintah, Mas Faisal mengambil es jeruk dari nampan yang dibawa oleh Fikri. Ada tiga gelas di atasnya.

 

"Kuwi si Fikri cen tak kon pesen wedang go tamu. Eh, kurang siji, Fik. Pesenno neh, jal! Ra ngerti nek Faisal arep gowo adine." Mas Eri berucap.

 

(Itu si Fikri memang aku suruh pesan minuman buat tamu. Eh, kurang satu, Fik. Coba kamu pesan lagi! Gak tahu kalau Faisal mau bawa adiknya.)

 

"Eh, enggak usah, Mas. Aku bawa air mineral kok, di tas."

 

Ransel ukuran sedang yang selalu kubawa serta saat kerja dan keluar rumah seperti saat ini, tak pernah luput dari sebotol air mineral ukuran kecil. Untuk jaga-jaga saja. Walaupun di toko Mas Faisal sudah disediakan air galon.

 

"Kalau mau yang dingin, punyaku diminum aja dulu. Enggak pa-pa," celetuk si Murah Senyum.

 

Aku hanya mengangguk sembari membalas senyumnya.

 

"Eh, wes kenal, po, Fik?" tanya Mas Eri seraya bergantian memperhatikan aku, kemudian beralih menatap Fikri.

 

"Alhamdulillah udah, Mas. Baru semingguan."

 

Mas Eri mengernyit. "Kenalan, kok, dihitung? Kenalan opo pacaran, wes seminggu ki?"

 

Fikri hanya tersenyum sambil melirikku. Jangan ngelirik, dong, please! Aku, kan, jadi mau. Eh, malu!

(*)

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status