Pagi itu, langit Jakarta seperti kain satin kelabu—lembut, tapi menyimpan badai.
Suite hotel terasa dingin dan hening. Anya berdiri di depan cermin, menyisir rambut perlahan, setiap gerakan seperti persiapan menuju ring tinju. Reynard berdiri di belakangnya. Kemeja putih, lengan tergulung, jam tangan hitam mencolok di pergelangan. “Siap?” tanyanya tanpa menatap. Anya menoleh sekilas. “Kau selalu menyambut pagi seolah akan menyerbu pasar saham?” “Ini bukan pagi biasa.” Suaranya datar. “Ini meja makan Nyonya Besar. Dan di meja itu… banyak orang tumbang.” --- Restoran Privat, Lantai Bawah Langkah mereka berhenti di ambang ruangan. Nyonya Besar duduk di tengah meja panjang, bak ratu tua yang masih memegang seluruh catur hidup keluarga. Di kanan-kirinya: Felicia si sepupu licik, Axel si adik sarkastik, Bibi Grace dan Paman Harun, memandang mereka seperti tatapan audit. Meja penuh makanan mahal—tapi atmosfernya setajam pisau steak. “Duduklah,” ujar Nyonya Besar. Nada suaranya tak meninggi, tapi semua langsung patuh. Termasuk Reynard. Anya duduk di sisi kanan pria itu. Matanya menyapu sekeliling seperti kamera tersembunyi. Reynard menuangkan teh untuknya. Gerakan kecil yang disambut senyum sinis Felicia. “Wah… sudah semanis itu? Padahal baru kenal, ya?” Reynard menjawab singkat, tajam. “Kami bukan ‘baru’. Kami hanya tak pamer.” Felicia menyeringai. “Tapi semua pamer, Rey. Bahkan yang bilang tidak.” Anya ikut tersenyum. “Mungkin. Tapi beberapa dari kita... tidak butuh validasi dari keluarga sendiri.” Axel mendongak. “Berani juga kau bicara begitu, padahal statusmu di meja ini masih…kabur.” Anya menoleh. Matanya tajam tapi bibirnya tersenyum. “Oh, aku jelas. Duduk di sini karena dipilih Reynard. Bukan karena darah, tapi karena keputusan.” Bibi Grace meneguk kopinya. “Sayang sekali keputusan bisnis kadang dibutakan nafsu. Apalagi kalau pasangannya cantik dan… bangkrut.” Anya tidak bergeming. “Cantik bisa luntur. Tapi karakter, bahkan setelah bangkrut… masih bisa berdiri.” Paman Harun menyipitkan mata. “Kau menjual karakter, nona? Atau menjual luka?” Anya memandang lurus padanya. “Saya tidak menjual apa-apa. Tapi saya belajar: keluarga besar seperti ini lebih suka wanita yang menurut, diam, dan bisa dikendalikan. Maaf, saya bukan yang itu.” Senyap sejenak. Lalu tangan Reynard bergerak. Ia menggenggam tangan Anya di atas meja. Anya hampir terkejut—tapi ia tahu. Ini panggung. Ia balas genggaman itu lalu menyandarkan kepala ringan di bahu Reynard. Felicia tertawa kecil melihat tingkah Anya dan Reynard. “Lucu. Tapi kita semua kapan hubungan itu beneran... dan kapan cuma akting.” Anya menatap Felicia. Lurus. “Kalau ini akting, maka sayangnya... aku sudah dapat peran utama. Kau hanya penonton. Tiket mahal, tapi tak bisa ikut main.” Anya meraih tangan Reynard, menggenggamnya perlahan lalu bersandar ringan ke bahunya—tubuhnya tampak tenang, tapi matanya menusuk. “Sayang…” bisiknya lembut, cukup lantang untuk menembus keheningan di meja, “aku suka cara mereka menatapku. Seolah aku ancaman yang tak bisa mereka jinakkan.” Suasana membeku. Gelas-gelas berhenti bergerak. Hanya denting sendok yang terdengar di ujung meja. Lalu Nyonya Besar angkat bicara. Suaranya tak keras, tapi cukup untuk menampar ruangan. “Berani.” Ia menatap Anya tanpa berkedip. “Tapi berani... tak selalu berarti pantas.” Anya menoleh perlahan. Ekspresinya tetap tenang, seolah sudah terlalu sering dinilai dan tetap tak runtuh. Tatapannya tajam, tapi senyumnya lembut. Lirih, tapi menyengat. “Dan ukuran ‘pantas’…” katanya pelan, “terlalu sering dibuat oleh orang yang takut kehilangan kendali—terutama pada perempuan yang tidak bisa dibentuk sesuai keinginan mereka.” Diam. Sekejap. Lalu tatapan-tatapan