Mereka kembali ke suite tanpa banyak kata. Langkah-langkah bergema di lantai marmer, tapi tak ada satu pun yang lebih nyaring dari diam di antara mereka.
Reynard membuka pintu. Anya masuk lebih dulu lalu berhenti di tengah ruangan. "Sepertinya kau menang di meja makan tadi," ucap Reynard pelan, melepas jasnya dan meletakkannya di sofa. Suaranya datar, tapi ada sesuatu di ujungnya—ketertarikan? Kekesalan? Tak jelas. Anya berdiri membelakangi jendela besar. Siluetnya dibingkai cahaya siang yang perlahan pudar. "Aku tidak bermain untuk menang," katanya. Matanya menatap lurus ke arahnya, "Aku hanya tidak suka dibungkam." Reynard menyeringai kecil. "Jaga dirimu malam ini. Besok pagi kita ada jadwal wawancara dengan Fortune Asia. Mereka ingin ‘chemistry’ kita nyata." Anya mengangguk kecil. Tapi saat ia melangkah ke arah kamar, ia menoleh sedikit. “Reynard.” Pria itu menoleh. “Tadi pagi... kau menggenggam tanganku.” Mata mereka bertemu. Lama. “Refleks,” jawabnya akhirnya. Suaranya rendah. “Atau strategi. Sulit dibedakan.” Anya hanya mengangguk-anguk, membenarkan perkataan Reynard. Ia kembali melangkah ke kamar, tak menyadari tatapan lamat-lamat Reynard kepada dirinya. Anya baru saja menutup pintu kamar saat siluet Jakarta terbias di jendela kaca. Malam itu sunyi, tapi bukan sunyi yang damai—melainkan sunyi yang seperti menahan napas sebelum badai. Ia mengganti gaun malamnya, duduk di sisi tempat tidur, dan menarik napas panjang. Hanya satu malam. Hanya satu akting.Tapi dadanya terasa sesak, seperti ada yang diam-diam mengintip sisi rapuh yang selama ini ia lindungi. Ponselnya tiba-tiba bergetar. Nomor tak dikenal. Tak ada nama, tak ada lokasi. Ragu. Tapi dijawab. — Reynard berdiri di ruang kerja suite, ditemani cahaya remang dari lampu gantung dan siluet kota yang jauh di luar jendela. Tangannya memegang tablet hitam. Di layar, sebuah file terbuka—judulnya mencolok. "Anya Andristy – Confidential Background Report" Satu ketukan jarinya membuka lampiran gambar. Foto lama Anya—dengan rambut lebih panjang dan senyum yang tak dibuat-buat—berdiri di samping seorang pria muda. Lokasi: sebuah kantor agensi kreatif kecil. Bahu mereka bersentuhan. Wajah mereka terlalu nyaman. Terlalu dekat. Reynard mengencangkan rahangnya. Matanya tajam saat memperbesar nama pria itu. Dion Mahesa. Status: Missing. Jabatan terakhir: Co-Founder & Finance Director – Andristy Corp. Slide berikutnya: laporan berisi kronologi keuangan. Skandal internal. Dugaan penggelapan dana. Kasus tidak diteruskan ke ranah hukum karena kurang bukti dan karena seseorang menolak memberi kesaksian. Gerakan Reynard membeku. Matanya melesat ke nama itu lagi. Dion Mahesa. Dan satu baris tambahan di bawahnya, tampak seperti suntingan kasar: "Kemungkinan besar memiliki hubungan pribadi dengan A.A." A.A. — Anya Andristy. Ketukan jarinya perlahan mematikan layar. Sunyi kembali memenuhi ruangan. Reynard menatap pintu kamar. Di baliknya, Anya sedang bersiap tidur. Atau berpura-pura tertidur. Wajahnya tetap tenang. Tapi detak di pelipisnya mulai menyuarakan tanda tanya yang tak ia suka. “Kalau ini memang permainan,” gumamnya rendah dan dingin, “Kau seharusnya tahu siapa lawanmu, Anya.” Ia melangkah mendekati jendela, menatap Jakarta yang bersinar di malam hari. Ada sesuatu yang tidak beres, dan ia harus mencari tahu apa itu. Sebelum terlambat. Dengan langkah tenang, Reynard menuju ke meja kerja dan mengambil telepon. Ia menekan beberapa tombol dan menunggu beberapa saat hingga seseorang menjawab. "Butuh informasi tentang Dion Mahesa," katanya singkat. "Cari tahu apa yang terjadi padanya." Reynard menutup telepon dan kembali menatap pintu kamar. Anya mungkin tidak mengatakan yang sebenarnya, tapi ia akan mencari tahu apa yang tersembunyi di balik diamnya. Sementara itu, di kamar, Anya duduk di tepi tempat tidur, matanya terpaku pada ponsel yang tergeletak di depannya. Nomor tak dikenal yang tadi menghubunginya masih tergambar jelas di layarnya. Pesan singkat itu singkat saja: "Jangan percaya padanya." Anya merasa bulu kuduknya meremang. Siapa yang mengirim pesan itu? Dan apa yang mereka maksud? Ini masih 457 kata tambah kan cerita biar pas 600 ktaBegitu mereka sampai rumah dari kegiatan jalan-jalan, Reynard mencondongkan tubuhnya perlahan ke arah Anya. Ia tidak terburu-buru. Matanya menatap mata Anya sejenak—mencari izin, atau mungkin kerelaan. Ketika melihat Anya hanya terdiam, bibirnya lalu menyentuh bibir Anya. Begitu pelan, begitu lembut, seolah takut menghancurkan sesuatu yang rapuh. Ciuman pertama itu seperti helaan napas yang tertahan terlalu lama. Hangat, tapi juga mengejutkan. Bibir mereka menyatu dalam gerakan ragu namun tulus. Anya mengerjapkan mata, jantungnya berdegup tidak beraturan. Detik itu, waktu seolah berhenti. Anya menutup matanya, membalas perlahan. Rasa hangat menjalar dari bibir ke lehernya, hingga ke ujung jari. Sentuhan lembut Reynard di pinggangnya membuatnya mendekat tanpa sadar. Angin malam yang menyelinap dari jendela kini tak lagi terasa dingin karena tubuh Reynard di sampingnya memancarkan kehangatan yang membungkus. Ciuman itu berkembang. Lebih dalam, lebih menuntut. Napas mereka membur
Bab 10 - Pilihan SulitAnya duduk di sofa, menatap ke luar jendela sambil memikirkan tentang apa yang terjadi pada Dion dan Clara. Ia merasa bingung dan khawatir, tidak tahu apa yang harus dilakukan.Tiba-tiba, ia teringat tentang Reynard. Ia merasa ada sesuatu yang tidak beres dengan perasaannya sendiri. Ia telah mencoba untuk tidak mencintainya, tapi ia tidak bisa menyangkal bahwa ada sesuatu yang kuat antara mereka.Anya berdiri dan berjalan ke kamar mandi. Ia membasuh wajahnya dengan air dingin, mencoba untuk menghilangkan pikiran-pikiran yang berputar di kepalanya."Tidak mungkin," kata Anya pada dirinya sendiri, "Aku tidak bisa mencintainya. Ia terlalu dingin, terlalu keras."Tapi ketika ia melihat dirinya sendiri di cermin, ia melihat sesuatu yang berbeda. Ia melihat seorang wanita yang lemah, yang tidak bisa menyangkal perasaannya sendiri.Anya merasa seperti terjebak dalam dilema. Ia tidak tahu apa yang harus dilakukan, tidak tahu apa yang harus dipilih. Ia hanya tahu bahwa i
Anya melangkah masuk ke ruang kerja pribadi Reynard di lantai 52. Dinding kaca membingkai kota Jakarta, tapi suasananya hening—terlalu hening.Reynard berdiri membelakangi jendela, jas sudah dilepas, kemeja hitamnya terbuka dua kancing teratas. Satu tangan menyelip di saku celana, yang lain memegang selembar berkas."Laporan terakhir dari investor Jepang. Presentasimu membuat mereka yakin," katanya tanpa menoleh.Anya mengangguk, tetap menjaga jarak. “Terima kasih sudah memfasilitasi semuanya.”"Aku tak fasilitasi siapa pun," ucapnya pelan, kini menoleh. Tatapannya menusuk."Aku hanya pastikan kau tidak membuat kesalahan lagi. Termasuk soal siapa yang kau percaya."Anya membalas tatapan itu. tatapannya dari Reynard."Aku tidak butuh perlindungan, Reynard."Senyum tipis menyentuh bibir Reynard—dingin, nyaris sinis."Salah. Kau hanya belum sadar seberapa banyak musuhmu, dan seberapa keras dunia bisa menghancurkanmu tanpa ampun."Ia berjalan perlahan mendekat. Langkahnya tenang. Tapi aur