itu kembali menusuk, tapi tak satu pun dari mereka mampu menjatuhkannya. Nyonya Besar menatap tajam… lalu tersenyum tipis. Tak ada restu. Tapi tak ada penolakan juga. Hanya satu hal: pengakuan bahwa gadis ini tidak mudah dipecah. --- Setelah sarapan, mereka kembali ke suite. Tak ada yang bicara. Hanya langkah. Napas. Dan diam yang menggantung terlalu lama. Anya duduk di pinggir tempat tidur, menatap jari-jarinya. Reynard berdiri di dekat rak buku. Membuka kancing atas kemejanya. Pelan. Nyaris tanpa suara. “Tadi...” suara Anya lirih, “kau menggenggam tanganku.” Reynard menoleh. Sekilas. “Refleks. Atau strategi. Kadang susah dibedakan.” Anya berdiri. Melangkah ke jendela besar. Jakarta di balik kaca tampak sibuk. Tapi baginya, semuanya terasa statis. Seperti tayangan yang sudah tahu akhir ceritanya. “Ada saatnya,” katanya, pelan, “aku lupa kalau ini cuma akting.” Langkah Reynard mendekat. Ia berhenti di belakangnya. Dekat. Tapi tetap ada ruang udara di antara mereka. Ruang yang belum siap dipenuhi siapa pun. “Kalau kau lupa,” ujarnya rendah, “berarti kau aktris yang terlalu baik.” Anya menoleh. Pelan. Matanya tak setajam biasanya—tapi lebih berat. Seolah menanggung sesuatu yang tak tertulis di kontrak. “Apa kau juga lupa, Reynard?” Pria itu tak langsung menjawab. Hanya napasnya yang terdengar. Lalu ia berkata tanpa ekspresi, tapi nadanya terlalu jujur untuk pura-pura. “Semakin sering aku berpura-pura... semakin samar batas antara sandiwara dan yang sebenarnya.”Sudah dua minggu sejak Anya memutuskan untuk membangun kembali apa yang dulu pernah ia miliki atau setidaknya, bagian dari dirinya yang ikut runtuh bersama Phoenix Creative. Dulu, nama Anya Kirana adalah sinonim kesuksesan di dunia pemasaran digital Jakarta. Ia membangun agensi Phoenix Creative dari nol dengan kerja keras, darah, dan air mata. Tapi semua itu sirna dalam semalam. Pengkhianatan dari dua orang yang paling ia percaya, rekan bisnis sekaligus tunangannya, menghancurkan segalanya. Kini, sebuah ruangan mungil di coworking space Jakarta Selatan menjadi markas sementaranya. Tak semewah dulu, tapi cukup untuk mulai lagi. Siang itu, ia duduk membungkuk di depan laptop, menata ulang model bisnis untuk lini produk lifestyle dan digital branding yang dulu pernah mendominasi pasar. Excel sheet, mindmap digital, dan catatan proposal bertebaran di mejanya. Namun di balik bara semangat itu, ada awan gelap yang tak juga pergi: pendanaan. Ia telah mengirimkan beberapa proposal ke
Sinar matahari menari pelan di antara tirai tipis, menyusup masuk dan menyentuh seprai yang kusut. Sisa aroma semalam masih melekat di udara saat Anya membuka matanya perlahan. Tubuhnya lelah, namun terasa ringan. Di sampingnya, Reynard masih tertidur. Dada telanjangnya naik turun perlahan, damai. Ada bekas cakaran di bahunya. Jejak mereka. Bukti bahwa malam itu bukan sekadar mabuk.Ia memutar tubuhnya perlahan, menatap wajah pria itu. Ada damai di sana—damai yang justru membuat jantungnya berdegup lebih keras. Hubungan ini… dimulai dari kontrak. Tapi entah sejak kapan, batas-batasnya mulai kabur.Perlahan, ia menyentuh pipinya. Hangat. Hidup. Dan saat itu juga, mata Reynard terbuka, seperti merespons sentuhan itu.Tatapan mereka bertemu.“Pagi,” ucap Reynard, suaranya berat dan—dalam.Anya tersenyum kecil. “Pagi.”Satu alis pria itu terangkat. “Menyesal?”Anya menatapnya lama, seperti menimbang sebuah kebenaran yang enggan diucap. “Kalau aku bilang ya… kau akan marah?”Reynard tetap