Restoran itu tenang, berkelas, dengan cahaya temaram dan interior modern minimalis.Anya mengenakan setelan semi-formal, rambut digelung rapi, sepatu hak tak terlalu tinggi. Tidak untuk menggoda. Tapi cukup untuk menunjukkan bahwa ia datang dengan kepala tegak.Seorang pelayan mengantarnya ke meja sudut paling privat. Ketika Anya sampai di sana, ia... sudah melihat Reynard. Pria itu duduk santai, mengenakan kemeja hitam dan jam tangan perak yang mencerminkan lampu gantung di atasnya. Tatapannya langsung menancap begitu Anya datang.“Kau datang.”Anya duduk dengan tenang, menyilangkan kaki, lalu meletakkan clutch-nya di atas meja.“Kupikir ini soal kerja sama. Ternyata restoran bintang lima?”Reynard menyeringai tipis, tidak menjawab langsung. Pelayan datang membawakan dua gelas wine merah, yang satu ditaruh persis di depan Anya.“Kau masih ingat yang ini?” tanyanya sambil menoleh ke Anya.“Prancis, tahun yang sama dengan ulang tahun Andristy yang keempat.”Anya tertegun. Ia tidak men
Pagi itu masih dibalut gerimis ketika dua unit mobil hitam berhenti di depan sebuah vila mewah di kawasan Puncak. Tak ada sirine. Tak ada keributan. Hanya langkah-langkah senyap dari petugas berseragam sipil yang menyebar diam-diam ke sisi bangunan.Dari dalam mobil, Reynard menatap arloji di pergelangan tangan kirinya. Ia menoleh ke arah pria paruh baya di sampingnya, mantan penyidik yang kini bekerja sebagai salah satu kepala investigasi internal AndinataCorp."Pastikan tidak ada celah. Aku ingin mereka dibawa hidup-hidup," katanya datar, namun cukup dingin untuk membekukan suasana."Perintah sudah diterima. Tim kami sudah temukan data pendukung dari audit bayangan. Termasuk transaksi ke rekening offshore Dion,” jawab pria itu.Reynard mengangguk tipis, “Bagus. Selesaikan sebelum Anya tahu.”***Dion Mahesa baru saja membuka laptopnya ketika pintu rumahnya dan empat pria berseragam masuk cepat, tanpa basa-basi.Dua orang langsung membekuk tangannya ke belakang, memborgolnya dengan p
Pagi belum sepenuhnya hangat ketika Anya membuka mata pelan. Tirai belum dibuka. Tapi suara air dari kamar mandi menandakan satu hal—Reynard sudah bangun. Lebih awal dari biasanya.Tak lama, ia keluar. Kemeja sudah terpakai, rambut setengah basah, tapi sorot matanya tak seperti biasa.Anya bangkit dari tidurnya dan duduk di tepi ranjang, “Kau tak biasa bangun sepagi ini.”Reynard menatapnya sebentar, “Banyak laporan yang harus kususun.”Anya berdiri. Mengambil langkah mendekat menuju Reynard. Ketika sampai di hadapan pria itu, ia berhenti dan berkata, “Apa ada yang mengganggumu?”Reynard menoleh. Tatapannya turun ke wajahnya. Lama. Dalam. Tapi Anya tahu, ia sedang berpikir. Bukan tentangnya. Tapi tentang apa yang ia sembunyikan.“Kenapa perusahaanmu bisa jatuh secepat itu, Anya?”Pertanyaan itu menusuk lebih dari teriakan. Karena dilontarkan lembut—penuh kehati-hatian.Anya terdiam sejenak lalu menjawab tenang, “Karena aku mencintai orang yang salah. Dan karena aku mempercayai partner