Begitu mereka sampai rumah dari kegiatan jalan-jalan, Reynard mencondongkan tubuhnya perlahan ke arah Anya. Ia tidak terburu-buru. Matanya menatap mata Anya sejenak—mencari izin, atau mungkin kerelaan. Ketika melihat Anya hanya terdiam, bibirnya lalu menyentuh bibir Anya. Begitu pelan, begitu lembut, seolah takut menghancurkan sesuatu yang rapuh. Ciuman pertama itu seperti helaan napas yang tertahan terlalu lama. Hangat, tapi juga mengejutkan. Bibir mereka menyatu dalam gerakan ragu namun tulus. Anya mengerjapkan mata, jantungnya berdegup tidak beraturan. Detik itu, waktu seolah berhenti. Anya menutup matanya, membalas perlahan. Rasa hangat menjalar dari bibir ke lehernya, hingga ke ujung jari. Sentuhan lembut Reynard di pinggangnya membuatnya mendekat tanpa sadar. Angin malam yang menyelinap dari jendela kini tak lagi terasa dingin karena tubuh Reynard di sampingnya memancarkan kehangatan yang membungkus. Ciuman itu berkembang. Lebih dalam, lebih menuntut. Napas mereka membur
Anya duduk di sofa, menatap ke luar jendela sambil memikirkan tentang apa yang terjadi pada Dion dan Clara. Ia merasa bingung dan khawatir, tidak tahu apa yang harus dilakukan. Tiba-tiba, ia teringat tentang Reynard. Ia merasa ada sesuatu yang tidak beres dengan perasaannya sendiri. Ia telah mencoba untuk tidak mencintainya, tapi ia tidak bisa menyangkal bahwa ada sesuatu yang kuat antara mereka. Anya berdiri dan berjalan ke kamar mandi. Ia membasuh wajahnya dengan air dingin, mencoba untuk menghilangkan pikiran-pikiran yang berputar di kepalanya. "Tidak mungkin," kata Anya pada dirinya sendiri, "Aku tidak bisa mencintainya. Ia terlalu dingin, terlalu keras." Tapi ketika ia melihat dirinya sendiri di cermin, ia melihat sesuatu yang berbeda. Ia melihat seorang wanita yang lemah, yang tidak bisa menyangkal perasaannya sendiri. Anya merasa seperti terjebak dalam dilema. Ia tidak tahu apa yang harus dilakukan, tidak tahu apa yang harus dipilih. Ia hanya tahu bahwa ia harus membua
Anya melangkah masuk ke ruang kerja pribadi Reynard di lantai 52. Dinding kaca membingkai kota Jakarta, tapi suasananya hening—terlalu hening.Reynard berdiri membelakangi jendela, jas sudah dilepas, kemeja hitamnya terbuka dua kancing teratas. Satu tangan menyelip di saku celana, yang lain memegang selembar berkas."Laporan terakhir dari investor Jepang. Presentasimu membuat mereka yakin," katanya tanpa menoleh.Anya mengangguk, tetap menjaga jarak. “Terima kasih sudah memfasilitasi semuanya.”"Aku tak fasilitasi siapa pun," ucapnya pelan, kini menoleh. Tatapannya menusuk."Aku hanya pastikan kau tidak membuat kesalahan lagi. Termasuk soal siapa yang kau percaya."Anya membalas tatapan itu. tatapannya dari Reynard."Aku tidak butuh perlindungan, Reynard."Senyum tipis menyentuh bibir Reynard—dingin, nyaris sinis."Salah. Kau hanya belum sadar seberapa banyak musuhmu, dan seberapa keras dunia bisa menghancurkanmu tanpa ampun."Ia berjalan perlahan mendekat. Langkahnya tenang. Tapi aur
Restoran itu tenang, berkelas, dengan cahaya temaram dan interior modern minimalis.Anya mengenakan setelan semi-formal, rambut digelung rapi, sepatu hak tak terlalu tinggi. Tidak untuk menggoda. Tapi cukup untuk menunjukkan bahwa ia datang dengan kepala tegak.Seorang pelayan mengantarnya ke meja sudut paling privat. Ketika Anya sampai di sana, ia... sudah melihat Reynard. Pria itu duduk santai, mengenakan kemeja hitam dan jam tangan perak yang mencerminkan lampu gantung di atasnya. Tatapannya langsung menancap begitu Anya datang.“Kau datang.”Anya duduk dengan tenang, menyilangkan kaki, lalu meletakkan clutch-nya di atas meja.“Kupikir ini soal kerja sama. Ternyata restoran bintang lima?”Reynard menyeringai tipis, tidak menjawab langsung. Pelayan datang membawakan dua gelas wine merah, yang satu ditaruh persis di depan Anya.“Kau masih ingat yang ini?” tanyanya sambil menoleh ke Anya.“Prancis, tahun yang sama dengan ulang tahun Andristy yang keempat.”Anya tertegun. Ia tidak men